Kutukan Lima Tahun
Author : Vie Junaeni
Malam itu, Esa Sandara melihat ibunya membawa sekop dari dalam rumah. Air mata mengalir di wajahnya. Gadis kecil itu mengintip dari balik tirai dalam kamarnya yang terletak di bagian belakang rumah. Ia mendengar isak tangis ibunya yang tertahan keluar dari mulutnya dengan berat dan parau.
“Apa yang sedang Mama lakukan, ya?” batin Esa sambil menyelipkan rambut hitam sebahu miliknya ke belakang telinga kanan. Kedua matanya masih mengintip ke arah ibunya.
Di tengah rintik-rintik hujan, ibunya kini mengangkat sekop itu tinggi-tinggi, lalu menghujamkannya ke tanah. Mata sekop itu merobek tanah seakan-akan tanah itu adalah daging segar. Wanita berusia empat puluh tahun itu tengah membuat lubang besar di tanah belakang rumah miliknya.
“Maafkan aku, Mas. Aku tak bisa membiarkanmu membunuh Esa,” lirihnya seraya menumpahkan air mata yang tak bisa lagi ia bendung.
Esa tak bisa mendengar apa yang ibunya katakan, ia hanya melihat wanita itu sedang menangis. Namun, gadis kecil yang satu minggu lagi genap berusia sepuluh tahun itu terbelalak. Ia sangat terkejut ketika sang ibu menarik kedua tangan seorang pria yang ia sangat kenal. Kepala pria itu hampir putus karena luka di bagian leher yang menganga. Tubuh pria itu bersimbah darah. Tanpa pikir panjang lagi, Esa langsung melangkahkan kaki rampingnya berlari menuju ibunya.
“Apa yang Mama lakukan?” pekik Esa di tengah kucuran derasnya air hujan itu.
“Kau pergi saja, Sa!”
“Mama membunuh Bapak, kan?”
Esa tak dapat lagi menahan tangisannya.
“Iya, aku membunuh Bapakmu karena dia akan membunuhmu, sama seperti Paman Karyo yang mencoba membunuhmu lima tahun lalu,” ucap wanita bernama Sri Wedari.
Lubang yang ia buat baru saja menutup lalu ia rapikan gundukan tanah tersebut.
“Kenapa mereka mau membunuhku?!” tanya Esa yang tak mengerti.
“Saat usiamu lima tahun, Karyo gagal membunuhmu karena bapakmu masih melindungimu. Bahkan dia rela membunuh si Karyo. Kini usiamu hampir sepuluh tahun, bapakmu sudah tak mau melindungimu. Dia sudah nggak sanggup, Sa,” ucapnya lalu menarik tangan Esa menuju ke dalam rumah.
“Apa?! Bapak membunuh Paman Karyo? Tapi kenapa, Ma? Adakah yang salah denganku?”
“Bagi Mama, mendapatkanmu itu tak pernah salah, Nak. Sudahlah mari kita berkemas, kita harus segera pindah. Suatu saat nanti aku akan menceritakan apa yang sebenarnya terjadi.”
Perasaan Esa masih kalut, ia sedih karena kehilangan ayahnya, ia juga takut dengan perilaku ibunya. Akan tetapi hati nuraninya mengatakan ia harus tetap mengikuti sang ibu pergi dari Desa Manjing demi keselamatannya.
***
Satu minggu kemudian, Esa dan Ibunya tinggal di Desa Sumber Ayu. Ibu Sri bekerja menjadi asisten rumah tangga di sebuah rumah besar milik Nyonya Sekar Ayu. Wanita itu terlihat baik hati dan memiliki senyum yang hangat dengan lesung pipi. Nyonya Ayu merupakan seorang janda yang memiliki perkebunan teh terluas di desa tersebut, sehingga menjadikan beliau salah satu orang terpandang yang disegani.
Sri mengepang rambut anaknya sebelum berangkat ke sekolah. Tak henti-hentinya ia pandangi paras Ayu putrinya itu di cermin yang berada di hadapannya. Dengan penuh kasih sayang lalu ia berucap, “Mama akan selalu menjagamu, meskipun Mama mengorbankan nyawa.”
