Ting…! Ting…! Ting…! Deg! Aku yang sedang berusaha menyelesaikan laporanku tertegun sejenak. Notif itu, telah sekian lama tak kudengar, apakah aku hanya berhalusinasi di tengah tumpukan tekanan pekerjaan? Atau apakah aku memang begitu merindukan dan memikirkan dia? Atau apakah aku depresi, frustasi, bahkan hampir mati? Aku berusaha mengabaikan rasa ingin mengecek HP, karena atasanku sudah menagih laporan itu berkali-kali, setiap hari. Belakangan aku tidak bisa fokus untuk menyelesaikan pekerjaan dikarenakan rasa sedih yang mendalam akibat kehilangan.
Pukul 14.08 siang, akhirnya laporan itu berhasil kuselesaikan. Tentu saja dengan seribu kali revisi dan pengecekan karena aku tidak mau lagi ada kesalahan yang bisa menyebabkan murka atasan. Aku sudah cukup kehilangan, tidak mungkin bila harus ditambah kehilangan pekerjaan, jadi mau tidak mau aku harus fokus dan kembali bekerja dibawah tekanan. Hal yang dalam kondisi normal sebenarnya sudah biasa aku lakukan.
“bisakah anda bekerja dibawah deadline dan tekanan?” “ya. Semasa kuliah saya aktif berorganisasi, tidak jarang dalam menyelesaikan urusan organisasi saya juga dituntut untuk dapat bekerja dibawah tekanan dan dalam waktu yang singkat dan terbatas.” Teringat jawabanku ketika interview kerja tiga tahun lalu, entah hal itu atau bukan yang menyebabkan aku sekarang berada di kantor ini. Tapi untuk kali ini, tekanannya beda lagi.
Pacarku, lebih tepatnya calon suamiku, baru seminggu berpulang. Ia menderita radang otak. Padahal kami sudah bertunangan, berencana untuk menikah beberapa bulan kemudian, mencita-citakan liburan dan masa depan. Tapi memang manusia hanya bisa merencanakan, Tuhan yang menentukan. Apalagi perihal jodoh dan maut. Dua hal yang sama-sama manusia tidak punya kuasa di atasnya. Setelah berusaha, kita hanya bisa berpasrah saja.
Aku teringat pesan WhatsApp yang tadi belum sempat kubuka. “assalamualaikum” “selamat pagi nona, sudah lama kita tidak bersua, maupun berjumpa. Turut berduka atas kabar kepergian yang kudengar. Semoga keadaanmu baik-baik saja. Semoga keikhlasan dan ketabahanmu membuatmu rela dan lapang dada.”
“apakah nona masih mengingat saya dan bersedia untuk membalas pesan saya? Setelah waktu itu hubungan kita dipaksa putus, di akhiri begitu saja dan pupus. Saya tidak pernah bisa melupakanmu, tentu saja. Seperti yang pernah saya sampaikan dahulu sebelumnya, jika pada waktunya saya akan datang pada anda dan keluarga. Saya pikir kesempatan saya sudah hilang sama sekali dan itu membuat saya putus asa. Mungkin anda masih berduka, tapi saya dengan segenap maksud dan tujuan yang mulia, bersedia menggantikan tugas dan tanggungjawab kawan kita tercinta kepada anda, saya tau saya tidak akan bisa menggantikan posisinya. Tapi bukankah kita pernah bersama? Saya selalu berusaha membuat anda tersenyum karena itu hal yang paling bisa membuat saya bahagia. Bila anda mengizinkan, biarkanlah saya meneruskan apa yang sudah seharusnya kita jalani bersama. Tanpa maksud menyinggung atau apa, mengingat umur kita juga sudah tidak lagi muda, dan keseriusan saya sejak beberapa tahun lalu tidak pernah mempermainkan anda. Adakah anda punya waktu luang untuk saya temui?. Sekian. Sekiranya saya akan sangat senang mendapatkan jawaban anda.”
Mataku terasa panas membaca pesan tersebut dan hatiku terasa pedih. Ada kepiluan yang mendalam di dasar kalbu. Dia kembali dan ingin menepati ucapannya untuk datang bersama keluarganya, padahal aku tak pernah menganggap itu sebagai janji sama sekali. Dia benar tentang ucapannya waktu itu bahwa dia tak pernah main-main denganku. Dengan wanita lain dia selalu melontarkan kata-kata manis nan maut, sama seperti kepadaku. Sehingga aku tak pernah ambil pusing dengan ucapannya itu. Tapi dia benar-benar melakukannya, menungguku hingga sekian tahun lamanya. Bagaimana jika kesempatanmu tak pernah tiba? Bagaimana jika Aldo hingga saat ini masih ada? Apakah kau akan menikahi seseorang dengan terpaksa? Wilman.. maafkan kejahatanku waktu itu.
