Fokus, Jungkook! Ada apa dengan dirimu? Kenapa aktingmu sangat kacau?"+
Jungkook mengusap wajahnya kasar. Ini adalah peringatan yang kesekian kalinya karena ia kurang fokus. Semua dialog yang biasanya bisa ia ucapkan dengan mulus, kali ini ia merasa ada sekat yang menghadang kerongkongannya sehingga ia sulit bernapas dan berbicara.
Jungkook menghempaskan tubuhnya ke kursi dan menghela napas lelah. Akhir-akhir ini ia merasa lebih cepat lelah, dan itu bukan dirinya yang sangat bersemangat dalam bekerja. Ia adalah pekerja keras yang begitu konsisten dengan waktu, ia juga sangat profesional sehingga banyak menerima tawaran bermain film ataupun mengisi acara talkshow.
"Masih memikirkan dia?" Jungkook membuka matanya saat seseorang sudah duduk di depannya dan menyodorkan minuman isotonik.
Tanpa menjawab, Jungkook segera mengambil dan meminumnya untuk sekedar membasahi tenggorokan.
Jungkook tersenyum kecut. Hanya karena satu nama sudah membuat hidupnya yang teratur menjadi berantakan.
"Jangan terlalu di pikirkan, Kook. Kau tahu? Semua yang kau lakukan sangat kacau semenjak satu minggu yang lalu," ucap Jimin yang merupakan manager Jungkook.
"Lantas apa yang harus ku lakukan?" tanya Jungkook dengan frustasi.
"Hiduplah seperti dulu. Jangan sampai kamu kehilangan jati dirimu. Kau tak lihat? Semua orang membutuhkanmu, banyak yang menunggu kehadiran seorang Jeon Jungkook. Sudah banyak acara yang aku cancel gara-gara semua ini," terang Jimin mencoba untuk memberikan pengertian kepada Jungkook.
Satu minggu yang lalu tepatnya pada tanggal 31 Desember, adalah hari penuh duka bagi seorang Jeon Jungkook. Kekasihnya, Naira yang sedang dalam perjalanan pulang ke Indonesia menjadi korban kecelakaan pesawat dan sampai saat ini ia tak ada kabar tentang keberadaannya.1
Jungkook sangat berharap Naira selamat dan bisa menemuinya. Ia sangat berharap tahun ini bukanlah tahun terburuknya. Ia masih belum sanggup jika harus kehilangan Naira. Jungkook masih punya janji yang belum sempat ia tepati.
Kabar ini juga sempat membuat publik heboh. Pasalnya, Naira dan Jungkook terkenal sebagai pasangan yang romantis. Jarang terlibat cekcok dan tak ada kabar miring tentang hubungan mereka. Di tahun lalu, mereka menyandang gelar couple goals. Banyak yang ikut menangis dan mendoakan untuk keselamatan Naira. Mereka sangat berharap, pasangan itu bisa bersatu kembali.
Selama lima hari setelah kejadiam itu, Jungkook seolah tenggelam dalam kesedihan. Jimin kalang kabut mendata ulang semua jadwal Jungkook. Banyak yang ia cancel karena Jungkook benar-benar tidak mau datang. Sehari-hari yang ia lakukan hanya berdiam diri di kamar dengan laptop yang terus menyala, mencari perkembangan berita tentang kekasihnya.
Barulah di hari keenam ia mau mengikuti saran Jimin untuk sekedar keluar rumah menjernihkan pikirannya, dan hari ini ia memutuskan untuk melanjutkan kegiatan syutingnya.
"Berharap Naira masih selamat itu tidak salah, tetapi kau juga harus siap menerima kemungkinan terburuk yang akan terjadi."
Suara Jimin membuat Jungkook tersadar dari lamunannya. Semua yang diucapkan oleh Jimin benar, tetapi ia masih tidak sanggup. Apalagi jika ia teringat dengan tawa manis milik Naira. Rasanya, Jungkook tak akan sanggup membayangkan jika ia kehilangan Naira.
"Entahlah Jim, aku tidak tahu," ucap Jungkook lirih.
Jimin memandang Jungkook prihatin. Selain sebagai manager dan artis, Jimin serta Jungkook adalah sepasang sahabat sejak SMA. Mereka sudah sangat dekat bagaikan saudara, dan Jimin adalah saksi hidup Jungkook yang sangat menyayangi Naira melebihi hidupnya sendiri.