“Kenapa Mama mengatakan seperti itu?” Esa mengernyit mengamati ibunya.
Tak ada jawaban dari Sri selain senyum yang khas memperlihatkan kerut wajahnya. Setelah semuanya rapi, Esa meraih tas sekolah lalu pamit mencium punggung tangan ibunya.
Esa menempuh sisa pendidikan sekolah dasarnya selama dua tahun di Sekolah Dasar 01 Sumber Ayu. Ia berhasil meraih predikat juara umum di sekolah tersebut. Nilai terbaiknya membawanya pindah ke SMP Melati 01, sekolah favorit di desa itu.
Esa kini duduk di kelas IX SMP bersama Maya, gadis kutu buku yang mengenakan kaca mata tebal dan berponi. Esa sendiri merupakan gadis tercantik di angkatannya. Kulit kuning langsat itu terlihat berkilau menambah parasnya yang ayu. Banyak siswa yang menyukainya karena senyuman berlesung pipi itu terlihat menggemaskan. Namun, Esa tak menggubrisnya.
“Jangan lupa, ya, nanti latihan terakhir kita buat acara pensi,” ucap Maya.
“Oke, aku juga sudah izin sama Mama,” sahut Esa.
“Asik! Kalau ada Esa tuh jadi bikin semangat," sahut Rendra. Tubuh kurusnya itu selalu antusias jika mengikuti Esa.
"Ssssttttt!" Tatapan tajam penjaga perpustakaan itu membuat semuanya terdiam.
“Oh iya, jangan lupa pas acara pensi, Esa ulang tahun, loh." Maya melirik Esa seraya berbisik kepada Rendra.
“Pasti banyak dapat kado dari penggemar, seperti tahun-tahun sebelumnya,” goda Rendra.
“Apaan sih, May. Aku nggak suka, ya, kamu goda terus seperti itu,” protes Esa.
Langkah gadis itu terhenti kala melihat tumpukan surat kabar lama. Di tajuk utama surat kabar paling atas tertulis “Wabah Misterius di Desa Manjing”.
Gadis itu memindai artikel tersebut dengan saksama. Artikel yang terbit lima tahun lalu itu tepat di hari ulang tahunnya, dan satu hari sebelumnya ia pergi dari sana bersama ibunya. Esa menelisik setiap kata yang tercetak pada surat kabar lama tersebut. Semua penduduk Desa Manjing diberitakan terkena wabah penyakit yang membuat mereka tewas. Tercetak foto beberapa warga yang kulitnya penuh luka berongga seolah digaruk sampai kulitnya mengelupas. Sentuhan tangan Maya di bahu Esa mengejutkan gadis itu.
“Yuk, kita latihan!” ajak Maya. Esa mengangguk.
***
Satu hari sebelum acara pentas seni di sekolah, Rendra menemui Esa di rumahnya.
“Tumben kamu ke rumah?” Esa meletakkan bokongnya duduk di kursi teras.
“Aku mau pamit,” ucap Rendra.
“Hah, pamit? Memangnya kamu mau ke mana?”
“Ayahku pindah kerja ke Kampung Mawar Sari, hari ini juga kami pindah.”
“Sekolah kamu nanti, gimana?”
“Ayah mau aku masuk pesantren di sana, biar aku lebih mandiri dan terurus tanpa ibuku." Gurat kesedihan terlukis di wajahnya.
Ibunya meninggal sebulan yang lalu, mungkin hal itu juga yang membuat sang ayah memutuskan untuk pindah agar bisa melupakan mendiang istrinya.
Rendra mengeluarkan sesuatu dari saku celana. Sebuah gelang perak dengan bandul bulan sabit, ia serahkan pada Esa.
“Selamat ulang tahun, ini kuberikan sekarang saja buat kenang-kenangan.”
“Makasih ya, Ren. Semoga kamu menjadi anak yang lebih baik dan membuat ayahmu bangga.”
Rendra mengulurkan tangan kanannya dan langsung disambut oleh jabatan tangan Esa sebelum keduanya berpisah.
