Note. jangan Baca Sendirian.
Parman pergi dengan tergesah meninggalkan Ismi yang duduk bersimpuh di teras rumahnya dengan tangis, anaknya yang semata wayang berusia 2 tahun hanya termangu menyaksikan kejadian itu.
Hampir setiap hari, KDRT, cekcok, sampai merusak barang-barang rumah tangga terjadi di rumah ini karena masalah ekonomi yang semangkin memburuk. Parman yang hanya seorang pengangguran dan bekerja sealakadarnya saja saat ada panggilan, sudah menganggur lebih dari 4 bulan. Ismi lah yang menyokong kebutuhan hidup rumah ini dengan berjualan kue ataupun menjadi buruh cuci. Di tambah lagi mereka harus menghidupi seorang kakek tua renta yang sudah sepuh di rumah itu karena mereka tak punya tempat tinggal selain menumpang di rumah kakek Ismi.
Anak-anak dari kakek Ismi mengijinkan mereka tinggal di rumah itu asalkan Ismi mencukupi kebutuhan kakeknya meskipun hidup keluarga itu pun sudah melarat. Mereka seperti mendapatkan seorang pengasuh gratis, yang tak perlu lagi menyuruh orang lain untuk mengurusnya. Dan selama Ismi dan keluarganya tinggal di tempat itu, anak-anak nya sudah lepas tangan dan tak perlu lagi repot mengunjungi orangtuanya yang renta itu.
Pekerjaan Parman selama 4 bulan menganggur adalah bermain dengan teman-teman yang masih bujang dan kecanduan bermain togel. Dia memang sering menang dan meraup uang jutaan, tapi itu hanya sesaat. Uang nya akan langsung habis karena Parman terus melanjutkannya untuk mendapatkan untung berkali-kali lipat. Kecanduan akan judi togel mangkin menjadi, bahkan Parman sering memakai uang Ismi dengan dalih akan melipatgandakannya meskipun uang nya tak pernah kembali.
Puncaknya pada hari itu, Ismi yang tak tahan lagi dengan perlakuan Parman mengutarakan segala isi hatinya yang menderita karena parman tak juga kunjung bekerja. Mereka terlibat cekcok yang sangat fatal, hingga Parman hilang kendali dan membanting Ismi ke luar rumah, yang di saksikan oleh anaknya yang masih kecil.
Ismi menggenggam tangannya yang sakit, darah mengucur deras di lututnya yang terhempas beton. Parman sudah melesat jauh meninggalkan nya tanpa menoleh ke belakang.
Dada Ismi bergemuruh, wajahnya merah padam, seketika dia gelap mata dan mengucapkan kalimat kutukan.
"Tolong, apapun, dan siapapun engkau.." ujarnya dengan tangan mengacung ke atas.
Matahari tiba-tiba menghilang, cuaca meredup dalam hitungan 3 detik. Angin bergemuruh seperti akan datang badai besar.
"Tolong. Bunuhlah suamiku, dan jangan biarkan dia pulang ke rumah ini dalam keadaan hidup!" Suaranya bergetar menggetarkan seisi semesta seolah hidupnya sedang berada di ujung jarum.
Angin dingin datang berhembus menyentuh tengkuk Ismi, dan tepat setelah dia mengucapkan kata-kata kutukan itu, tiba-tiba anaknya menangis tanpa sebab sambil memeluk tiang rumah seakan melihat sesuatu yang membuatnya takut.
Ismi beranjak menenangkan anaknya, tapi anaknya tak mau diam dan terus menangis melihat ke arah jalanan yang pernah di lalui oleh ayahnya yang sedang marah.
*************
Parman melajukan motor bututnya dengan kencang, dia tak menghiraukan hujan gerimis yang membuat tubuhnya sakit karena menerpa tetesan air hujan. Yang ada di kepala Parman sekarang adalah rasa marah yang teramat sangat atas perlakuan Ismi.