Lima tahun lalu ketika aku masih mahasiswi semester 6, aku menjalin hubungan dengan Aldo adik tingkatku. Hal itu tidak masalah bagiku karena meskipun adik tingkat, Aldo lebih tua setahun daripadaku yang memang masih terlalu muda. Aku menilai Aldo bukan dari rupa, atau yang lainnya. Tapi aku menyukai sifat pekerja kerasnya. Wilman adalah teman sekelas Aldo, kami saling mengenal dan akrab karena berada di sebuah organisasi yang sama. Tidak kusangka, suatu hari Wilman membuat pengakuan di depan kawan bermainnya, yang didalam situ termasuk Aldo tentunya, bahwa ia sedang dekat denganku dan ia menyukaiku. Aldo marah mengetahui itu. Terpaksa aku menjauhi Wilman tanpa dia tau apa sebabnya. Belakangan mendengar kabar pertunanganku, tentu saja dia jadi tau apa permasalahan waktu itu. Aku sempat memblokirnya untuk beberapa waktu. Kemudian aku lulus, menapaki jalan hidup yang tidak selalu mulus.
“ya, kita bertemu besok jam 10 pagi. Untuk tempat nanti ku kabari lagi.” Jawabku singkat. “terimakasih.”
Keesokan harinya, tepat pukul 10 aku sudah berada di tempat yang kujanjikan dengannya. Sudah jam 10 dan dia belum juga tiba. Aku yang terbiasa tepat waktu mulai menghela nafas jenuh.
“permisi, nona putri?” Aku tersenyum lega, dia kelihatan cukup tergesa-gesa. “ya.” Jawabku singkat sambil tersenyum tipis. “boleh saya duduk?” “tempat ini memang untuk anda.”
Masih sama, hampir semua tentangnya masih sama. Tubuh tinggi kurusnya, kulit kuning langsatnya, senyumnya. Hanya saja rambutnya yang semasa kuliah gondrong, kini sudah dipangkas rapi. Mungkin karena pekerjaannya yang bukan lagi tentang seni. “maaf, saya terlambat beberapa menit, yaa, emm jujur untuk menemukan anda agak sulit. Anda cukup banyak berubah, ya? Hmm.” Katanya sambil membenarkan posisi duduknya. Aku memanggil pelayan kemudian kami memesan beberapa menu.
“ehm.. maaf bila terlalu frontal, tapi… saya ingin memulai percakapan ini dengan kejujuran. Bisakah anda membuka apa saja yang terjadi, setidaknya cukup hal-hal yang perlu saya ketahui. Jawaban anda tidak akan mengubah tekad saya untuk membersamai anda.” Mintanya dengan hati-hati.
Aku menghela nafas panjang dan berat. Wilman berhak menanyakan ini dan mendapatkan jawabannya, setelah aku dulu meninggalkannya begitu saja dalam tanda tanya. Maka aku menceritakan segalanya, bahkan lebih daripada yang harus dia tahu. “saya mengerti.” Pesanan kami tiba.
“saya senang anda kembali.” Kataku. “saya kira kita benar-benar berakhir di titik itu. Tapi maafkan saya sekiranya dulu mempemainkan anda. Saya tidak pernah bermaksud. Tapi saya sangat senang bicara dengan anda hingga lupa waktu. Anda ingat, waktu itu?” “bagaimana saya bisa melupakan segala hal tentangmu?” Aku terdiam. Dia menatapku dalam-dalam.
“anda tidak perlu risau. Setelah ini kita bisa berbicara sepanjang hari. Anda akan menyediakan kopi dan roti, saya akan membawakan anda makanan kesukaan setiap pulang kerja. Jika anda sakit, saya bisa menghandle pekerjaan rumah untuk kita. Jika kita sama-sama sibuk, saya akan menyediakan asisten untuk mengurus segalanya. Anda ingat dulu saya pemuda seperti apa? Bahkan sempat punya cita-cita lulus kuliah lebih lama, hanya untuk menikmati masa-masa selama menjadi mahasiswa. Tapi dengan kejadian itu, membuat saya memiliki memori yang cukup menyakitkan hati di bangku perkuliahan, sehingga saya memutuskan untuk lulus segera. Setelah dua tahun bekerja melayani orang, sekarang saya rasa gaji saya cukup untuk kita berdua. Ditambah meneruskan usaha laundry milik orangtua, saya memberanikan diri sekali lagi, memantapkan hati untuk mengakhiri masa kesendirian ini, tetap dengan anda sebagai pilihannya.”
Sekarang disinilah aku, memutuskan untuk resign dari pekerjaanku dan membantu suamiku mengurus bisnisnya yang telah berkembang dan memiliki 3 cabang.
Cerpen Karangan: Wuri W Ningrum Blog / Facebook: Wuri W Ningrum