Hari itu, lelah rasanya menyelimuti tubuhku. Aku berjalan malas, ke arah motorku yang terparkir tak jauh dari tempatku mencari nafkah. Ini mungkin, efek dari cairan yang dokter berikan padaku. Aku menghampiri motorku disana,lalu menaikinya. Inilah aku, Rachella Maudy, akrabnya bisa kalian panggil Rachel. Aku hidup berdua, di bumi bersama nenekku. Kami hidup seribu kekurangan, itulah mengapa aku yang seharusnya hanya terfokus pada pendidikan, harus memilih mengambil dua prioritas. Prioritas itu adalah, Bekerja dan Sekolah, keduanya ku jalani dengan ikhlas.
Selang lima belas menit perjalanan, aku berhenti tepat disebuah ATM. Aku rasa, sudah waktunya menyetok uang bulanan. Aku mengambil dompetku dari dalam jok, juga mengambil buku tabunganku dari sana. Perlu kalian tau, aku tipe manusia pelupa, bahkan untuk pin ATM milikku.
Aku masuk kesana, sambil membawa dompet dan kartu ku. Cukup susah membawa dompet dan kartu, aku meletakkan dompetku diatas mesin ATM. Tanganku mulai menari-nari di atas sana. Satu tombol angka disana, tak berfungsi, aku mendengus kesal melihat itu. Segera, aku mengeluarkan kartu ATM ku dari sana. Aku keluar dari mesin ATM, duduk di atas sepedaku. Sejenak, aku mulai mengotak Atik ponselku.
Sebuah suara sepeda berhenti, tepat di samping ku. Mungkin, itu nasabah lain yang hendak mengambil uang. Pemuda berjaket merah itu masuk kesana, tak lama ia keluar dari sana. Ia memakai jaket Hoodie, sebelum ia keluar dari sana ia memakai tutup kepalanya. Aku mencoba bertanya padanya.
"Bisa kah, ATM nya?" Tanyaku.
"Bisa!" Ucapnya, aku kembali menatap ponselku dan memainkannya. Terkejut, aneh rasanya melihat pemuda itu terburu-buru seakan di kejar sesuatu. Aku tak memperdulikan itu, ia pergi dengan sepedanya ke arah kanan. Cukup lama aku disana, aku pun pergi dari sana. Mencoba mencari ATM lain yang bisa. Butuh sepuluh menit dari sana, untuk menemukan ATM lain. Ketika aku menemukannya, aku masuk kesana. Usai mengambil uang milikku, aku pun kembali duduk di atas motorku.
Sekejap, aku teringat bahwa dompetku masih ada di ATM sebelum ini. Dengan cepat, aku melaju kesana. Melabuhkan sepeda ku di hadapan pintu ATM. Terkejut bukan main rasanya, ketika dompet ku tak lagi ada disana.
"Sialan sekali pemuda itu!"
Sial, menimpaku, aku menduga pemuda itulah yang mengambilnya. Saat ini, fikiranku pusing sekali rasanya. Pasalnya, didalam situ ada kartu penting. Bahkan, kartu berobat diriku ada disana.
Bayangkan, bagaimana seorang penderita diabetes type 1 tidak mendapatkan suntikan insulin? Aku bisa mati, jika begini.
Kacaunya fikiranku kala itu, membuat ku menelfon manusia yang paling kupercaya. Azzah, adalah sahabatku yang paling dekat. Profesi orang tua nya sebagai aparat, pasti bisa membantuku. Aku menelfonnya detik itu juga, hingga satu kalimat membuat ku lega kala itu.
"Aku akan mengatakannya pada Papa, kau tenang saja sekarang." Ucapnya.
Aku sedikit lega mendengar itu, aku memasukkan ponsel ku ke saku. Sejenak, aku menepis segala fikiran tak karuan yang menyerang fikiranku. Sekarang, aku memutuskan untuk pulang ke rumah, dan beristirahat disana.
Usai kejadian waktu lalu, aku sedikit bingung dengan bagaimana pengobatanku akan berjalan. Asuransi ku ada didalam dompet itu, aku tidak memiliki cukup uang untuk membeli insulin. Saat ini, aku sedang mengantri, stok terakhir obat asuransi ku. Dimana saat ini, aku sedang berdebat dengan salah satu pegawai farmasi. Aku ingin, stok obat yang diberikan bulan besok dipercepat untuk hari ini.
"Aku ingin menariknya sekarang, bisa?" Ujar ku padanya, pegawai itu terus saja berucap bahwa itu mustahil.
"Itu tidak bisa ditarik saat ini, karena waktu pengambilan jadwalnya untuk bulan esok." Bagaimana ini, tanpa suntikan itu aku bisa mati.
"Aku ingin itu sekarang, aku tidak bisa bertahan tanpa itu. Oke, dengarkan aku! Tiga hari setelah ini, aku ada tugas di luar kota. Aku ingin mengambil obatku sekarang, untuk bertahan hidup, apa kau bisa memberiku keringanan?" Dengan berat hati, pegawai itu mengatupkan tangannya seraya mengatakan padaku itu tidak bisa dia lakukan. Aku berdecak kesal sekali, namun sebuah tangan menepuk bahuku. Lembaran uang tiba-tiba berada di meja si Farmasi.
