"Ningrum, bangunlah." Suara seorang wanita tua terdengar begitu jelas di telingaku. Menyadarkan diri dari lelapnya tidur malam. Seketika, aku terjaga dan mulai membuka mata.
Perlahan, kuarahkan pandangan dan mulai menyapu setiap sudut ruangan kamar yang gelap. Dalam keremangan itulah, pandanganku menangkap sosok aneh yang berdiri di ujung tempat tidur. Dia hanya mematung.
"Siapa di situ?" tanyaku pelan dan agak parau. Aku berusaha menajamkan penglihatan. Akan tetapi, sosok tadi hanya berupa siluet yang tak dapat kutangkap jelas.
"Siapa itu?" tanyaku sekali lagi. Namun, sosok di ujung tempat tidur tadi tak juga menjawab. Dia masih tetap berdiri, tanpa melakukan apa pun.
Tak lama kemudian, kurasakan ada sesuatu yang aneh pada pergelangan kaki. Keduanya tiba-tiba tak bisa bergerak, dan seakan ada yang mencengkeramnya erat. Sekuat tenaga, aku mencoba bergerak. Namun, tetap tak bisa.
Perlahan, kurasakan selimut yang kupakai bergerak sendiri. Seperti ada yang menarik kain itu dari ujung, hingga benar-benar terlepas dan tak lagi menutupi tubuhku. Pada saat itulah, dalam keremangan kulihat sepasang tangan entah dari mana datangnya. Mereka memegangi pergelangan kaki, hingga aku tak mampu bergerak.
Aku mencoba bangkit dan duduk. Akan tetapi, dengan segera ada sepasang tangan lainnya yang menarik tubuhku dari belakang, sehingga diriku kembali terempas ke ke kasur. Kurasakan tangan tadi bergerak menelusuri lengan, hingga berakhir pada pergelangan kanan dan menahannya.
Tentu saja, aku tak tinggal diam. Kugunakan tangan kiri agar dapat melepaskan cengkeraman itu, meskipun menjijikan sekali untuk memegangnya.
Ya, tangan yang mencengkeram pergelanganku terasa bersisik dan juga berlendir. Aku tak tahu pasti apakah itu benar-benar lendir atau merupakan darah, karena bau anyir mulai menusuk indera penciuman dan membuatnya tidak nyaman.
"Ayah! Ibu!" pekikku sekencang mungkin. Akan tetapi, entah mengapa karena suara teriakan itu seakan tertahan di tenggorokan. Tak ada siapa pun yang mendengar, apalagi menolongku melepaskan diri.
"Ningrum ...." Suara wanita tua tadi terdengar kembali. Kali ini, bahkan terdengar semakin jelas.
Ya, tentu saja sangat jelas. Ketika kualihkan tatapan ke sebelah kanan, seketika diriku terkejut bukan main. Wajah keriput disertai bola mata yang menonjol ke luar, berada tepat di sebelah dan menatapku tajam. Namun, tanpa ekspresi sama sekali. Rambutnya yang putih dan agak gimbal, menutupi sebagian wajah. Walaupun sepasang mata tadi melotot tajam padaku, tapi seakan tak ada nyawa di sana. Semuanya terasa begitu dingin. "Ikutlah denganku, Ningrum," ajaknya kemudian.
"Ke mana?" tanyaku parau. Terlebih, saat itu aku masih berusaha melepaskan cengkeraman misterius dari pergelangan kaki dan tanganku.
"Ke tempat di mana kau bisa belajar untuk menghormati sesuatu," jawab wanita tua tadi, sambil terus menatapku.
Belum sempat diriku menjawab, tiba-tiba ada tangan yang menarik tubuhku dari bawah dengan begitu kuat. Teramat kuat, hingga membuatku tak bisa melawan. Pada akhirnya, aku tenggelam ke dalam tempat tidur. Lenyap dan tertelan olehnya.
Seketika, aku terjaga. Kulihat sekeliling kamar, kemudian bangkit dan duduk. Segera kusingkapkan selimut dan memastikan apakah diriku masih dalam keadaan utuh atau tidak.
Oh, ternyata tadi hanya mimpi. Aku bisa bernapas lega. Akan tetapi, rupanya hari sudah siang. Suasana di luar sana telah cukup terang. Sayup-sayup, kudengar suara kesibukan ibu di dapur. Tanpa berlama-lama, kuputuskan untuk turun dari dipan kayu, lalu keluar kamar. Aku berjalan menuju ke tempat ibu berada.
