Malam selepas isya’. Di sebuah warung kopi di pertigaan jalan. Mobil dan sepeda motor lalu lalang. Belnya mengentrit bising. Asap dari knalpot menampar hidung setiap pejalan kaki.
Di sebelahnya, penjual gorengan dan orang-orang yang mulai mengerubungi dagangannya. Mencomot satu dua tempe goreng dan mencelupkannya ke dalam cawan berisi sambel super pedas.
Agak ke kanan sedikit, para tukang becak masih terlihat santai di atas becaknya ,sembari asik menikmati kepulan asap rokok dari mulut hitam mereka. Sesekali saat satu atau dua bis berhenti, mereka segera bangkit dan lekas menyodorkan mulut becak ke arah penumpang yang turun. Ada yang diam dan ada yang masam saat di antara mereka tersinggung dipersilahkan naik becak. Beberapa tukang becak malah cuek memainkan kartu remi di tangan mereka.
Di seberang jalan. Beberapa orang terlihat sibuk mondar-mandir, memelototi satu persatu pedagang kaki lima yang berjejer di tepi jalan. Cewek hitam manis penjual nasi goreng di sebelah toko VCD, begitu manis menebar senyum ke arah keramaian malam. Dua orang pemuda tertarik, walau tak terlalu berminat, secangkir kopi pahit ditambah senyum manis gadis penjual nasi, bisa mengusir hawa dingin yang mulai menusuk.
Dua orang wanita paruh baya dengan baju setengah terbuka di sudut warung, memperlihatkan belahan manis di dadanya. Dan dengan rok mini setinggi hampir segitiga pengamannya, begitu genit menebarkan senyum di selangkangannya, hingga malampun dibuatnya ejakulasi dini.
Di sudut lain warung yang agak remang, dua orang sejoli Nampak asyik saling cumbu. Ada buncahan nafsu besar di sepasang mata, yang tak berkedip menahan getaran di bawah pusar mereka. Sesekali terlihat tangan lelaki itu menggerayangi apa saja yang ia mau. Si wanita pura-pura malu. HIngar bingar suara karaoke di seberang jalan, seolah-olah suara masa bodoh yang menelingkupi penduduk malam. Nafsi-nafsi!"
Seorang perempuan paruh baya dengan rambut kusut dan berbaju putih kotor bercelana hitam, tiba-tiba terjaga dari tidurnya di trotoar, di depan sebuah pabrik gula. Ia menguap. Bau mulutnya menyeruak beradu dengan kepulan asap dari cerobong pabrik. Matanya jelalatan seakan-akan mengikuti setiap hentakan di perut besarnya. Ia bangkit. Dengan buntilan lusuh di pundaknya, bergiliran ia mendatangi setiap pedagang kaki lima di sepanjang jalan. Di penjual es ia minta dibungkuskan, di penjual bakso ia minta ditusukkan satu dua buah pentol dan di warung nasi, ia minta dibungkuskan sebungkus nasi. Hah! Lengkap sudah menu makanannya malam ini. Ia merasa hidupnya benar-benar enak. Tinggal minta dan berpura-pura gila. Setidaknya untuk malam ini nyawanya bisa diperpanjang. Buat apa malu akan harga diri dan sekalian saja gila. Dan apakah dunia ini menjamin kita tetap waras dengan suara bising pabrik-pabrik, celoteh-celoteh individualis dan egois dari mobil-mobil sedan mengkilap, milik orang orang yang merasa paling waras itu? Egois, individualis dan tak berperasaan, bahkan kepada kerabatnya sendiri. Perasaan mengasihi bagai kapas tipis yang kian tergerus dalam seretan kehidupan, yang memaksa terbiasa menari di atas tangis orang lain. Batuk lelaki renta di kolong jembatan, yang tewas dua malam yang lalu, masih terdengar di kehingaran suara jangkrik di pematang sungai. Seakan-akan tak berarti oleh suara gemuruh pabrik dan klakson-klakson yang tak mau ketinggalan waktu. Saling kejar, berburu, dan batang-batang tubuh lemah terlindas tak berdaya.
