Hidup, tapi mati. Mungkin seperti itulah aku di mata orang-orang. Ada, tapi seperti tak ada. Mungkin seperti itulah aku di dunia mereka. Mereka semua. Mereka yang mengenalku. Aku, hanya manusia yang tak layak mendapatkan apapun, maupun memberikan apapun. Entah itu dari orang lain, maupun untuk orang lain, sama saja bagiku. Entah untuk apa pula aku masih ada di sini, menjalani rutinitas yang sama sekali aku pun tak mengerti untuk apa kulakukan. Seperti orang gila saja. Tidak!! Bahkan aku lebih gila dibanding mereka yang disebut orang gila. Semua kosong. Semua hampa.
Sudah tiga kali pergantian tahun, namun aku masih tetap di sini, di tempat yang sama. Sudah lebih dari yang kesekian kalinya kedua kakiku melangkah ke tempat ini, Universitas Imam Bonjol. Tempat aku menghabiskan hari-hariku sejak tiga tahun lalu hingga sekarang. Namun semua tetap sama. Hampa. Ah, hanya saja aku tertarik berkutat dengan semua aktivitas ini. Berada di sekeliling buku dan kamus-kamus tebal ber-aksara kan huruf-huruf Jepang, aku cukup nyaman. Hanya itu. Selebihnya, nothing and empty.
“Oooii!! Setengah dewa! Bisakah kau mengajariku cara menghafal kanji-kanji ini dengan cepat? Kau kan teman sekelasku. Bagaimana? Bisakah?” Salah satu dari hal nothing memohon pada ku. “Ya” Jawabku singkat.
Mereka menjulukiku “Si manusia setengah dewa kampus”. Sudah tiga tahun gelar itu kusandang di tempat ini. Hingga sekarang pun masih sama. Siapa yang pertama kali menjulukiku sebutan itu, ataupun apa alasan mereka memberikan sebutan itu, bahkan sudah tak kuingat lagi. Bagiku, hal itu sangat tak penting untuk diingat. Termasuk untuk menggubris panggilan yang sudah mereka lekatkan kepadaku. Karena bagiku, semua nothing. Tak ada satupun yang memanggilku dengan namaku Wulan. Mereka hanya menganggapku, manusia setengah dewa.
Sejenak aku cukup tertawa dengan lucunya hidup di dunia ini. Ada orang yang hanya mendekati kita ketika ada perlu. Ada orang yang tak melihat kita saat dia merasa tak butuh. Ada orang yang ingin bahagia tapi tak ingin merepotkan dirinya sendiri. Ada orang yang sangat kita butuhkan tapi sedikitpun tak mampu mengulurkan tangan. Beragam. Bukan manusia jika tak ada yang seperti itu. Aku pun sama. Karena itulah aku cukup tertawa sendiri.
Tersadar dari lamunan dan tawaku sendiri, tak ingat sudah jam berapa. Segeralah kutujukan pandangan mataku ke arah ponselku untuk melihat waktu. Waktu di ponselku menunjukkan pukul 10:00 WIB. Sudah seharusnya perkuliahan dimulai pada jam itu. Namun sedikit berbeda. Tanda-tanda kemunculan dosen tak terlihat. Hingga pukul 10:20, salah satu dari mereka berdiri di depan kelas.
“Hari ini kuliah kita dibatalkan. Dosen kita sedang ada rapat pemilihan dekan. Sebagai gantinya, kita diberikan tugas oleh dosen untuk membuat laporan berkelompok. Satu kelompok dua orang. Dan pembagian kelompoknya terserah kita. Tugas dikumpul seminggu lagi.”
Bergegas aku meninggalkan kelas dan menuju perpustakaan. Yang lainnya, masih saja sibuk di dalam kelas mepeributkan akan sekelompok dengan siapa. Namun aku tidak. Tak peduli dengan siapapun aku sekelompok, semua tetap saja sama bagiku. Tak ada bedanya.
Hiruk pikuk kelas masih terdengar oleh gendang telingaku, meskipun aku telah meninggalkan kelas. Sayup-sayup di tengah hiruk pikuk itu, terdengar seperti seseorang memanggil namaku. “Wulaaaannn..”
