Secarik kertas sebuah invitation yang kugenggam saat ini, aku merasa geleng-geleng kepala sendiri. Sudah empat surat yang kuterima dan ini yang ke lima tapi aku tak pernah ingin menghadiri acara itu. Aku seperti manusia pada umumnya yang selalu menolak bernostalgia dengan masa lalu yang memahitkan, meski oti tak dominan tetapi akan terasa jika aku beradu mata dengan kedua orang yang membuatku hancur.
Ini bukan cinta. Tapi ini sebuah kesetiaan dalam bersahabat. Persahabatan yang sudah kami usung selama tiga tahun seketika babak belur ketika komitmen yang pernah terucap musnah. Sebuah komitmen itu bisa luluh lantak dengan suatu hal yang sulit kita hindari itu. Yang namanya cinta.
Seperti pada tahun-tahun sebelumnya kertas invitation ini aku letakkan di meja kecil samping laptop. Di sampingnya terdapat kertas yang menumpuk surat invitation di tahun-tahun sebelumnya. Aku menghela nafas panjang, “aku harus tidak hadir lagi.” pertanyaan retoris yang cukup aku yang tahu. “Aku masih bimbang. Kejadian itu mengulang semuanya.”
Tiga hari setelah mendapat surat invitation akhirnya aku memutuskan untuk hadir di acara itu. Aku tak akan bangkit jika selalu mengenang masa lalu yang pahit itu. Aku akan bisa membuktikan kepada mereka bahwa aku tak rapuh seperti dulu. Aku Eza yang berbeda. Aku Eza yang penuh motivasi.
Aku sedang bersiap untuk menghadiri acara itu. Aku berpakaian rapi celana jeans hitam, bagian atas memakai kaos biru bertulis “Special Agent” dibalut dengan kemeja kotak-kotak lengan panjang. Motor matic-ku sudah bersiap di depan. Aku melangkah menaiki motorku, “apa aku yakin dengan semua ini?”
Gedung bertingkat ini masih sama lima tahun yang lalu. Gedung yang bagian depan dibubuhi pohon cemara kanan dan kiri. Di sela agak luas antara kedua pohon itu ada sebuah lorong untuk masuk ke dalam gedung ini. Kenangan masa lampau terekam kembali. Aku masih ingat kejadian itu. Sebuah pengkhianatan yang gigantis.
“Lima kali reunian. Baru kali ini gua liat lu dateng.” Celetuk Revi temanku dari tiga jenjang selalu satu kelas denganku. Aku hanya diam terpaku tak ingin membalasnya, menunggu ucapan berikutnya.
Revi memegangi bahuku, “gua tau perasaan lu sekarang. Dan gua merasa prihatin waktu itu. Gua enggak bisa ngebantu lu, Za. Sorry.” Revi melepaskan tangan dari bahuku. “Dari lima kali reuni gua seneng reuni kali ini karena lu dateng. Gua sempat bertanya-tanya di mana rumah lu tapi percuma. Gua tau lu banget, Za. Hahahah.” Aku hanya terkekeh sesaat. Revi sangat paham dengan kebiasaanku yang sering pindah-pindah rumah. Setidaknya waktu aku masih bersekolah. Tapi sekarang aku menetap di sebuah kontrakan yang arsitekturnya bisa dibilang berkelas.
Di dalam sebuah ruangan yang sering digunakan untuk pertemuan para orangtua murid. Sekarang digunakan untuk acara reuni. Mungkin acara ini tidak besar hanya satu angkatan saja tetapi yang hadir hampir semua.
Aku dan Revi berjalan di sebuah meja panjang. Revi mengajakku untuk menikmati sebuah minuman yang disediakan oleh panitia reuni. Aku mengambil sebuah gelas isi soft drink merah dan Revi memilih soft drink putih. Jadi digabungin kita jadi bendera Indonesia, merah-putih.
Suasana semakin bising ketika semua sudah masuk ke gedung ini. Aku tak mempedulikan suara bisik-bisik, tertawaan teman-teman dan yang kudengar ada yang menyebut namaku. What? Namaku disebut. Yang ku tahu suara itu dari belakangku. Kurasa tak jauh jarakku dan orang yang menyebut namaku dengan keras. Tapi aku penasaran juga. Aku ingin menoleh, melihat siapa yang menyebut namaku tadi. Suara mic berdenging menolakku untuk menoleh. Aku dan Revi memalingkan ke arah panggung kecil. Disana ada MC sedang berdiri, sedang bersiap menyambut kami.
