Pagi tadi kudapati dirinya menabur senyum di halaman hati, maka saat senyum itu tumbuh menjadi cinta kupetik lalu kutanam lagi dengan dalam dalam di taman sanubari dan tak kubagi bagi pada sesiapapun, sebab ini adalah cinta yang berbentuk pemuja misteri dengan ciri ciri yang kupunya yakni jatuh cinta untuk yang pertama kali dan pada pandangan yang pertama kali pula.
Senyumnya kudapat dalam bentuk anughra lantas aku berfikir seseorang seperti dia hanya bisa kudapat melalui takdir, apakah tuhan mentakdirkannya untukku? Haha mustahil, sangat jauh berbeda aku ini hanya purnama yang dikurung malam, sedang dia? Matahari dengan kepunyaan senjanya. Lalu dimana titik temunya kecuali semesta sedang bergumam.
Ini adalah kisah romansa yang masih terlalu pagi untuk pukul 6 pagi lewat seperempat sunyi waktu dimana embun masih segar terpendam bisu di rumput rumput yang enggan untuk menanyakan tujuan embun hinggap ke tubuhnya apakah sebagai bentuk kasih? Atau sekedar singgah lalu hilang dengan sungguh selepas pagi!
Siang yang berjarak 31 hari dari suatu pagi yang kutemui senyumnya. Diluar dugaanku kita justru jauh lebih dekat dari sekedar saling mencuri pandang. Seakan akan misteri yang kusimpan untuknya akan terkuak. Ini adalah sebuah siang dimana senyum yang disulamkannya tak menghiraukan terik yang ada di wajahnya meski jatuh dengan tanpa toleransi. Senyumnya pula lah yang memecah suasana membisu saat setiap pertanyaan yang hendak kuajukan bisu saat didekatnya.
Lantas selanjutnya apa? Apakah bisu adalah kata kerja? Sesekalli kita bercerita, maka akan kuceritakan
Aku pernah mendengar tanah bercerita tentang bunga yang berguguran mengecupnya. Apakah kau ingin mengecup misteriku juga?
Aku pun pernah mendengar tentang persamaan hati dan hujan. Bahwa keduanya jatuh ditempat yang tuhan kehendaki! Tapi tahukah kau pernah ada hujan yang jatuh bertubi tubi. Hingga melapukkan kayu dari basahnya yang terpendam bisu dan dari dinginnya yang menusuk kalbu. Pasti akan menjadi hari yang sangat menyebalkan jika tahu dirimu adalah bagian dari hujan tersebut dan aku adalah kayu malang yang kau jatuhi.
Jika percakapan ini datang apakah dia sudi memberi kasih yang kuminta? Atau seandaipun hatinya telah membeku maka aku mengadu pada kemarau, biar yang membeku itu segera mencair di sanubarimu, lalu kita ukir kembali cinta itu! Andai saja.
Masih tentang siang dan teriknya yang menjatuhimu tanpa toleransi, kulihat kau memandangku dengan tiga garis di dahimu itu membentang heran. Ada sepenggal kalimat yang hendak kau ucap. Seketika aku dibuat gugup seolah kalimatmu itu mengetuk jantungku. Pada intinya yang kutahu dari perkataanmu kita akan menjadi sepasang manusia yang akan berpisah jarak yang jauh sebelum saling tahu menahu masing masing misteri yang kita punya.
Apakah benar sampai jumpa kembali atau selamat tinggal adalah dua kosakata baru dimana salah satunya akan mengisi kamus rumitnya kisah kita? Karena mungkin saja kita memang berpisah jarak tapi selanjutnya berpisah apa lagi? Tapi kulihat sudah bulat tekadmu itu maka beri aku satu janji dari senyum yang diapit lesung pipimu itu, maka berpisah akan kuanggap sebagai kata perintah tapi dengan catatan sementara.
Suatu sore yang berjarak 62 hari dari kudapat senyummu, motorku meraung raung di kotamu aku membawakan setumpuk puisi yang sulit diriku bahkan dirimu untuk tafsir sendiri. Gelisah, gundah dan resah campur aduk didalamnya yang pasti setiap rindu yang kutuliskan itu adalah tentangmu. benar benar jarak terjauh sebuah rindu adalah tak berada di langit yang sama.
Saat dua pasang bola mata bertemu ada yangg berbeda dari senyummu yang pernah kudapati dalam bentuk anugerah. Malang sekali, senyummu yang mulanya kukira untukku ternyata sudah terbagi. Jauh jauh kau kudatangi dengan menerobos mendung yang membentang dan tak menghiraukan cacian sang terik, lalu apa? Kukira dengan menyebut namamu setiap malam untuk terbang bersama sayap sayap doa menembusi langit kita akan menjadi utuh tapi ternyata kau malah patahkan sayap doa doa itu.
Cerpen Karangan: Muhammad Nur Hidayat Adiyyin Blog: adyyn.blogspot.com