“lalu, bagaimana denganku, masih bisakah aku percaya. Menurutmu masih bisakah aku percaya?” ia diam terpaku di sudut ruang sunyi itu. Sakit, sesak, namun aku berusaha mengendalikan diriku, karena aku tahu emosi hanya akan membawaku pada penyesalan.
“kita akhiri di sini” “tapi sa” “za” “aku salah sa, maaf” “aku gak mau kamu terus terjebak dalam lingkaran ini za” “sa, aku bakal berubah sa. Jadi tolong” “za, dengerin aku” “enggak, aku gak mau pisah” “tapi, dari awal kita gak pernah jadi satu” Dia sangat terkejut dengan ucapanku, tidak ada lagi yang dapat pria itu katakan.
“za” aku menatapnya dengan lembut. “sa, maaf sa, maaf” “iya. aku juga minta maaf karena aku belum bisa melupakkan apa yang sudah terjadi di antara kita”
Setelah mengetahui semuanya, aku terus berfikir bahwa ini semua tidaklah benar. Lebih baik melepaskannya disini sebelum semuanya menjadi semakin dalam.
“za, kamu tahu kenapa aku ingin mengakhiri semuanya di sini” “karena kamu marah dan benci sama aku” “apa itu yang kamu rasakan saat alika meninggalkanmu?, saat alika lebih memlih bersama yang lain?” Ia terdiam
“apa sampai sekarang kamu masih membencinya za” “aku cuman gak mau kejadian yang sama terulang kembali sa” “begitupun aku za” “maksudnya, kamu juga mengalamin hal yang sama?” “pengkhianatan, perpisahan, dan kebencian bukan hanya berasal dari sebuah rasa za. Tanpa disadari manusia selalu mengalaminya. Tapi semua itu juga mempunyai pilihan za, dendam atau memaafkan.”
“aku gak ada niat buat nyakitin ataupun balas dendam ke siapapun sa” “begitupun aku za, aku gak mau jadi rasa sakitmu selanjutntya. Aku takut menjadi rasa sakit bagi wanita yang dekat denganmu. Aku tidak mau menjadi alika ke dua.” “enggak sa, kamu gak mungkin seperti itu. Sekarang aku percaya…” “kepercayaan yang didapatkan dengan cara seperti ini, apakah akan bertahan lama?” “sa, tolong” “mungkin aku gak akan jadi alika kedua tapi, kamu sudah menjadi reza pertama untukku”
“apa, aku terlalu jahat?” “tidak, aku tahu kamu hanya berusaha untuk melindungi hatimu. Tapi maaf aku tidak bisa menerimanya, karena ini tidak benar” “semudah itu kah kamu melepaskan” “tidak. Jujur ini adalah pertarungan yang berat za” “maaf”
“za, aku harap aku menjadi nerissa terakhir untukmu.”
Mata kami bertemu, aku berusaha memperlihatkan senyum terbaikku. Tanpa disangka lelaki yang ada di depanku mulai menitikkan air mata. Ada setitik keraguan untuk meninggalkannya namun, masih belum cukup untuk merubah keputusanku. Aku mengusap air mata yang ada di pipi pria itu, aku memegang wajah pria yang masih sangat aku cintai. Aku lebih memilih untuk memaafkan dan melepaskannya.
Aku tahu bahwa ia sangat menyesal tapi, penyesalan selalu datang di akhir cerita. Dan inilah akhir ceritaku dengannya, akhir yang akan membawa awal cerita baru bagiku dan dia.
“sa…” “za, aku pamit. Jaga dirimu”
Ia masih terpaku di sudut ruangan itu, dan langkah kakiku terus menjauh.
Cerpen Karangan: Rizka Dwi Patmarani Blog / Facebook: rani Samarinda 31 januari 1999