Bagi perokok berat sepertiku, berhenti menghirup asap tembakau adalah siksaan tersendiri. Meski nyatanya aku tau bahaya yang ditimbulkan, dan berapapun orang mengingatkanku dengan berkata “Hentikan merokokmu, tetanggaku mati sesak nafas karenanya”, atau “Aku yakin kamu bisa berhenti merokok, asal kamu niat serius mau meninggalkannya”, dan nyatanya sampai sekarang aku masih melakukan kebiasaan sehat itu.
Jangan kalian kira aku tidak mau berusaha untuk berhenti dari rokok ini, sekian banyak motivasi yang kuterima sudah aku lakukan semua. Entah apapun itu, dan yang paling menyakitkan adalah menjauhi teman-temanku yang 80% perokok ulung.
Notitication. Whatsapp. Lia. Mas, bisa minta tolong? Iya li, apa? Temenin aku ke bank mas, hehehe Bapak ibu kerja, arin juga sekolah Iya. Jam berapa? Setengah sembilan-an mas, agak pagi dikit biar antrinya nggak lama Iya, nanti kujemput Jangan lupa mas? Apa? Pake baju warna gelap. Biar kelihatan serasi. Hihihi Yaaa…
Lia adalah pacarku dua tahun belakangan ini. Bertemu tanpa sengaja saat tilangan polisi. Lia yang saat itu baru kelas satu SMA sudah pasti belum punya Surat Izin Mengemudi. Dan apesnya lagi aku termasuk korban razia. Bukan karena aku orang yang tidak patuh aturan, hanya saja saat itu aku belum berniat untuk membuat surat legal mengemudi tersebut.
Jam delapan kurang 10 menit. Aku harus berangkat ke rumah lia. Akan lebih baik jika aku datang lebih awal daripada harus mendengar lia mengomel. Dan lebih dari itu, aku harus mandapat waktu untuk sebatang rokok.
Li, aku sudah di depan rumah. Santai saja, aku masih merokok. Iya, satu batang saja. Oke. O iya, bawakan air -_- iya
Jam setengah sembilan tepat lia keluar dari rumah. “Mas mau nyetir sambil merokok?” Aku tau, jika aku menanggapi pertanyaan lia, akan terjadi perdebatan tak berujung. Segera kupatahkan tokokku ke asbak dan segera beranjak berdiri dari kursi. “Kau terlihat lebih tampan mas dengan baju itu. Dan kita tampak serasi bukan?” “Iya li, aku memang terlihat tampan. Dan yang lebih penting lagi, kau mau kita segera ke bank atau terap disini sambil memuji ketampananku?” Kutinggalkan lia yang masih mengomel. Dan cepat kunyalakan sepedaku agar omelan lia segera berhenti.
Lia adalah orang terdekat denganku setelah ayah dan ibuku. Yaa karena adalah pacarku. Sebelum kami benar-benar manjadi pacar, aku sangat terganggu dengan kahadiran lia. Karena kupikir dia tidak secerewet itu. Berisik, crewet, cempreng. Sempurna sudah kegaduhan yang dia ciptakan. Tapi entah kenapa, aku bisa nyaman dan menerima lia. Bertemu saat dia baru menjadi siswi SMA yang merengek takut kalau-kalau dia akan diperjara hanya karena tak punya SIM. Sungguh anak yang aneh. Ya, selain cerewet, lia adalah tipe orang yang mudah akrab dengan orang baru. Ekspresif, dan dengan santai bisa bercerita apapun pada siapapun. Jujur saja, aku terkadang merasa takut dengan sifat lia yang satu ini.
Oh iya teman, maaf karena aku tidak bisa menceritakan bagaimana aku bisa mendapatkan kontak lia. Ini akan terlalu panjang dan membuatku malu. Aku harap kalian tidak menanyakan hal ini jika bertemu dengannya. Please!! Jangan!! Aku akan sangat malu.
“Mas,,,” “Hmm..?” “Kamu tau kan mas, aku sekarang sudah kelas tiga SMA?” “Iya li, dan kamu lebih cerewet dari yang dulu.” Lia mencubitku. “Aku sudah membayangkan mas, saat aku lulus nanti, aku akan melanjutkan kuliahku di universitas terdekat sambil mengembangkan bakatku. Dan… kau tau mas apa yang kulakukan setelah itu?” “Apa li?” “Aku akan menikah denganmu mas!!” Sambil berkata itu lia mendadak memelukku erat. Sampai-sampai tubuhku yang kurus ini hampir saja hilang kendali.