“Halo. Selamat pagi guys.” Awalinya. “Pagi.” Teriak serentak seisi ruangan ini. “Apa kabar kalian? Pasti baik dong. Oh ya ini reuni kita yang ke lima kali. Makin bertambah aja yang hadir dari reuni-reuni sebelumnya. Tepuk tangan dong. Woow!” Semua mengikuti instruksi MC. Mereka semua bertepuk tangan. Sedangkan aku hanya diam saja, ada sedikit rasa tak rela jika aku datang ke sini.
“Ada yang spesial guys hari ini. Jika di tahun sebelumnya kita tak ada hiburan tapi sekarang… Kita akan dihibur oleh Black Paradise. Band sedang naik daun saat ini.” Semua teriak histeris termasuk para wanita disini. Black Paradise? Aku baru denger nama band itu. “Mari kita sambut!!!” teriak MC penuh antusias, “BLACK PARADISE.” Riuh semakin kencang dan aku tercengang melihat semua personil band itu. Mereka teman-temanku dulu yang mendepakku tanpa alasan. Vino sang gitaris, Bondan sang Drummer, Erik sang Bassis dan seorang vokalis wanita yang dulu jadi primadona sekolah. Aku tak menyangka ini, mereka sudah sukses. Kenangan kelam itu terekam kembali. Tanpa sadar tanganku mengepal rasa jengkel dan marah tapi aku tak bisa berbuat apa-apa. Aku menghela nafas lalu pergi. Revi meneriakiku untuk kembali namun aku acuhkan. Aku ke belakang halaman sekolah. Di sini aku selalu menyendiri.
“Eza.” Suara lembut memanggilku dari bawah tapi aku acuhkan suara itu. Mataku tetap fokus ke depan. Aku masih diatas pohon yang selalu setia menemaniku kala aku sedang sedih. “Eza! Liat aku.” Sangat tanpa bergairah aku terpaksa menoleh kebawah. Mataku terbelalak, mulutku terkunci dan aku menelan ludah. Sheryl berdiri menatapku tanpa kedip. Sorot matanya mengisyaratkan aku untuk turun. “Kenapa dia kesini? Dari mana dia tau kalau aku di sini?” Tak ada waktu untuk berfikir, aku turun seketika dari atas pohon yang lumayan tinggi ini.
Sekarang aku di hadapan sang primadona sekolah dulu. Aku hanya diam menatapnya penuh kagum. Kagum? Itu dulu tapi setelah melihat tadi aku tak respect lagi. Bagiku wanita di depanku ini sama pengkhianatannya dengan Vino dan yang lain. “Ada apa kamu datang kesini?” tanyaku dingin. Dia hanya menatapku, tak menjawab tanyaku. Sekali lagi mata itu penuh harap tapi aku tak mengerti. Bosan aku menunggu tak menjawab tanyaku dan bosan juga ditatap seperti itu. “Kamu ngapain kesini?” ucapanku masih dingin. Sheryl tak menjawab lagi. Lebih baik aku pergi dari sini. Namun hendak ku meninggalkan dia, lenganku di tahan, dicengkramnya sangat kuat seolah tak ingin aku pergi dari sini. “Tunggu.” “Kenapa kamu pergi ketika Black Paradise perform?” “Pertanyaan yang konyol.” Sahutku cepat. Mataku menajam, “dan enggak harus aku jawab.” “Kamu harus jawab itu, Eza.” Semakin dekat tatapannya. Aku sedikit gugup juga sih. “Kenapa kamu pergi tadi?” “Jangan paksa aku untuk menjawab!” komentarku agak sedikit keras. Tanganku yang digenggam kuhentakkan keras sehingga terlepas genggamannya. “Aku gak ngerti.” Ucapnya sambil geleng-geleng. “Kamu enggak akan ngerti. Kamu enggak akan ngerti di posisi aku.” Aku menghela nafas, “jadi jangan paksa aku untuk menjawab pertanyaan yang tak penting.” “Ini penting bagiku, Eza.” Potongnya. “Karena…” “Karena kamu senang telah menggantikan posisiku dulu.” Balasku cepat. “Iya?” suaraku meninggi. “Kamu mau pamer kalau band yang kudirikan sekarang sukses, banyak penggemar. Itu yang kamu maksud.” “Stop, Eza!” teriaknya putus asa. Nafasku terengah-engah tak beraturan. Emosiku sulit terkontrol, aku sekarang sulit mengendalikan diriku sendiri.