Tak mungkin, pikirku. Jika memang ada yang memanggilku, pasti dengan julukkan “Manusia setengah dewa” bukanlah namaku. Mungkin saja aku salah dengar. Maka aku meneruskan langkahku. Namun, semakin langkahku jauh dari kelas, suara sayup-sayup itu semakin kencang dan tak mungkin aku salah dengar untuk yang kedua kalinya. Hingga aku memutuskan untuk menghentikan langkah dan menoleh ke belakang. Ya, memang ada yang memanggilku. Seorang lelaki berperawakan sedang berbaju hitam dan berkalungkan earphone yang sedang memanggilku.
“Wulan. Sejak tadi aku memanggilmu dan mengejarmu. Tapi untunglah kau berhenti.” Sapa lelaki tersebut dengan ramah. “Ada apa? Kau siapa? Dari mana tahu namaku?” Tanyaku heran. “Benarkah kau tak tahu aku?” “Tidak. Cepat saja jawab pertanyaanku dan katakan apa maumu. Aku tak punya banyak waktu. Dan, mengenai namaku..” “Apa yang salah dari memanggil namamu? Aku tak ingin seperti mereka yang memanggilmu dengan julukkan semacam itu. Kau punya nama. Namamu cukup indah. Wulan. Arti dari namamu bidadari kan? Salah kah aku memanggil namamu?” Lelaki itu memotong kalimatku. “Ah, tidak. Maksudku, semua orang disini tak ada yang memanggilku dengan namaku. Aku cukup terkejut saja dengan hal itu. Lalu kau siapa? Mengapa menemuiku?” “Jadi kau benar-benar tak tahu aku? Astagfirullah lan, aku sudah tiga tahun sekelas denganmu dan kau tak mengenali aku? Aku Ilham, teman sekelasmu sejak pertama kita masuk kuliah.” “Oh. Lalu untuk apa memanggilku?” “Aku ingin sekelompok denganmu. Bolehkah? Aku mengajakmu sekelompok bukan karena kau adalah manusia setengah dewa. Tapi karena aku tertarik dengan orang sepertimu.” “Baiklah, kita sekelompok. Adakah hal lain yang ingin kau tanyakan lagi?” “Bisakah aku ikut denganmu? Sebagai teman kelompok kita harus dekat.” “Tidak perlu. Bagiku dekat dengan siapapun tak ada gunanya sedikitpun.” Aku langsung melangkah pergi. “Baiklah, jika kau tak peduli dengan perkataanku silahkan. Aku pun juga tak akan peduli dengan perkataanmu. Jadi meskipun kau katakan tidak perlu, tapi bagiku kau perlu dekat denganku.” “Kenapa kau keras kepala?” Aku mulai kesal. “Karena kau keras kepala lah maka aku pun keras kepala” “Terserahlah”
Langkah kaki kupercepat. Dengan perasaan setengah tak suka, untuk pertama kalinya aku berjalan bersama seseorang di kampus. Sejenak hening, baik aku maupun lelaki itu sama-sama bergeming dalam sunyi. Aku hening karena ada sesuatu yang mengganjal dalam benakku. Aneh saja. Hanya lelaki itu yang menggunakan namaku untuk menyebutku diantara yang lain menjulukiku “Si manusia setengah dewa”. Aku berpikir bahwa dia aneh. Namun aku juga yakin bahwa dia juga berpikir bahwa aku pun aneh. Sangat tak percaya ekspresinya ketika aku bertanya siapa dia yang jelas-jelas adalah teman sekelasku sejak tiga tahun lalu.
Keheningan itu seketika pecah saat ia memulai mengajakku berbicara kembali. “Wulan, bolehkah aku bertanya?” “Apa?” “Menurutmu, apa arti hidup ini bagimu? Apa semua selain dirimu adalah nothing? Hingga kau pun tak mengenali lingkunganmu sendiri termasuk aku?” “Ya. Semua nothing. Termasuk aku. Arti hidup bagiku? Arti hidup bagiku adalah kosong.” “Seperti itukah? Hmm, arti hidup bagiku sendiri adalah kenikmatan yang tak pernah merasakan kekosongan, dan sebuah ketentraman jiwa.” Perkataannya tenang. “Maksudmu? Memang masih adakah kenikmatan dan ketentraman jiwa di dunia yang penuh kemunafikkan seperti ini?” Aku bertanya heran. “Menurutku masih. Kenikmatan bahwa aku masih bisa bernafas. Ketentraman jiwa ketika nikmat itu masih bisa kusadari. Dan, yang terpenting Allah lah yang memberiku semua itu. Bagiku hidup tanpa Allah, aku hanyalah nothing.” “Begitukah?”
