Aku kembali mengenakan kacamata minusku setelah beberapa menit yang lalu melepasnya dengan spontan. Dan kali ini kulepas lagi sembari mengendorkan tali dasiku yang beralih fungsi menjadi lap pembersih kacamata. Aku kira kacamata ini sudah bening, namun apa daya mata ini masih saja kabur. Tak mampu melihat sosok nan jauh disana. Akhirnya aku meminta bantuan Alia untuk membawa sederet teks dari jarak beberapa meter.
“Disini kelihatan, aku bawa tulisan apa?” tanya Alia mengetes.
Apa mungkin minus ini bertambah? Bukankah baru satu minggu yang lalu aku check up ke dokter spesialis mata pribadiku? Entahlah… mungkin sosok itu hanya imajinasi, sebagai efek karena terlalu larut dalam selembar cerita pendek yang sedang kukoreksi. Dan sebagai senior yang aktif di bidang jurnalistik, tugasku adalah mengedit tulisan-tulisan sastra dan ilmiah yang disetorkan para junior padaku. Hasilnya pun luar biasa, karya-karya itu selalu dibanjiri pujian tiap kali terbit. Baik dari bapak mentor ataupun teman-teman yang lain.
“May!” Alia kembali dan suara cemprengnya selalu membuatku kaget. ‘Dasar Alia! Sudah berapa kali kubilang, aku tak mau diganggu ketika sedang santai dengan laptop dan kegiatan favoritku.’ Aku mendengus kesal. Seorang Alia mana peduli dengan ucapan lembut atau kasarku, yang ada dia malah menyeret paksa lengan kiriku menuju gerbang.
“Ini yang gue maksud, May! Jadi, kemungkinan minus lo itu nggak nambah dan kacamata lo juga nggak dalam keadaan berdebu. Lo aja yang nggak mau percaya sama oppa Min Ho versi Indonesia telah hadir di sekolah kita.” Alia menjelaskan sampai aku benar-benar sadar dengan keadaan mataku yang perih karena beberapa kali ku ucek.
“Dia anak baru?” tanyaku kepo. Alia mengangguk. Aku masih mencoba untuk mengamatinya dengan seksama. “May, lo sadar kan?” Alia menepuk-nepuk pipiku. “Sadar dong Al, meskipun tampang gue bloon gini gue harus tetep jaga image di depan cowok ganteng, apalagi selevel oppa Min Ho nih.” Alia mencibir. Aku masih menatap cowok itu tanpa ragu, meneliti tiap detail dari gayanya yang super cool. ‘Oh My God. Itu cowo apa malaikat sih, cakep bener!’ Batinku, memuji parasnya yang bagiku adalah sebuah anugerah. “Udah ah, masuk yuk. Jangan bengong mulu, keliatan jelek banget tuh muka!” Sindir Alia. Aku mendengus kesal, kemudian sadar akan lembabnya wajahku yang memang sedikit berminyak. Aku segera mengeluarkan tisu dari sakuku.
“Alia, tungguin!” Aku berusaha mengejar Alia ketika tiba-tiba terdengar suara yang meneriakkan sederet nama baru di telingaku. Umar Fabian. “Umar Fabian? Namanya Umar Fabian?” gumamku pada diri sendiri kemudian memutuskan untuk kembali menghampiri gerombolan yang kapasitasnya semakin melebar. Yah! Bagi mereka, mana bisa mengabaikan event seperti ini. “Abi?” cewe feminin itu menyapa Fabian sembari melambaikan tangannya. “Viona sok deh. Keliatan banget kalo dia nyari muka di depan Fabian!” seorang cewe yang tak kalah feminin itu mencibir. Siapa sangka? Ternyata cewe pendiam yang kutu buku semacam Viona itu juga bisa kecentilan kayak ondel-ondel, pake mainin ujung rambut dan sok-sok malu lagi saat Fabian kebetulan ngeliat dia. Bukankah selama ini dia hanya mau berteman sama buku-buku yang tebalnya berpuluh-puluh senti itu? Ahh.. entahlah! apapun alasannya gue juga nggak punya alasan buat mundur, tekadku. Ada setitik keyakinan yang membuatku bergerak dan menggerakkan benda itu mengenai wajahnya dengan pose yang sangat natural. Ckrek!
“Nama lo Maya kan?” Oops! Aku gelagapan, entah jawaban apa yang harus aku lontarkan dengan posisi seperti ini. Camera menutupi sebagian wajahku dan aku tertangkap basah telah mencuri gambarnya. Memalukan! Dia tersenyum menatapku. Untuk yang pertama kalinya aku menyadari bahwa aku memang bodoh dalam hal ini. Aku belum pernah belajar tentang bagaimana caranya berdialog dengan cowo yang aku suka. Tentang apa yang harus aku tanyakan saat pertama kali bertemu dalam jarak yang mendadak jadi sedekat ini?
