Kamu kenal cak Jumadi, si bandar dadu sekaligus makelar togel yang berkaki pincang itu? Kebetulan aku sering nimbrung kerumahnya—sekadar berbincang-bincang tentang hal-hal yang tidak ada jluntrungannya, kalau misalnya tidak ada yang di perbincangankan aku hanya menungguinya yang meramal angka-angka togel itu. Tapi kendati pun demikian, ada yang aku kagumi dari sosok yang satu ini, yakni kepribadiannya yang sabar dan suka guyonan. Suatu ketika aku datang kerumahnya. Dimana aku langsung disambut oleh tiga ekor anjingnya, menggonggongiku dengan suara yang bringas. Mendengar suara gonggongan anjingnya langsung saja cak Jumadi keluar dari rumahnya untuk memeriksa siapa yang datang. Ketika yang didapati adalah diriku yang berdiri di depan tiang emper rumahnya, dia langsung tertawa senang. "Diancuk.... dulur lanang, lama tidak kemari, kemana saja kamu?" Sambut cak Jumadi dengan riang gembira.
"Biasa cak, aku kan pendekar yang disini senang disana senang dimana-mana hatiku senang" Jelasku sambil pringas-pringis.
"Ayo, masuk-masuk!" sambil merangkul pundakku cak Jumadi mengajak diriku agar cepat-cepat masuk kedalam rumahnya. Cak Jumadi dan keluarganya sangat baik kepadaku, seakan-akan aku dianggap seperti saudara sendiri. Setiap kali aku berkunjung kerumahnya, apapun disuguhkan termasuk seperangkat alat dadu dan kitab erek-erek. Kehidupan Cak Jumadi boleh dikatakan cukup sederhana, tapi grapyaknya sungguh kelewatan tak terukurnya. Setiap hari dia hanya bergelut dengan dunia perjudian. Kalau pas musim tanggapan kesenian, dia akan menggendong dadunya lantas tunggang langgang menuju lokasi bersama temannya Bunari. Kalau tanggapan pas lagi sepi-sepinya maka dia hanya akan berkeliling kampung, mejajakan kupon undiannya. Cak Jumadi tidak punya pekerjaan lain selain itu. Dia tak pernah sekolah tak mungkin jadi PNS, dia yang buta huruf mustahil juga kalau mau jadi pejabat bahkan untuk menjadi ketua RT sekalipun. Ditambah kakinya yang cacat rasanya sulit pula jika ia bekerja terlalu berat. Untuk sekadar berjalan saja ia harus dibantu dengan tongkat.
Sementara istrinya mbak Wijayanti hanya bisa diam dirumah tanpa banyak beraktivitas; katanya ia sedang menderita penyakit gagal ginjal sejak 3 tahun yang silam. Setiap sebulan sekali cak Jumadi harus membawa istrinya ke rumah sakit secara rutin guna untuk cuci darah. Cak Jumadi kerap berharap kelak bisa menang togel berganda-ganda, atau dapat untung dadu sebanyak-banyaknya. Agar uangnya nanti dapat di gunakan untuk membiayai istrinya berobat lebih lanjut. Cak Jumadi dan mbak Wijayanti di karuniai dua orang anak, anak yang pertama perempuan, yang di beri nama Windi yang kini berusia 19 tahun. Anak yang kedua laki-laki, yang di beri nama Santoso yang kini masih duduk di bangku kelas 3 SMP. Beberapa waktu yang lalu Cak Jumadi hampir besanan sama pak Haji Dasin, saat Fauzi anaknya Kaji Dasin yang lulusan pesantren itu jatuh hati sama Windi binti Jumadi. Akan tetapi cintanya Fauzi nampaknya adalah cinta yang terlarang, lantaran Kaji Dasin tidak merestui hubungannya dengan Windi, alasannya karena Windi adalah anaknya Jumadi, dan seiingat Kaji Dasin Jumadi itu selain pendekar judi ia juga merupakan keturunan PKI.
"Siapa juga yang mau besanan sama Jumadi yang hidupnya nggak jelas itu, mau di taruh dimana muka saya jika harus besanan sama Jumadi yang kerjaannya sana-sini ngobral judi. Tapi iya mau gimana lagi namanya juga anaknya PKI." kethus kaji Dasin dihadapan para tetangganya.
"Bener Ji, jangan sampai anakmu menikahi anaknya si Jumadi. Dari dulu kita tahu kalau keluarganya si Jumadi itu adalah keluarga maksiat, tempatnya orang jahat. Pejudi, Pemabuk, Pelacur, apalagi Pencuri numpuk di keluarga itu. Hampir semua keturunan bapaknya itu keparat semua, dasar PKI. Kamu tahu, itu istrinya yang sekarang sakit-sakitan? Itu dia sedang kena karma, karena Wijayanti itu dulu adalah mantan lonthé." sahut tetangganya dengan amat geram.
Kaji Dasin pun menimpalinya dengan lebih sadis.
"Iya begitulah, lagipun keluargaku adalah keluarga yang baik-baik kalau sampai anakku menikahi anak keluarga keparat itu mau di taruh dimana wajahku ini? Itu sama halnya mau menyebrangi lautan darah."
Sungguh malang nasib cak Jumadi, dalam keadaannya yang seperti itu ia justru malah di goreng oleh orang-orang yang membencinya, dan yang paling membuat greget lagi pake ngundat-undat latarbelakang cak Jumadi yang anaknya PKI. Kadang aku merasa sakit hati, dengan orang-orang yang suka menghakiminya, tanpa tahu siapa sebenarnya cak Jumadi. Mereka hanya bisa melihat rumput yang tumbuh tanpa ingin meraba akar-akarnya.