Parman tak menyangka wanita penurut yang dia nikahi 4 tahun yang lalu itu, berujar kata-kata kasar dan berani ikut campur atas pekerjaannya. Selama ini Ismi selalu ikut dan tak pernah membantah keputusan Parman sekalipun dia tak ingin bekerja karena malas ataupun jenuh.
Parman sangat mencintai Ismi meskipun dia kerap kali selingkuh dengan wanita lain, tapi Parman menganggap hal itu hanyalah iseng belaka. Baginya selingkuh adalah hal yang biasa, cintanya tetap pada istrinya, tak ada yang mampu menggantikan Ismi meskipun dia sudah 5 kali meniduri wanita lain.
Namun kali ini Parman benar-benar tak terima, teganya istri yang dia sayangi memprotes pekerjaannya, bukannya selama ini jika Parman menang, Ismi dan juga seisi rumah itu menikmati hasilnya dan membeli banyak keperluan, bahkan sanggup membeli lemari pakaian baru bagi anak semata wayang mereka, yang bahkan tak sanggup mereka beli dengan uang hasil mereka berdua bekerja.
Parman merasa benar-benar tak adil, dia kecewa dengan perlakuan Ismi. Sehingga tak memperhatikan arah motornya melaju, dan..
Ckkiiiitttt....
Tanpa Sadar Parman menerpa pembatas jalan, dan jatuh ke dalam jurang.
Dia tewas seketika setelah menghantam batu dengan kepala terhempas, tubuhnya bagai rubik yang di tumpuk, tak lagi berbentuk bahkan saat jasadnya di angkat dan di baringkan di dalam keranda tubuhnya tak dapat di luruskan dengan benar.
**************
Ismi diam saat jasad suaminya tiba, orang-orang berdatangan melayat dan ikut berduka sambil memenangkan Ismi yang sekarang resmi menjanda.
Rumahnya langsung ramai di datangi para pelayat setelah kabar tentang kematian Parman menyebar. Isak tangis terdengar di seluruh penjuru rumah, mereka semua menyayangkan kematian Parman yang terbilang cepat padahal Ismi belum lama menikah dan lagi anak mereka masih kecil dan butuh sosok seorang ayah.
Namun di balik tangis orang-orang yang melayat, Ismi tampak tegar, wajahnya dingin, dia seperti wanita kuat yang berani menerjang badai. Tapi tak ada yang tau, jika di balik wajah kerasnya yang seolah tampak sabar, diam-diam dia menyeringai dan berselebrasi karena pencapaiannya. Ismi tampak lega.
***************
Tiga hari berlalu setelah kematian suaminya, Ismi mulai kehilangan sesuatu. Dia seperti orang linglung yang tak bisa melakukan pekerjaannya dengan benar, seperti melupakan keberadaan anaknya yang sedang dia mandikan di kamar mandi, atau tak bisa menghitung jumlah dagangannya sendiri. Ismi merasa hampa, dan dia tak tahu kenapa.
Di suatu malam, akhirnya dia mengingat Parman suaminya. Dia menyadari jika keberadaan Parman lah yang membuatnya merasa hampa. Tapi Ismi tak bisa berbuat apa-apa, dia menginginkan hal ini lebih dari apapun.
Tok tok tok...
Suara ketukan pintu membuyarkan lamunan Ismi. Dia menyelimuti anaknya sebelum kemudian beranjak pergi ke arah pintu.
Malam itu berhujan, hujan gerimis persisi seperti waktu Parman meninggal. Ismi ragu apakah benar itu adalah suara ketukan seseorang yang bertamu, mengingat jam yang sudah menunjukan pukul 11 malam dan lagi suara ketukan itu tak terdengar lagi setelah suara ketukan pertama.
Saat Ismi membuka pintu, yang pertama dia lihat adalah siluet dari punggung seseorang yang dia kenal. Punggung dari seseorang yang dia rindukan.
