Dia, PoV tiga, menyukai tuan bilek sebagaimana rasa cinta pria culun kepada cicak berambut pirang. Di lain sisi, PoV tiga tidak mau menjadi penghancur rumah tangga kakaknya.
Bagaimana bisa mencintai suami kakak kembarnya, PoV dua. Dulu kakaknya, PoV dua pernah berkata: temanmu itu sudah punya pacar, kah …? Temanmu sedikit tampan. “Kakak, sedikit tertarik …”
Awalnya, dia menduga bahwa itu sebatas candaan belaka … tetapi kakaknya, PoV dua, segera melakukan serangan cepat untuk menaklukan hati tuan bilek. Ada rasa untuk melakukan pemblokiran serangan kakak PoV dua guna mencegah penaklukan hati tuan bilek. Di lain sisi, dia sadar bahwa melakukan pemblokiran serangan maka akan menimbulkan keretakan hubungan persaudaraan. Dilema mulai menghinggap di jiwanya: haruskah lebih dulu menaklukan hati tuan bilek dengan konsekuensi terburuk hubungan persaudaraan bisa hancur berantakan? Atau … mengikhlaskan cintanya kepada saudara kembar demi menjaga hubungan persaudaraan?
Kehadiran kakak tertua, PoV satu, sangatlah penting dalam memutuskan keputusan yang harus diputuskan segera. Alih-Alih bertanya ‘Kakak, kalau Kakak mencintai seseorang yang sama dengan sahabat Kakak—apa yang Kakak lakukan?’ lalu dijawab, “Pertanyaan yang cukup pelik buatku. Jujur, aku akan dilema berat dalam mengambil langkah. Ini seperti aku disuruh memutuskan membunuh salah satu orang yang berharga dan cintai dengan satu peluru. Jelas, aku mencintai orang itu, tetapi aku tidak mau membunuh dan menghancurkan segala yang dibangun oleh kami berdua begitu saja. Di lain sisi, aku mencintai sahabatku, dan tidak mau seluruh kenangan yang diciptakan hanya sekedar delusi belaka …
“Atau haruskah aku menembak diri sendiri saking tidak bisa memutuskan keputusan yang harus segera diputuskan secepat mungkin …? Rumit sekali, rumit sekali. Tentu saja, aku berpikir ‘sahabatku bisa memahami kekalahannya’, tetapi itu seperti taruhan melempar koin. Aku bukan tipikal mau mengambil sesuatu yang tidak jelas …”
Seorang pengecut …?
“Tentu bukan, hanya saja aku sudah mengalami kekalahan dari semua taruhan selama ini. Antisipasi saja …”
Jadi bagaimana keputusannya …?
“Sudah kubilang bahwa ini sangat pelik untuk mengambil keputusan. Jujur saja, aku akan mengambil pilihan pertama, yakni tetap menaklukan hati orang yang kucintai, walaupun hubungan dengan sahabatku hancur berantakan. Egois sekali, bukan? Aku menyadari satu hal, bahwa hidup harus egois untuk menggapai apa yang diinginkan. Pada dasarnya, orang-orang hidup di dunia sendiri tanpa pernah mengijinkan yang lain masuk, kecuali belas kasih dan hinaan. Aku yakin kalau sahabatku ti—”
Demikianlah yang disampaikan oleh kakak tertua, PoV satu, menjadikan bahan pertimbangan untuk ambil langkah selanjutnya.
Dia sedikit setuju akan apa yang disampaikan oleh kakak tertuanya, tetapi hati kecil yang penuh keluguan merengek-rengek sembari menepuk-nepuk kecil. Menolak sebagian yang disampaikan oleh kakak tertua, PoV satu, karena di hati kecil yang lugu ini seperti berkata, ‘tidak semua orang yang memikirkan hidup sendiri. Ini hanya masalah saling memahami saja. Selama bisa memahami apa yang terjadi, maka tidak akan jadi suatu masalah yang serius’. Sehubung lugu—tidak heran bahwa yang dihadapi ini ‘cinta’ suatu yang tak bisa dijelaskan oleh rangkaian kata-kata, tidak bisa pula dipintal oleh kalimat demi kalimat.
Pada akhirnya, banyak orang yang menciptakan dari rangkaian kata-kata ataupun pintalan kalimat demi kalimat dengan nama ‘cinta’. Sebagaimana temannya, beliau, pernah berkata: “Jangan membayangkan cinta itu seperti surga, tetapi jangan pula bayangkan macam neraka. Cinta itu terlalu suci untuk dibayangkan belaka, dan juga cinta itu terlalu pedih untuk dinikmati. Rasakan apa yang cinta lakukan. Lembutan cinta dalam membelai, bahkan penuh bengkak karena ditinju cinta …”
“Tak masalah menggambarkan cinta sesuai gambaran isi kepala, tetapi jangan memercayai bahwa gambaran cinta yang dilukis oleh kalimat-kalimat atau disusun oleh kata demi kata ataupun dibangun oleh paragraf perparagraf. Itu sebuah kekonyolan! Bagaimana bisa memercayai cinta bahwa ‘cinta adalah nafsu’, sedangkan gambaran cinta di sana digambarkan ‘sejatinya, cinta tak lebih rasa egois yang dibungkus oleh kasih sayang’. Tak ada gambaran yang pasti menggambarkan cinta sebagai apa …”
Kian melahap otaknya, dilema tersebut tak henti-henti melahap otaknya. Di lain sisi, kakak kembarnya, PoV dua, sudah melakukan aksi penyerangan secara besar-besaran. Dia harus mengakui bahwa dirinya memang serupa dengan kakak tertuanya, PoV satu, penuh rasa takut dan perhitungan sampah yang terus menghantuinya tanpa henti. Rasa bersalah mulai merayap-rayap guna melenyapkan jiwa sucinya.