“Wulan, kau boleh saja membenci semua di dunia ini. Tapi hanya satu, jangan pernah melupakan Allah di sisimu. Maaf jika aku terkesan ikut campur atau sok mengajarimu. Namun menurutku, hidupmu yang kau sebut hampa, kosong, dan semua yang kau sebut nothing itu adalah karena kau sedang lupa dengan Allah. Percayalah, arti hidupmu tak akan kosong jika kau dekat dengan-Nya. Hidupmu tak akan terasa hampa jika kau percaya akan ketetapan-Nya. Aku tak tahu betul apa masalahmu, hanya saja dengan masalah itu, Allah tak akan membiarkanmu terluka. Dia hanya ingin kau belajar dari itu semua. Kuatlah. Berbaik sangkalah pada-Nya. Jika kau ingin berharap, berharaplah selebih-lebih yang kau mau kepada-Nya. Pengharapan itu lebih besar nilainya dibanding pengharapan kepada sesama manusia. Sekecewa dan seluka apapun kau kepada sesuatu, maka berdoalah kepada-Nya, pasrahkanlah semua perasaanmu. Seberapa besar bahagiamu di suatu hari, seberapa dalam hal yang hatimu rasakan, berdoalah kepada-Nya. Pasrahkanlah semuanya hanya kepada-Nya. Itu jauh lebih baik dari tindakkanmu yang sedang kau lakukan itu.”
Aku hanya terdiam dan membenamkan wajah dalam tundukkan. Ilham benar. Aku telah salah langkah. Bahkan jauh dari Sang Pencipta. Pantas saja kedamaian tak kutemukan. Bodoh sekali aku yang telah buta karena terluka. Sejak aku mengerti rasa sakit, sejak itu pula semua terasa hampa. Aku terluka, karena semua menganggapku nothing. Aku terluka, karena semua yang kulakukan di mata siapapun selalu salah. Aku terluka, karena tak ada yang bisa menyayangiku dengan tulus tanpa harus meninggalkanku ketika aku sudah menjadi tak penting. Aku terluka, karena bahkan keluarga dan semua teman-temanku yang kukenal seperti itu. Dan aku terluka, karena pernah mencintai tapi akhirnya aku dibenci dan dijauhi karena cinta yang sama sekali bukan mauku. Aku terluka, karena pernah dianugerahi rasa cinta namun rasa cinta itu pula yang menjauhkanku dari seseorang yang pernah kucintai di masa lalu. Aku terluka akan semua itu. Hingga prinsip hidupku semua adalah nothing seperti sekarang.
Tangisku pecah. Hatiku seperti ditikam pisau tajam. Perkataan Ilham sangat benar dan sangat menusukku. Perkataannya hanya kubalas dengan tangisan.
“Apa kau baik-baik saja? Tenangkanlah hatimu. Tak ada satupun orang yang tak peduli dengan kau di dunia ini. Sekurang-kurangnya kau punya seseorang yang sangat menyayangimu, memahamimu, dan sangat mempedulikanmu. Jadi janganlah merasa kau sendiri. Mungkin kau hanya belum menemukannya. Sekarang, tersenyumlah.” “Aku benar-benar tak tahu harus mengatakan apa. Tapi sungguh, terima kasih karena telah menyadarkan dan mengingatkanku. Kau benar.” Kataku tersenyum sembari menyeka air mata.