"Selamat pagi, Bu," sapaku hangat.
Ibu yang saat itu tengah sibuk berkutat dengan urusan dapur, tertegun kemudian menoleh. "Kamu baru bangun, Ning?" Beliau tersenyum, lalu kembali pada pekerjaannya.
"Maaf, Bu. Hari ini, aku bangun kesiangan. Tadi malam aku bermimpi aneh," ucapku pelan.
"Memangnya, kamu bermimpi apa?" tanya ibu tanpa menoleh.
Kuhampiri ibu, lalu berdiri di dekatnya. Beliau adalah sosok yang sangat kuat. Dia begitu tegar dalam menjalani hari-hari berat yang harus kami lalui, dari semenjak bapak tiada.
Ya, bapak meninggal beberapa waktu yang lalu. Bisa dibilang, itu merupakan kecelakaan kerja. Beliau terjatuh menimpa tanah, kemudian tergelincir ke sungai tanpa air. Sungai itu mengering, karena dalam beberapa bulan terakhir kemarau panjang tengah melanda kampung kami.
Bapak terjatuh cukup keras. Kepalanya meluncur lebih dulu, lalu menghantam sebuah batu besar. Beliau sempat mendapat pertolongan, bahkan masih bisa bercerita tentang sesuatu padaku dan ibu.
Bapak mengatakan, bahwa dirinya mendapati sebuah tunas kelapa di antara dahan dan buah yang akan dipetik. Karena merasa jika tunas itu menghalangi, bapak segera menyingkirkannya. Namun, setelah tunas itu terlepas dari tempat ia berada, seketika tubuh bapak melayang dan terjun bebas dari pohon.
Selang satu hari, keadaan bapak tiba-tiba memburuk. Dia mengalami kejang-kejang tak terkendali, hingga akhirnya beliau dinyatakan meninggal dunia.
Ah, sudahlah. Itu cerita yang sangat mengerikan, dan tentu saja membuatku dan ibu akan semakin merasa berduka. Namun, kami harus tetap melanjutkan hidup.
"Bu, aku bermimpi ada seorang nenek yang ingin mengajak pergi," tuturku.
"Pergi ke mana?" tanya ibu lagi. Dia menghentikan pekerjaannya sejenak, kemudian menoleh padaku. Raut wajah ibu terlihat aneh. Entah apa yang ada dalam pikirannya saat itu.
"Entahlah, Bu. Akan tetapi, ajakan itu terasa begitu nyata dan seakan benar-benar dilayangkan untukku secara langsung. Rasanya, aku seperti tidak sedang bermimpi."
"Sudahlah. Itu hanya mimpi," ucap ibu, seakan tengah berusaha membuatku tenang. "Bagaimana jika hari ini temani ibu mencari rumput ke gunung? Ibu kesulitan mendapatkannya, jika hanya di sekitaran sawah. Kemarau berlangsung terlalu lama. Jadi, tanaman tidak tumbuh dengan baik. Menyusahkan sekali. Apa menurutmu, sebaiknya ibu kembalikan saja kambing-kambing itu kepada Pak Wartono?"
"Jika memang Ibu merasa tidak sanggup, ya sudah kembalikan saja. Daripada Ibu merasa terbebani," saranku.
Ibu hanya mengangguk pelan, kemudian tersenyum samar. "Segeralah mandi. Setelah itu, kita makan dan berangkat ke gunung. Mumpung hari belum terlalu panas," ucapnya seraya berlalu ke ruangan lain, dari rumah sederhana yang telah kami tempati sekian lama.
Hari ini seperti biasa. Di meja makan hanya ada menu sederhana, yaitu telur dadar ditemani tahu goreng dan oreg tempe. Kami bersyukur, karena masih diberi rezeki. Sehingga, aku dan ibu bisa makan nasi dengan lauk-pauknya.
Seusai mengisi perut, kami bergegas pergi ke gunung. Ini merupakan pengalaman pertama bagiku, menemani ibu mencari rumput.
"Tunggulah di sini sebentar. Ibu akan ke sebelah sana dulu," tunjuk Ibu, pada suatu tempat yang terlihat curam. Namun, di sana terdapat cukup banyak rerumputan hijau yang digemari kambing.