*
Pada suatu hari yang tak terduga, di tengah keadaannya yang seperti itu. Tiba-tiba bencana menimpa cak Jumadi. Malam itu adalah malam takbiran menjelang lebaran idul fitri. Saat ia tengah menggelar dadu di rumah tetangganya. Kebiasaan orang-orang di kampung adalah melek'an. Apalagi dimalam takbiran seperti ini tradisi melek'an seperti sudah menjadi kewajiban.
"Duaaarrr, angkat tangan!" suara letupan peluru yang disusul dengan suara teriakan itu terdengar dari luar rumah. Belum sempat cak Jumadi dan teman-temannya berdiri, tiba-tiba balok kayu dihantamkan ke jendela kaca, kaca pun pecah hingga serpihannya ambyar mak pyar berserakan ke lantai, kemudian pintu di dobrak.
"Diam, di tempat!" Sergah seorang polisi sembari menodongkan senjatanya, kemudian disusul oleh delapan orang rekannya, mereka merangsek masuk dan langsung membekuk cak Jumadi beserta teman-temannya. Sambil terpincang-pincang karena kakinya yang cacat cak Jumadi digeret menuju mobil. Tanpa banyak basa-basi cak Jumadi langsung dibawa menuju ke kantor. Dan cak Jumadi dijatuhi hukuman 6 bulan penjara.
Sementara mbak Wijayanti langsung pingsan setelah ia tahu jika suaminya digondol polisi. Kedua anaknya hanya bisa menangis sambil memeluk ibunya yang sedang terbaring lemas diatas kursi sofa. Para tetangga pun saling berdatangan, berberapa keluarga pun nampak panik kalang kabut kebingungan. Beruntunglah setelah satu jak kemudian mbak Wijayanti akhirnya siuman, tapi tubuhnya tetap lemas tak berdaya. Lebih-lebih ia juga sedang menderita penyakit gagal ginjalnya.
Setelah beberapa hari pasca ditangkapnya cak Jumadi kini keluarganya lebih-lebih anak istrinya seperti telah kehilangan tulang punggungnya. Pasalnya; selama ini cak Jumadi sangat menyayangi mereka dan selalu ikhlas dalam berjuang menafkahi, atau mencukupi segala kebutuhan rumah tangganya. Akhirnya tanpa banyak berpikir anak Gadisnya yakni Windi nekat merantau ke luar negeri, dengan niat mengantikan petan bapaknya dalam mencari nafkah. Tapi, lain Windi lain Santoso. Semenjak bapaknya mendekam di dalam sel, Santoso seperti tidak punya semangat untuk ke sekolah lagi. Dia memutuskan untuk berhenti sekolah, dan lebih memilih bergabung sama gerombolannya Gali si ketua bandit kelas kakap dikampungnya, yang sudah sering keluar masuk penjara tapi ndak ada kapok-kapoknya.
Sejak bergabung dengan geng-nya Gali, Santoso jadi aktif mencopet di tempat-tempat keramaian. Sampai pada bapaknya cak Jumadi keluar dari penjara Santoso masih aktif mencopet. Cak Jumadi sudah menasehatinya agar berhenti bergabung dengan geng-nya Gali, dan menyarankannya untuk kembali ke sekolah. Tapi nasehat itu seakan tidak di indahkan sama sekali oleh Santoso, dia tetap ndableg bergabung dengan gerombolannya si Gali dan terus aktif merampok.
Hingga pada akhirnya Santoso ketangkep juga, saat ia tengah kepergok mau nyolong sepeda motor, di depan sebuah toko. Dia sempat melarikan diri tetapi akhirnya ia dapat ditangkap oleh warga, kemudian ia di hajar masa, setelah itu diserahkan ke polisi. Cak Jumadi dan mbak Wijayanti yang mendengar kabar itu pun hanya bisa menahan rasa sedihnya. Katanya Santoso dijatuhi hukuman 1 tahun penjara. Namun, belum genap satu tahun Santoso sudah di pulangkan. Akan tetapi, dalam keadaan sudah tidak bernyawa. Entah, siapa yang membunuhnya? Katanya pak polisi dia mati karena bunuh diri, tetapi Cak Jumadi tidak bisa terima dengan penjelasan yang se enteng itu. Akhirnya cak Jumadi yang super sabar itu berubah jadi marah besar bagai kesurupan, lebih-lebih melihat jasad anaknya yang penuh luka lebam. "Masak bunuh diri sampai luka lebam begitu, ini benar-benar tidak masuk akal." Sanggah cak Jumadi sambil tersedu-sedu melayangkan protesnya dihadapan pak polisi. Tapi, pak polisi cuma bisa mendel mawon tanpa sepatah katapun yang terucap. Sementara aku yang disampingnya hanya bisa mengelus-elus punggungnya sambil berkata-kata "Sabar cak! sabar!" cak Jumadi pun luluh, kemudian ia memelukku sambil terus menangis haru. Iya, aku tahu, orangtua mana yang tidak sedih melihat anaknya terkapar tak bernyawa dengan keadaan yang menggemaskan seperti itu. Apalagi bagi mbak Wijayanti seorang ibu yang telah melahirkannya, yang dari tadi sudah pingsan tak lekas siuman. Sungguhpun aku tidak bisa membayangkan perasaan mbak Wijayanti. Itu pasti sakit sekali.