Iya, lia sangatlah bucin kalau kata kalian. Bucin parah. Sangat diuntungkan dengan aku sebagai pacarnya. Bayangkan jika aku sama bucin dengan lia, atau lia punya pacar yang juga bucin. Bayangkan! Bayangkan! Tapi aku rasa itu tak mungkin terjadi. “Iya li, setelah kau benar-benar siap, aku akan segera menikahimu. Dan kau tau apa yang akan terjadi setelah kita menikah?” “Apa mas?” Sedikit kutengokkan kepalaku ke belakang dan berkata, “Kita akan punya dua puluh anak” “APA???”
Aku sangat bahagia saat itu. Menghabiskan waktu bersama lia, tertawa, membuat lia ngomel-ngomel karena godaan dan candaanku, melihat lia sangat bersemangat tentang karirnya, cita-citanta, masa depannya, dan tentu juga, masa depan kami.
Tepat pukul dua belas siang, kami keluar dari bank. Tak seperti biasanya, lia menolak ajakanku makan siang. Memintaku untuk langsung mengantarnya ke rumah, karena katanya, “Bibi sudah menyiapkan makan siang kita mas, jadi makannya di rumahku saja. Terus…” “Terus??” “Habis makan kita streaming short movie romance ^_^ ” Aku hanya menepuk dahi. Bersama lia kadang aku merasa seperti menjadi babi siter.
“Kau harus mau mas, aku tau kamu sedang sepi kerjaan” Ya, lia tau. Karena lia juga login e-mail ku, dan biasa membalas client-clientku yang sama sekali tak punyai rasa sabar. “Iya li, aku mau” “Yes!!” “Kau penyiksa li” “Bilang apa tadi mas??” “Kau menyiksa li, menyiksaku dengan kebahagiaan.” Lia memeluk tubuhku erat. “Silakan peluk aku seerat yang kamu mau. Tapi jangan salahkan aku kalau kita jatuh.” Lia masih memelukku erat.
—
“Nggak perlu mas, biar bibi yang membereskan” Aku mengangguk dan meletakkan kembali piringku. Aku memang tidak membereskan piring seperti yang diminta lia. Tapi aku tetap beranjak untuk mencari sesuatu. Aku hafal betul rumah lia, dimana ruang tamu, dapur, dan disebelah mana ruang khusus keluarga.
Tiga menit waktuku terbuang, aku masih belum mendapatkan apa yang kucari. “Mas Bagas!! Cepat!! Jadi nonton nggak sih??” “Iya li, bentar..” Sahutku. “Kamu nyari apa sih?” Aku hanya diam.
Lima menit. Baiklah, aku menyerah. Kembali ke ruang tengah, disana sudah ada lia dan adiknya. “Eh rin, kamu sudah pulang?? Kok kakak nggak tau.” “Sudah dari tadi mas. Aku aja tau kalo mas bagas kesini. Mas bagas habis jalan kan sama mbak lia??” Lia mencubit arin. Arin adalah adik lia. Mereka dua bersaudara, lahir dari rahim yang sama, mungkin karena itulah karakter mereka tidak jauh berbeda.
“Heh li…” Aku berbisik pada lia. “Apa mas?” “Kau tau kan aku mencari asbak?” Tidak menjwab, lia hanya mendengus kesal dan mengambilkannya untukku. Ohh, sekarang aku tau dimana tempat asbak disembunyikan. Kotak lemari kecil tepat diatas layar televisi.
Kunyalakan rokokku, menghisapnya penuh kenikmatan, kuresapi setiap nikotin yang menjalar perlahan melalui rongga tenggorokanku, hingga kemudian bull… gumpalan asap penuh karbondioksida keluar dari mulutku.
Pulang dari rumah lia segera aku menyibukkan diri dengan pekerjaan yang sekaligus passionku. Benar kata orang-orang, bahwa pekerjaan yang menyenangkan adalah hobi yang dibayar. Aku memang tidak berbakat untuk terus terang menyatakan perasaanku kepada lia. Tapi aku punya cara tersendiri.
Kutekan tombol power pada PC, lima detik, terpajang fotoku dan lia di layar desktop. Aku tersenyum. Itu adalah foto kami satu tahun yang lalu. Saat aku menjemput lia pulang dari sekolah, kemudian dia memintaku berhenti sejenak di taman pinggir jalan. Kau tau untuk apa lia memintaku berhenti? Hanya untuk foto. Mengabadikan spot katanya. Explore, disk D, project, lia. Itu adalah folder khusus foto dan videoku dengan lia. Folder project? Ya. Karena lia adalah project masa depanku.
