Hari ini aku memutuskan untuk pulang. Lima tahun adalah waktu yang cukup buatku untuk meraih semua apa yang menjadi impianku. Ada gejolak rindu yang kian memuncak kala bayangan masa kecil dan remajaku mulai menari-nari, satu persatu wajah mereka seakan menyapa. Diantara sekian orang terdekatku, terlintas paras cantik milik Alya, perempuan yang kukenal saat duduk di bangku SMA itu memang kerap hadir di dalam ingatanku, seiring berjalannya waktu, ditambah kesibukanku dalam menuntut ilmu, sejarah tentang Alya seakan tenggelam, padahal sebelumnya saat kami lulus dari bangku sekolah, aku pernah berjanji padanya akan selalu memberi kabar, baik lewat telepon, email, ataupun surat melalui pos, tetapi itu semua dapat kulakukan sebulan setelah aku menginjakkan kaki di kota Yogya, tepatnya setelah aku diterima di perguruan tinggi negeri di kota ini, tahun-tahun berikutnya, aku mulai melupakan Alya bersamaan dengan pemahaman agamaku soal batas-batas pacaran dalam Islam.
Kala itu, aku jatuh cinta untuk pandangan pertama, Alya adalah cinta pertamaku, aku sangat mengangguminya sebagai perempuan yang istimewa. Ia cantik, pintar, ramah, bersahaja, dan yang paling prinsip dalam hidupku, ia berhijab. Saat aku menyatakan cinta, Alya memberikanku waktu selama satu bulan untuk menjawabnya, cukup sabar aku menanti jawaban dari Alya, hingga akhirnya Alya memberikan keputusan, tanpa kuduga Alya pun jatuh cinta kepadaku. Berdasarkan cerita darinya, ia diam-diam kagum padaku yang saat itu menjabat sebagai ketua Rohis, kata Alya, aku sosok yang bijaksana dan tegas dalam bersikap, ditambah predikat juara kelas membuat Alya semakin kagum padaku, penuturan Alya saat itu membuatku terbang hingga ke langit tujuh, sanjungan Alya adalah anugerah terindah yang tidak akan pernah terlupakan sepanjang hidupku.
Kisah cintaku dan Alya seperti cerita anak-anak SMA pada umumnya, klasik dan biasa-biasa saja, namanya juga cinta monyet, bertemu di saat jam istirahat sekolah, selebihnya kami hanya berhubungan lewat telepon, aku tidak punya keberanian untuk mengajak Alya berkencan, selain tidak memiliki banyak uang untuk membawa Alya jalan atau sekedar makan di luar, aku juga segan dengan papa Alya yang merupakan seorang Jenderal berbintang tiga di Institusi Kepolisian. Alya merupakan anak seorang Jenderal, sementara aku, ayahku sudah tujuh tahun yang lalu meninggal dunia, dan ibu lah yang menjadi tulang punggung keluarga, aku sadar, cinta monyet ala SMA antara aku dan Alya ibarat pungguk merindukan bulan, tetapi karena Alya menerima cintaku, aku semakin percaya diri untuk mencoba berhubungan dekat dengannya. Di penghujung akhir tahun kami sekolah, aku dan Alya duduk di kantin sekolah untuk menikmati indahnya hari-hari kelulusan, kami berfoto selfie dan saling traktir makan minum dengan teman-teman satu angkatan.
“Aku memilih kuliah di sana, Al!” aku duduk di pojok kantin, sementara Alya memilih berdiri sambil sesekali menyapa teman-teman yang lain. Kantin Bu Endang menjadi saksi kisah cintaku dengan Alya, karena di tempat inilah untuk pertama kalinya aku mengungkapkan rasa cintaku kepadanya. “Ada banyak alasan kenapa akhirnya aku harus menerima keputusan ini” aku melanjutkan sambil menyeruput teh hangat yang telah disediakan Bu Endang. “Jalan kita masih teramat panjang, kamu masih muda, begitu halnya dengan aku. Pergilah, semoga apa yang menjadi keingananmu tercapai” Alya menatapku penuh harapan, aku pun membalas tatapan Alya dengan tanpa alasan, “Aku berjanji akan kembali, Al!” “Tidak usah diucapkan, cukup kamu simpan di dalam hatimu!” pesan Alya singkat.