Aku menoleh ke arah manusia yang menepuk bahuku. Itu adalah Gibran, mantan kekasihku. Aku terkejut melihat kehadirannya yang tiba-tiba itu.
"Kau?" Pekik ku, dia hanya tersenyum padaku.
"Tolong, Berikan obat itu padanya ya!" Ujarnya pada farmasi itu. Aku menggeleng cepat mendengar itu, segera aku meninggalkan dia.
"Aku tidak butuh itu darimu!" Ucap ku seraya pergi.
Gibran, mengambil bungkusan obat itu. Aku tau, dia sedang mengejarku sekarang. Entahlah, aku muak sekali melihatnya rasanya. Hubunganku dan Gibran sudah selesai, sejak ketika Ibunya lebih memilih menjodohkannya dengan wanita yang lebih pantas untuknya. Dan yang paling membuatku muak adalah, dia menyetujuinya dan tepat hari itu juga dia memutuskan hubungannya denganku. Selang beberapa langkah keluar dari sana, Gibran menarik tanganku. Itu membuatku berbalik ke arah nya, tubuh kami saling bertrabakan saat itu.
"Hei, dengarkan aku!" Ucap nya, aku menepis tangannya dari diriku. Lalu ku tatap tajam matanya.
"Apa?!"
"Berhentilah menjadi orang yang mengacuhkan orang lain! Kau, masih membutuhkan orang lain untuk bertahan!"
"Tapi, aku tak mengharapkan itu darimu!"
"Hel, sadarlah, untuk apa kau bertahan di dunia ini? Perkecil lah Egoismu itu, maka kau akan dapatkan kehidupanmu yang panjang!" Aku tersenyum sinis mendengar itu.
"Sekarang, kau akan bersimpati padaku? Setelah, apa yang kau berikan padaku beberapa waktu lalu? Hebat sekali!" Ujar ku seraya pergi, namun lagi-lagi ia menghentikan ku.
"Apa lagi sekarang?"
"Aku tau, aku salah! Aku membuangmu begitu saja ketika ada yang baru. Tapi, aku hanyalah seorang anak hel! Aku tidak tau harus bagaimana, menanggapi apa yang orang tua ku minta." Ujarnya.
"Mereka hanya berhak menuntunmu, kehidupan kita sebagai anak bukan milik mereka. Kita bebas, mereka hanya perlu mengarahkan saja. Bukan memaksa kita menuruti kehendak mereka. Sekarang lepaskan aku!" Ujar Rachel.
Gibran, melepaskan tangan Rachel sembari memberikan bungkusan obatnya.
"Hiduplah, sukseslah! Ketahuilah, aku masih mencintaimu." Lirihnya, seraya pergi meninggalkanku disini.
Hmmm, rasanya sejak kejadian hari itu aku selalu memikirkan perkataan Gibran padaku. Hari ini, tepat pukul 10.00 kelas ini tidak terlalu ramai. Beberapa siswa diantaranya memang, lebih memilih menghabiskan waktu nya di kantin, ini jam Istirahat. Bosan, dengan apa yang ada didalam kelasku, aku pergi dari sana. Sambil berjalan, aku memasang earphone di telingaku, berusaha mengusir penat dan segala apa yang kupikirkan.
Kalian tau, atap sekolah adalah salah satu alternatif terbaik. Entahlah, ketinggian adalah hal terbaik bagiku ketika jenuh. Aku berada didepan pintu atap saat ini, ketika aku akan membuka pintunya. Sebuah dorongan, lebih dulu membuka pintu itu. Di baliknya, keluarlah seorang pemuda berjaket Hoodie sambil menutup kepalanya. Kami, sama-sama terkejut ketika berpapasan. Aku hampir saja jatuh, dari tangga atap, namun ia menahan tanganku.
"Terima kasih!" Ucapku, ia mengangguk lalu tersenyum.
Tunggu, aku seperti mengenal raut wajah ini. Aku mencoba mengingat, memori beberapa hari lalu dalam ingatanku. Ketika ingatan itu kembali, aku ingat pemuda ini. Dia, pemuda yang bersamaku saat di ATM. Aku mencurigainya sekarang, melihat raut muka ku yang berubah. Pemuda itu, menundukkan kepalanya dan turun dari atap.
"Tunggu!" Ucapku, namun dia tak berhenti. Aku mengejarnya kali ini, sepertinya dugaanku benar. Dialah, yang mengambil dompetku.
Aku terus mengikuti langkahnya, hingga sampai di belakang sekolah. Ia berhenti, di hadapan danau sekolah.
"Kau, Minggu lalu berada di ATM persimpangan bersamaku?" Ucapku, sama sekali tak ada jawaban dari Pemuda itu. Sebelum, aku mendekatinya, ia lebih dulu berbalik dan menatapku.