Kupindah foto dan videoku seharian tadi bersama lia. Aku filter mana yang perlu diabadikan, dan yang diabaikan. Selektif. Kemudian foto dan dan video tersebut kupermak menjadi video graphic pendek berdurasi 30 detik, hanya untuk story whatsapp. Maaf li, hanya ini yang bisa aku lakukan, jika kau memintaku untuk romantis, maka inilah caraku. Karena aku lebih dari bodoh jika harus menulis prosa ataupun puisi cinta.
Pukul delapan malam. Kurebahkan tubuhku di sofa ruang tamu. Untuk tidur inilah tempat favoritku, kamarku tidak lebih dari sekedar tempat bekerja.
Berteman gadget, aku mulai searching dan browsing tentang apapun yang bisa memberiku inspirasi. Pinterest, instagram, youtube, freepik, sudah banyak sekali bahan imajinasi yang kudapatkan. Baiklah saatnya tidur. Jarang sekali aku mendapatkan momen tidur awal seperti ini, lebih lagi jika tumpukan deadline mengancamku. Customer sungguh menakutkan. Tepat lima menit setelah memejamkan mata, handphone-ku bergetar.
Notitication. Whatsapp. Lia. Mas bagas sudah tidur. Ini baru mau li.. Aku kangen mas. hehehe Kau lupa kalau seharian tadi aku menemanimu? Justru karena itu mas, aku jadi tambah kangen. Yaudah berarti satu bulan kedepan kita nggak usah ketemu. Wkwkwk.. gapapa kalau mas sanggup Sudah, tidur saja Bentar mas, mau tanya. Apa? Sehari ini sudah habis berapa batang? Satu bungkus Owh.. yaudah mas, selamat tidur. Demi mas sendiri juga kesehatan mas bagas, aku hanya berharap mas bisa berhenti merokok. Love you mas.. Bye.. Iya li.. Too.
Aku hanya diam. Hampir satu menit kupandangi dan kubaca ulang chat terakhir lia, kantukku benar-benar hilang. Baiklah, akan aku ceritakan.
Aku perokok berat, sudah aku katakan sejak awal. Bermula dari lingkungan dan teman-temanku yang notabennya pecandu rokok, sejak kelas tiga SMP aku sudah bisa merasakan nikmatnya nikotin. Awalnya orangtuaku memang sangat tidak setuju dengan kebiasaan baruku itu, apalagi aku baru SMP dan pastinya belum punya penghasilan sendiri. Tapi mungkin karena mereka capek menasehatiku atau mungkin karena aku anak satu-satunya yang selalu mereka sayang, akhirnya kedua orangtuaku membiarkan saja. Sampai akhirnya lia masuk dalam kehidupanku.
Sebenarnya lia juga kurang suka dengan kebiasaanku ini dan dia sangat menyayangkan. Apalagi paman arman, bapak lia, sempat sakit-sakitan dan mutah darah karena merokok. Aku sangat menghargai perhatian apapun yang mengingatkanku untuk berhenti merokok, terlebih lagi dari lia dan keluargaku. Aku tau kalau asap yang kuhisap ini bisa sedikit demi sedikit mengurangi masa hidupku. Tapi kalian juga harus tau, berhenti merokok tidak semudah yang dikatakan quotes-quotes instagram.
“Kau tau mas, aku sangat mencintaimu. Sangat. Itulah kenapa aku begitu perhatian akan kehidupan mas. Aku takut jika apa yang terjadi pada bapak, mas juga akan mengalaminya. Aku tau bagaimana khawatirnya saat melihat bapak kesakitan karena ulahnya sendiri, mutah yang tak sedetikpun tak mengeluarkan darah.”
Lia sangat mencintaiku seperti apa yang dia katakan. Dengan realita bahwa aku seorang perokok aktif, sama sekali tidak mengurangi perasaannya kepadaku. Iya, tidak mengurangi secuil pun. Tapi aku membuatnya khawatir.
Bodoh!! Aku benar-benar bodoh!! Dengan tau bahwa lia tetap mencintaiku, lantas apakah aku akan terus membuatnya khawatir? Apakah akan terus membuatnya cemas? Apakah ini balasanku atas cinta dan perhatian lia?
Lia sangat baik. Hanya aku saja yang bodoh. Dengan terus terang merokok di depan lia, dan melakukannya setiap kali kita bertemu, apakah hanya itu bukti kejantananku? Apakah hanya dengan merokok aku bisa membuktikan bahwa aku benar-benar lelaki? Apakah hanya rokok yang bisa membuktikan mana laki-laki dan mana perempuan? Bukankah jantan yang sebenarnya adalah saat aku bisa membuatnya percaya dan tidak menciptakan kekhawatiran? Dan jauh sebelum aku menjaga lia, bukankah harusnya aku mampu menjaga diriku sendiri?
Erpen Karangan: Yusril.Alim