Sejak awal musim itu, siapa yang akan menduga semua akan menjadi awal dalam cerita baru milik senja, yang biasanya hanya duduk di tepi danau dengan kertas origami, dan akan menjelma menjadi angsa-angsaan di tangannya, pertemuannya pada sosok yang menjulang tinggi hingga ia harus mengangkat dagunya maksimal agar dapat memandangnya, dengan tubuh besar kekar, penuh dengan otot yang dibalut dengan kulit hitam kecoklatan, tanpa dihiasi senyum datar, dengan hidung mancung betengger di wajahnya, rambut ikal, tertutup topi coklat, “Hei, minggir jangan menghalangi jalanku” ucapnya dengan suara yang amat menggelegar. Dengan kejutnya senja tak bergeser, ataupun bahkan bergerak, “Laki-laki aneh, seperti monter saja tiba-tiba muncul dan marah” gumamnya kesal.
Dengan anggunnya ia langkahkan kaki menuju rumah dengan cat putih biru, yang dihiasi banyak jendela, tak lupa pagar tinggi menjulang menutup indahnya rumah itu, ya bagaimana tidak senja adalah salah satu putri dari pemilik perkebunan teh di kampungnya, namun senja tak seceria putri-putri yang lain, ia lebih terkesan tertutup dan lebih memilih diam seolah tak ingin tau kehidupan orang lain, sejak ia kehilangan sosok yang amat ia sanjung, hanya ada satria yang mampu memehaminya, namun sejak kepergian satria ia tampak murung seribu bahasa, hanya beteman dengan kertas origami, toples pink dari satria, dan apel hijau manis, setiap hari tak ada cerita menarik dalam hidupnya.
“Senja, dari mana saja kenapa bajumu basah dan kotor”, tegur seorang laki laki dengan jas rapi dikenakannya, sepatu mengkilat, dan tak lupa kunci mobil di tangannya, “tak apa, pa, senja hanya tergelincir, di pinggir danau” jelasnya sambil berlalu. “cepet bersih-bersih, senja nanti kamu sakit” teriaknya, “senja mau ambil apel dulu pa, di dapur” jawabnya sembari meletakkan toples pink itu di atas lemari dekat pintu kamarnya.
“Senjaaaa” terdengar teriakan yang amat nyaring namun sayang nampaknya senja tak asing dengan itu, ya bagaimana tidak pemilik suara itu sekar kakaknya nomor 2, “iya kak” jawabnya sembali memutar balik badannya “masuk ke kamarmu, bersih-bersih, setelah itu kakak tunggu di ruang makan” celotehnya “baik kak”.
“Buuuu, buuu” suara itu menggelegar dari depan gubuk buruk, berdindingkan kayu, dengan alaskan tanah, milik seorang wanita tua yang berusia sekitar 70 tahun, tinggal seorang diri tanpa keluarga, “iya, masuk ibu ada di dalam” jawabnya dengan nada lirih bergemetar. “Bu pandu, bawakan makan malam, bagaimana keadaan ibu” Wanita tua ini menatap pandu tanpa berkedip, mereka tak memiliki hubungan istimewa, seperti adanya darah yang saling mengalir, pandu, pemuda tampan yang tumbuh dari bayi kecil yang ditemukan bu sri di tepi danau yang sudah membiru, saat itu tuhan masih melindunginya hingga bertemu bu sri, dan dirawatnya.
“Mau sampai kapan kamu berdiri di situ, duduklah, sakit rasanya leher ibu melihatmu yang terlalu tinggi” guraunya, dengan senyum manis ukurnya. “ibu, aku tak akan tumbuh setinggi ini jika ibu tidak memberiku makan selama 18 tahun bu” timpalnya. Canda ibu dan anak ini nampaknya berlanjut mengarungi malam dingin.