Yogyakarta adalah pilihan Ibu untukku agar bisa melanjutkan sekolah ke jenjang berikutnya. Kata Ibu di sana aku akan tinggal dengan Pakde Yatno, Pakde Yatno sendiri adalah kakak tertua dari Ibuku, beliaulah satu-satunya keluarga Ibu yang berkecukupan, beliau pula yang akan menangung semua biaya kuliahku hingga lulus nanti. Sebagai anak sulung dari dua bersaudara, aku adalah panutan juga contoh untuk adikku, karena itulah, apapun yang menjadi pilihan Ibu, aku tidak pernah bisa menolaknya dengan tujuan suatu saat nanti, aku bisa menggapai semua harapan dan cita-citaku.
Masih di kantin Bu Endang, aku dan Alya saling terdiam, kami menikmati hembusan angin siang sembari menghabiskan waktu yang tersisa…
—
Di dalam bus antar kota Yogyakarta-Jakarta, lamunanku masih tertuju kepada Alya. Hati ini rasanya sudah tidak sabar ingin segera bertemu dengannya, aku ingin segera menepati apa yang sudah kuikrarkan kepadanya bahwa aku akan kembali untuknya. Lima tahun tanpa komunikasi semoga Alya bisa memahami bahwa pantang bagiku untuk pulang sebelum berhasil menyelesaikan studi S1 ku. Kubuka tas ransel hitam, kucari sebuah diari lama yang telah menjadi teman sehari-hariku selama tinggal di Yogyakarta, sebuah diari kusam semasa aku duduk di bangku sekolah, ada banyak cerita di sana, terlebih soal Alya. Aku membuka lembar demi lembar meski kertasnya sudah mulai kusam dan berdebu, kucari alamat dan nomor telepon rumah Alya, setelah kudapati, tanpa pikir panjang, aku segera memencet beberapa digit nomor, tidak lama nada sambung terdengar.
“Halo?” suara di seberang terasa begitu akrab di telingaku, waktu boleh berlalu, tapi masa lalu tak pernah bisa kulupakan, suara itu milik Alya. “Alya?” “Iya, dengan siapa ini?” “Aku Andra, Andra Prayoga. Besok jam sepuluh pagi temui aku di kantin sekolah SMA kita dulu” “Andra?” suara di seberang masih bertanya, tetapi aku sudah terlanjur menutup telepon selulerku. Entah kenapa, aku tidak berani berbicara banyak dengan Alya, mungkin karena aku gugup atau mungkin juga karena sejak duduk di bangku kuliah aku telah terbiasa tak pernah berbicara dengan perempuan lain, meskipun perempuan itu adalah teman satu kampusku. Hatiku terus berdebar setelah aku menutup handphone, debarannya tidak juga hilang seiring bayangan Alya yang terus menyelinap, kubiarkan ia menggerayangi lamunanku, hingga akhirnya aku terbuai dalam lautan mimpi sembari menanti bus berhenti hingga di tujuan akhirku, Jakarta.
—
Sabtu pagi yang cerah, beberapa anak sekolah tampak sibuk dengan kegiatan ekskul mereka, diantara mereka kudapati semangat yang gigih saat bermain basket di tengah-tengah lapangan, mereka mengingatkanku pada teman-temanku lima tahun yang lalu, senyum sumringah tersungging di bibirku, benar-benar kenangan yang indah saat bersekolah di sini.
Aku sudah berada di kantin sekolah setengah jam lebih cepat dari yang kujanjikan. Keringat dingin terus mengucur dari dahiku, rasa penasaran soal Alya berkecamuk dalam hati. Seperti apakah kini rupanya? Apakah Alya akan tetap menjadi sosok yang sederhana, ramah, dan masih santun seperti yang kukenal dulu? Apakah Alya masih mengenaliku sebagai sosok yang pernah mencintainya? Ribuan pertanyaan menggelayuti pikiranku.