***
Sri melihat tanggal pada kalender meja di hadapannya itu dengan raut wajah tersentak. Dia langsung panik.
“Astaga! Kenapa aku bisa lupa ulang tahun Esa, ini nggak bisa dibiarkan.”
Perempuan yang selalu menggulung ikatan rambutnya itu segera berkemas. Ia harus pergi dari Desa Sumber Ayu. Ibu Sri mencari keberadaan Esa di sekolah yang tengah sibuk mengikuti acara pensi. Sontak saja kedatangan Sri membuat Esa merasa bingung.
“Cepat, Sa! Ayo, kita harus segera pergi dari sini!” ajak Sri dengan wajah cemas dan ketakutan. Dia membawa Esa keluar dari gerbang sekolah.
“Kenapa, Bu? Acara sekolahku juga belum selesai, kita mau ke mana?” Esa mencoba mempertahankan diri.
“Hari ini ulang tahunmu yang ke lima belas, kan?”
Esa mengangguk lalu memeluk ibunya, “Yeay … ternyata Ibu ingat juga. Aku pikir Ibu lupa.”
“Oleh karena itu kita harus pergi, sebelum dia juga menyerang Ibu,” ucapnya dengan nada panik seraya menarik lengan Esa.
“Dia siapa? Siapa yang akan menyerang Ibu?”
“Bukan hanya Ibu yang akan mati, Sa, tapi juga seluruh warga desa ini akan mati.”
“Aku nggak ngerti sama yang Ibu jelaskan, tapi aku jadi ingat sama wabah penyakit di Desa Manjing lima tahun lalu. Bu, apa itu ada hubungannya denganku?"
Esa menahan tarikan tangan Ibunya. Wanita di hadapan Esa itu menoleh kepadanya dan menghela napas dengan berat.
“Iya, kejadian di Desa Manjing itu ada kaitannya denganmu.”
Tiba-tiba, terlihat awan hitam yang bergerombol menutupi langit desa. Sri menoleh ke langit dengan wajah ketakutan. Tubuhnya bergetar hebat.
“Kita harus pergi, Sa! Dia datang!”
“Nggak mau! Aku nggak mau pergi sebelum Ibu menjelaskan semuanya ke padaku!” pekiknya dan masih menahan tarikan tangan sang ibu.
Awan hitam itu terlihat mengeluarkan gumpalan asap yang perlahan turun dan menghampiri para warga. Para murid di sekolah pun terlihat berhamburan keluar dan saling berteriak. Sri langsung menarik paksa Esa ke dalam sebuah mobil bak yang sudah ia pesan tadi untuk mengangkut barang-barang rumahnya.
“Jalan, Pak! Kalau bisa ngebut!” perintah Sri pada si sopir yang tanpa bertanya lagi langsung menancap gas.
Esa melihat seorang petani yang diselimuti asap itu terlihat menggaruk tubuhnya sampai mengelupas. Bahkan daging di bagian perutnya digaruk dengan menggunakan pemotong padi sampai perutnya robek dengan usus halus yang membuncah dan terburai.
Ternyata dua orang di belakangnya pun bernasib sama. Mereka terlihat kehilangan kesadaran sampai melukai diri dengan menggaruk pipi menggunakan pisau. Bahkan ada yang mencongkel bola mata sendiri akibat rasa gatal yang tak tertahan. Mereka terlihat bagai mayat hidup yang akhirnya tumbang dan tewas seketika itu juga, kehabisan darah.
“Cepat, Pak, cepat! Jangan sampai awan itu menyentuh kita!” seru Sri yang selalu menoleh ke belakang.
Akan tetapi, awan hitam itu sampai dan menyentuh sang sopir yang langsung menepikan mobil. Ia menggaruk seluruh tubuhnya dan berteriak kesakitan. Sri mengambil alih kemudi dan meninggalkan pria itu yang mencoba mengejar, tetapi kemudian tumbang juga. Teriakan menggema sepanjang Esa meninggalkan Desa Sumber Ayu.