"Apa, kecurigaan mu padaku ada buktinya?" Pertanyaannya itu, membuat ku ciut rasanya. Pasalnya, aku memang tak memiliki bukti untuk itu. Hanya berbekal keyakinan saja, mana mungkin bisa menyudutkan dia. Sungguh, memang perampok adalah kalangan manusia-manusia licik dibumi.
Aku masih menatapnya, tak lama aku tersenyum sinis padanya.
"Dengarkan aku ya, kau sedang berurusan dengan orang yang salah. Aku pastikan, kau akan menyesalinya!" Ucapku, Pemuda itu hanya membalas senyuman ku lalu mengangguk. Tak lama, ia pergi meninggalkanku sendiri di danau. Ada satu hal, yang masih menjadi pertanyaan dalam hatiku.
"Apa, dia bersekolah disini?" Batinku.
_________
Noah POV
Aku bertemu dengannya, gadis itu. Maafkan aku, aku memang bersalah atas apa yang kulakukan. Tapi aku, membutuhkannya! Tapi tunggu, untuk apa dia masih membutuhkan dompet itu? Ah sudahlah.
Saat ini, aku masih berada di Rumah Sakit. Orang yang paling kucintai, berada disini. Dia adalah, adikku Mira. Dia terbalut perban di ruang UGD, saat ini ia sedang berada di antara pertengahan antara hidup dan mati. Sudah sekitar, satu Minggu dia koma. Aku menggenggam tangannya, sungguh, dia lah satu-satunya manusia yang masih kumiliki saat ini. Uang dari dompet gadis itu, sunggu menyelamatkan nyawa Mira. Membeli darah dirumah sakit bukanlah hal yang murah, beruntungnya hari itu juga Tuhan menemukanku pada dompetnya. Aku tau itu hal salah, tapi tak ada pilihan lain selain itu. Aku akan menggantinya, aku janji Tuhan, aku hanya meminjamnya saja, untuk nyawa Mira.
Noah POV
Aku melihat, banyak sekali manusia di bar ini. Sebenarnya, aku kemari untuk sebuah pekerjaan. Andre bilang, ada satu pekerjaan disini, aku mencari keberadaannya sekarang. Selang beberapa menit mencari, akhirnya aku menemukannya. Dia duduk, di antara beberapa kalangan wanita paru baya waktu itu. Aku melambaikan tanganku padanya, melihat lambaian tangan dariku, Andre membalasnya. Dia bangkit dari duduknya, lalu menghampiriku. Kami berjalan keluar dari bar, kami keluar ke arah belakang bar ini.
Tepat ketika, kami berada disana. Andre menjabat tanganku, ia tersenyum senang akan kehadiranku.
"Aku senang sekali kau kemari, Noah!" Ucapan itu, membuatku tersenyum padanya. Dia, mengajakku duduk di antara kursi disana.
"Bagaimana, Mira?" Pertanyaan itu membuatku menggeleng kecil. Dia faham, akan isyarat yang ku berikan padanya. Tangannya menyentuh salah satu bahuku, aku tau dia mencoba memberiku kekuatan.
"Jadi?" Tanyaku lagi, Andre mengangguk mendengar itu.
"Sebenarnya, pekerjaannya sederhana sekali. Kau hanya perlu mendampingi mereka para brondong tua itu, maka mereka akan membayarmu!"Ujarnya. Tunggu, pekerjaan macam apa yang Andre maksud ini.
"Hah?" Andre mengangguk mendengar reaksiku.
"Menemani, bukan berarti ikut tidur dengan mereka. Tapi, menemani mereka saja!" Aku bangkit dari duduk ku itu, lalu menatapnya tajam.
"Kau gila, mana mungkin aku menghidupi adikku Mira dengan cara seharam itu?"
Mendengar penolakan dariku, Andre membuang kasar nafasnya.
"Sekali saja, dalam kehidupan! Buang seluruh pertimbangan dalam otakmu.Kau, sudah habis mempertimbangkan banyak hal, di bumi. Ingatlah, hanya ada satu nyawa tempatmu pulang dan berbagi, itu Mira adikmu. Kau harus faham satu hal, aku pun tak ingin melakukan pekerjaan bejat ini. Tapi, kita hidup di dunia yang kejam. Dimana uang, adalah penjahat terbesar yang merubah seluruh umat manusia dalam bumi. Dia adalah, setan terbaik di atas bumi ini. Tanpanya, dunia, tidak akan patuh padamu!" Penjelasan dari Andre itu ada benarnya. Apa yang ia katakan memang benar. Dunia, sudah sekeji ini jika mengenai uang. Kami, memang masihlah muda, tapi baik diriku dan Andre sama-sama merasakan kepahitan yang hidup dalam skenario kami.
"Aku, akan memikirkannya lagi. Jika aku selesai, akan ku hubungi kau!" Ucapku, seraya pergi meninggalkannya. Dari bar, keluar menuju jalanan fikiranku di penuhi tentang tawaran itu dan Mira.