Sekali lagi, dia bertanya kepada kakak tertuanya, PoV satu. Berdalih ‘apakah mencintai seseorang yang Kakak cintai tetapi menghancurkan hubungan sahabat Kakak—itu termasuk egois …?’ Kakak tertua, PoV satu, menjawab, “Lagi-Lagi sebuah pertanyaan sulit untukku jawab … baiklah, aku akan semaksimal mungkin untuk memberikan jawabannya, tetapi aku tidak janji untuk bisa menjawab secara jelas dan pasti. Sekali lagi, ini sangat sulit untuk kujawab secara pasti.
“Seperti sebelumnya, bahwa aku lebih baik memilih ‘menaklukan hatinya walaupun hubungan persahabatanku hancur’. Sudah jelas sekali, bukan? Bahwa itu bentuk egois. Cinta juga bentuk dari egois dari diri manusia. Ma—”
Begitulah yang kakak tertua, PoV satu, menjawab sebuah dilema berkedok pertanyaan. Sekali lagi, dia masih mematung sembari melihat-lihat aksi penyerangan kakak kembarnya tersebut. Manusia itu memang egois, itulah yang menampar hati kecil nan penuh keluguan bahwa dia selalu memikirkan seseorang dibandingkan diri sendiri.
Temannya, beliau, sudah berkali-kali coba dengan aneka cara menyadarkan dia: “Jangan terlalu baik dengan semua orang! Silakan mau berbuat baik, tetapi jangan pernah melupakan diri sendiri. Orang-Orang tidak akan pernah peduli akan segala kebaikan … tetapi itu hanya sebagian besar.”
Setiap perkataan beliau yang keluar dari pipa licin itu mengandung kekhawatiran akan dia—seakan-akan beliau tidak mau melihat dia menangis karena kebaikan. Kekhawatiran yang beliau bungkus di dalam kata-kata tetap tidak membuat dia sadar.
Dia, PoV tiga, hanya bisa tersenyum tipis tatkala hati polosnya mulai timbul noda saat kakak kembarnya begitu bahagia. Dia tidak iri dengan kebahagian kakak kembarnya, tetapi dia iri dengan aksi yang membuat kakak kembarnya bisa mengencani tuan bilek. Dia sampai saat ini hanya bisa terdiam dengan kebimbangan mengikat tubuh halusnya.
Bagaimanapun juga, dia benar-benar ingin menaklukan hati bilek. Ingin ketawa bersama; ingin tahu rasanya ketika dua dahi saling berciuman; ingin sekali tangannya saling mengenggam setiap waktu walaupun kematian sudah memisahkan jiwa; ingin sekali mengecup pipinya. Namun, itu tampak seperti mimpi yang hanya sekedar impian seorang pengecut.
Di lain sisi, beliau benar-benar menakutkan keadaan dia. Beliau tahu apa yang sedang terjadi dalam hidup dia, tetapi beliau sadar juga bahwa membantunya hanya akan buat jatuh ke dalam lubang lumpur penuh kepedihan. Tidak mau …
Sudah tak bisa terhitung pula serangan yang dilakukan oleh kakak kembarnya, PoV dua, guna menaklukan hati tuan bilek. Sampai saat ini, dia, PoV tiga, masih terdiam sembari hati lugu yang sudah ada noda masih berpikir ‘apa yang terbaik dari dua pilihan tersebut?’. Tanpa henti berputar-putar tanpa tujuan. Tidak, tidak, tidak. Dia punya tujuan dalam dirinya, tetapi ragu akan langkah selanjutnya.
Selalu memasang seluruh kepalsuan kepada kakak kembarnya, PoV dua … dia jadi ingat perkataan kakak kembarnya, kurang lebih: Kamu jangan seperti PoV satu. Jangan jadi pengecut! Ambil langkah kalau menurutmu itulah terbaik. Masalah buruk atau baik itu hanya masalah pandangan saja. Selama pandangan masyarakat berkata bahwa itu ‘tidak salah’, ya, lakukan saja …
Padahal dia dan kakak kembarnya terlahir satu sel telur yang sama. Seharusnya, saudari kembar memiliki kemiripan di dalam diri masing-masing. Sama-Sama menyukai orang yang sama, tetapi sifat saling bertolak belakang.
Pada akhirnya, dia hanya bisa menatap dari kejauhan yang kian mendekat—segala yang kakak kembarnya lakukan. Tak melakukan banyak aksi, kecuali memasang segala kepalsuan di mukanya. Bercak noda yang terus menerus muncul di hati lugu. Dirinya tertelan oleh dilema tanpa melawan, menjerit, menangis …
Tamat
Cerpen Karangan: Suijin Syah Facebook: facebook.com/suzuki.kaito.754 Wibu yang mencoba untuk menjadi penulis yang baik dan benar, tetapi malah gagal. Kegagalannya tak henti menghantui. Alhasil, selalu gagal dalam membuat dunia impian. Penulis juga menulis di platform Wattpad: wattpad.com/user/Mpvi_05
Cerpen ini dimoderasi oleh Moderator N Cerpenmu pada 9 April 2022 dan dipublikasikan di situs Cerpenmu.com