Ismi mendekat ingin memastikan. Saat Ismi berjalan selangkah untuk mendekat, orang itu membalikan badannya. Dan nampaklah sosok Parman dengan wajah hancur tak berbentuk, kepalanya hampir terbelah, matanya keluar dari kelopak matannya, mulutnya robek, dagunya penyok ke samping, darah mengucur dari wajahnya dan mengalir membasahi lantai, bau anyir darah tercium memenuhi indra penciuman.
Namun reaksi Ismi di luar dugaan. Dia bukannya lari atau berteriak ketakutan, tapi malah semangkin mendekat dan membekap mulutnya sendiri seolah tak percaya jika Parman benar-benar akan datang menemuinnya dalam keadaan tak hidup.
Ismi senang tak kepalang, dia mengajak Parman yang menyeramkan masuk ke dalam rumah sambil menggandeng tangannya, seperti yang pernah mereka lakukan pertama kali saat muda, saat Parman malu-malu untuk melamarnya.
Ismi tertawa cekikikan dengan tertahan, agar tak membangunkan kakeknya yang sudah duluan terlelap setelah yasinan. Dia tak menyangka jika keinginannya benar-benar terkabul, Ismi sudah lama menginginkan hal ini, dia ingin Parman yang tak hidup datang ke dalam hidupnya, agar tak ada yang dapat melihatnya, dan agar hanya dia yang dapat memiliki Parman tanpa harus merepotkan tentang keperluannya seperti Parman masih hidup.
Malam itu, Ismi menari-nari dengan Parman di ruang tamu sambil bersenandung pelan, mereka berputar-putar bagai gasing dalam kebahagiaan, darah Parman yang menetes berpercikan kemana-mana memenuhi ruangan, mereka berdua terlalu larut dalam euforia.
*************
3 tahun berlalu. Ismi yang menjanda mangkin terlihat cantik dan terawat. Paras cantiknya bahkan mampu mengalahkan para perawan yang ada di kampung itu. Kecantikannya bahkan terkenal sampai ke luar desa dan menjadi buah bibir tetangga karena Ismi memilih tak menikah dengan dalih masih mencintai Parman meskipun sudah lama berlalu.
Parjo teman Parman semasa hidup, diam-diam menaruh hati kepada Ismi dari semenjak Ismi masih gadis, dan rasa sukanya tak lekang oleh waktu meskipun berstatus menjadi istri orang hingga menjadi janda.
Hari ini Parjo kembali mengunjungi warung Ismi untuk sekedar melepas lelah setelah seharian bekerja, dan juga tentu saja untuk melihat Ismi pujaan hatinya.
"Kopi satu Mi, gula nya dikit ya, ga usah manis, kan kamu udah manis!" Pinta Parjo di selingi gombalan pacul.
Ismi tersenyum simpul dan mengiyakan pesanan Parjo.
"Makasih ya!" Ucapnya setelah pesanannya datang.
"Iya!" Balas Ismi sambil beranjak.
"Ehh..bentar!" Cegat Parjo.
Ismi mematung.
"Sini aja, temenin. 15 menit aja, kan warung kamu lagi sepi ni cuman ada aku doang." Pinta Parjo.
Ismi terlihat ragu tapi dia tak beranjak.
"Bolehkan!" Parjo meminta persetujuannya.
Ismi sontak mengangguk di iringi senyuman simpul dan duduk di dekat Parjo.
"Udah tiga tahun aja ya Mi, kamu di tinggal!" Parjo membuka percakapan. "Gimana keadaan kamu, apa kamu ga kesusahan ngurus Lila ama kakek sendirian!"
Lila adalah nama anaknya Ismi dan Parman.
"Alhamdullilah ga bang. Ismi baik-baik aja!" Balas Ismi ramah. "Karena selama ini ada bang Parman yang terus jagain Lila dan kakek!"