Apa aku harus membelot, pada hal-hal tak benar? Demi menafkahi, satu nyawa yang bergantung padaku. Di sela fikiranku yang kacau, aku melihat gadis itu lagi. Tak jauh, dari tempatku dia dengan sepedanya berhenti di rumah-rumah mengantar satu botol susu pada tiap rumah itu.
Ketika rumah terakhir ia datangi, usai mengantar beberapa botol susu itu jalannya sedikit gontai. Apa ia lelah? Apa dia pengantar susu? Dia berjalan seraya menuntun sepedanya ke arah ku. Tepat ketika dia berada dihadapanku, dia berhenti.
"Kau sedang apa?" Tanyanya, aku hanya menggeleng pelan mendengar itu.
"Kau tinggal, di komplek Alpha ini? Kaya, seki dirimu!" Aku menggeleng lagi. Tak lama, aku melihat dia memijat pelipisnya. Aku perhatikan, ia begitu pucat kali ini. Tangannya merogoh depan keranjangnya, mengenggam satu botol susu yang masih tersisa disana. Tak lama, ia menyodorkan botol itu padaku.
"Aku benci padamu, aku tau kau yang mengambil dompetku. Tapi, aku masih manusia yang memiliki simpati."Ucapnya, seraya menyodorkan botol susu itu. Aku yang kebetulan saja haus, menerimanya.
"Jangan pernah, merasa terlantar di bumi. Sekali pun, dari cara pandang manusiamu. Kau, merasa sendiri! Itu tidak benar, Tuhan adil dalam tiap skenarionya. Juga, jangan berfikiran dangkal untuk melakukan hal negatif di dunia, karena karma yang mengitari dunia masih ada dan berlaku." Ucapnya, seraya pergi dari hadapanku. Aku merenungkan apa yang ia katakan kali ini, gadis itu bijaksana sekali.
"Aku butuh, Pekerjaan!" Ucapku, itu membuatnya berhenti. Gadis itu, berbalik, menatapku, begitupun denganku.
"Aku bekerja di industri makanan, kau bisa menemuiku di atap besok. Aku akan membantumu, masuk kesana." Ucapan darinya, sedikit merendahkan ke khawatiranku. Sungguh, malaikatkah yang sedang bicara dihadapanku ini. Bukan hanya menghilangkan dahagaku, dia juga menghilangkan kegelisahanku.
Usai mengatakan itu, ia terus berjalan menjauhi ku. Tepat ketika punggungnya tak lagi terlihat, aku ingat untuk menanyakan namanya. Dari sana, aku juga sedikit bersalah sudah mengambil dompetnya.
Rachel sedang bergelut dengan ponselnya saat ini, tak henti-hentinya tangannya masih setia menari-nari di atas ponselnya. Rachel, menghentikan aktivitasnya ketika mendengar suara langkah kaki dari balik tubuhnya. Ya, sesuai perjanjian mereka malam itu, Rachel menunggunya di Atap.
Noah datang menghampiri gadis yang memunggunginya itu, ia meletakkan tangannya di antara tembok itu.
"Jadi?" Tanya Noah, Rachel tersenyum mendengar pertanyaan itu. Rachel merogoh kecil sakunya, mengeluarka selembar kertas lalu menyerahkannya pada Noah. Noah memperhatikan kertas itu, berisikan alamat pekerjaannya.
"Mereka akan menunggumu jam 08.00, kau harus tepat waktu." Ucap Rachel, seraya memakai Earphone nya dan pergi. Noah berbalik menatap gadis itu, ia berteriak.
"Hei! Boleh ku tau siapa namamu?" Tanyanya, Rachel yan sedang asyik dengan Earphone nya itu tak mendengar ucapannya. Ia terus saja berjalan menjauhi Noah. Noah tersenyum bahagia saat ini, ia baru saja menemukan pekerjaan, sungguh mukjizat Tuhan itu luar biasa.
Rachel, mempercepat langkahnya ketika matanya mulai mengabur. Ia berjalan kearah toilet, sungguh berat rasanya kepalanya. Dari arah tangga, terlihat Noah turun mencari Rachel. Namun, matanya sama sekali tak menemukannya. Sembari menengok ke segala arah, dalam pencariannya itu tak sengaja tubuhnya menabrak seseorang. Mereka sama-sama terkejut akan hal itu.
"Maafkan aku, aku tidak sengaja!" Ucap Noah, sembari mengatupkan tangannya. Pemuda itu tersenyum ke arahnya, lalu mengulurkan tangannya seraya mengajaknya berkenalan.
"Aku Gibran!" Pemuda ini Gibran rupanya, dengan ramah Noah menjabat tangan itu dan tersenyum.
"Hei, aku Noah!" Mereka saling berkenalan satu sama lain.
"Ah, kau sedang mencari apa disini? Aku lihat, kau seperti orang yang bingung tadi." Mendengar itu Noah menggaruk kepalanya yang tak gatal.
"Sebenarnya, aku sedang mencari seorang gadis."
"Pacarmu?" Noah menggeleng mendengar itu, Noah menjelaskan ciri-ciri gadis itu pada Gibran. Gibran mengenali gadis yang Noah ceritakan padanya.