CERITA BERSAMBUNG DI BAWAH INI
Tak heran jika Jungkook begitu terpukul mendengar kabar tersebut. Bukannya Jimin tega, tetapi jika mereka terus membatalkan acara yang sudah disepakati, Jungkook bisa dituntut karena merugikan banyak pihak.
"Aku mau pulang!" ucap Jungkook lalu meninggalkan Jimin yang bahkan belum sempat menyampaikan keberatannya.
"Eh, Kook, ta--tapi ...."
Jimin hanya mampu menghela napas lelah saat Jungkook sudah melaju dengan mobil porsche hitam miliknya.
"Alamat kena semprot lagi," keluh Jimin lalu bersiap untuk menghadap produser.
****
Sinar matahari yang mengintip malu-malu dari balik gorden membuat mata Jungkook silau. Perlahan, ia mendudukkan dirinya, matanya menoleh ke arah jam dinding yang menunjukkan pukul delapan tepat. Jungkook langsung mencari ponselnya dan menghubungi nomor yang sudah ia hafal di luar kepala.
Nomor yang Anda tuju sedang tidak aktif atau berada di luar jangkauan.
Jungkook mengerutkan keningnya saat nomor yang ditujunya tidak aktif.
Tidak biasanya nomor Naira tidak aktif sepagi ini,Jungkook membatin.
Sekali lagi, ia mencoba menghubungi Naira tetapi jawaban operator tetap sama. Jungkook terdiam sejenak berpikir, hingga ia ingat jika Naira tidak diketahui kabarnya. Naira-nya menjadi korban pesawat jatuh.
"Where are you, Nai? I'm very need you," bisik Jungkook lirih. Tatapannya semakin meredup saat melihat foto kebersamaan mereka yang sengaja ia pajang di nakas samping tempat tidurnya. Di foto itu, mereka begitu bahagia dengan tawa. Foto itu diambil saat mereka tengah berlibur bersama di Bali, dengan latar pantai Kuta tepat saat sunset tiba.
Jungkook menekan dadanya saat sesak itu kembali datang. Ia sangat rindu dengan kebersamaan mereka. Ia rindu dengan tawa milik Naira. Ia rindu semua hal tentang Naira. Tanpa sadar, satu tetes air mata jatuh di pipi Jungkook. Rindu yang ia rasakan benar-benar tidak bisa ia tahan lagi, semua pikirannya penuh dengan Naira hingga ia tak mau memikirkan hal lain lagi.
Drrtttt
Getar ponsel membuat Jungkook segera menghapus air matanya. Tertera nama Jimin, hal itu membuat Jungkook ragu ingin mengangkat atau tidak. Hanya ada dua kemungkinan jika Jimin telfon. Jika bukan karena pekerjaan, pasti Jimin akan menanyakan keadaannya.
Setelah menimbang-nimbang, akhirnya Jungkook memilih untuk mengangkat telfon dari Jimin.
"Ada apa?" tanya Jungkook malas. Ia sudah menyiapkan seribu satu alasan jika Jimin memaksanya untuk datang ke acara lagi.
"Kau di mana?"
Jungkook mengerutkan keningnya saat suara Jimin terdengar cemas dan suara di tempat Jimin sangat ramai. Bahkan ada suara ambulan yang sempat didengar Jungkook.
"Di rumah, kenapa?" tanya Jungkook was-was. Ia sangat berharap Jimin membawa kabar baik.
"Barusan ada polisi yang menghubungiku, katanya mereka sudah menemukan Naira dan sekarang aku lagi ada di rumah sakit untuk memastikannya."
Jungkook terkesiap, darahnya berdesir dan jantungnya berdetak sangat kencang. Harapannya melambung sangat tinggi.
"Aku akan ke situ," ucap Jungkook lalu memutuskan telfon secara sepihak.
Dengan gerakan kilat, Jungkook mandi dan bersiap. Dalam waktu sepuluh menit saja Jungkook sudah siap di dalam mobilnya.
Lalu lintas di kota Surabaya tidak pernah lepas dari kemacetan, hal itu juga yang membuat Jungkook menggeram kesal, lantaran ia sudah terjebak macet selama lima menit dan mobilnya tidak bisa berjalan sedikitpun.8
CERITA BERSAMBUNG DI BAWAH INI
Berkali-kali Jungkook menekan klakson berharap mobil di depannya segera berjalan tetapi yang ia dapat hanya umpatan. Jungkook tidak peduli, yang ia pedulikan kini hanya Naira. Ia harus memastikan Naira selamat.