Lebih ke selatan lagi. Pedagang kecil yang menjual CD lagu sibuk mendengarkan decak kagum sekelompok remaja tanggung, yang asik memelototi tontonan ngebor yang diputar di depan mereka. Sebagian lagi asik membolak-balikkan edisi terbaru salah satu majalah . Berita hari ini, sepasang mahasiswa perguruan tinggi terkena razia karena kedapatan menari telanjang di depan khalayak ramai di sebuah bar. Di halaman lain, seorang ayah tega merusak paksa barang anak gadisnya, gara-gara terlalu sering nonton film porno. Sang ayah telah menggauli anaknya kurang lebih delapan tahun dan kini sudah hidup layaknya suami istri, punya anak dan insyaallah anak keduanya akan nongol bulan depan. Masyaallah!
Ehm…, malam mengelus dada dan para jangkrik tak tahu lagi ritme nyanyiannya.
Seorang pemuda berkopiah putih hanya menggeleng-geleng sambil tersenyum, sesekali menoleh ke belakang kemudian dengan agak malu meraih majalah lain di sudut kios. Seorang lagi yang dari tadi melirik setengah enggan ke a rah photo setengah telanjang itu hanya bisa menggaruk-garuk bagian bawah perutnya.
Seorang teman di sebelahnya berbisik, “Alah ini mah udah biasa, ntar lihat di HPku, cewek-cewek SMA oral seks di dalam kelas. Kalau mau, datang saja ke alun-alun kota, harganya variatif, mulai dari lima puluh ribu, bahkan ada yang rela dibayar dua puluh ribu hanya untuk beli pulsa. Harganya hampir sama dengan CDnya. Cewek abu-abu genit itupun bisa dibawa kemana-mana, ke hotel juga tambah bagus, dapat service tambahan lagi. Di pinggir kali di samping mimbar surau juga tidak apa-apa. Teman kita yang semester empat kemarin saja, ada yang bawa gadis cabutan ke kampus dan dikeroyok ramai-ramai oleh beberapa teman-teman mahasiswa yang lain, dengan posisi kritis. Maaf, Dengan posisi berdiri. Sekarang mah gampang-gampang susah, cuek saja, tinggal bilang so what gitu loh!"
Rasa malu dan harga diri hanya barang murahan yang di lelang di pasar loak. Dan tenggorokan tercekat dan selalu dipaksa untuk mengatakan” Nafsi….nafsi! urusanku, urusanmu dan urusan Tuhan.”
Hem, Subhanallah! suara jangkrik mengalun lirih dan wajah malam tertunduk.
Kembali ke seberang jalan, di sebuah kedai kopi. Beberapa orang Nampak asik menyeruput kopi hangat sambil menghisap rokok. Tak jauh dari sungai, seorang renta berpeci hitam setengah miring membuka resleting celananya dan langsung membuat air mancur di atas sungai. Seorang ibu muda berjilbab tersipu melihat batang tua yang sudah kehilangan kesaktiannya.
“Katanya kemarin Idrus diciduk Polisi. Apa benar,” kata salah seorang gondrong di kedai kopi. Seorang yang lebih tua yang bersandar di sudut kedai, dan sepertinya merasa paling pantas untuk menceritakan kronologi penangkapan idris segera menyahut, mendahului mulut-mulut yang hendak berebut ngomong.