“Oke, sepertinya kau sangat membutuhkan es krim sekarang. Maukah kubelikan?” Menunjuk kedai es krim kampus. “Tidak, tidak perlu. Aku tak ingin merepotkanmu.” “Ayolah. Anggap saja ini tanda pertemanan kita. Lagipula ini hanya es krim.” Berjalan menuju kedai es krim. “Tidak usah. Terimakasih.” “Semakin kau keras kepala untuk menolak, semakin keras kepala pula aku untuk mengajakmu.” “Ya sudahlah, baiklah. Besok uangmu akan kuganti.” “Tak usah diganti. Niatku membelikan, bukan meminjamkan.” “Tapi aku ingin, sebagai tanda terimakasih.” “Tak akan kuterima.” “Niatku berterima kasih, bukan mengganti.” “Cukuplah berterima kasih dengan kata-kata.” “Kau sungguh keras kepala.” Gumamku kesal. “Karena kau keras kepala maka aku pun keras kepala.” “Baiklah, aku doakan saja semua yang terbaik untukmu sebagai tanda terimakasihku” “Oke. Doa itu lebih baik. Aku juga berdoa semoga apa yang kau inginkan dan apa harapan-harapanmu untuk menuju baik dikabulkan oleh Allah.” “Aamiin. Sekali lagi, terimakasih Ilham.” “Sama-sama. Maukah kau mendengar laguku sambil menunggu es krim?” “Baiklah.”
Only my shadow knows How i feel about you Only my shadow goes Where i dream of you and me Should i go or wait Is it too soon too late Only my shadow knows
“Ternyata suaramu bagus sekali. Dan kau menyanyikannya dengan hati. Apakah itu untuk seseorang yang spesial?” “Iya. Untuk seseorang yang selalu kusebut dengan bidadari.” “Aku yakin bidadarimu itu sangat beruntung karena dicintai orang sepertimu.” “Iya. Tapi, seperti lagu itu. Tak ada yang tahu. Hanya bayangku yang tahu. Ah, sudahlah. Itu es krim kita sudah siap. Ayo dimakan.” Tiba-tiba Ilham mengalihkan pembicaraan.
Aneh. Pikirku. Hanya dengan beberapa kata-kata hati ku benar-benar tersentuh dibuatnya. Pikiranku benar-benar terbuka hanya dengan mendengar perkataannya. Mungkin Allah mengirimkan dia sebagai perantara untukku menyadari kesalahanku. Aku benar-benar bersyukur karena masih bisa diberi kesempatan untuk mendekatkan diriku kepada-Nya.
Sejak perkataan Ilham menyadarkanku akan arti kehidupan, aku menjalani kehidupanku yang penuh kenikmatan tanpa kekosongan, dan mendapatkan ketentraman jiwa dengan percaya pada ketetapan-Nya. Aku mulai mencoba membuka diri kepada yang lain. Mulai mencoba peduli dengan lingkungan sekitar. Mencoba berdamai dengan masalah-masalahku di masa lalu. Benar kata Ilham, hidupku tak akan hampa jika aku dekat dengan Allah.
Lelaki yang selalu mengalungkan earphone di kedua telinganya itu telah benar-benar membuka pandanganku yang sempit. Lelaki yang ternyata bersuara emas itu telah menuntunku secara tidak langsung untuk menuju baik. Lelaki yang sering memakai baju identik hitam itu selalu menyemangatiku dalam saat-saat terpurukku. Hingga aku mengagumi semua sifat maupun sikapnya dan aku menyukainya. Bukan. Lebih tepatnya mencintai. Aku mencintainya. Tapi hanya aku dan Allah yang tahu. Lagi-lagi seperti kata Ilham, bahwa seberapa dalam hal yang hatimu rasakan, maka berdoalah kepada-Nya, dan pasrahkanlah semua perasaanmu pada-Nya. Maka aku menyimpan perasaan ini rapat-rapat, berdoa agar aku di suatu hari bisa menjadi seseorang yang pantas untuknya. Memasrahkan hatiku bahwa ketetapan-Nya adalah sesuatu yang indah, meskipun Ilham bukanlah ketetapan-Nya untukku nanti. Menuju untuk menjadi lebih baik dari yang terbaik agar aku bisa mendapatkan yang terbaik seperti Ilham. Menjaga hati dan cintaku hanya untuknya. Seseorang yang namanya selalu kusebut dalam setiap doa-doaku.
Cerpen Karangan: Febri Yuliana Putri Blog / Facebook: Febri Yuliana Putri