Jungkook menghela napas lega saat polisi lalu lintas berhasil mengurai kemacetan yang terjadi. Jungkook segera menginjak pedal gasnya dan segera melaju ke rumah sakit Dr. Soetomo, dimana para korban pesawat yang jatuh langsung ditangani di rumah sakit ini.
Jungkook sempat kebingungan mencari keberadaan Jimin di antara kerumunan orang-orang yang merupakan keluarga korban. Ia sudah tidak sabar untuk mengetahui kabar Naira.
Puk!
Tepukan di bahunya membuat Jungkook berjengit kaget. Tampak Jimin beserta Ayah dan Ibu Naira sudah berdiri di belakangnya.
"Bagaimana, Jim? Bagaimana kabar Naira?" sambut Jungkook dengan pertanyaan beruntun.
Jimin menghela napas lalu mengajak Jungkook untuk duduk di sebuah kursi tunggu yang ada di koridor. Ayah dan Ibu Naira juga ikut duduk dan memilih bungkam saat Jungkook menatap mereka meminta penjelasan.
"Bagaiman, Jim?" tanya Jungkook tak sabaran.
"Sabar, Kook! Helikopter yang membawa Naira belum sampai di sini. Kita tunggu saja!"
Jungkook menghela napas gusar. Penjelasan Jimin semakin membuat perasaannya gelisah. Perutnya melilit sakit dan kepalanya seperti dihantam dengan batu.
Jika ada hal yang sangat dibenci oleh Jungkook adalah menunggu. Apalagi ini menyangkut nyawa orang terkasihnya. Seperti diombang-ambing gelombang. Cemas dan gelisah.
Semua yang ada di situ tak ada yang membuka suara. Semuanya tenggelam dalam gelisah yang mendebarkan. Ayah dan Ibu Naira memejamkan mata berdoa untuk keselamatan anaknya. Bahkan sesekali Ibu Naira terisak yang langsung di tenangkan oleh suaminya.
Jungkook merasa semakin tidak kuat, keringat dingin mulai mengalir di pelipisnya, bahkan tangannya sudah basah. Dada sesak dan jantung yang berdebar kencang membuatnya kesulitan bernapas.
Jimin yang melihat kondisi pemuda itu segera tanggap. Ia menegakkan tubuh Jungkook yang menunduk lalu di sandarkan ke tembok.
"Bernapas, Kook!" perintah Jimin.
"Jungkook kenapa?" tanya Ayah Naira.
Ibu Naira juga ikut melihat ke arah Jungkook yang tersengal-sengal. Wajahnya pucat pasi dengan keringat dingin yang terus mengalir.
"Suster!" panggil Jimin kepada seorang suster yang kebetulan lewat.
Untung saja suster itu cepat tanggap saat melihat keadaan Jungkook. Ia segera berlari mengambil brankar.
Setelah brankar sampai di depan mereka, Jimin serta Ayah Naira segera mengangkat Jungkook yang sudah kehilangan kesadaran.
Jimin mendampingi Jungkook hingga pemuda itu masuk ke ruang UGD. Jimin menunggu di luar, tak lama kemudian Ayah dan Ibu Naira menyusul.
"Sebenarnya apa yang terjadi dengan Jungkook?" tanya Ayah Naira karena tadi Jimin tidak menjawab.
"Asmanya kambuh, mungkin Jungkook terlalu khawatir dengan Naira," jelas Jimin.
"Ya Tuhan, kenapa semua ini terjadi?" ucap Ibu Naira sambil menangis tersedu-sedu. Putrinya belum ada kabar, entah hidup atau sudah meninggal. Sementara sang kekasih juga harus masuk UGD karena asmanya yang kambuh.
***
Sepuluh menit menunggu dalam ketidakpastian, akhirnya dokter yang menangani Jungkook keluar.
Bagaiamana, Dok?" tanya Jimin begitu dokter membuka maskernya.+
"Keadaanya sudah stabil, tinggal menunggu pasien sadar."
Ucapan dokter itu membuat semuanya menghela napas lega, kini mereka tinggal menunggu kepastian nasib Naira.
Tak lama kemudian, terdengar suara ambulan dan riuh dari para perawat yang berlari kesana-kemari.