“Aku cinta kamu.” Kata itu terlontar yang membuat sedikit terkejut. Sedikit demi sedikit aku tertawa hingga keras. Sheryl menatapku bingung, “kenapa kamu ketawa? Apa kata-kataku lucu?” Aku berhenti tertawa dan menatapnya geli. “Cinta? Kamu bilang cinta. Ini konyol Sheryl. Konyol!!” kutekankan kata terakhir, “Dulu mereka mendepakku tanpa alasan demi kamu. Dan sekarang kamu bilang CINTA ke aku. Itu bodoh, itu bullshit!!” Plak! Tamparan keras menerpa pipi kananku, ku hanya bisa mengusap perih sambil menatapnya. “Ini yang namanya cinta?” Sedari tadi Sheryl menangis yang sedari tadi pula aku tak hiraukan. Aku baru menyadari begitu banyak air mata yang keluar. Air mata ketulusan. Mungkin aku salah.
“Aku tau Eza. Kamu masih terbayang masa lalu. Aku tau kamu setelah itu sulit menemukan jati dirimu. Kamu itu rapuh Eza. Kamu itu hanya berdiam diri ketika kamu terjatuh. Kamu hanya diam ketika orang lain menertawakanmu ketika kamu tak bisa berbuat apa-apa. Kamu pasrah dan masa bodoh seperti orang tak berguna.” Kata terakhir Sheryl membuat kupingku panas. Ingin aku menampar mulutnya itu tapi dia wanita. Sekeras-kerasnya aku berkata tapi aku tak pernah main fisik apalagi melukai seorang wanita. “Harusnya kamu bangkit dan tunjukkan bahwa kamu tak pantas diacuhkan oleh Vino dan yang lain.” “Jadi benar.” Gumamku. “Vino sengaja mendepakku demi kamu.” Sheryl mendekat, matanya tertuju padaku. “Kamu salah.” “Maksud kamu?” “Sini ikut aku.” Tanganku ditariknya.
Aku jadi salah menuduh Sheryl yang bukan-bukan. Sheryl gabung Black Paradise hanya untuk memberi pelajaran bahwa yang Vino lakukan salah. Sheryl sengaja gabung karena ia sudah berancana menghancurkan band kontroversi. Jadi selama ini lagu-lagu hit-nya itu hanya jiplakkan. Berbeda dengan aku ketika itu, aku menciptakan lagu sendiri. Laguku yang sempat jadi album band itu dibuang bagai sampah. Ternyata Vino tak suka dulu aku banyak penggemar terutama cewek-cewek dan aku tahu dari Sheryl bahwa Vino menyukainya bahkan pernah menyatakan cinta tetapi Sheryl menolak halus. Aku baru menyadari bahwa aku selama ini hanya seorang patung. Terdiam melihat keterpurukan diriku sendiri. Aku tak mencoba bergerak untuk membuktikan sesuatu. Aku hanya menyerah kalah.
Apa aku nge-band lagi? Aku rasa tidak. Aku sudah berkecimpung di dunia menulis jadi musik bagiku masa lalu yang tak pernah hadir lagi di masa datang. Karena sesuatu untuk kembali ke masa lalu itu menyakitkan.
Cerpen Karangan: Elche Qixu Blog / Facebook: www.storyelche.blogspot.com / elche qixu Nama asli chesar kurniawan yang biasa di panggil elche. Penulis sederhana yang sudah menulis sejak November 2016 hingga kini. Sekarang sedang sibuk nulis Novel yang nantinya akan dimuat pada Wattpad dan Novelplus. So, wait. Jangan lupa mampir di FB: elche qixu Dan, blog: storyelche.blogspot.com