Kemarau panjang kali ini, memang sangat menyusahkan. Ibu jadi kesulitan mencari rumput. Sementara, tiga ekor kambing milik salah seorang juragan di kampung yang beliau pelihara, harus tetap diberi makan. Alhasil, ibu harus mencari rumput hingga ke dalam hutan.
Sebenarnya, bapak yang bertugas merawat kambing-kambing itu. Dia akan mendapat bagian, andai hewan tersebut beranak atau laku dijual kepada bandar. Namun, kini bapak sudah tiada. Maka dari itu, ibu lah yang menggantikan semua pekerjaanya.
"Aku ikut saja, Bu," pintaku sedikit memohon. Selama ini, meskipun ayah dan ibuku sudah terbiasa dan akrab dengan hutan, tetapi tidak denganku. Aku merupakan gadis rumahan. Namun, kali ini tak seperti biasa, karena ibu memintaku untuk menemaninya mencari rumput.
"Tidak boleh. Kamu tunggu di sini saja," tolak ibu. "Ingat, jangan ke mana-mana," pesannya, sebelum berlalu meninggalkanku.
Mau tak mau, aku harus menurut dengan duduk diam di sebuah batu yang sudah ditumbuhi lumut pada beberapa bagian. Kuperhatikan ibu dari kejauhan. Beliau sedang sibuk mengambil rumput. Tangannya begitu telaten.
Beberapa saat kemudian, sayup-sayup kudengar suara obrolan beberapa wanita. Mereka terdengar begitu asyik dengan perbincangan hangat juga akrab. Namun, aku tak bisa menangkap jelas, apa saja yang sedang mereka bicarakan. Akan tetapi, suara tawa para wanita tadi bisa kudengar, karena cukup nyaring.
Penasaran, kulayangkan pandangan pada sekeliling tempat di mana aku berada. Aneh sekali, karena di sana tak ada siapa pun selain ibu yang berada cukup jauh jaraknya dariku. Entah ada dorongan dari mana, sehingga aku bisa memberanikan diri untuk bangkit.
Kulangkahkan kaki ke sebelah kanan, di mana terdapat sebuah batu besar. Di dekat batu tersebut, ada dua pohon dengan ranting yang saling bertaut dan menghalangi jalan. Aku sempat melihat ke bagian bawah batu besar tadi. Di sana, suasananya terlihat sangat berbeda. Terasa begitu hening dan juga asri. Tumbuhan di sekitarnya tampak subur dan hijau. Namun, di balik keheningan itu, kembali kudengar suara senda gurau para wanita yang tak jelas di mana keberadaannya.
Rasa penasaran semakin menggelitik. Aku berniat melangkah semakin maju. Akan tetapi, ranting yang saling bertaut itu menghalangi, sehingga kuputuskan untuk mematahkannya. Setelah itu, kulempar potongan ranting tadi ke bawah sana dengan sembarangan.
Tanpa diduga, seketika diriku juga ikut tergelincir. Aku merasa seperti ada sesuatu yang menarik kencang kedua kakiku, sehingga terus merosot mengikuti potongan ranting yang kulempar tadi. Tak bersrlang lama, tubuhku terbalik dan mulai berguling menabrak pepohonan kecil.
"Ibu!" pekikku nyaring. Entah ibu dapat mendengar suaraku atau tidak, karena yang pasti saat ini aku sudah terkapar di bawah batu besar yang tadi kupijak. Sakit dan terasa begitu pusing. Pandanganku mulai berkunang-kunang, bahkan semakin kabur. Namun, aku masih sempat melihat ke atas.
Samar, kulihat beberapa wanita berwajah pucat dengan kebaya khas zaman dulu tengah mengelilingiku. Tak ada suara sedikit pun yang keluar dari mulut mereka, selain tatapan aneh dan terlihat menakutkan. "Si-sia-pa ka-kalian?" tanyaku sambil meringis menahan sakit. Namun, mereka semua tetap membisu.
Sesaat kemudian, salah satu dari wanita berkebaya tadi menurunkan tubuhnya di dekatku. Wajah pucat dengan tatapan kosong itu semakin mendekat, hingga berada tepat di atasku. Mata kami saling beradu. Sesaat kemudian, sesuatu yang aneh seketika terjadi.