Sebuah brankar di dorong dengan cepat ke arah ruang ICU, Ibu Naira yang sempat melihat baju yang dikenakan korban, seketika teringat jika itu adalah baju milik Naira.
"Pa, itu Naira!" pekik Ibu Naira sambil berlari menyusul brankar yang kini sudah masuk ke dalam ruang ICU.
"Mohon maaf, Bu. Ibu sebaiknya menunggu di luar saja," cegah seorang perawat saat Ibu Naira memaksa untuk masuk.
"Tapi itu anak saya, Sus!"
"Kami tahu, Bu. Akan kami usahakan yang terbaik."
"Tolong selamatkan anak saya, Sus!" pinta Ibu Naira dengan terbata.
Suster itu mengangguk lalu menutup pintu ICU. Ibu Naira hampir saja jatuh jika tidak segera di topang oleh suaminya, Kini wanita paruh baya itu menangis tersedu di dada suaminya. Ayah Naira juga meneteskan air mata, tapi sebisa mungkin ia menahan agar tidak sampai menangis terisak. Ia harus menguatkan istrinya.
Jimin memandang pintu UGD dengan gamang, sekarang dua orang yang saling menyayangi itu sama-sama terbaring tak berdaya di rumah sakit. Bohong jika Jimin tidak sedih, Naira adalah salah satu alasannya menjadi manager Jungkook. Dengan memastikan Naira selalu bahagia meski itu tidak dengannya, Jimin merasa cukup.
Kebahagiaan Naira ada di dalam diri Jungkook, dan Jimin menyadari, posisi Jungkook tak akan pernah tergantikan sedikitpun di hati Naira. Begitu pula dengan posisi Naira di hati Jungkook. Benar-benar pasangan yang serasi.
Jimin perlahan masuk ke dalam ruang UGD. Tampak Jungkook terbaring dengan selang infus dan juga selang oksigen di hidungnya. Nafasnya teratur dan tenang seolah sedang tertidur pulas.
Pemuda bermata sipit itu tak mendekat, hanya memandang Jungkook dari dekat pintu, ada perasaan sakit setiap melihat pemuda itu. Ia teringat bagaimana Naira begitu mengidolakan seorang Jungkook.
Jimin tersenyum miris lalu berbisik lirih, "Naira udah datang, bangunlah! Bahagiakan Naira untukku!"
Jungkook tetap terdiam membisu. Jimin pun memilih untuk keluar sekaligus menunggu kabar Naira yang sedang ditangani oleh dokter.
****
Pintu ICU terbuka bersamaan dengan pintu UGD yang dibuka Jungkook dari dalam. Pemuda itu sudah melepas infus sekaligus selang oksigennya meski kondisinya masih lemas. Jimin refleks menghampiri Jungkook.
"Bagaimana Naira?" tanya Jungkook langsung.
Jimin menggeleng lalu menoleh ke arah ruang ICU yang terletak tidak terlalu jauh dari ruang UGD. Di sana tampak dokter sedang berbicara dengan orang tua Naira.
Tanpa menghiraukan Jimin, Jungkook segera berlari ke tempat orang tua Naira berada.
"Bagaiamana keadaan Naira, Tan?" tanya Jungkook langsung.
Ibu Naira hanya menggeleng tanpa sanggup menjawab. Ia terisak hebat. Perasaan Jungkook semakin tidak menentu saat melihat reaksi orang tua Naira.
"Om, apa yang terjadi dengan Naira?" Kini Jungkook ganti bertanya kepada Ayah Naira.
"Kondisinya kritis ... ada benturan yang terjadi hingga merusak hatinya. Naira masih bertahan selama seminggu itu sebuah keajaiban. Sekarang, kita memerlukan donor hati untuk menyelamatkan Naira." Ayah Naira menjelaskan dengan pelan karena harus menahan tangisnya. Ia tidak mau sang istri semakin kalut melihatnya menangis.
CERITA BERSAMBUNG DI BAWAH INI
Jungkook merasa bumi yang dipijaknya hancur, ia jatuh terduduk dengan air mata yang mulai berjatuhan. Ia tak sanggup membayangkan rasa sakit yang dialami Naira. Ia tak sanggup.
Jimin yang menyaksikan itu semua hanya mampu menyembunyikan air matanya. Ia masih dibutuhkan Jungkook sebagai seorang sahabat yang menguatkan. Ia tak boleh ikut lemah dengan menangis.
"Kita pasti bisa dapetin donor hati itu," ucap Jimin menenangkan Jungkook.