***
“Apa yang sebenarnya terjadi dengan para warga desa, Bu?” Gadis itu buka suara juga setelah ibunya hanya terdiam dan fokus mengendarai mobil itu melaju di jalan raya yang gelap dan sepi tak tahu arah.
“Itulah hal yang sama, seperti yang terjadi di Desa Manjing.”
“Wabah penyakit apa yang menyerang mereka? Apa jangan-jangan itu ulah makhluk yang berbentuk gumpalan asap hitam tadi?” tanya Esa.
“Bukan, Nak. Itu makluk gaib dalam dirimu yang menuntut korban nyawa setiap lima tahun. Entah sampai kapan Ibu bisa bertahan untuk selalu menyelamatkanmu.”
“Bagaimana dia bisa ada dalam tubuhku?”
Ibu Sri menceritakan kisahnya pada Esa. Enam belas tahun yang lalu, setelah sepuluh tahun pernikahan tanpa kehadiran buah hati, Sri dan suaminya sangat tertekan dari gunjingan para kerabat. Sampai akhirnya Sri dan suaminya memutuskan untuk menempuh jalan sesat bersekutu dengan Iblis Rho.
Iblis itu akan memberikan mereka seorang anak, asal keduanya siap menerima konsekuensi yang akan dihadapi. Awalnya, Sri dan suaminya sangat bahagia menjalani hari-hari bersama putri kecilnya. Namun, adik Sri yang bernama Karyo mengetahui sesuatu tentang bencana yang akan didatangkan Iblis Rho jika terus bersemayam di dalam tubuh Esa. Bencana setiap lima tahun sekali. Pada akhirnya, Joko gelap mata dan terhasut oleh rengekan Sri, istrinya. Karyo tewas di tangan Joko.
“Jadi, iblis dalam tubuhku akan datang setiap lima tahun sekali, dan membunuh semua warga yang ada di sekitarku?” tanya Esa.
“Ya, seluruh warga desa.”
“Kita tak bisa membiarkan hal ini berlanjut terus dan memakan banyak korban, Bu.”
“Tapi Ibu juga tak mau kehilanganmu, titik!”
Keduanya hening, sampai akhirnya mereka tiba di sebuah gapura bertuliskan “Selamat Datang di Desa Mawar Sari”. Sri memutuskan untuk berhenti dan tinggal di desa tersebut.
***
Selama di Desa Mawar Sari, Esa tak bersekolah dan memutuskan untuk membantu ibunya bekerja di tempat pembuatan kerajinan gerabah. Seorang pemuda bernama Dewa, anak dari pemilik tempat itu, jatuh cinta pada kecantikan Esa. Akan tetapi, gadis itu selalu menolaknya.
Bahkan demi mendapatkan Esa, pria berusia tiga puluh tahun itu menjebak Sri untuk mengganti sebuah guci mahal yang pecah dan pastinya tak bisa dibayar oleh Sri. Karena tak kunjung dapat mengganti harga guci tersebut, Dewa menawarkan kesepakatan untuk menikahi Esa atau Sri akan dilaporkan ke pihak berwajib.
Esa yang sangat menyayangi ibunya, akhirnya mau menikah dengan Dewa di usia enam belas tahun itu. Namun, saat malam pertama berlangsung tubuh Esa berubah wujud menjadi menyeramkan. Kuku jarinya bertambah panjang dan tajam. Gigi gadis itu juga meruncing seperti gigi hiu dan mengoyak paksa leher Dewa. Pria itu tewas sebelum menuntaskan malam pertama dan merenggut kehormatan milik sang gadis.
Kejadian itu membuat Esa hampir saja mati. Namun, Sri meyakinkan pada ketua desa agar jangan membunuh putrinya. Sri mengaku melihat perampok yang membunuh Dewa.
Orang tua Dewa tetap tak terima, mereka mengusir Esa dan ibunya. Dalam pengasingan, keduanya tinggal di dekat hutan dan mencoba bertahan hidup di sana. Sayangnya, saat Esa berusia sembilan belas tahun, Sri tak kuat menahan depresi. Wanita itu akhirnya meninggal.
