Sepenggalan obrolan panjang di dalam ruang chat; “Yang terlihat baik belum tentu benar-benar baik Bang. Nanti hancur hati Abang kalau ternyata ‘idaman’ ini tak seperti yang Abang pikirkan.” Tulisnya. “Hemm. Dik, kata Jalaludin Rumi; Izinkan aku mencintaimu dalam diam, karena di dalam diam tidak kutemukan kata ‘penolakan’.” Balasku, terkirim. langsung dibaca, tertera tanda centang biru.
Ternyata dia hanya membaca, sekian menit aku menunggu, tidak ada tanda-tanda balasan darinya. Lalu kutuliskan lagi kegundahan hati ini; “Haha. Mengidamkan sesuatu pasti ada resikonya, Dik. Jika enggak tawa, ya kecewa, tapi sebagai laki-laki, Abang harus berani mengambil resiko itu.” Terkirim. “Izinkan Abang mengambil resiko untuk mengidamkanmu, dan maafkan Abang secara diam-diam menyukaimu.” Tulisku lagi.
Chat terkirim, langsung dibaca, tapi lagi-lagi belum terlihat tanda-tanda dia mengetik balasan. Gadget kudiamkan sejenak. Sambil menunggu balasan kucoba menarik selimut untuk menutupi separuh badan. Kebetulan di luar suasananya sedang hujan.
Beberapa menit berlalu langsung ada bunyi notifikasi tanda chat masuk. “Ini pasti dia,” pikirku. Bergegas langsung kubuka. Ternyata tidak salah lagi. “Abang enggak perlu minta ijin, atau minta maaf, itu hak abang sendiri” Itu balasnya. “Oh maaf, kalau Eda salah Bang. Sebelumnya terimakasih ya Bang.” Balasnya lagi.
Setelah beberapa menit berlalu, aku masih diam, bungkam. Rasanya tidak ada kekuatan untuk mengetik rangakaian kata-kata untuk membalasnya. Kata-kata ‘maaf’ itu bagiku adalah makna tersirat, bahwa dia sedang melakukan seruan penolakan tanpa penekanan.
Dalam pikiranku berkecamuk keluhan dan tanda tanya; “Ya Tuhan, apakah ini buah dari karma? Atau ini bagian dari konsekuensi menyatakan sikap hati yang sejak awal tidak pernah Engkau diridhoi. Mungkin itulah sebabnya Jalaluddin Rumi mengajarkanku untuk mencintai dia dalam diam. Agar tidak ada kata-kata penolakan yang dibungkus dengan kata ‘maaf’.” Sepintas pikirku.
Ku mencoba menguatkan hati dan pertahanan diri. Sambil mengeletar, kutuliskan kalimat sakti penenang hati. “Sama-sama, Dik.” Chat terkirim.
Setelah beberapa lama baru terlihat centang biru. Itu menunjukkan dia sedang membaca. Setelah itu terlihat dia sedang menulis sesuatu. Layar gadget terus kutatap. Akhirnya chat balasannya masuk. “Terimakasih juga ya Bang, karena telah berani menyampaikannya. Semoga jika memang jalannya nanti, kita bisa saling menemukan :)”
Kuteratap lagi dengan penuh hikmat. Kata-katanya ini seperti angin segar sekaligus angin topan yang amat kencang. Yang rasanya merobek puing-puing harapan.
Aku terjebak dalam sumur lumpur yang hangat nan hitam. Setiap kali hendak berjuang dan bergerak, lalu aku terhisap lebih dalam. Aku jadi tenggelam. Aku sudah tenggelam dengan usahaku sendiri, dengan kata-kataku sendiri.
Laki-laki nan gagah ini, seperti tersambar petir, hatinya hancur lebur seketika. Menjadi kepingan-kepingan kekecewaan tanpa henti. Tanpa berpikir panjang, chat-nya pun langsung kubalas; “Yaa dik. Sekarang Abang agak lega. Selamat beristirahat ya.” Chat kukirim begitu saja, tanpa rasa. Sebuah ungkapan yang prematur sebagai penutup hati yang hancur.
Dia pun langsung menjawab; “Iya Bang. Selamat beristirahat kembali” Aku tidak membalasnya lagi, karena kutau, kata-kata sebelumnya adalah pertanda. Bahwa dia belum bisa menerima deklarasi perasaan cinta dariku.
Gadget kututup, langsung kulempar disamping tempat tidurku. Akupun menarik selimut erat-erat. Dan aku bersedih sepanjang malam. Mataku tidak mengeluarkan air mata, tapi hatiku rasanya diterpa badai yang sangat dalam meninggalkan luka.