"Tante, ambil hati saya untuk di donorkan kepada Naira," ucap Jungkook tiba-tiba yang mengagetkan semua orang.
"Apa yang kau katakan?" sentak Jimin. Ia tak akan pernah mengijinkan Jungkook melakukan hal gila tersebut.
"Jangan, Nak! Naira sangat mencintaimu, ia akan hancur kalau tahu kamu berkorban untuknya," cegah Ayah Naira.
"Tapi saya juga hancur menyaksikan Naira seperti ini, Om! Saya nggak bisa menyaksikan Naira menanggung rasa sakit sendirian." Jungkook kembali tertunduk, isakannya semakin keras membuat Jimin tanpa sadar meneteskan air matanya.
"Jangan lakukan hal bodoh, Kook! Banyak orang yang membutuhkan kehadiranmu!" Jimin berucap sedikit emosi.
Jungkook tertunduk tak kuasa lagi menjawab. Suasana diliputi dengan tangis yang menyedihkan. Mereka harus mencari donor hati untuk menyelamatkan Naira, dan Jungkook bertekad akan mendapatkannya. Demi Naira!
****
Hari demi hari berlalu tapi tak ada satupun kabar yang menggembirakan. Jungkook tak juga menemukan pendonor yang cocok untuk Naira, sementara kondisi gadis itu semakin melemah.
Jungkook mengacak rambutnya frustasi. Kemana lagi ia harus mencari donor hati? Sementara seluruh rumah sakit di pulau Jawa sudah ia hubungi satu persatu. Semua kegiatannya juga menjadi kacau, bahkan ia harus mengganti kerugian beberapa stasiun televisi karena membatalkan kesepakatan.
Jungkook merasa putus asa, satu-satunya jalan ia harus berkorban. Ia rela mendonorkan hatinya demi Naira. Agar gadis itu bisa hidup bahagia meski tak bersamanya. Setelah memantapkan keputusan, Jungkook pun berangkat ke rumah sakit.6
***
"Mohon maaf, Pak! Tetapi kita sudah mendapatkan donor hatinya."
Ucapan dokter itu membuat Jungkook terkesiap.
"Yang benar, Dok?" tanya Jungkook dengan binar bahagia yang tak bisa disembunyikan.
Dokter itu mengangguk dengan senyum tipisnya.
"Siapa yang menjadi pendonornya, Dok?" tanya Jungkook penasaran. Ia ingin bertemu dengan orang baik hati yang rela mendonorkan hatinya untuk Naira.
"Sayang sekali, Pak. Pendonor itu meminta pihak kami untuk merahasiakan identitasnya," ucap sang dokter.3
"Tapi saya hanya ingin mengucapkan terimakasih, Dok!"
"Mohon maaf, Pak! Saya tidak bisa memberitahu Bapak."
Meski Jungkook tidak puas karena ia tidak tahu siapa pendonornya, tetapi ia juga bahagia, karena sebentar lagi Naira pasti akan sembuh.
"Kalau begitu, saya permisi, Dok!" pamit Jungkook lalu keluar dari ruangan dokter.
Jungkook yang tak bisa menyembunyikan kebahagiaannya langsung menghubungi Ayah Naira. Ucapan syukur langsung dipanjatkan Ayah Naira saat mendengar kabar menggembirakan ini. Bahkan Ayah Naira langsung datang ke rumah sakit.
Jungkook lalu menghubungi Jimin, mengabarkan kepada sahabatnya itu kabar bahagia.
Dering ponsel yang terdengar tidak jauh darinya membuat Jungkook menoleh ke kanan dan kiri. Tampak Jimin tengah berdiri di hadapannya dengan posisi menghadap keluar rumah sakit hingga tidak menyadari kehadiran Jungkook di belakangnya.
CERITA BERSAMBUNG DI BAWAH INI
"Halo!" Jimin menyapa tetapi Jungkook langsung menghampiri dan memeluk sahabatnya itu dengan erat.
Jimin yang tidak siap hampir saja terjungkal jika ia tidak menyeimbangkan tubuhnya.
"Hei, ada apa ini?" tanya Jimin dengan heran. Ekspresi Jungkook terlihat sangat bahagia.
"Kau tahu ....?"
"Tidak."
Belum selesai Jungkook berbicara, Jimin sudah memotongnya membuat pemuda itu gemas dan memukul pundak Jimin.