"Jika kau tertarik padanya, aku nitip dia padamu ya!" Ujar Gibran, usai mendengar penjelasan Noah. Noah terkejut mendengar penuturan itu, Gibran berbalik lalu melambaikan tangannya.
"Kau sedang berurusan, dengan gadis baik disini. Dia memang cenderung sarkasme, untuk mulut seorang gadis. Tapi, ketahuilah! Dia adalah manusia paling lemah jika kau tau apa yang terjadi padanya. Waktuku menjaganya sudah habis, mungkin sekarang Tuhan memilihmu untuknya." Noah sama sekali tak mengerti apa yang Gibran katakan padanya. Gibran pergi dari hadapan Noah, usai mengatakan itu.
Terlihat dua pasang manusia dalam satu ruangan, sedang beraktivitas.
"Seharusnya itu, dipilin lebih tipis lagi." Ujar Rachel pada Noah yang sedang mengerjakan sesuatu. Noah mengikuti instruksi Rachel dengan baik, Rachel mencari kesibukan lain setelah itu.
"Ah aku ingat, ku kira sampai saat ini aku belum mengetahui namamu?" Setelah beberapa hari bertemu, Noah ingat ia tidak pernah bertanya mengenai nama gadis yang membantunya ini.
"Aku Rachel!"Jawabnya, tanpa menatap Noah. Noah hanya mengangguk mendengar itu.
"Kau?"Kali ini pertanyaan Rachel berikan pada Noah.
"Aku Noah!" Seraya tersenyum.
"Wah, sepertinya ibumu hebat sekali memberimu nama sebagus itu?" Noah menaikkan satu alisnya mendengar itu, apakah itu sindiran untuknya?
"Maksudnya?" Rachel menghentikan aktivitasnya, kali ini ia menatap serius ke arah Noah.
"Kembalikan dompetku, baji**an!" Ucapan itu membuat Noah serangan jantung rasanya. Dia masih mengungkit soal itu. Noah pikir, dia sudah lupa.
"Kau menanyakan sesuatu, pada manusia yang salah!" Rachel memijat pelan pelipisnya. Muak rasanya mendengar ocehan Noah saat ini, di tambah suntikan Insulin belum ia dapatkan.
"Sial!"Lirih Rachel, lalu meninggalkan Noah sendiri. Noah hanya diam mendengar umpatan itu.
Sembari tertatih menuju toilet, Rachel berjalan sambil meraba-raba tembok. Rasanya untuk sekedar berjalan saja ia tak mampu. Tubuhnya serasa berat sekali. Koridor itu cukup sepi memang, tempatnya bekerja adalah sebuah home Industri. Tidak terlalu banyak karyawan disana.
"Aku bisa mati jika seperti ini!" Lirihnya, seraya masih berjalan. Hampir sampai, tubuhnya hampir limbung saat itu. Tapi, Noah datang menangkapnya.
"Kau sakit?"Masih menahan sakitnya, Rachel berusaha menjauhkan dirinya dari Noah.
"Insulin?" Lirih Rachel, layaknya orang Ling Lung.
"Apa itu?" Tanya Noah, belum sempat menjawabnya Rachel sudah ambruk saja dalam dekapan Noah.
"Obatku! Asuransi ku, dompetku padamu!" Rachel mencengkram baju Noah, sembari mengatakan itu.
Noah kaget mendengar itu. Dia sudah membuat seseorang kesusahan kali ini, bahkan hampir mati.
'Aku tidak tau, rupanya itu alasanmu begitu ingin dompet itu kembali.' Batin Noah.
Tanpa berfikir panjang, Noah menggendong Rachel menuju ruang Istirahat.
"Apa yang kau lakukan? Tinggalkan aku!" Lirih Rachel, dalam gendongannya. Noah tak menggubris hal itu, ia hanya terus berjalan ke arah ruang istirahat.
Sesampainya disana Noah, meletakkan Rachel di atas tempat tidur saat ini.
"Sebenarnya, apa yang terjadi?" Tanya seorang satpam yang berjaga disana.
"Dia sakit!" Jawab Noah sembari masih memperhatikan Rachel.
"Aku bisa membuatkanmu surat izin pulang, jika memang kau tak mampu bekerja hari ini." Samar, Rachel membuka matanya mendengar itu.
"Aku masih sanggup beraktivitas, hanya saja perlu istirahat sebentar." Noah menatap sendu ke arahnya, Rachel yang muak dengan tatapan itu pun memalingkan wajahnya.
"Baiklah, istirahatlah sebentar!" Ujar satpam itu lalu pergi dari hadapan mereka.
"Kupikir, kau akan kehilangan kesadaran mu setelah itu?" Ucap Noah, Rachel meletakkan tangannya di atas kepala, mencoba menutup matanya. Pening itu, menjalar sampai ke dalam matanya.
"Aku tidak mengerti, kenapa ada manusia yang begitu ringan tangannya mengambil barang orang lain." Noah diam mendengar itu, gadis ini masih saja menyindirnya.
"Kau sakit apa?" Rachel membuang kasar nafasnya mendengar itu.