Mendengar hal itu Parjo langsung merasa iba. Tak terbayangkan betapa sedihnya Ismi di tinggalkan Parman, meskipun sudah 3 tahun berlalu cintanya tak lekang oleh waktu.
"Kamu ga niat buat cari pengganti baru Mi?" Tanya Parjo.
Seketika kening Ismi mengedut.
"Ya maaf, kalau pertanyaan ku lancang, tapi Mi. Aku harap kamu cepat-cepat bertemu pendamping baru, biar ada yang ngurusin Lila ama kakek."
Ismi hanya tersenyum mendengarnya.
"Aku gini karena peduli loh ama kamu. Gada niat apa-apa kok!" Parjo tarik ulur menyembunyikan perasaannya, karena dia pun sadar kalau sekarang bukan waktu yang pas untuk mengutarakan perasaannya.
"Makasih ya bang. Untuk sekarang aku baik-baik aja, belum ada niatan buat nyari pengganti."
Parjo merasa telah kalah sebelum berjuang.
*************
"Jo, Parjo!"
Kemudian hening, tanpa suara.
"Jo. Lancang kamu Jo!"
Suaranya tiba-tiba meninggi seperti sedang menahan amarah.
"Parjo. Aku akan membunuhmu!" Suaranya tiba-tiba berubah keras menggelegar.
Shuut...
Parjo terbangun dari tidurnya, tubuhnya basah oleh keringat. Dia tidur dalam keadaan setengah sadar dan mendengar suara sahabatnya seolah-olah sedang berada di sampingnya.
"Parman!" Gumam Parjo mengurut pelipis.
Tak..tak...
Parjo terkesiap beberapa saat setelah mendengar suara batu kerikil yang seperti menghantam kaca jendelanya, seperti yang pernah di lakukan almarhum semasa hidup untuk mengajaknya keluar tanpa sepengetahuan orang tuanya.
Seketikan Parjo mematung diam. Bulu kuduknya meremang, kepalanya tiba-tiba menghangat karena tegang. Di liriknya jam dinding di dalam kamarnya yang menunjukan pukul 11 malam. Parjo terkejut dan mendadak gemetar.
Bukannya tadi dia tidur jam setengah 12, tapi kenapa jam dinding di dalam kamarnya mendadak berubah pukul 11 malam seperti waktu sedang memundur. Lalu dia teringat dengan kebiasaan Parman yang selalu datang pukul 11 untuk menjemputnya nongkrong di dekat pasar.
Sebelum Parjo menyadari hal itu, tepat di balik kaca kamarnya, Parman mengintip Parjo dengan wajah mengerikan dan menempelkan sedikit darah dan meninggalkan daging yang terlepas dari wajahnya.
Seketika Parjo pun pinsan sampai pagi.
**************
"Bukan cuman lu doang Jo, di sini banyak kok yang ngalamin hal yang sama kek lu juga kalau siangnya abis deketin Ismi!" Tutur teman satu tongkrongannya, setelah Parjo mengungkapkan pengalaman mengerikannya semalam.
"Masa, si. Apa bener ya, si Parman itu gentayangan dan ga suka kalau Ismi di dekatin orang!" Parjo tak habis .
"Kalau menurut gua sih, iya. Soalnya masa semua orang yang pernah di gangguin Parman, abis siangnya pernah godain Ismi."
"Ahh..udahlah. ga baik woi ngomongin orang yang udah meninggal." Parjo menyudahi obrolannya.
"Kan tadi lu yang buka obrolan. Kok gua yang lu salahin!"
"Dah ya aku cabut dulu, udah mau keburu malem ni." Parjo pamit.
Di tengah jalan, Parjo berhenti saat melihat Ismi yang kebingungan karena motornya tiba-tiba mogok sehabis dari pasar membeli keperluan warung. Dan dengan senang hati Parjo menawarkan bantuan dengan menuntun motor Ismi menuju bengkel terdekat.