Benarlah kata sebuah buku, laki-laki itu memang tidak menangis, tapi hatinya berdarah. Aku telah merasakannya. Sial! Hujan bertambah deras, langit seolah ikut merasakan kesedihanku, dengan menumpahkan air sebanyak-banyaknya. Seperti ada konspirasi di balik langit yang mengatur pembicaraanku malam itu.
Malam itu aku bukan hanya ditemani sepi, tapi juga dihantui perasaan yang tidak bisa menerima kenyataan. Akhirnya mataku tak kuasa menahan. Aku terlelap tidur dalam kekecewaan.
Waktu demi waktu terus berlalu, aku dan Eda semenjak kejadian malam itu sudah tidak lagi sering saling sapa. Oh iya, aku lupa memperkenalkan namanya. Eda itulah panggilannya. Nama lengkapnya Eda Rarasati. Ia adalah seorang perempuan yang pernah kutemui dalam beberapa tahun silam, dalam sebuah acara pelatihan. Waktu itu statusku masih sebagai seorang mahasiswa.
Kata beliau pertemuan kami hanyalah sebuah kebetulan, tapi sampai saat ini aku masih tidak percaya bahwa itu kebetulan. Bagiku mempercayai adanya ‘kebetulan’ sama saja mempercayai bahwa Tuhan bisa berbuat kesalahan.
Aku yakin, pertemuanku bersamanya, adalah sebuah takdir yang dirancang rapi oleh Tuhan. Memang singkat waktunya, tapi padat akan rasa dan makna. Dia adalah seorang gadis yang paling nyaman dalam ingatan, sepanjang sejarah perjalananku menjadi aktivis keorganisasian.
Aku tidak pernah tertarik dengan perempuan secepat itu, tapi dengan dirinya, seperti ada perasaan yang melesak kencang ke dalam dadaku. Ia memiliki sesuatu yang berbeda dari perempuan lainnya. Mungkin karena sikap aktif dan senyumnya yang ramah. Sebagian besar perempuan yang pernah kutemui, juga ada seperti itu, tapi kali ini aku merasakan perbedaan yang tidak bisa dijelaskan hanya dengan kata-kata. Terlalu istimewa. Tidak bisa dijelaskan, hanya bisa dirasakan.
Ia telah berhasil membuatku tidak menyadari, bahwa aku adalah seorang laki-laki asing yang secara lancang mencoba masuk dalam sendi-sendi kehidupannya. Mungkin tidak mengapa perasaan ini kutanggung sendiri. Setidaknya aku sudah memberanikan diri menjelaskan semuanya walau pada akhirnya tak ada jawaban istimewa yang terucap bagi harapku saat melabuhkanya.
Dalam lamunan tak berpenghujung ini, aku teringat pula ungkapan ibu yang mengatakan, “Kalau memang jodoh semuanya tak akan kemana-mana”. Ya begitulah kiranya yang dapat kujadikan petuah saat ini, untuk menenangkan segenap perasaanku.
Hari demi hari sudah terlewati dengan nada menanti. Dua tiga titik embun masih membeku di atas penantian. Entah kapan ia akan mencair membasahi segala pengharapan yang memang telah lama kering di hantam kesepian. Setiap hari aku mengisi kekosongan hari dengan kegiatan yang hanya disenangi hati. Entahlah, tiba-tiba aku merasa sekosong ini. Dia masih meracuni pikiranku dengan harap yang tak kunjung mendekap.
Sekarang kami pun sudah terputus dalam rangakaian komunikasi. Entah kapan aku bisa merajutnya kembali. Bukan aku tidak mau, terkadang sesekali aku beranikan diri untuk mengetik ucapan salam, tapi ia pun tak kunjung menyapa pesan untukku walau pada akhirnya harus kunikmati centang biru. Kadang sesekali aku merasa sangat merindukanya, namun rindu itu hanya dapat kuobati melalui status WhatsApp yang hanya sesekali pula dihadirkanya. Mungkin jika dilihat dari daftar pengunjung status WhatsApp, maka nama akulah yang paling utama hadir di sana.
Bagiku, mungkin centang biru adalah pengalaman kelabu, namun ia juga menjadi keberanian paling menggerutu. Jika dapat kusampaikan lagi, ketahuilah aku masih tetap menginginkanmu, karena kau adalah wanita pertama yang mampu meluluhkan perasaan jatuh hatiku hingga menjadi selayu sendu. Sekarang, centang biru di WhatsApp-ku biarlah menjadi pengalaman kelabu saat mencintaimu.
-Selesai-
Cerpen Karangan: Mahadir Mohammed Blog / Facebook: Mahadir Mohammed Seorang laki-laki yang hidupnya penuh dengan gelora cinta. Asal: Riau Jobdes: Sedang bergelut membangun kekuatan hati yang seringkali dikhianati.