"Aku belum selesai bicara, bodoh!" ucap Jungkook dengan kesal.
Jimin terkekeh, ia cukup senang karena Jungkook sudah bisa bangkit lagi.
"Ada orang yang mau mendonorkan hatinya buat Naira dan sebentar lagi Naira pasti sadar," ucap Jungkook dengan mata berbinar.
Jimin tersenyum bahagia. Keselamatan Naira baginya adalah yang utama, dan berita yang dibawa Jungkook seolah angin segar ditengah musim kemarau.
"Oh ya? Siapa?" tanya Jimin penasaran.
Jungkook menggeleng lesu. "Itu dia, pendonor itu merahasiakan identitasnya."
"Sudahlah, tak apa! Yang terpenting kita sudah mendapatkan donor hati itu dan Naira bisa segera operasi."
Jungkook mengangguk menyetujui ucapan Jimin. Siapapun yang mendonorkan hatinya untuk Naira, Jungkook akan sangat berterimakasih.
"Dengar, Kookie! Segeralah bangkit dari kesedihanmu. Banyak orang di luar sana yang selalu menunggumu, ada fansmu yang masih setia mendukungmu. Jangan kecewakan mereka! Berikan yang terbaik dan jadilah artis yang profesional. Aku akan mendoakan yang terbaik untuk sahabatku, semoga nanti kau bisa bahagia bersama Naira sampai maut memisahkan kalian!" Jimin menepuk pundak Jungkook dua kali untuk memberikan semangat.
Jungkook sedikit tertegun dengan kalimat Jimin, ia merasa ada yang aneh dan mendadak firasatnya tidak enak, seolah ini adalah pesan terakhir dari sahabatnya itu.1
"Ayo kita ke ruangan Naira, aku ingin menjenguknya!" ajak Jimin lalu melenggang pergi meninggalkan Jungkook yang masih bingung dengan maksut ucapan Jimin.5
Jimin memandang Naira dalam diam. Ia cukup mengamati wajah manis gadis itu dan merekamnya dalam ingatan. Senyum, tawa dan berbagai ekspresi dari Naira selalu membuat Jimin gemas. Ia ingin mencubit pipi Naira, tapi ia tak punya hak untuk itu. Apalagi ada Jungkook yang sedang menggenggam tangan Naira dengan erat.
"Bangunlah Nai, apa kamu nggak capek tidur terus?" ucap Jungkook lembut sambil mengusap kelapa Naira pelan.
Jimin memalingkan wajahnya melihat pemandangan di depannya, ia sudah terbiasa melihat, tetapi tetap saja ada rasa sakit yang menusuk saat melihat kemesraan sahabatnya sendiri dengan orang yang ia cintai.10
"I need you baby, wake up!" bisik Jungkook yang masih mampu didengar oleh Jimin. Ia juga melihat Jungkook mengecup kening Naira dengan lembut. Ia bisa melihat seberapa besar cinta Jungkook untuk Naira.
Cukup sudah. Jimin tidak kuat lagi melihat semua perlakuan romantis dari sahabatnya untuk Naira.
"Kook, ada beberapa hal yang harus aku selesaikan, aku pulang dulu!" pamit Jimin kepada Jungkook yang menatap heran.
"Kenapa terburu-buru?"
"Kau lupa? Beberapa acara talkshow kau batalkan begitu saja? Tentu saja aku harus mengurus itu semua jika kau tidak mau masuk penjara," ucap Jimin sedikit ketus karena tingkah Jungkook yang selalu membuatnya kerepotan.
"Aku lupa, sorry!" Jungkook meringis menyadari kesalahannya. Tapi ia juga tak punya pilihan lain. Naira lebih penting dari apapun.
"Sudahlah! Aku tau Naira pasti lebih penting bagimu!" Jimin menepuk pundak Jungkook dua kali sebelum keluar dari ruangan Naira.
CERITA BERSAMBUNG DI BAWAH INI
****
Hari yang ditunggu-tunggu akhirnya tiba. Jungkook sudah stay di rumah sakit sedari pagi, bersama orang tua Naira. Mereka menunggu jalannya operasi dengan was-was. Doa tak henti terus terucap demi keselamatan Naira.
Operasi berjalan selama lima jam, selama itu pula Jungkook terus gelisah. Ia berjalan kesana-kemari untuk mengurangi rasa cemasnya, tapi itu tak berefek apapun. Ia tetap diliputi rasa cemas dan tegang. Jantungnya berdebar-debar sangat kencang, tetapi ia terus berusaha agar tidak lost control sehingga ia bisa melihat kondisi Naira begitu operasi selesai.