“Kemarin nomor yang aku kasih tembus lagi. Polisi datang sebenarnya bukan untuk menangkap, tapi untuk minta jatah yang dua kali belum dibayar Idris. Sayang si Idris waktu itu gak punya uang karna keburu diambil rentenir,”
“Kalau pendapat saya nih, sebaiknya judi itu dilegalkan saja sebagaimana usul salah seorang penguasa kota. Kan masih banyak pulau-pulau kita yang masih kosong. Dari pada gak diurus dan jadi rebutan Negara tetangga,”
“Saya sangat setuju sekali dengan pendapatmu itu. Segencar-gencarnya Pemerintah ingin memberantas yang namanya judi, maka semakin menjamurlah judi itu. Coba tiru Negara-negara seperti Amerika, Singapura, Malaysia dan Jerman yang melegalkan judi, bahkan prostitusi dengan menempatkannya di tempat-tempat khusus, kalau begitu kan teratur. Masyarakat yang alim bisa tenang ,dan penjudi-penjudi bisa leluasa mengembangkan bakatnya, bahkan pemerintah juga bisa meraup keuntungan besar dari bisnis judi itu. Itu kalau pemerintah sudah tidak mampu lagi mengentaskan kemiskinan rakyatnya. Tarif dasar listrik naik, BBM naik, harga kebutuhan pokok naik. Siapa yang enggak tercekik. Kalau begini terus lama-lama saya mau bawa istri saya ke pegadaian.” Kata salah seorang setengah kesal.
“Menarik juga kata-katamu itu. Terus apa lagi,”
“Aparat penegak hukum itu juga harus diperhatikan kesejahteraannya. Kasihan, gaji kurang, kerja berat. Jadi tak heran banyak aparat jadi backing illegal logging,”
“Gaji kurang atau memang mata duitan,” salah seorang menyahut.
“Eh jangan lupa, Dewan kita yang terhormat itu gajinya selalu minta ditambah, plus fasilitasnya, mondar-mandir ke luar negeri study banding, tapi tetap saja seperti ini,” kata seorang lagi ketus.
“Kalau rapat masalah take home pay, wuih mereka begitu bersemangat, tapi giliran rapat mengenai isu yang sangat penting, yang berkaitan dengan rakyat, mereka terkesan setengah-setengah. Lihat saja kalau lagi ada rapat, kebanyakan dari mereka bolos, tidak hadir dan tidur saat rapat,”
“Take home pay? Apaan tuh,”
“ Makanya baca Koran biar gak ketinggalan informasi, take home pay itu kenaikan gaji.”
Seorang pria kurus dengan janggut tipis di dagunya setelah sedari tadi hanya mendengarkan pembicaraan Nampak memperbaiki posisi duduknya.
“Hem, intinya saudara-saudara, mempertebal iman adalah salah satu solusi menghilangkan segala macam penyakit masyarakat.”
Yang lain terdiam. Yang lain lagi tersenyum setengah mengejek.
“Nah itu pak Ustadz, cara menebalkan iman itu yang ingin kami tahu,” kata seorang pemuda yang bersandar di tiang kedai.
“Banyak-banyak berzikir dan bertawakkal serta berusaha,” katanya mantap.
“Percuma pak ustadz, saya sudah terlalu sering mendengar ceramah seperti itu. Dan saya sudah berusaha tawakkal dan bersabar, dengan apa saja pekerjaan yang saya dapatkan, tapi tetap saja hidupku sengsara. Di zaman seperti ini yang namanya pekerjaan kurang ajar sulitnya, dan untuk orang seperti kita-kita in,i sangat sulit mendapatkan pekerjaan yang nilainya bisa membuat kami sekeluarga bisa makan sempurna, tiga kali atau minimal dua kali, dan asal pak ustadz ketahui saya sekeluarga sudah tamat shalat karna nasib kami gak pernah berubah-rubah juga, ”
“Masyaallah,” pak Ustadz bergumam. Setelah mereguk kopinya yang terakhir diapun pergi meninggalkan orang-orang.
Suasana menjadi hening sejenak. Tak terasa malam semakin larut.
“Ha, solusi terakhirnya seperti ini. Tiba-tiba pak tua berpeci hitam membuyarkan suasana hening.
