Gara-gara Rumah Anti Sombong dan Rumah Anti Tak Sombong Mereka Berpisah
Tini terbengong-bengong, rumah yang diceritakan sang pacar sebagai rumah mewah benar-benar hanya sebuah gubuk berdinding anyaman bambu,yang lapuk termakan cuaca sehingga berlubang di sana-sini. Sampah plastik mulai dari kertas pembungkus makanan, kaleng-kaleng minuman,makanan-makanan basi... menggunung di sudut halaman menebarkan bau busuk di sekitar rumah bahkan dari luar tembok pembatas bau busuknya amat menyengat hidung.Telapak tangan Tini refleks menutup indera penciumannya. Dan membalikkan badan seksinya, berlari meninggalkan tempat itu tanpa sepatah katapun keluar dari bibirnya yang dipoles merah menyala.
Sang pacar bergegas, mengejar Tini. Hak sepatu setinggi 5 cm memperlambat gerakan kakinya. Dan patah! Sang pacar membantunya berdiri. Tapi Tini menepis tangannya.
"Kamu kenapa, Tini?" Tini manyun. Cuma begitu saja ternyata kekasih yang selalu dibanggakannya di hadapan teman-teman sosialitanya.
"Ayo, kubantu sayang, kubantu berdiri!" Sang pacar meraih tangan Tini. Kali ini Tini tak menahan bobot tubuhnya sehingga dengan mudah sang pacar menariknya.
"Aku ingin kita putus!, "seru Tini tiba-tiba.
"Ada apa? Kok tiba-tiba ingin putus?" Tini menyentakkan tangan sang pacar yang akan merengkuh bahunya.
"Kita tak selevel. Gembel sepertimu tak pantas bersamaku!" Tini meludah di depan pacarnya yang sejam yang lalu dipuja-pujanya sebagai laki-laki ideal, kaya raya dan dari keluarga terhormat.
Sang pacar tercekat. Hatinya serasa diremas-remas. Ia tak faham akan wanita, bagaimana bisa Tini berkesimpulan dirinya seorang gembel padahal kemarin sore Tini dihadiahinya tas seharga 50 juta? Apa uang 50 juta itu dikiranya daun? Padahal tiap saat dia membeli barang-barang mewah menggunakan kartu kredit pemberian sang pacar yang isinya tak main-main?
"Apa?"
"Lihat tuh rumahmu! Masih berani kau dekat-dekat denganku?" Tini mendorong sang pacar sekuat tenaga.
"Owh jadi gara-gara rumah?" Sang pacar menarik tangan Tini dengan kasar. Tini berusaha bertahan tapi tarikan sang pacar sangat kuat sehingga terpaksa ia melangkah mengikuti langkah sang pacar.
Sang pacar membawanya mendekati pintu rumah yang terbuka. Saat mereka masuk ia melepaskan tangan Tini dengan kasih, "Sekarang lihat, lihat baik-baik!" Seru sang pacar gusar.
"Aku hanya tak ingin dianggap sombong jadi rumah ini kudesain seperti ini. Itu sudah kujelaskan padamu jauh- jauh hari. Tapi kau rupanya budek. Kau hanya menilai tampak luar. Jadi saat kau lihat bagian luar rumahku bak gubuk derita, kau berpaling." Napas sang pacar kembang kempis menahan sesak di dadanya.
Tini terpana,bagian dalam rumah yang dikiranya gubuk gembel itu benar-benar memukau. Semua perabot terlihat lux, berkilau dan tentu saja mahal. Lantai dari granit. Di bagian atap yang belum berplafon disangga oleh beton-beton melintang.... Tini melongo. Ia tak mampu berkata-kata.
"Ini sih istana." Tini bergumam, terpesona. Sejenak ia tak ingat ada sang pacar memandang benci padanya.
Saat ia sadar, secepat kilat Tini meraih kedua tangan sang pacar. Ia menciumnya berkali-kali. Lalu membujuk dengan suaranya yang dilembut-lembutkan. Entah kemana terbangnya suara ketusnya tadi.
"Mas maafkan aku, tadi itu aku hanya bercanda. Aku tak ingin putus darimu, Mas."
Sang pacar tak bergeming. Ia hanya memandang lurus ke depan. Tak peduli pada Tini yang kini berlutut dan memandang padanya dengan wajahnya yang memelas. Wajah ini yang membuatnya jatuh cinta pada Tini kali pertama mereka bertemu di depan gerbang sebuah rumah mewah. Menurut Tini, itulah rumah orang tuanya.
"Mas, kita bisa mulai kembali dari nol, "rayu Tini yang justru membuat sang pacar bertambah muak.
"Mas.. bicara lah. Aku mencintaimu." Tini merayu tak putus asa. Kali ini setetes air bening mengalir dari matanya yang sendu.
"Pergilah! "Sang pacar melepas paksa tangan tangan Tini dari tangannya.
Dia bergegas menuju mobilnya. Ia menjalankan mobilnya seperti orang linglung dengan dada sesak.
Tini berteriak-teriak, tangannya menggapai-gapai udara. Tapi sang pacar sudah tak mendengar. Ia menangis meraung-raung, menyesal. Tapi semua sudah tak berguna. Tini patah hati.
*********
Tini yang patah hati kini akan mencari pasangan yang kaya dan kayanya itu benar-benar tampak nyata. Ia tak mau lagi berurusan dengan laki-laki macam pacarnya dulu, rumahnya didesain seperti gubuk tapi dalamnya istana.