“Senja, apelmu” nada lembut penuh kasih sayang, itu meraih tangannya dengan lembut, namun manpak ada yang janggal dari adegan ini, senja membalasnya dengan raut muka takut dan segera menarik tangannya lagi, sembari meraih apel, dilangkahkannya kaki mungilnya itu menuju kamar, “senja, tunggu, timpalnya lagi dengan lembut, namun sayang bingkai pintu warna biru dengan dipenuhi angsa yang bergantungan itu segera tertutup rapat. “sudahlah safa, jangan paksakan senja, tak semudah yang kita bayangkan bukan, kita semua sama-sama tau seperti apa sosok satria dalam hidup senja” “tapi sekar”, “Sudahlah safa, jangan lupa karena satria senja bisa bertahan hidup, hingga hari ini, karena sabarnya satria senja bisa bicara, jangan lupa itu, senja menganggap satria itu malaikat dalam hidupnya hadiah dari mama karena cuma dia yang tak mengenal sosok mama” jelas sekar. “Tapi kenapa senja, tak bisa lupa satria, lalu senja takut padaku, sudah 3 tahun satria meninggal, sekar, mau sampai kapan lagi” bantahnya dengan layu dan air mata itu mengalir “Safa, jangan lupa, satria meninggal saat ia menyelamatkanmu, di tepi jurang dekat danau, senja melihat kau saat kau tak sengaja mendorong satria saat itu” celotehnya dengan suara nyaringnya “Tapi sekar” “sudah cukup, sudah, ayo aku antar ke kamar, sabar, tunggu saja nanti ada masanya senja mengerti”
“Senja, ini papa, sayang, buka pintunya” terdengar suara lirih dari balik bingkai pintu “masuk aja, pa, pintunya enggak senja kunci” jawabnya dan perlahan pintu itu terbuka dan tampak sosok ayah dengan senyum manis, “Papa boleh masuk” tanyannya lagi dan aku hanya membalasnya dengan senyum kaki itu melangkah semakin dekat denganku. “Pa, senja gak mau papa bahas kak safa” tegasku saat papa duduk di sampingku, di atas tempat tidur yang dibalut warna biru, dengan dipenuhi boneka, iya senja tak pernah menyingkirkan satupun bonekanya karena itu semua dari satria, papa pun memeluk senja dengan penuh kasih sayang, “senja, sayang, papa datang ke kamar senja, bukan buat bahas kak safa, kok, tapi papa mau tanya besok senja pengumuman kelulusan senja kan,” jelas papa pada senja “iya, pa, tapi boleh enggak pa, kalau besok papa aja yang ke sekolah senja mau ke danau, besok ulang tahun kak satria, pa” jelasnya dengan muka polos, manis yang dialiri air mata yang cukup terbilang deras. “Iya, gak papa, besok papa yang jelaskan ke pihak sekolah ya, sekarang senja istirahat” sendu itu tampak jelas tergambar di raut wajah papa, namun sebisa mungkin ia tutupi itu.
Nampaknya mentari sudah menjulang tinggi di angkasa, namun senja belum juga bangun, tentu saja senja tak akan bangun karena hari ini senja hanya akan ke danau pukul 3 sore, papa sudah pergi dengan mobil hitamnya ke sekolah senja, sekar juga sudah tak ada di rumah, karena sekar pagi ini ada kelas, iya sekar salah satu mahasiswa di universitas trisakti, sedangkan safa tak ada yang tau dia kemana pagi ini.
“Senjaaaaaaaaa, senja, kamu dimana dek” seperti ada suara papa yang kencang hingga membuat orang satu rumah mendengar. “ada apa sih pa, senja masih ada di kamarnya dari tadi belum keluar” jelas safa papa bergegas menuju kamar senja. “Belum bangun juga, senja bangun sayang” sembari mengusap kepalanya, “Iya pa,” membuka mata sipit manis hitam pekat itu membuat semua orang akan terpana jika menatapnya, “Senja, dengar papa, kamu dapet juara satu umum lagi sayang” senyum sumringah papa sudah cukup menggambarkan kegembiraan dan kebanggaanya pada senja hari ini, namun sayang semua itu tak mampu membuat senja mengukir senyum juga.
Cerpen Karangan: Dewy Itavia Blog / Facebook: Dewy Itavia