"Kau masih asing bagiku, mengapa aku harus menceritakan hidupku padamu?" Tanyanya.
"Lantas, mengapa kau membantu orang asing ini?" Rachel diam mendengar pertanyaan itu.
"Karena, aku memahami bagaimana rasanya tidak ada yang membantu. Raut muka mu waktu itu, membuktikan kau sangat membutuhkan pekerjaan. Sebenarnya, kau ini sedang berjuang untuk siapa?" Noah menundukkan kepalanya mendengar itu, ia sedikit kagum pada Rachel saat ini.
'Aku akan mencarikan dompetmu, kau tenang saja!' Batin Noah.
"Aku pergi, semoga kau lekas baikan!" Ujar Noah, seraya berdiri dan pergi.
Dari jalan ke jalan, terlihat Noah sedang sibuk mencari dompet yang pernah ia buang disana. Sudah hampir satu jam ia berkeliling disini.
"Astaga, dimana? Apa ada yang memungutnya lagi?" Ucapnya, lelah rasanya, mengingat terik matahari begitu panas siang ini. Noah berhenti sejenak, duduk di pinggir jalan.
"Ya Tuhan, maafkan aku! Aku sudah hampir membuatnya mati kemarin." Ujar Noah, sekilas bayangan Mira terbesit dalam fikirannya.
"Bodoh sekali kau Noah? Padahal, dia datang untuk membantumu, tapi kau! Pemuda sialan memang, Noah!" Umpatnya kesal kepada dirinya. Sungguh, beruntung sekali baginya mendapatkan pekerjaan. Itu semua berkat Rachel, tapi dia, keji sekali perbuatannya hingga membuat Rachel hampir mati kemarin. Sungguh, Noah sangat muak dengan dirinya saat ini.
"Dimana lagi aku harus mencarinya?" Ucapnya, putus asa.
"Mira pasti akan sangat kecewa, jika tau aku mencopet seperti ini." Ucapnya lagi, kali ini Noah bangkit dari duduknya. Mencoba terus mencari dompet yang hilang itu.
Samar, dari kejauhan terlihat Rachel menuntun sepedanya, di sampingnya terlihat Gibran. Noah mencoba memperhatikan mereka berdua dari jauh, keduanya berjalan beriringan.
"Sepertinya, mereka berdua saling mengenal?" Batinnya, entahlah, mendadak ada rasa tak suka ketika melihat Rachel jalan bersama Gibran.
"Apa kau sudah memakai obatmu?" Rachel mengangguk mendengar pertanyaan itu.
"Kau sendiri, kenapa selalu kemari?" Gibran tertawa mendengar itu.
"Aku belum, mendapatkan ucapan terima kasih darimu." Rachel menaikkan alisnya mendengar itu, berharap sekali pemuda itu padanya.
"Kau, tak perlu melakukan semua hal itu untukku. Kalo memang, aku akan mati saat ini, aku akan menerimanya." Tak senang dengan ucapan Rachel, Gibran menyentuh kedua bahu Rachel.
"Nona keras kepala, kenapa kau begitu mudah mengatakan itu? Jika kau masih, memiliki rasa syukur, kau harus tetap hidup. Demi menghargai, apa yang Tuhan berikan padamu." Bijak memang apa yang Gibran katakan, tapi entahlah. Rachel sudah, terlalu muak dengan Pemuda ini.
"Kau bisa memberikan banyak motivasi, tapi sekalipun kau tidak pernah menghargai keberadaanku." Rachel, seraya menepis tangan Gibran darinya.
"Aku menghargaimu, itulah mengapa aku ingin kau tetap bernafas." Ucap Gibran.
"Haah... Munafik sekali perkataan itu, lagi pula aku sudah terbiasa di anggap sebagai sampah. Jadi, jika kau membuangku, rasanya sudah cukup terbiasa aku menerima perlakuan itu." Ucap Rachel, seraya mempercepat langkahnya.
"Hel..." Gibran menahan pergelangan tangan Rachel.
"Apa lagi sekarang?" Kesal Rachel, sungguh dia tak ingin berlama-lama bersama Gibran disini. Rasanya, dada nya sudah cukup sesak walaupun hanya sekedar melihatnya saja.
"Aku ingin kita, tetap berteman!" Ucapnya, Rachel tersenyum mendengar itu.
"Silahkan, anggap aku sebagai temanmu. Tapi, aku tidak akan menganggap itu sebaliknya. Kau sadar, kau akan menikah kan? Lalu kenapa, kau masih disini bersamaku? Kau, memang sejak dulu tidak pernah menghargai perasaan orang lain. Pergilah!" Ucap Rachel, penuh emosi. Ia menepis kasar tangan yang masih menggenggamnya itu. Lalu pergi dari sana.
Hancur rasanya melihat sikap Rachel saat ini, Gibran hanya bisa menatap sendu punggung Rachel yang mulai menghilang dari matanya.
Noah, memang tidak terlalu mengerti tentang apa yang terjadi disana. Karena, jarak mereka cukup jauh. Gibran hancur rasanya mendengar itu dari Rachel, tapi ia sadar, mungkin inilah karmanya.