Pada suatu pagi yang cerah, Tini mengunjungi seorang teman sekolahnya dulu di kantor tempat sang teman bekerja.
Sepulang dari kantor temannya itu matanya melihat seorang laki-laki, berumur 50 tahunan ke atas menghampiri satu mobil yang terparkir tak jauh dari tempatnya berdiri. Wajahnya tidak mengecewakan. Laki-laki itu juga terlihat bersih dan terawat. Pakaian yang dikenakannya bagus dan rapi.
"Dia pasti kaya raya, "Tini bermonolog lirih setelah melihat mobil yang didekati sang laki-laki adalah mobil mewah keluaran terbaru.
Ia berjalan cepat-cepat. Dan menabrakkan tubuhnya pada laki-laki itu.
"Aduh, "teriak Tini. Dia terjatuh.
"Oh maaf, maaf Mbak ujar si lelaki sopan lalu membantu Tini berdiri.
" Aduh! Aww!" Tini merintih. Ia berdiri sambil mengaduh.
Sang laki-laki menawarkan diri untuk mengantar Tini pulang. Tini setuju saja karena ia ingin sang laki-laki melihat "rumahnya".Sang laki-laki akan cepat menerimanya jika ia orang kaya juga.
Sang laki-laki tiba-tiba berhenti di tengah perjalanan mereka.
"Mbak tunggu sebentar ya? Ada berkas kantor yang ingin kuambil, " kata sang laki-laki.
Tini tersenyum dan menjawab, "Iya, gak apa-apa."
Di seberang itu rumahku, "tunjuk sang laki-laki. Tini mengikuti arah telunjuk sang laki-laki. Dia hanya mampu melihat pagar rumah yang tinggi menjulang.Seorang satpam di depan gerbang tergopoh-gopoh membuka pintu dan mempersilahkan tuannya masuk.
Tini bingung, mengapa sang laki-laki memarkir kendaraannya di seberang tidak di dalam gerbang?
Singkat cerita Tini menjadi akrab dengan sang laki-laki yang kemudian berkembang menjadi pasangan kekasih. Tini telah diajak beberapa kali ke rumah sang laki-laki, yang setelah menjadi kekasihnya ia panggil mas Joko. Tapi herannya tak sekalipun ia diajak masuk ke bagian ruang tamu apalagi melihat-lihat kamar atau bagian dapur. Ia hanya diterima di teras. Teras yang estetik tentunya. Saat melihat halamannya? Woow sangat luas, dengan bunga-bunga yang terawat dan kolam ikan.
"Tentu ruangan di dalam lebih elit lagi, "Tini membathin. Ia lalu merengek agar mereka bisa mengobrol di ruang tamu tapi selalu ditolak olah sang laki-laki.
"Nanti setelah kamu resmi menjadi istriku sayang, "jawab mas Joko tegas.
Tini cemberut. Ia lalu merencanakan sesuatu. "Mas Joko, jangan kira aku bodoh, " protes Tini dalam hatinya.
Keesokan harinya, sekitar jam 10 pagi Tini memesan grabcar. Dalam mobil yang membawanya Tini terus tersenyum gembira. Tiga puluh menit kemudian mereka sampai. Tini memencet bel, sang satpam segera membuka pintu gerbang untuknya.
"Pagi Neng, "sapa pak Satpam ramah. Ia telah mengenal Tini sebagai kekasih sang bos, karena itu segera membuka pintu gerbang karena dilihatnya Tini di depan.
"Mas Joko memintaku menunggu di sini, kami akan keluar bersama." Tini menjelaskan pak Satpam karena dilihatnya pemuda itu agak bingung dengan kedatangannya tanpa sang bos.
"Oh ya, silahkan Mbak." Pak Satpam membungkuk hormat.
Tini melenggang menuju bangunan rumah utama. Dia tak mau berlama-lama. Segera diketuknya pintu rumah. Tak ada bel dipasang di situ. Setelah beberapa kali diketuk, terdengar sahutan dari dalam rumah.
"Siapa?"
Tini menarik napas lega. "Akhirnya rasa penasaranku akan terjawab. Sebentar lagi. Aku tahu pasti lebih mewah dari luarnya. Ohhh... Tini bermonolog.
"Aku Mbok. Tini." Tini menjawab lantang.
"Tunggu sebentar."
Tini mondar-mandir di depan pintu. Ia tak sabar untuk melihat keindahan yang telah diangan-angankannya beberapa bulan.
Terdengar kunci diputar. Pintu terbuka. Sebelum kalimat si Mbok selesai dia sudah menerobos masuk. Matanya kini disuguhi oleh pemandangan dalam rumah yang membuatnya shock. Betapa tidak, diisi oleh tiga buah kursi kayu tak berplitur, berdebu dan kusam. Tak ada lagi furnitur di situ. Di atas kursi diletakkan beberapa kantong kresek berisi pakaian. Entah kotor atau tidak Tini tak sempat melihat. Melihat lantai semen yang pecah di sana-sini, dinding yang kusam tak pernah berganti cat membuat Tini berlari keluar menuju jalan raya dan segera memesan taksi.
Dalam taksi ia memblokir kontak mas Joko dan semua akun media sosialnya.
"Aku benar-benar sial." Gerutu Tini. Ia kembali menitikkan air mata.