Tubuhku merinding begitu kuat, kala beradu dengan sorot yang seakan tanpa nyawa tersebut. Tangan wanita itu kemudian terulur tepat ke arahku. Telapaknya terasa begitu dingin menutupi wajah, lalu tertahan di sana hingga beberapa saat.Tak berselang lama, gelap menyelimuti penglihatan, seiring tertutupnya kedua mataku dengan sempurna.
"Ning, Ningrum." Kudengar suara ibu dengan begitu jelas. Ingin rasanya aku membuka mata, tapi ternyata begitu sulit untuk dilakukan.
"Ning, bangunlah." Kembali kudengar suara itu, membuat diriku ingin segera keluar dari kegelapan yang kini tengah menyergap kuat.
"Ningrum." Lirih, suara ibu di telingaku. Dalam hati, diriku ingin berteriak sekuat tenaga. Aku berharap agar ibu bisa membawa seberkas cahaya, sehingga tak terasa gelap lagi. Akan tetapi, hal itu tak juga terjadi, karena yang kulihat saat ini hanyalah kabut pekat yang semakin mengaburkan pandangan.
"Di mana ini?" gumamku sambil mengedarkan pandangan ke sekeliling. Rasa takut dan was-was mulai menyelimuti dan kian bertahta. Semua yang kulihat teramat asing. Gelap dan penuh kabut. Aku merasa sendiri di antara lautan pohon, dengan tangan-tangan misterius yang tiba-tiba muncul dari baliknya. Mereka berusaha meraih tubuhku.
Sambil terus mencoba mengendalikan rasa takut, aku mengghindari tangan-tangan yang terulur dan berusaha menarikku ke arah mereka. Itu adalah tangan menjijikan dengan sisik dan lendir berbau amis, yang kulihat di dalam mimpi semalam. Suara tawa penuh ejekan pun terdengar riuh dan seakan ditujukan khusus padaku. Entah tempat apa yang sedang kudatangi saat ini? Aku hanya berharap, jika semua yang kualami hanyalah sebuah mimpi.
"Tempat apa ini?" gumamku lagi semakin resah.
"Di sinilah tempatmu seharusnya, Gadis muda." Terdengar suara yang seperti tak asing lagi bagiku. Ya, suara wanita tua dalam mimpi semalam. Aku langsung menoleh.
Sekitar beberapa langkah di belakang, kulihat nenek berambut putih itu sedang berdiri di bawah pohon. Tubuhnya agak bungkuk. Wanita tua tersebut mengenakan kebaya hijau, dipadukan dengan jarik lusuh. Dia berdiri menatapku, dengan sorot yang menyiratkan kemarahan.
"Di mana ini?" Lagi-lagi, hanya pertanyaan itu yang meluncur dari bibirku.
"Banyak sekali manusia yang selalu berbuat semena-mena, dan seperti tak berpikir sama sekali dalam bertindak. Mereka bersikap sertq berkata sesuka hati, tanpa menyadari bahwa kami ada dan ingin dihargai. Kau dan ayahmu adalah salah satunya. Belajarlah untuk bersikap sopan, ke mana atau di manapun dirimu berada," ucap nenek itu. Sebuah kalimat yang sama sekali tak kumengerti apa maknanya.
"Apa maksud Nenek?" tanyaku.
Wanita tua berkebaya hijau itu kemudian berjalan mendekat padaku, meskipun dia masih memberi sedikit jarak. Namun, tatapannya tak berubah sedikit pun. "Kau tidak mengenal tempat ini dengan baik. Tanpa permisi, kau melakukan sesuatu yang tak bisa diampuni. Tindakan seperti tadi sangat fatal, meskipun yang dirimu lakukan hanya mematahkan sebuah ranting kecil. Namun, ketahuilah bahwasannya ada kehidupan di dalam ranting tersebut," tuturnya tanpa ekspresi.
"Maksud Nenek?" tanyaku lagi, masih belum memahami apa yang dia tuturkan.
"Ranting yang kau patahkan tadi, merupakan sepasang penjaga dari gerbang menuju alam ghaib," jelas nenek tersebut.
"Apa? Penjaga gerbang alam ghaib?" tanyaku. Penjelasan yang terdengar tak masuk akal, tapi aku mencoba untuk memahaminya dengan baik.
