"Kamu siapa?" tanya seorang wanita yang berdiri di sisi Mas Azam dengan kening berkerut.
Aku tergagap. Melirik jari kedua pasang manusia di hadapanku, membuat hatiku nyeri.
Aku melirik dengan tanda tanya besar kepada lelaki di hadapanku. Tapi, Mas Azam cuma mampu bungkam.
'cukup ....,' aku bermonolog dalam hatiku. 'Aku sudah cukup mengalah selama ini.'
Dengan memghela napas panjang, aku hendak menjawab pertanyaan wanita cantik di sebelah laki-laki yang juga suamiku itu.
"Dia istriku juga Nis," jawaban tegas terlontar dari bibir pria itu.
Aku dan wanita itu terhenyak. Padahal bukan jawaban itu yang hendak aku utarakan. Walau aku ingin mengaku, tapi tidak sekarang.
Anisdha Rahanum. Wanita cantik dengan tubuh proposional. Wajahnya yang lembut, bulu mata lentik, hidung mancung, alis mata tebal hitam melengkung indah. Sungguh sempurna.
Wanita itu menganga sempurna.
"Jangan bercanda kamu, Mas?!" sergahnya gusar.
Pria tampan itu menggeleng. Menyatakan jika ia jujur.
"Well ... mestinya siapa yang harus sadar diri sekarang," ujar wanita cantik pongah menatapku.
Ya ... Aku sadar siapa aku. Bahkan pernikahanku dengan pria itu sebatas nikah sirri. Aku mengangguk. Perlahan aku berjalan mundur. Langkahku akan meninggalkan semuanya. Aku menatap perutku yang masih rata. Biar, aku tak akan membebani siapapun sekarang atau masa yang akan datang.
Aku membalik badan.
"Kau lah yang pergi Nis. Bukan Arina!" gelegar suara Mas Azam menghentikan langkahku.
Ah ... drama apa lagi ini. Aku memantapkan langkah. Teriakan Mas Azam tak kuhiraukan. Biar masalah ini jadi bebannya. Aku tak mau ikut-ikutan.
Bergegas kumasukkan semua pakaianku ke dalam koper. Sejurus kemudian aku menggeret benda besar itu.
Masih kudengar perdebatan kedua insan di ruang tengah. Aku bergegas meninggalkan rumah itu.
Sampainya aku di luar pagar. Sebuah taksi melintas. Langsung saja aku berhentikan dan aku menaikinya.
Tepat kumenutup pintu taksi. Kulihat pria tampan itu mengetuk kaca.
"Buka!" teriaknya.
"Bang jalan!" perintahku pada supir.
"Tapi Bu ...."
"Cepat!" Seruku.
Sang supir pun langsung menancap gas. Sempat kulihat Mas Azam berlari. Tapi segera kumenyuruh supir itu menekan penuh pedal gasnya.
Hingga ditikungan jalan tak kulihat lagi Mas Azam mengejar. Aku menghela napas. Setitik air menyeruak di pelupuk mataku.
Kugigit bibir bawahku. Mencoba menahan semua gejolak dalam dada.
''Selamat tinggal Mas. Semoga kau bahagia," ucapku lirih.