"Ini mah mesinnya perlu di bongkar bang. Motornya kering oli!!" Tutur mamang tukang bengkel.
"Hah, duh gimana dong. Soalnya aku juga pinjem motor tetangga!!" Ismi gusar.
"Yaudah. Kamu bareng aku aja, besok aja ke sini lagi kasih tau tetangga kamu kalau motor nya mogok. Biaya perbaikannya biar aku yang bayar!!" Parjo tak menyianyiakan kesempatan ini.
"Beneran ni, ngerepotan kamu gak!" Ismi tak enak.
"Gak kok. Kayak sama siapa aja, kita kan udah lama kenal, lagi pula Parman tuh teman baik aku. Mana mungkin aku ngebiarin kamu gitu aja!"
Mendengar itu Ismi mengiyakan dan menerima bantuan Parjo.
"Makasih ya bang, udah nolongin." Tutur Ismi ramah.
"Sama-sama!" Balas Parjo yang kemudian beranjak pergi setelah berbincang-bincang sebentar dengan Ismi.
Ismi meletakkan barang dagangannya ke dalam warung dan bergegas naik ke rumah membawakan makanan pesanan Laila dan juga kakek.
Namun belum dia beranjak masuk ke dalam rumah, Parman mencegatnya seolah sedang mempertanyakan perbuatan Istrinya bersama sahabatnya tadi.
Ismi tersenyum simpul, mengusap lembut bahu suaminya dan mengajaknya beranjak masuk sambil menggandeng tangannya.
"Kalau abang ga suka.." bisik Ismi memeluk pundak Parman. "Ismi ga keberatan kok!"
Setelah mendengarkan perkataan dari Ismi, darah yang ada di wajah Parman semangkin menetes hingga mengucur dan menebarkan bau amis yang membuat perut bergejolak. Daging-daging di wajahnya berjatuhan, gemeretak tulang patah terdengar di seluruh tubuhnya.
Pemandangan mengerikan ini akan membuat siapa saja terkecing-kencing saat menyaksikannya, tapi tidak bagi Ismi. Rasa cintanya yang begitu kuat mengalahkan akal sehat, menembus nalar, dan merobek fantasi.
Dan juga sangat di sayangkan karena kisah ini adalah kisah nyata yang di ceritakan oleh salah satu teman anaknya sendiri yang pernah menyaksikan sosok Parman secara langsung saat bertamu.
Tentang nasib Parjo. Malam itu dia kembali di teror oleh sosok Parman, namun kali ini mangkin parah hingga menimbulkan luka fisik yang terlihat jelas seperti bekas cakaran di punggung, lebam-lebam di sekitar perut, sampai muntah-muntah parah yang di akibatkan energi Parman yang begitu kuat.
Dan ternyata, kejadian ini bukan hanya terjadi pada Parjo. Ismi yang tak suka atau risih dengan orang-orang yang menggodanya, merelakan orang-orang tersebut di teror Parman untuk memberikan efek jera. Meskipun tak sampai membuat orang yang di teror meregang nyawa, tapi luka fisik yang di berikan cukup fatal dan membuat orang tersebut sampai trauma.
Sekarang Ismi sudah berumur kurang lebih 54 tahun, anaknya pun sudah beranjak dewasa (Ismi menikah di umur 31 tahun) dan kakek Ismi sudah meninggal sejak Lila berusia 10 tahun, karena sesak napas. Namun umur bagaikan ilusi bagi Ismi, tak ada yang pernah menyangka jika wanita pemilik warung yang cantik bagaikan seumuran dengan anaknya adalah wanita yang berusia lanjut berumur 54 tahun.
Namun ganjarannya tak main-main. Barang siapa saja berani menggodanya, apalagi berniat untuk berbuat sesuatu yang tak mengenakan. Siap-siap, Parman akan datang sambil mengotori lantai rumahnya dengan potongan daging wajahnya dan juga darah segar.