Terdiam, aku berpikir sejenak. Apakah ini makna dari mimpi yang mendatangi tidurku semalam? Inikah kesalahan yang kulakukan, sehingga diriku harus dibawa ke suatu tempat yang bisa membuat diriku jadi mengerti? Ya, sekarang aku mulai memahami maksudnya. Mimpi semalam ibarat sebuah pertanda, dan mungkin juga peringatan. Namun, karena aku tak mengindahkannya, maka hal ini terjadi padaku.
"Apa kau sudah mulai mengerti, Gadis muda?" tanya wanita tua berkebaya hijau itu lagi.
"Iya. Aku benar-benar minta maaf. Mulai hari ini, aku akan lebih menjaga tangan, pikiran, juga perkataan dengan lebih baik," ucapku penuh sesal.
"Baiklah," balas wanita tua itu. "Aku tahu kau gadis yang baik dan berhati bersih. Karena itulah, kau kuizinkan untuk kembali. Nasibmu tak akan berakhir seperti mereka, para pemilik tangan yang terkurung dalam pohon-pohon di hutan ini," ucapnya. "Lihatlah orang-orang menyedihkan itu." Wanita tua tadi mengedarkan pandangan ke segala arah, di mana terlihat banyak sekali tangan yang muncul dari dalam pohon. Mereka seakan meminta tolong untuk diselamatkan.
"Lalu? Apa yang harus kulakukan?" tanyaku. Harapan terbesar adalah bisa kembali ke dunia, di mana aku dapat menemukan seberkas cahaya. Berada di tempat gelap berkabut seperti itu, membuatku merasa benar-benar tidak nyaman.
"Ikutilah jalan setapak yang kutunjukkan padamu. Terus saja melangkah. Jangan pernah menengok ke belakang. Apa pun yang terjadi, tetaplah fokus ke depan. Sekali kau menengok, maka dirimu akan kehilangan jalan untuk kembali. Itu artinya, kau akan selamanya berada di tempat ini," pesan wanita tua itu.
"Di ujung jalan yang telah kau lalui nanti, akan ada setitik cahaya. Ambil dan genggamlah. Jadikan itu sebagai pegangan yang akan membawamu pada sisi baru, menjadi seseorang yang jauh lebih mengerti tentang makna kehidupan. Pergilah. Ingat pesanku. Tetap fokus ke depan."
Aku mengangguk. Segera kulangkahkan kaki menapaki jalan setapak. Tak kupedulikan suara-suara yang terus memanggil, serta memintaku agar menoleh. Aku terus berjalan, meskipun harus melewati pepohonan dengan tangan-tangan misterius yang berusaha menggapai tubuhku.
Perjalanan ini terasa begitu panjang. Gelap dan sunyi. Aku harus berhati-hati dalam setiap langkah agar tidak tersandung.
Entah di mana ujung dari jalan setapak ini? Tubuhku mulai lelah. Peluh pun semakin bercucuran. Makin lama, kakiku terasa semakin sakit dan tak sanggup lagi melangkah. Namun, tiba-tiba kudengar suara ibu. Meski pelan, tapi aku tahu bahwa beliau tengah berdoa.
"Ibu."
Entah mendapat kekuatan dari mana, tiba-tiba tenagaku kembali pulih. Aku bahkan sanggup berlari, untuk menyongsong setitik cahaya yang muncul di dalam kegelapan sempurna yang kulalui. Segera kuraih dan kugenggam erat cahaya itu.
Seketika, kegelapan di hadapanku sirna seluruhnya. Cahaya yang begitu terang muncul, dan membuatku merasa silau. Namun, aku harus kembali melanjutkan langkah, menuju jalan pulang.
Sayup-sayup, terdengar suara riuh rendah yang memenuhi telingaku. Suara yang begitu nyaring dan sedikit memekakan indera pendengaran, hingga membuatku tersadar. Kubuka mata dengan segera.
Walaupun saat itu rasanya begitu aneh, tetapi aku dapat mengenali tempat di mana diriku kini berada. Ya, itu adalah rumah sederhana tempatku bernaung. Kupejamkan lagi mata ini untuk sejenak. Sesaat kemudian, aku kembali terbangun. Kulihat ibu yang duduk bersimpuh di sebelah.
"Ibu," panggilku pelan.