Bu Endang, pemilik kantin sekolah memberikanku sepiring pisang goreng dan secangkir kopi hangat. Ia semakin terlihat tua, garis keriput mulai tampak di wajahnya, bu Endang tak pernah lupa denganku, ia selalu mengenaliku sebagai sosok Mas buku, karena kebiasaanku yang selalu membawa buku ke manapun, sekalipun sekedar menikmati jam istirahat di kantinnya.
“Mas buku ini semakin ganteng saja. Sudah bekerja?” tanya bu Endang membuka percakapan. “Baru lulus S1, bu, doakan saja biar saya cepat dapat kerja!” pintaku pada bu Endang, ia menepuk bahuku, dan segera mengaminkan apa yang menjadi harapan dan keinginanku.
Sudah pukul sebelas, hari semakin siang, sosok yang kunantikan belum juga menampakkan dirinya. Dalam keputusaasaan aku berniat untuk pulang ke rumah. Baru saja aku berdiri, seorang perempuan dengan postur tubuh tinggi semampai menghampiri, menggunakan celana jeans yang dipadu padankan dengan kaos lengan panjang motif bunga-bunga, ditambah syal dengan warna yang senada yaitu abu-abu yang ia lilitkan di lehernya, tampak pula kilauan rambut hitamnya yang dibiarkan tergurai, bibir tipisnya ia poles dengan sedikit lipstick tipis berwarna merah bata, aroma wewangian pun mulai tercium dari hidungku. Kuamati dengan seksama siapa gerangan sosok yang kini berhadapan denganku, perempuan itu tersenyum, di sampingnya berdiri tegap lelaki tampan dengan kacamata hitamnya, aku jadi teringat seorang penyanyi bersuara emas Raisa dan kekasihnya Hamish Daud, ya, mereka berdua mempunyai kemiripan, serupa tapi tak sama. Perempuan itu menyodorkan tangannya padaku, masih dengan dada yang terus berdegup kencang hingga menjadi irama yang tak beraturan, ditambah lagi tanganku yang mulai menggigil kedinginan, aku terpaksa menyambut uluran tangan perempuan itu karena tidak ingin membuatnya kecewa.
“Andra, apa kabarnya?” suara lembut itu memecah kesunyian. Kuamati dari atas sampai bawah seluruh anggota tubuhnya, karena aku takut salah menilai sosok yang kutunggu-tunggu kehadirannya. Ternyata paras cantik itu milik Alya, aku tidak salah, dia Alya, Alya Nadhira Paramitha. Ia masih sama seperti dulu, ramah, dan bersahaja, hanya saja ada yang berbeda dari penampilan Alya kini.
“Sudah lama ya tidak ada kabar?” lagi-lagi suara Alya membuka teka-teki di kepalaku, sementara aku masih saja tak bersuara karena debaran jantungku mengalahkan pita suaraku yang mendadak tercekat. Suasana sekolah semakin ramai, makin bertambah anak-anak yang berdatangan menjalankan kegiatan akhir pekan mereka. Kupalingkan pandanganku ke arah lapangan untuk mengalihkan tatapan Alya yang terus menyodorkan senyumannya. Aku mulai mengatur ritme jantungku, kubuat setenang mungkin, kuyakinkan kepada diriku bahwa yang ada di hadapanku adalah benar Alya. Sosok masa laluku saat di bangku SMA, anak seorang jenderal yang ramah dan bersahaja. Akhirnya aku memberanikan diri mengeluarkan kata demi kata, kuurungkan niatku untuk mengatakan bahwa aku kembali untuknya seperti ikrarku pada Alya beberapa tahun yang lalu di tempat ini. Aku sadar, penantian sebuah jawaban selama lima tahun silam tidak harus selalu berakhir dengan percintaan, aku mulai menerima kenyataan, bahwa antara aku dan Alya hanyalah sebatas kisah klasik cerita cinta anak sekolah.
Cerpen Karangan: Yatie Hasan AlBanna Blog: yatiehasan-albanna.blogspot.co.id Yatie Hasan AlBanna adalah nama pena dari Nurhayati. Lahir di Jakarta, 17 Februari 1982, saat ini berkerja sebagai Guru honorer di salah satu SMK di wilayah Jakarta Selatan. Alamat lengkap: Jl Masjid Darul Falah Gg Beceng Rt 005/10 no 68 Petukangan Utara Jakarta Selatan 12260