Sore itu, di tepi pantai pada hamparan pasir. Yang kulakukan hanya duduk menatap lepas lautan tanpa batas, sejauh mata memandang. Ini adalah hal favorit yang selalu kulakukan untuk mencari kedamaian. Rasanya ketika kusaksikan debur ombak yang beradu dengan karang, seperti meredam setiap gemuruh dalam dada. Sejenak menghempas masalah yang menjadi beban.
Menikmati senja adalah alasan yang kuciptakan. Meski sebenarnya, jika hanya menikmati langit jingga bisa kulakukan dimana saja selama awan mendung tak menggelapkan. Namun seperti yang dikatakan banyak orang, menyaksikan matahari tenggelam kembali ke peraduannya di tepi pantai adalah hal indah yang sempurna. Aku menatap langit di ujung barat seperti penikmat senja lainnya. Untuk sepersekian detik, tanpa sengaja terputar satu memori dalam ingatan yang sudah mati-matian aku berusaha lupakan. Kupejamkan mata untuk menyadarkan diri, namun malah lebih terlarut didalamnya, menyelam jauh mengenang masa itu.
Rasanya tak karuan, mengingat seharusnya aku sudah tak lagi membutuhkan dirinya. Namun satu bagian dalam hatiku yang sudah lama ku biarkan kosong, selalu menuntut untuk mengenang. Suatu kegiatan yang membawaku pada perasaan menyebalkan, melarung dalam rindu. Dan tenggelam didalamnya.
“Sean? Lagi?” Amy menghampiri, aku hanya tersenyum simpul. “Aku nggak bisa, dia masih pada posisinya sebagai yang teristimewa.” Ucapku frustasi. Amy tak banyak menimpali, dia mengerti. Sementara mata ini terasa berat, menahan beban yang sedari tadi mendesak ingin tertumpahkan. Rindu ini, tak bisa cukup habis hanya dengan kuceritakan pada Amy. Sulit rasanya hidup sebagai gadis yang patah hati. Kupejamkan mata, lagi-lagi dia dan sudut auranya berdimensi, menjelma dalam ilusi.
“All alone I hear you talk bout him, like he’s the only boy you ever meet.” Amy memecah keheningan, “sedalam itukah?” lanjutnya. “like he’s the only boy I ever love, tepatnya hahahah..” aku menertawai perkataanku sendiri.
Dua tahun lalu, dia menyajikan sebuah perkenalan dengan cara yang aku suka. Entah racun apa yang dibubuhkan didalamnya, gadis beku sepertiku menjadi hangat ketika dengannya. Atau aku tersihir dengan mantra apa, sehingga menikmati setiap pembicaraan dengannya. I fell for every words he say.
‘Waktu berlalu. Bergulir mengukir kenangan dan menghapus kesedihan. Hari-hari berikutnya masih sama, perbedaan hanya pada hatiku yang semakin kuat mengurung namamu disana.. dan kala senja meremang disela-sela langit, segalanya serasa hitam putih hanya kamu dan sudut auramu yang berdimensi. Segalanya serasa hening, hanya suaramu yang bergeming. Seperti sebuah melodi indah rinduku menyatu dengan senja. Tak ada gurat kehampaan yang ditampakkannya. Senja seakan larut dengan rinduku. Saat itulah, aku yakin aku aman dihatimu.’
Mengalir begitu saja, setiap kalimat bernada sajak yang kusampaikan melalui tulisan dalam pesan untuk Sean. Bukan bualan semata untuk membuat manis keadaan dengan maksud mencari perhatian. Namun semuanya seakan menerjemahkan setiap rasa dalam dada, yang bahkan tak semuanya dapat tersampaikan.
Aku pun tak paham dengan perasaanku, karena seharusnya aku tak berurusan dengan hal semacam ini dalam kadar yang gila. Aku terlalu berlebihan dalam mencintai dirinya, seperti tak memberi kemungkinan akan adanya hati lain yang kan kusinggahi setelahnya.