Klik!
Mendengar pintu terbuka, orang tua Naira dan Jungkook serentak berdiri dan menghampiri sang dokter.
"Bagaiamana, Dok?" tanya Ayah Naira tak sabar. Jungkook hanya diam dan menyimak apa yang akan diucapkan oleh dokter.
"Operasi berjalan lancar, dan kondisi pasien sudah stabil. Mungkin besok sudah sadar."
Jungkook menghembuskan napas panjang, karena tanpa sadar ia menahan napasnya saat dokter memberikan penjelasan. Ia sangat lega, seolah semua beban yang selama ini menggelayuti pundaknya hilang seketika. Begitu pula dengan orang tua Naira, tangis haru tak bisa lagi ditahan, bahkan Ayah Naira sudah meneteskan air matanya mendengar putrinya selamat. Ini adalah keajaiban dari Yang Maha Kuasa.
Perhatian Jungkook teralih saat ia melihat sebuah brankar di dorong dan seseorang berbaring dengan kain putih yang menutup seluruh tubuhnya. Jungkook mendekat dan ingin membuka kain itu tetapi ditahan oleh suster.
"Mohon maaf, kami tidak diijinkan untuk membongkar identitas pendonor."
Jungkook akhirnya mundur dan membiarkan brankar itu melewatinya. Entah mengapa, ia seperti sangat mengenal orang yang berada di balik kain itu. Ia merasa sesak dan kehilangan saat menatap tubuh yang sudah terbujur kaku di brankar yang didorong oleh suster tadi.
"Apa yang terjadi? Sebenarnya siapa pendonor itu?" bisik Jungkook kepada dirinya sendiri.
"Nak, kau mau melihat Naira?" tanya Ayah Naira yang tiba-tiba sudah berdiri di sampingnya.
"Saya setelah Om dan Tante saja," ucap Jungkook sopan.
"Kami sudah selesai, kalau kamu mau melihat, masuklah!"
Jungkook mengangguk lalu menerima pakaian steril untuk masuk ke ruangan Naira. Baru saja Jungkook melangkah masuk, bau obat-obatan sudah menyengat hidung meski menggunakan masker. Suara monitor dan elektrokardiogram seolah menyambut setiap langkah Jungkook yang semakin mendekat ke tempat Naira.
Pemuda itu menatap kekasihnya miris, berbagai kabel dan selang penyangga hidupnya terpasang. Kedua tangannya bahkan tertancap selang infus, belum lagi selang untuk transfusi darah. Membayangkan kesakitan Naira, Jungkook merasa gagal melindungi orang yang disayanginya.
Perlahan, Jungkook mengusap kepala Naira dan membisikkan kalimat penenang, "I'm here baby, wake up for me! I believe you not leave me, I need you!"
Setelah puas memandangi Naira, Jungkook memilih untuk keluar dan membiarkan Naira beristirahat dengan tenang.
****
Kabar Naira sudah siuman mampu membuat seorang Jungkook bagaikan orang gila. Tak henti ia terus tersenyum sambil memandang lekat wajah pucat Naira. Selang oksigen sudah dilepas sehingga gadis itu bisa bernapas tanpa bantuan. Ia juga sudah dipindahkan ke ruang rawat biasa.
"Kenapa kamu lihatin aku kaya gitu?" tanya Naira lemah.
"Aku bahagia kamu bisa bangun lagi. Aku takut kamu ninggalin aku, Nai!" Jungkook mengusap pipi Naira dengan lembut. Naira yang menerima perlakuan lembut Jungkook tak kuasa menahan senyumnya.
CERITA BERSAMBUNG DI BAWAH INI
"Aku baik-baik aja sekarang, kamu nggak usah khawatir."
"Janji sama aku?"
"Janji apa?"
"Janji jangan kaya gini lagi, aku takut kamu beneran pergi."
"Ini takdir, Kookie! Aku nggak bisa janji selalu baik-baik aja, tapi aku akan berusaha untuk baik-baik saja, biar kamu nggak khawatir," ucap Naira disertai senyum manisnya. Ia memejamkan matanya saat Jungkook mengecup keningnya dengan lembut.
"Permisi!"
Jungkook dan Naira serentak menoleh ke asal suara.