Esa yang sudah tak bisa bertahan hidup tanpa ibunya memutuskan untuk mengakhiri hidupnya. Ia berdiri di tepi jurang yang bertebing terjal. Bisikan Iblis Rho yang mencoba membujuk gadis itu bertahan, tak lagi dihiraukan. Gadis itu tetap yakin untuk terjun. Namun, seseorang mendekap pinggang sang gadis dan mencegahnya terjun.
“Lepaskan aku! Biarkan aku mati!” Esa terus berteriak.
“Istighfar, Mbak!"
Esa memandang pria itu dengan lekat, “Rendra?”
Pria itu mengamati wajah Esa, “Esa, itu kamu?”
Teman SMP yang dulu bertubuh kurus itu berubah. Kini Rendra memiliki kulit yang bersih dan bertubuh tegap berisi. Wajah pria itu terlihat tampan. Rendra melirik ke pergelangan tangan kiri Esa, gelang darinya masih dipakai. Pria yang sudah menyukai Esa dari dulu itu, akhirnya mantap menyatakan cinta dan berniat meminang gadis itu saat itu juga. Ia tak mau kehilangan Esa.
Rendra membawa Esa kembali ke Desa Mawar Sari. Awalnya, Esa ragu untuk kembali ke desa tersebut. Akan tetapi, berkat keyakinan cinta dari Rendra, gadis itu akhirnya menerima ajakannya.
Namun, kenyataan tak semulus yang Rendra harapkan, sang ayah menentang pernikahan tersebut karena cap gadis kutukan sudah melekat pada Esa. Rendra memutuskan untuk membawa Esa ke pesantren milik Kiai Abdul Hamid untuk berkonsultasi.
“Ada jin jahat yang mendiami gadis itu,” ucap Pak Kiai.
“Jadi, apakah kita bisa mengeluarkan jin jahat tersebut dari tubuhnya?” tanya Rendra.
“Dengan izin Allah, tak ada kekuatan apapun yang dapat menandingi kekuatan Gusti Allah.”
Esa yang tak mau membahayakan para warga dan penghuni pesantren termasuk Rendra. Dia memutuskan pergi secara diam-diam. Namun, Rendra mengetahuinya dan menahannya.
“Lepaskan aku, Ren! Aku nggak mau membahayakan kamu!” pekik Esa.
“Nggak, Sa! Kamu nggak boleh pergi, kita akan segera menikah.”
“Makluk gaib ini akan bangkit besok, saat ulang tahunku. Dia akan membunuh semua warga desa, sama seperti kejadian lima tahun lalu di Desa Sumber Ayu. Setiap lima tahun sekali ia akan meminta korban, Ren."
“Nggak akan bisa, Sa! Aku nggak akan biarkan itu terjadi. Aku dan Pak Kiai akan mencoba menghilangkan jin jahat itu. Kamu harus percaya ke padaku,” bujuk Rendra.
Esa akhirnya menurut untuk melakukan pemusnahan jin jahat di dalam tubuhnya. Malam itu, Pak Kiai, Rendra dan para santri melakukan pembacaan ayat-ayat suci Al Quran dan metode ruqyah. Iblis Rho mencoba bangkit dan menyerang Rendra. Akan tetapi, kekuatan lantunan ayat suci dari bibir pria yang dibantu oleh Pak Kiai dan para santri itu, mampu membuat Iblis Rho terbakar lalu musnah.
Tubuh Esa kini bersih dari pengaruh jin jahat. Pernikahan Esa dan Rendra pun dilangsungkan di area pesantren. Semenjak menjadi istri Rendra, Esa mulai berpakaian sesuai ajaran agama islam. Dia terlihat sangat cantik setiap harinya di mata Rendra.
Esa juga mengabdikan diri membantu Rendra untuk membantu mengelola pesantren tersebut. Tak ada lagi kutukan lima tahun yang akan mendatanginya. Tujuan Esa kini hanya ingin membahagiakan suami dan meraih keberkahan dari Sang Ilahi di setiap napas hidupnya.
*** Tamat ***