PURA-PURA BAHAGIA,
Perkenalkan namaku Nagita, ini bukan nama asliku tapi aku menyukai nama ini sebagai samaran untuk menceritakan tentang kisah lucu dalam kehidupan yang pernah aku jalani.
"Gita, apa kamu bisa datang ke rumahku. Aku sedang butuh teman curhat."
Aku membaca pesan singkat dari saudara kembarku yang bernama Riri. Kami sama-sama sudah hidup berkeluarga dengan pasangan masing-masing. Tempat tinggal kami juga saling berdekatan hanya sekitar 500 meter untuk sampai kerumah Riri adik dan juga kembaranku.
Aku mendesah sedikit kesal tapi juga kakiku pada akhirnya tetap berjalan ke arah rumah Riri. Padahal aku Kakaknya tapi dia selalu menyuruhku seenaknya dan aku dengan bodohnya juga mau. Berpikir dia saudara perempuanku satu-satunya dan harus bersikap baik padanya, meskipun pada akhirnya aku tidak terlihat seperti kakaknya melainkan orang yang harus datang saat dia butuhkan. Aku kesal dengan diriku yang tidak bisa menolak keinginan adikku, antara bodoh atau tidak tega, entahlah.
Setelah tiba di rumahnya, seperti biasa aku seperti tetangga yang hanya mampir duduk di depan teras sedang adikku mondar-mandir masuk ke dalam rumah untuh mengambil minuman atau beberapa cemilan.
Rumahnya lebih bagus dari kontrakan yang aku tinggali bersama suamiku. Padahal aku yang lebih dulu menikah, namun keberuntungan lebih memihak Riri untuk memiliki rumah terlebih dahulu. Mungkin karena Suaminya bekerja sebagai kepala bagian di sebuah perusahaan pertambangan. Sedang Suamiku hanyalah seorang salesman. Tapi aku masih berharap dia menyuruhku masuk kedalam rumahnya yang megah, hingga karpet merah yang di gelar di lantai bisa aku tapaki.
"Gita, aku pusing. Sudah hampir 5 bulan mas Hendra tidak pulang dari Kalimantan. Bentar lagi aku akan lahiran. Aku ingin anak pertama ku bisa di tungguin mas Hendra sebagai Ayahnya. Bagaimana ya Git?" Keluh Riri sambil terus mengusap perut besarnya di depanku.
Aku hanya tersenyum, menahan rasa cemburu yang juga belum di beri kesempatan pada Tuhan untuk menjadi seorang Ibu. Riri duduk di sofa masuk kedalam rumahnya, pintunya di buka lebar. Sedang aku masih duduk di kursi teras dekat pintu, aku bisa melihat keberadaan Riri saat menoleh ke belakang. Riri menyeruput jus mangga dengan sedotan. Aku melihat beberapa es batu yang tenggelam di dalam gelas. Pasti dingin dan nikmat jika di minum di siang hari yang panas seperti ini. Sedang aku menoleh di meja depanku secangkir teh hangat dan kue bolu katanya di suguhkan untukku. Aku tidak menyentuh cangkir teh itu sampai benar-benar dingin. Jika tidak peluh keringatku akan semakin banyak ketika habis meneguknya.
"Git, nanti kalau lahiran temani aku ya. Tahu sendiri orang tua kita keduanya sudah meninggal hanya ada kamu dan dek dimas. Bagaimana jika Mas Hendra tidak bisa pulang karena sibuk?" Ujar Riri, menyelonjorkan kakinya naik ke sofa.
Ada boneka lucu menjadi bantalan kepalanya. Dan sepertinya boneka yang sama seperti yang aku miliki, karena pemberian dari Ibuku saat usia kami 17 tahun. Aku padahal menyimpan boneka milikku layaknya harta karun yang terbungkus rapi di dalam lemari kaca. Karena itu hadiah satu-satunya yang pernah orang tuaku berikan dan yang masih ada untuk di miliki. Mungkin untuk Riri boneka itu hanyalah salah satu barang yang memenuhi kamarnya mengingat Ibuku saat masih hidup selalu memberikan mainanku kepada Riri saat mainan Riri hilang atau sudah usang.
"Entahlah." Jawabku, lalu mengalihkan pandanganku ke beberapa tanaman hias yang mengelilingi teras rumah Riri. Semua tampak indah tergantung di atas di dalam pot kecil yang berbaris rapi.
"Enak ya Git hidupmu. Mas Hanif kerja di rumah setiap kamu butuh dia, dia selalu ada. Tidak sepertiku. Aku hamil besar, Mas Hendra masih sibuk mencari uang di luar Jawa." Ucap Riri.
"Bik. Ambilin kipas angin!" Teriak Riri.
Seorang wanita paruh baya keluar, dengan kipas angin kecil segenggaman tangan.