Rasanya sudah cukup lama mereka saling mengenal sekarang. Dari sini, Noah mulai tertarik pada Rachel. Memang, Noah membuat kesalahan dengan mengambil dompet milik Rachel, sehingga menyebabkan asuransi kesehatan Rachel hilang. Noah, selalu memperbaiki kesalahannya itu, kadang ia membantu biaya pengobatan Rachel tanpa sepengetahuannya. Kadang, dia juga mengantarkan hadiah-hadiah kecil ke rumahnya.
"Sudah cukup lama ya? Sudah hampir satu tahun, aku tidak bercengkrama dengannya." Ucap Noah, seraya menatap langit-langit ruangannya.
Sungguh kemajuan yang sangat pesat memang, Noah berhasil menjadi seorang pengusaha cukup mujur hari ini. Karena Rachel, dia bisa memanfaatkan uang jerih payahnya untuk merintis usaha. Noah ingat, hari ketika ia membalas hutang budinya pada Rachel. Dimana waktu itu, ia mengatakan apa yang sudah ia lakukan pada Rachel. Ia jujur padanya, tentang aksinya yang mengambil dompet itu.
"Maafkan aku, tapi, aku senang bisa mengenalmu cukup lama. Kau bahkan, sering mengunjungi Mira adikku dan menemaninya. Aku senan mengenalmu, dan terima kasih." Ucap Noah, seraya menundukkan kepalanya. Sungguh, ia tak berani menatap Rachel saat ini.
"Aku... aku, minta maaf ya..." Rachel heran dengan apa yang Noah ucapkan.
"Aku benci mendengar ucapan maaf yang berulang-ulang kau utarakan. Aku tau, kau yang mengambil dompet itu dariku. Aku memang membencimu, bahkan sampai saat ini. Kau adalah Pemuda Sial, yang mengacaukan hidupku."
Noah diam mendengar umpatan itu, ia memang pantas. Noah memberikan amplop berisikan beberapa uang disana, dan Asuransi baru. Dia berjanji, akan menanggung seluruh pengobatan Rachel saat ini.
"Apa ini?" Tanya Rachel.
"Hiduplah, aku ingin kau tetap bernafas." Ucap Noah, Rachel tersenyum sinis mendengar itu. Sama sekali ia tak mengambil amplop itu. Sifatnya masih keras kepala, Rachel berlalu dari hadapan Noah, meninggalkannya sendiri disana.
"Hei, kenapa kau masih keras kepala?!" Pekik Noah padanya, namun itulah Rachel dengan sifat egoisnya. Ia tetap berlalu dari sana, tanpa peduli apa yang Noah katakan.
Kejadian itu masih melekat kuat dalam ingatannya. Seorang gadis cantik, masuk ke dalam ruangan Noah.
"Kakak!" Ucapnya, Noah menatap adik perempuannya itu.
"Apa?" Mira menyerahkan, sebuah surat padanya.
"Apa ini?" Tanya Noah, heran pada adiknya itu. Mira mengangkat bahunya tanda bahwa ia pun tak tau.
"Aku tidak tau, tapi aku menemukanya di kotak surat. Disitu tertera untukmu!" Noah mengangguk mendengar itu.
"Mungkin ini orderan kita!" Ucap Mira asal. Noah tertawa mendengar itu.
"Mungkin saja iya!" Ujar Noah.
"Bukalah, kak!" Pinta Mira padanya, Noah mengangguk menanggapi permintaan itu.
Ketika Noah membukanya, lalu mebacanya ia membulatkan matanya. Ini dari Rachel, begitupun dengan Mira. Isi surat itu, membuat hatinya tak karuan rasanya. Noah bangkit dari duduknya, lalu bergegas pergi, sementara Mira mengikutinya dari belakang.
Jarak antara rumah sakit dan kantornya, cukup jauh memang. Dengan mobilnya, Noah menambah kecepatannya agar sampai tepat waktu di Rumah sakit.
"Pelan-pelan saja kak Noah!" Pekik Mira, pasalnya Noah mengemudi dengan brutal kali ini.
"Aku tidak bisa tenang!" Ujarnya, ya bagaimana dia bisa tenang. Isi dari surat itu bilang, hari ini Rachel sedang berada di rumah sakit. Penulis surat itu, adalah Gibran. Namun, yang tertera di sampulnya adalah Rachel.
"Kita bisa mati, jika kau tak tenang kakak!" Pekik Mira lagi, Noah mencoba merenungkan itu. Kali ini, ia mulai menstabilkan kecepatannya.
Di lain tempat, Rachel sedang duduk di kursi rodanya. Tangannya menyentuh kaca rumah sakit, dari balik sana terlihat suasana kota.
"Kota masih padat, dan aku, masih sendiri disini." Lirihnya, ia mengingat kecil satu kejadian. Dimana, Ayah dan Ibunya menghilang dari kehidupannya. Hatinya cukup kesepian, untuk seorang gadis di usianya.