Senja berikutnya, kembali kunikmati di tepi pantai. Aku melarung bersamanya, menikmati setiap hampa dan membiarkan rindu mencucuk jiwa. Hingga malam menjelang aku masih disana. Masih meruntuki hati yang enggan beranjak dari satu kisah yang sudah dibuat luluh lanta oleh tuannya. Senja berlalu, aku didekap gelap dan menikmatinya
Dering telepon membuyarkan lamunan, sederet nomor di layar ponsel tak kukenal. Aku menjawab panggilan itu dengan ragu. “Hey.. Fika, apa kabar?” seseorang diseberang sana yang kukenal baik nada suaranya. Jantungku berdegup tak karuan, sementara tanganku mulai lembap berkeringat. Lama sekali tak kudengar suara itu. “Sean..” desisku lemah, nyaris tak terdengar. “Ya, aku.. kamu apa kabar?” dia mengulang pertanyaan. Aku tak menjawab. Tak mungkin kukatakan aku baik saja saat harus berbincang dengannya dalam keadaan seperti ini. “Aku mendengar seperti ombak, kamu di pantai?” tanyanya lagi. “Yea, hanya melepas penat..” aku berusaha menormalkan nada suara agar tak terdengar gugup. Hening menyertai karena aku tak balik bertanya. Aku memang merindukannya, tapi tak berharap untuk bercengkrama.
“Sebenarnya aku ingin bercerita, dan memintamu memberi solusi..” tuturnya. “Aku ingat sejak dulu kamu selalu memberi saran yang tepat dan masuk akal.” Lanjutnya. “Akhir-akhir ini aku dengan Aubrey cukup kacau.” Dia menambahkan. “Benarkah? Sebenarnya, aku bisa saja mendengarkan ceritamu dan menyarankan sesuatu, Sean. Tapi mengingat siapa diriku saat ini..” aku sedikit tercekat sesak, “rasanya aku tak punya andil untuk ikut campur pada masalahmu dengan Aubrey.” Aku menghindari percakapan lebih panjang. Air mataku membumbung di pelupuk mata, entah untuk apa. Entah untuk apa aku masih meneteskan air mata untuk dirinya. “Aku sadar sudah sejahat apa aku terhadapmu, Fik. Tidakkah kamu memaafkan aku?” “Ini tidak ada hubungannya dengan masa lalu, Sean. Aku sudah memaafkan siapapun.” “Seandainya kamu tau, Fik, begitu mencintai seseorang itu sangat sakit berbeda rasanya dengan ketika aku merasa begitu dicintai olehmu.” Terangnya, membuat aku semakin larut melarung dengan senja kali ini. “Oh ya? Aku tidak tau. Aku tidak bisa mengobrol dengamu lebih lama, Sean, sudah hampir malam, aku harus pulang dan menutup telponmu.” Tanpa menunggu persetujuan aku memutuskan telrpon dengan Sean.
Aku masih tak beranjak pulang, masih di sana, di tepi pantai, di hadapan lautan, merasai luka. Sudah tak kuasa lagi menahan bendungan air mata. Meratapi setiap usahaku melupakannya yang selalu gagal hanya karena obrolan semacam itu, bahkan tak bertatap muka.
The way he talk, the way he say my name.. that something I can’t ever forget. Apalagi jika seandainya kulihat senyum itu. Teduh mendamaikan, seperti jingga di ujung senja.
Namun kali ini, tidak lagi. Sudah cukup waktu satu tahunku kuhabiskan untuk meratapi kisah antara aku dengannya. Jika Sean seumpama senja, sekarang aku hanya perlu mencintai waktu lain. Seperti malam, meski gelap nan pekat, jauh diatas sana selalu ada sinar bintang menghiasi, seumpama harapan.
Cerpen Karangan: Dewi Lestari Blog: www.dewilestarii.tk