Sore kelabu. Hujan deras yang mengguyur bumi masih belum reda sejak setengah jam yang lalu. Cipratan-cipratan kecilnya membasahi rok abu-abu milik Maira, gadis berambut hitam panjang yang tengah menadahkan telapak tangannya di tengah guyuran hujan. Kelopak matanya tertutup rapat, merasakan dingin air hujan yang dingin.
Disamping kanannya, seorang cowok tinggi tengah duduk sambil memperhatikan wajah gadis itu. Cowok itu diam, mengamatinya dengan seksama, ada rasa rindu menyusup ke dadanya. Ya, ia sangat merindukan gadis itu, ia rindu menatap wajah teduhnya.
Bau aspal yang terguyur hujan menyusup masuk indra penciuman, membawa aroma-aroma rindu dua tahun yang lalu.
“Kamu ingat, waktu pertama kali kita datang ke tempat ini, Mai? Dulu, sehabis jalan ke Malioboro, kita terjebak hujan yang begitu deras, dan kita putuskan untuk berteduh di tempat ini. Itu awal pertama kali, aku mulai menyukaimu, Mai,” serunya untuk pertama kali. Gadis itu menoleh. Ketenangan yang tadi ia rasakan berubah jadi kegundahan tersendiri.
Gadis itu memilih diam, walau perasaannya kini diambang kegelisahan. Rindu? Ya, Maira rindu akan kenangan masa itu, namun disatu sisi benci pun juga menguasai egonya. Sakit hati, kecewa, dan luka yang baru saja mengering itu kembali terbuka di saat itu juga. Dua tahun Maira berusaha mati-matian untuk melupakan David. Takkala usahanya hanya percuma, cintanya untuk David tak pernah hilang dari hatinya. Perasaan Maira masih sama. Masih sama seperti dua tahun yang lalu, saat sebelum David menghilang dari kehidupannya dan meninggalkannya tanpa ada satu pun kata perpisahan.
“Mai, apa kabar? Ralat, maksudku, bagaiman keadaanmu dua tahun terakhir ini?” Pertanyaan bodoh. Setelah dua tahun ia tinggalkan tanpa kejelasan, David dengan entengnya menanyakan keadaan Maira. Tak ada yang baik-baik saja untuk orang yang kehilangan tanpa kata perpisahan, bukan? “Menurutmu?” tanya Maira dingin. “Kamu tidak baik-baik saja.” “Kamu yang membuat semua jadi tidak baik-baik saja. Seharusnya kamu tidak perlu datang ke hidup saya, jika hanya ingin mempora-porandakannya.” “Maaf, Mai.” “Saya bukan orang pendendam.”
David tersenyum simpul, lalu meraih tangan Maira dan menggenggamnya. “Mai, apa kamu mau mulai semuanya dari awal?” “Maaf, semua yang sudah pecah takkan pernah bisa untuk diperbaiki.” “Please, Mai! Aku janji, aku tidak akan mengulangi kesalahanku lagi. Aku sayang kamu, Mai. Aku mohon, beri aku kesempatan kedua.” “Jika kamu memang benar sayang, dua tahun yang lalu, kamu tidak akan meninggalkan saya. Semuanya sudah terlanjur. Saya sudah melupakan kamu, tidak ada lagi tempat di hati saya untuk kamu.”
“Pulanglah, temui cintamu yang tengah menunggu kedatanganmu, jangan kecewakan dia, cukup saya saja yang pernah kamu kecewakan, dia terlalu berharga untuk dikecewakan,” lanjutnya sebelum air mata yang terbendung di kelopak matanya benar-benar luruh.
Semesta seakan berkonspirasi, hujan deras yang beberapa saat tadi mengguyur bumi, kini mulai reda. Hanya tersisa gerimis-gerimis kecil dan kilatan-kilatan petir tak bersuara. Dengan perasaan lega dan kecewa, Maira berlalu meninggalkan David yang masih berdiri mematung. Maira sadar apa yang telah ia katakan, walau hatinya masih menyimpan rasa untuk cowok itu, namun, keputusannya untuk memulai hidup baru sudahlah bulat. Ia tak ingin terus-menerus terjebak rotasi masa lalu, cukup sampai di sini, ceritanya dan dia memang sudah hilang.
END
Cerpen Karangan: Kunta Nurhayati Blog / Facebook: Kunta Nurha