"Kenapa mbak Gita nggak di suruh masuk. Kan bisa nyalain AC buk." Ucap Bik Ida, pembantu rumah tangga yang tinggal serumah juga dengan Riri. Riri tersenyum, sambil menepuk jidatnya. Seolah benar-benar lupa dengan hal itu.
Aku menoleh dan tersenyum. Lalu kembali menatap pot-pot kecil yang menggantung. Melihat wajah Riri terlalu lama sedikit membuatku kesal sebenarnya.
Suara langkah perlahan mendekat ke arahku. Riri menepuk pundak kananku. Aku yang terkejut menoleh sesaat dan menatap matanya yang sembab.
"Aku mau istirahat Git. Terimakasih sudah mau mampir." Ucap Riri.
Aku segera bangkit dari tempat duduk. Dan pergi sesuai dengan isyarat yang Riri berikan.
Saat langkah kakiku hampir menyentuh pagar rumahnya aku menoleh dan melihat pintu rumah Riri sudah tertutup rapat. Aku meneruskan langkahku keluar dan kembali pulang ke rumah.
Di sepanjang jalan hatiku terasa sangat sakit. Padahal Riri selalu lembut dengan ucapannya saat berbicara padaku. Namun, aku merasa ada pedang yang menancap di dadaku ketika kami saling berbicara. Rasanya sudah sangat sabar aku melihat sikap pura-pura Riri.
Sampai di rumah aku melihat Hanif suamiku yang baru saja pulang dari bekerja. Aku mendekatinya yang duduk di depan teras. Dia menoleh, dan melirik ke arahku. Menunjuk ke arah pintu sambil memberikan kode dengan tangannya. Aku tahu aku yang membawa kunci rumah. Namun, aku enggan membuka pintu karena ingin menghirup udara segar di depan rumah. Meskipun yang tercium hanya bau tahi kucing yang berseliweran di sepanjang jalan sempit sekitar rumah kontrakanku. Aku tetap ingin menikmati udara itu, agar lebih tenang pikiran dan hatiku saat masuk kedalam rumah.
"Ayo, kita pindah!" Ucapku memulai obrolan. Hanif menoleh dan menyeringai.
"Bagaimana dengan Dimas? Dia belum lulus SMA. Kamu bilang dia tidak ingin tinggal di Medan." Jawab Suamiku.
"Biarkan dia tinggal dengan Riri. Rumahnya lebih besar dari kontrakan kita." Ujarku.
"Itu kamu pinter, udah tahu. Lalu kenapa saat kemarin-kemarin mencari alasan ingin tinggal di sini?" Ujar suamiku.
"Aku pikir, Riri sedang hamil kasihan jika dia sendirian." Jawabku.
"Ngapain kamu mikirin itu. Dia sudah besar dan punya suami. Dia bisa urus hidupnya tanpa kamu. Kamu saja yang sok merasa di butuhkan adikmu. Padahal mereka itu tidak butuh kamu." Ucap Suamiku.
Aku melirik kesal, lalu membuka pintu rumah. Merebahkan tubuhku duduk di atas sofa. Memikirkan perkataan suamiku kali ini.
Aku lalu bangkit dan mengepak semua baju Dimas masuk ke dalam koper. Suamiku hanya diam dan mondar-mandir.
"Mbak." Ucap Dimas Adekku yang terdengar suaranya dari pintu. Aku keluar dari kamar, menyeret koper.
"Mbak mau pergi ke Medan. Tinggal dulu dengan Mbak Riri. Katamu masih ingin sekolah di Semarang bukan?" Ucapku.
Adikku tampak kebingungan melihat sikapku yang mendadak berubah pikiran. Dimas hanya diam, terlihat lelah pulang sekolah dan duduk di teras.
"Aku akan tetap mengirimkan uang membiayaimu sampai lulus." Kataku lagi, lalu masuk ke dalam rumah. Meninggalkan Adikku dan koper hitam besar itu di teras.
Aku berjalan masuk ke dalam kamar. Mengatur nafasku yang berat dan terengah-engah. Suamiku menatapku sesaat, lalu kembali sibuk dengan ponselnya.
Aku berjalan keluar kamar lagi, dan melihat dari jendela, adikku Dimas sudah tidak duduk di teras. Aku membuka pintu dan mencari keberadaan Dimas di sepanjang jalan kecil menuju gang. Lalu aku kembali ke rumah ketika tidak menemukannya.
Aku duduk di teras sambil menangis tersedu-sedu. Mengabaikan dering ponsel yang berulang kali gemetar di saku celanaku. Aku merasa menjadi kakak yang buruk dalam sekejap. Aku menjadi bodoh karena terus berusaha pura-pura bahagia dengan hidup yang aku dapat selama ini. Aku berusaha tidak terjadi apa-apa pada hatiku meskipun selama orang tuaku hidup mereka tak adil padaku. Aku yang tak pandai mengeluh, hanya bisa bingung dengan diri sendiri saat ingin melukai orang lain.