"Ruangan dalam hatiku, akan selalu kosong sepertinya. Sekalipun, aku mati dan kembali! Tidak akan ada, manusia yang menangisiku." Ujarnya lagi, baru satu bulan satu-satunya keluarga yang ia miliki di panggil Tuhan. Selama dua bulan itu, Rachel hanya hidup sendiri, tak ada tumpuan tempatnya bercerita. Bahkan, tak ada pangkuan untuk meletakkan kepalanya ketika lelah.
Rachel hanya ingat satu manusia saat ini, itu Noah. Sebenarnya, ia sengaja memberikan sikap acuhnya pada Noah. Itu karena, Rachel bukan manusia yang mudah percaya pada orang lain. Dia, tidak ingin di kecewakan lagi. Mengingat, sudah cukup banyak skenarionya diciptakan mengecewakan.
"Seandainya, kau bisa bertahan dan mencegahku pergi. Aku pasti, akan menghargai beradamu disini." Lirihnya, suara pintu terbuka membuat netra nya beralih.
"Rachella, sekarang sudah waktunya." Ujar seorang perawat di ambang pintu. Ah, ini dia pengobatan Rachel.
"Baik sus, aku akan kesana!" Ucapnya, seraya mendorong roda kursinya. Ia sedikit kesusahan melakukan itu, namun sebuah tangan menyentuh tangannya.
"Kau, kenapa tidak mengatakan apa-apa padaku?" Suara itu, membuatnya terkejut. Noah disini?
"Kenapa kau kemari?" Noah bersimpuh dihadapan Rachel kali ini.
"Untukmu, bagaimana aku bisa meninggalkanmu saat ini?" Rachel tersentuh mendengar itu.
"Ini waktu sekaratku, dan kau kemari? Kemana kau selama ini?" Ucap Rachel, entah mengapa ia menangis di depan Noah saat ini. Rasanya, sudah cukup ia mempertahankan ego nya saat ini.
"Aku memang membuat kesalahan, aku memahami segala amarahmu padaku. Tapi tolong, jika aku tak pantas di sampingmu. Tolong biarkan aku membantumu." Jelas Noah, Rachel mencoba menari sesuatu di matanya. Dari situ, Rachel sadar Pemuda ini tulus menyayanginya.
"Terima kasih." Ucap Rachel
"Untuk apa?" Heran Noah
"Untuk khawatirmu yang beralasan ini, aku rasa ini sudah cukup." Noah bingung mendengarnya, apa maksudnya.
"Kau akan kemana?" Tanya Noah
"Pergilah, suster sudah menungguku disana. Apa kau tak lihat?" Noah menggelengkan kepalanya mendengar itu, pasalnya tertulis dalam surat. Rachel akan menjual jantungnya pada manusia lain.
"Tidak akan kubiarkan kau mati!!" Pekik Noah, seraya menggenggam tangan itu.
"Apa yang kau bicarakan?" Tanya Rachel, bingung akan sikap Noah padanya.
"Berapapun biayanya, aku akan mencari donor lain untuk manusia di dalam ruangan itu. Aku tidak mau mengorbankanmu disini, tolonglah!!! Aku mencintaimu, jangan pergi." Ungkapan itu membuat Rachel bersemu, dari situlah, terlihat Gibran dari arah lain menghampiri mereka. Memberi sebuah tepukan tangan.
"Wah, akhirnya kau mengutarakan perasaanmu padanya ya?" Ucap Gibran sumringah. Rachel dan Noah terkejut melihat kehadiran Gibran.
"Jangan terkejut, aku memang sengaja mengirim surat itu. Supaya, kalian bisa bertemu, dan Noah berani mengungkapkan perasaannya." Pernyataan itu membuat Noah sadar satu hal.
"Jadi, untuk apa Rachel kemari? Bukan untuk mendonorkan Jantungnya?" Gibran menggeleng mendengar pertanyaan Noah.
"Bukan jantung yang di donorkan, tapi hati. Dia sudah mendonorkan hatinya untukmu hari ini, disini." Noah paham sekarang, ia melempar senyum pada Gibran. Tak lama, netra nya menatap lembut Rachel.
"Apa?" Ketus Rachel, sungguh masih belum ada perubahan disini.
"Apa kau juga mencintaiku?" Tanya Noah
"Pemuda Sial! Entahlah, aku membencimu." Umpat Rachel, Noah tertawa mendengar itu.
"Kau mencintaiku kan?" Pertanyaan itu, membuatnya bersemu kali ini. Ya, Rachel memang mencintainya juga, tapi ia terlalu malu untuk menjawabnya sekarang.
"Aku benci padamu, sungguh ben..." Umpatan itu Noah potong kali ini, ia mencium lembut Rachel kali ini. Kecupan itu membuatnya bungkam seketika, Gibran yang menyaksikan itu bahagia sekali.
"Aku akan menjagamu, aku janji itu." Batin Noah. Akhirnya, manusia yang kesepian ini menemukan cintanya. Berawal dari sebuah tragedi kehilangan, di ujung ceritanya, ia menemukan cinta yang tulus mencintainya.