"Ada titipan dari saudara pendonor, beliau meminta untuk menyerahkan kepada Anda."
Jungkook menerima sepucuk surat itu dengan heran, begitupula Naira.
"Terimakasih, Dok!" ucap Jungkook lalu dokter itu pergi keluar ruangan.
"Apa itu?" tanya Naira heran.
Jungkook mengedikkan bahunya lalu membuka amplop surat. Saat itu juga Jungkook meneteskan air matanya meski ia belum membaca isi surat. Tulisan ini, adalah tulisan tangan yang sangat ia kenali.
****
Gundukan tanah merah itu masih basah, bunga-bunga yang bertaburan pun masih terlihat segar. Jungkook tertunduk di samping pusara yang masih baru itu. Tangannya perlahan mengusap batu nisan yang bertuliskan nama orang yang disayanginya.
Ahn Jimin
Lahir : 01 Januari 1994
Wafat : 15 Januari 20191
Jungkook sama sekali tidak mengira jika sahabatnya rela berkorban menjadi pendonor hati untuk Naira. Pantas saja ucapannya begitu aneh, seperti pesan sebuah salam perpisahan, jika saja ia tahu seperti ini, ia pasti lebih memilih untuk mengorbankan dirinya.
"Kenapa, Jim? Kenapa kamu lakuin semua ini? Dasar bodoh! Kamu nggak mau melihatku menikah, heh? Apa sakit hatimu terlalu dalam hingga kau tak mau menjadi saksi di pernikahanku?"
Jungkook mengusap air matanya kasar. Baginya, Jimin lebih dari sekedar manager dan sahabat, ia sudah seperti keluarga. Pantas saja beberapa hari setelah Naira operasi, ia tak melihat Jimin dimana pun, bahkan nomornya tidak bisa dihubungi. Jungkook merasa tak berguna dan menjadi sahabat yang jahat, karena tak menghiraukan keabsenan Jimin yang biasanya selalu ada untuknya.
"Istirahat yang tenang, brother! Aku pastikan pengorbananmu tidak akan sia-sia," bisik Jungkook sebelum pergi meninggalkan makam Jimin.
***
Untuk sahabatku dan artisku yang menyebalkan, Jeon Jungkook.
Mungkin kau akan terkejut saat menerima surat ini. Maaf, karena aku menyembunyikannya darimu. Aku sangat berterimakasih kepadamu yang mau menjadi sahabatku. Masih ingat dulu, saat itu kita masih SMA, kau begitu populer dan aku yang selalu dibully. Kau dengan segala kelebihanmu mau berteman denganku yang cupu. Saat itu aku bertekad, untuk selalu membantumu dalam hal apapun. Saat kedua orang tuaku meninggal, kau juga yang selalu memotivasiku untuk bangkit. Kau sudah kuanggap seperti adikku sendiri, maka dari itu berbahagialah mulai saat ini.
Oh ya! Aku mau memberitahumu satu rahasiaku. Tapi kumohon jangan marah! Dulu aku pernah bilang menyukai seseorang bukan? Orang itu selalu ada di dekat kita. Ya, dia adalah Naira. Aku tahu kau pasti terkejut, aku mencintai Naira semenjak kita SMA, tapi aku tahu Naira mencintaimu dan kau pun mencintainya. Bohong jika aku bilang tidak sakit hati, tetapi aku juga tidak mau merusak kebahagiaan yang baru saja kalian jalin. Aku memilih mengalah dan mencintai Naira dalam diam.
Untuk Naira yang mungkin saja sekarang sedang membaca surat ini, aku hanya ingin bilang terimakasih. Terimakasih sudah membuatku merasakan cinta. Tolong jaga Jungkook, dia pria yang ceroboh dan menyebalkan. Dia selalu membuatku kerepotan. Kau pasti tahu itu kan? Hehehehe....
Sekarang tugasku sudah selesai, berbahagialah kalian, aku titip hatiku.
Satu lagi, segeralah menikah, dan berikan aku ponakan yang lucu-lucu. Maaf tidak bisa menjadi saksi di pernikahan kalian.
Sahabatmu
Ahn Jimin
*****
Yeeyyyy TAMATTT
Akhirnya saya lega juga bisa bikin cerpen. Untuk ukuran manusia pengkhayal yang imajinasinya tinggi, bikin cerpen itu susah. Karena pas niat mau bikin cerpen malah jadinya Novel, bersambung mulu lama-lama jadi panjang 😂😂