“Mumpung Negara kita belum mau menerapkan syariat Islam, lebih baik kita bersenang-senang. Yang shalat silahkan shalat. Yang mau mengasah pusaka nenek moyangnya terus menerus, silahkan. Negara kita Negara demokratis. Masalah Tuhan marah atau tidak, nantikan bisa dipertanggung jawabkan. Yang penting kita ngomong apa adanya sama Tuhan, gitu aja kok repot."
“Setaaaan..! Terdengar teriakan keras dari seorang lelaki dekil di seberang jalan. Segenap orang di kedai menoleh. “Si Maun kumat lagi," celetuk seseorang.
“Memangnya kenapa," tanya seseorang
“Ia gila gara-gara togel,”
“Bukan, bukan karna togel, tapi karna Tuhan yang tidak pernah mau mengubah nasibnya. Dulu dia orang yang sangat rajin ibadahnya, tapi ia putus asa karna Tuhan yang ia sembah tidak memperhatikannya."
Yang lain berdecak. Yang lain lagi mengangguk. Emh…jari jemari gelap bersorak, tepuk tangan. Malam memang benar-benar telah gelap. Sang bayupun sepertinya telah enggan menyertakan musik syurgawi dalam hembusannya, dan halimun pekat sepertinya mulai betah menyelubungi wajah rembulan yang enggan purna.
Jalanan mulai sepi. Suasana lengang. Pemilik kedai mulai menutup kedainya setelah satu persatu pelanggannya pergi. Suara lonceng pabrik nyaring menyalak malam. Terdengar dengkuran dari tenggorokan tukang becak yang meringkuk tanpa selimut di atas becak-becak. Seorang lelaki terdengar bernyanyi sambil merebahkan tubuhnya di atas trotoar. Suaranya lamat-lamat tertelan uapan kantuknya. Pak tua berpeci hitam setengah miring membuka resleting celananya dan mulai melukis gedung bank di tengah jalan.
Angin malam berkesiar. Menyapu debu-debu jalanan. Suara gemericik air terdengar lembut mengiringi perjalanan malam. Di emper-emper toko meringkuk beberapa batang tubuh ringkih menahan pelukan dingin malam. Suara sumbang perempuan malam lirih membelah malam. Menorehkan angan-angan di setiap sudut malam. Menyisakan celoteh-celoteh hampa, untuk esok malam, malam berikutnya, malam seterusnya hingga saat dimana tak akan ada malam lagi.
“Andai tsunami datang,” celoteh perempuan malam.
Di atas awung-awung, dua Malaikat mengintip. Khusyu’ mendengar dan melihat tingkah polah dunia.
“Prediksi kita tidak meleset. Mereka itu Distroyer, amoral, angkuh, dan mereka merasa seakan-akan tanah yang mereka pijak bukan tanah Tuhannya”. Yang satunya hanya mengangguk seraya tersenyum setengah mencibir."
“Kita kembali ke planning satu, besok pagi-pagi sekali kita kagetkan mereka dengan gempa berkekuatan 40,5 skala richter,"
“Ha? 40,5 skala richter? Apa itu tidak terlalu berlebihan? Yang Sembilan koma sekian skala richter saja, banyak yang menjadi tidak waras. Dan bukankah besok dan besok lagi kita harus melakukan hal yang sama?"
“Wallahu a’lam, tugas harus dilaksanakan. Sami’na wa atha’na. yang jelas kita akan obrak-abrik mereka sampai pergantian generasi. Buat gunung-gunung jadi batuk, longsorkan tanah, cairkan sebagian es di kutub dan buat dasar bumi menjadi kerak panas. Jika generasi sesudahnya tidak juga santun, bangunkan teman kita dan suruh ia lekas-lekas meniup terompetnya."
Malaikat di atas awung-awung meninggalkan tempatnya. Sayap panjangnya menyangkut dalam mimpi-mimpi panjang. Terbuai dalam dansa panjang nan tak pernah melelahkan.