“Lo Maya kan?” dia mengulang pertanyaannya. Aku mengangguk dengan gaya senatural mungkin. Dan tak lupa memberikan senyum manisku yang menyembulkan lesung pipi di kedua pipi. “Gue Abi. Salam kenal ya?” Kurasakan kedua pipiku memanas. Aku pikir aku yang bermimpi disini. Dari sekian banyak cewek yang memotretnya, hanya aku yang dapat sapaan manis dari dia.
“Oh iya, hanya sekedar saran, coba kalau kacamata lo diganti dengan lensa coklat sesuai dengan warna bola mata lo.” Abi melepas kacamata yang bertengger di hidung tirusku. “Ma…ya.. ” dia memanggilku dengan memberi nada tekanan pada namaku. Aku mendongak, menatapnya yang lebih tinggi beberapa senti dariku. “Iya?” jawabku. Suaraku terdengar serak. Dia hanya tersenyum menatapku dan mata kita bertemu. “Maukah kamu jadi pacarku?” ungkapnya konyol. Aku tidak percaya. Bagiku, ini terlalu cepat. “Pacar Abi? Maya sih ma….ma…”
Brak! Suara gebrakan pintu. “Maya, kamu baik-baik saja sayang? Aduh, mama bener-bener khawatir sama kamu, sayang. Dipanggil berkali-kali nggak ada sahutan, bikin mama cemas.” Mama menyelipkan poniku kebelakang telinga kemudian memelukku. “Ma,” lirihku pelan, berharap mama bisa mengembalikanku ke alam yang ternyata hanya mimpi. “Oh iya sayang, ini ada Alia sama temen-temen kamu.” “Suruh masuk aja, Ma.” Jawabku malas. Aku memaksakan senyum pada Alia. O o.. apa ini masih di dunia mimpi? “Cubit gue, Al!” Alia merasa heran, tak lama kemudian mencubit lenganku. “Aww!” Aku mengerang kesakitan.
“Lo kenapa sih, May?” kali ini dia menepuk lenganku pelan kemudian meletakkan telapak tangan kanannya diatas dahiku. “Lo masih demam May, yaudah lo istirahat aja kita mau pulang. Oh iya May, sebelumnya gue mau nyampein ke lo perihal anak baru yang mau bergabung di organisasi kita.” “Oh ya? Mana orangnya? Dia? Dia bukan sih? Itu Abi kan?” aku memberondong Alia dengan pertanyaan konyol. Perasaanku masih terbawa mimpi. “Abi? Abi siapa sih? Ngelantur nih anak. Dia Supeno. Anak baru yang mendapat beasiswa di sekolah kita. Dia dari Jawa Timur lho, bahasanya asyik banget.” Alia cekikikan. Si anak baru itu cengar-cengir di sampingnya. “Su…Su..peno? Supeno?” “Iya, Supeno. Panggilan bekennya Eno. Hahaha, biar keliatan gaul lah. Coba deh, lo amati dia dengan seksama. Penampilannya nggak norak sih tapi lucu. Iya nggak?”
Alia meraih kacamata di atas naskan itu dan memberikannya padaku. Dan… Oh my god! Iya bener. Penampilan khas anak Jawa Timuran banget dengan blangkon batik yang senada dengan baju adatnya. Lumayan modis sih, tapi jauh dari prasangka gue, bahwa Abi yang mirip Lee Min Ho dalam mimpi itu telah diganti dengan Eno yang menurut gue kampungan banget. Harusnya mama nggak usah bangunin Maya aja tadi, tunggu sampai Maya bener-bener bisa jadian sama Abi.
“Mbak?” sapa si Supeno, Eno atau entah apalah. Dia mengulurkan tangannya untuk bersalaman. “Manggilnya Maya aja nggak pake mbak. Oke?” tegasku, membalas ulur tangannya dengan malas. Aku masih agak dongkol. Tapi, setidaknya masih punya hati sama Supeno yang udah jauh-jauh dari Jawa Timur ke Jakarta buat nyari ilmu. Rasanya konyol aja belum sempet pacaran, tapi udah patah hati. Dan Abi? Aku terkekeh mengingatnya. Alia menatapku aneh. Kuabaikan saja dia untuk sementara waktu dan aku kembali menarik selimut, melanjutkan tidur. Kali ini dengan merapal banyak do’a yang diajarkan guru TPQ ku waktu kecil agar mimpi buruk tak kembali hadir merusak moodku.
Setiap pagi, harapan itu selalu hadir. Harapan dimana aku ingin mewujudkan mimpiku untuk menjadi seorang translator salah satu tempat wisata di Korea. Bagiku, hal ini bukanlah suatu yang berlebihan. Semua akan berawal dari sana. Dari aktor, aktris, drama, hobi, hingga impian yang kuyakini akan menjadi nyata dalam 10 tahun ke depan.
Cerpen Karangan: Rista Dwi Anggraini Blog / Facebook: Rista Dwi Anggraini
Cerpen ini dimoderasi oleh Moderator N Cerpenmu pada 19 Agustus 2021 dan dipublikasikan di situs Cerpenmu.com