Dulu awalnya Fino yang selalu menghubungiku terlebih dahulu. Lalu berubah, kadang aku dahulu yang menghubunginya. Lalu berubah lagi, aku saja yang menghubunginya terlebih dulu. Yang awalnya selalu perhatian, bahkan pada hal yang gak penting. Sekarang hanya bicara seperlunya. Bahkan sekarang aku merasa hanya aku yang menanyakan keadaannya. Dan dia hanya membalas singkat tanpa menanyakan balik. Bahkan sudah 3 hari ini Fino tak membalas pesanku. Aku telephone pun tak diangkat. Aku memutuskan datang di tempatnya bekerja. Aku takut dia kenapa-napa.
Saat aku sampai di depan cafe dia bekerja. Langkah kakiku berhenti mendapati Fino tengah bercanda gurau dengan teman kerja wanitanya. Senyum yang sudah lama tak kutemui. Fino berpaling melihat kearah luar. Senyumnya pudar seketika saat mata kami bertemu. Entah kenapa aku merasa takut karena dia hanya memandangku tanpa ekspresi, seperti tak tahu alasan aku datang menemuinya untuk apa. Membuat rasa khawatirku hanya menjadi sesuatu yang berlebihan dan terasa tak menyenangkan baginya. Haruskah aku masuk atau pergi saja?
Aku memutuskan untuk masuk. Aku melihat ke sekeliling. Suasana kafe saat itu terlihat sepi. Lalu aku menuju tempat Fino berada. Fino terlihat tak bersahabat. “Nanti kamu pulang jam berapa? Aku ingin bicara sama kamu!” kataku sesampainya dihadapan Fino. “Maaf tapi aku udah ada janji sama temanku.” “Kapan kira-kira selesai janjiannya? Aku bakal nunggu.” “Jangan, nanti kemaleman.” “Apa begitu penting sampai gak bisa ditunda? Aku ingin bicara sama kamu soalnya,” pintaku. “Penting, kita ngomong lain kali aja,” ucap Fino tegas. “Lain kali kapan?” “Nanti aku hubungi lagi, kalau udah selesai bisakah kamu pergi? Aku lagi kerja soalnya. Gak enak dilihatin manager!” “Aku cuma mau nanya satu hal. Kenapa kamu gak ada kabar dari kemarin-kemarin? Kamu gak sakit kan?” “Aku baik-baik saja. Cuma memang sibuk aja. Bisakah kamu pergi sekarang?” kata Fino terlihat tak nyaman. “Baiklah.”
Nanti aku hubungi lagi, kata Fino siang itu. Tapi kenyataan sudah dua hari berlalu. Nanti bagi Fino sepertinya lama bagiku. Hal seperti ini bukan hanya satu atau dua kali terjadi, tapi berkali-kali. Aku menunggu Fino di depan rumahnya. Aku melihat jam tanganku. Jam sembilan malam, seharusnya dia sudah sampai sejak dua jam yang lalu. Aku duduk berjongkok sambil mengotak-atik handponeku untuk mengusir bosan. Suara langkah kaki terdengar mendekat. Tapi aku tak begitu peduli. Sudah berkali-kali aku menoleh dan menelan kecewa karena yang kudapati bukanlah orang yang kutunggu.
“Ada apa kemari?” Aku mendongak melihat sosok yang ingin kutemui sedari tadi. Aku berdiri. “Katanya kamu mau menghubungiku!” “Ah … aku lupa,” jawab Fino enteng. “Udah malam sebaiknya kamu pulang,” lanjutnya sambil memegang gagang pintu rumahnya.
Aku langsung teringat Fino yang dulu. Dulu dia selalu mengantarku pulang tanpa disuruh. Tapi sekarang dia selalu menyuruhku pergi padahal kita baru bertemu selama lima menit. Padahal dulu dia selalu ingin bersamaku setiap saat. Apakah ini orang yang sama?
Fino menoleh kearahku setelah berhasil membuka pintunya dengan kunci. “Kamu gak mau pergi?” tanyanya terdengar mengusir. “Kamu kenapa sih? Aku capek aku mau tidur!” lanjutnya. “Apa aku sekarang terlihat gak ada harganya di mata kamu?” Fino menghela napas panjang.
“Jadi kamu kesini cuma mau ngajak berantem?” “Lain kali aja, aku capek Gi!” lanjut Fino setengah membentak. “Kamu pikir aku gak capek berantem terus sama kamu? Aku juga muak Fin!” “Maka dari itu, kita ngomongin besok aja. Sekarang sebaiknya kamu pulang. Hati-hati di jalan,” kata Fino lalu menutup pintunya. Aku hanya bisa membuka mulut dengan alis terangkat. Kakiku masih terasa kaku untuk bergerak. Rasanya seperti aku menunggu berjam-jam iklan hanya untuk melihat film yang aku tonton tapi ternyata film itu hanya tayang selama lima menit saja. Aku terlalu kecewa sampai tak bisa berkata-kata.
Hari ini adalah hari tak biasa. Aku mendapati Fino setelah keluar dari kelas. Sepertinya dia menungguku karena matanya membesar saat melihatku. “Ada apa kamu ke kampusku?” “Bukankah ada yang harus kita bicarakan?” “Setelah sebulan lamanya? Aku kira kita sudah putus!” senyumku menyindir diakhir kata. “Begitu mudahnya kamu bilang putus?” “Bukankah itu yang selama ini kamu tunggu keluar dari mulutku? Kamu yang kenapa sulit sekali untuk bilang kata putus!” “Kenapa kamu bisa berpikir seperti itu?” “Bukannya selama ini kamu udah ngasih spoiler untuk aku?” “Spoiler? Maksud kamu apa sih?” “Spoiler kalau kamu ingin putus!” “Aku gak ingin putus aku hanya …” “Bosan?” sautku sebelum Fino menyelesaikan ucapannya. “Kamu gak bisa datang pada seseorang saat ingin dan pergi saat bosan Fin!” lanjutku. “Maksud aku gak gitu Gi ….” “Intinya aku sudah merasa kita putus sejak sebulan lalu, udah jelas kan? Kita udah putus Fin.” Aku pergi begitu saja meninggalkan Fino yang sedang bersiap membuka mulut.
“Gi. Kita gak bisa mengakhiri dengan cara seperti ini.” kata Fino sesaat setelah menahan tanganku. “Lalu harus gimana? Sebagus apapun perpisahan sakitnya tetap sama Fin.” “Tetap saja ini gak benar. Kita bicarakan baik-baik.” “Gak ada lagi yang ingin aku bicarakan sama kamu. Aku udah lupa mau ngomong apa Fin. Jadi kita sudahkan saja sampai disini. Aku capek.” Fino melepaskan tanganku seakan mengisyaratkan bahwa aku boleh pergi meninggalkannya.
“Kamu capek?” tanya Fino lirih. Aku hanya menatapnya. “Kalau itu yang kamu mau. Oke … Jaga diri baik-baik. Aku minta maaf jika aku banyak menyakiti kamu. Semoga kamu dapat yang lebih baik dari aku Gi …,” lanjut Fino lalu berjalan pergi. Aku hanya bisa terdiam memandang punggung Fino yang semakin terlihat mengecil sambil bertanya pada diri sendiri. Apakah ini adalah pilihan yang benar?
Fino: “Padahal aku menjauh karena aku takut kami akan sama lelah jika selalu bertengkar bahkan pada hal yang sepele. Aku takut jika aku bilang ingin menyendiri dulu Anggi akan salah paham dan kami akan berakhir putus, tapi pada akhirnya hal itulah yang membuat kami putus. Karena kami terlalu mempercayai pemikiran sendiri sehingga saling menyalah pahami.”
Cerpen Karangan: Desy Puspitasari Blog / Facebook: DesyPuspitasari