Suara nyaring terdengar bahkan pecahan barang juga terdengar, seorang anak kecil berumur lima tahun mengintip sambil menggendong bonekanya.
"Cerai! Cerai! Cerai! Apa itu yang ada di hatimu," makinya.
"Di mataku kamu tak lebih dari seorang pembunuh! Kamu ingat putra kita tiada karena kamu dan sundal Jerman itu!" teriak sang istri sambil berkacak pinggang.
"Ya Allah sudah enam tahun berlalu kamu masih mengingatnya, tak bisakah kamu melupakan masa lalu!" ujar Hikmet dengan frustasi sambil menaruh kedua tangannya di kepala.
"Cukup, aku ingin kembali ke Indonesia!" ujarnya sambil berderai air mata menuju kamarnya yang ada di lantai atas.
"Nashwa kamu tidak akan kemana pun! Kamu adalah istriku!" ucap Hikmet sambil terus mengejar istrinya.
Nashwa mengemasi barang-barang nya untuk pergi ke Indonesia, tapi Hikmet selaku suaminya melarangnya pergi.
"Nashwa dengarkan penjelasanku!" kata Hikmet sambil mengeluarkan kembali semua pakaiannya dari dalam koper.
"Aku sudah muak denganmu Hikmet, biarkan aku ke Indonesia kamu egois."
Nashwa mendorong Hikmet tangannya dengan derai air mata, tapi Hikmet berhasil menangkap tangannya lalu menguncang-guncangkan tubuhnya.
"Apa kamu tidak bisa diam sebentar! Kita bisa bicarakan ini secara baik-baik tanpa harus ada jalan untuk bercerai!" gentak Hikmet pada Nashwa.
Gadis berdarah Indonesia tersebut hanya menangis mendengar gentakan suaminya, Hikmet memeluk istrinya di dalam pelukannya.
Tangan Nashwa melepaskannya dengan kasar.
"Lepaskan aku!" maki Nashwa melepaskannya dengan kasar, lalu menampar pipi kanan suaminya.
Plak!
Tamparannya amat keras mereka tak sadar di ujung pintu putri mereka menatap keduanya dengan ketakutan, Hikmet sebagai pria Turki yang dalam hatinya tak sudi menerima hinaan sedikitpun oleh perempuan, malah mencengkeram kerah baju istrinya lalu melempar tubuh istrinya.
Hidung Nashwa berdarah terkena tembok, darahnya terciprat. Hikmet dengan tega menarik rambut Nashwa karena belum juga puas.
"Dengar Nashwa sampai kapan pun aku tak akan menceraikanmu!" tegas Hikmet lalu menghempaskan rambut Nashwa dengan kasar, setelahnya berlalu keluar kamar.
Hikmet keluar rumah untuk pergi ke bar guna menenangkan diri, ia biasa minum untuk menghilangkan masalahnya. Gulya nama putri mereka.
Gulya mendekati ibunya lalu memeluk wanita itu, tapi anak berumur lima tahun itu malah di dorong dengan kasar.
"Mundur jangan mendekat!" ujar Nashwa mendekati anak malang itu lalu menguncang-guncangkan tubuhnya, "kamu! Wajahmu mirip bajingan itu! Wajahmu mengingatkanku pada monster itu yang telah membunuh putraku."
Setelah itu Gulya di dorong dengan kasar oleh ibunya sendiri, anak malang itu hanya bisa ketakutan tatkala melihat ibunya yang pemarah dan ayahnya pemabuk.
Gulya kecil ketakutan hanya boneka warna pink ini yang bisa menjadi temannya bercerita, "kenapa keadaan di rumah ini tidaklah tenang?" Gulya bertanya pada bonekanya.
"Aku mau Mama dan Baba baikan meskipun aku yang harus jadi korbannya," ucap Gulya.
Keesokan paginya Hikmet baru pulang dengan keadaan mabuk sambil membawa botol minuman, mulutnya meracau juga berteriak-teriak tak jelas untuk Nashwa ia baru saja tidur karena memikirkan putranya juga di samping bantal ada foto bayi yang sudah pasti mendiang putranya.
"Nashwa saya tidak ingin cerai!" teriaknya berulang kali.
Gulya tertidur di lantai dengan membawa boneka pink, tubuhnya menggigil kedinginan semakin hari tubuh bocah itu semakin kurus.
Nashwa yang terganggu oleh teriakan yang tidak jelas dari suaminya yang sedang mabuk bangun keluar kamar, ia melihat Hikmet di sofa dan di lantai ada botol minuman keras.
Wanita Indonesia ini hanya menepuk jidatnya, "dasar lemah begitu saja langsung pergi minum."
Nashwa berlalu untuk mencari Gulya karena anak itu ada bimbingan belajar, "Gul! Dimana kamu!" Nashwa membuka pintu kamar putrinya tapi tak menemukan seorang pun.
Akhirnya ia putuskan mencari putrinya di tempat terakhir kali melihatnya dan benar saja, dia tidur sambil mendekap bonekanya.
"Hey, bangun pemalas sudah pagi!" ujar Nashwa.
Nashwa terkejut, tangannya meraba lagi tubuh putrinya ternyata suhu tubuhnya sangat panas juga menggigil.
"Gulya! Gulya!" ucap Nashwa sambil menepuk-nepuk pipi tembam Gulya.
"Astaghfirullah Gulya!" kata Nashwa, lalu membopong tubuh mungil putrinya ke atas kasur dan segera mengambil air hangat.
"Sebentar mama ambil air panas dulu," ucap Nashwa sambil membelai rambut Gulya.
Gulya tersenyum lemah akhirnya ibunya memperhatikannya, selesai di kompres dan tubuhnya dibersihkan Gulya di pakaikan baju lalu di minumkan susu hangat.
"Sudah sekarang kamu istirahat ya," ucap Nashwa memeluk putrinya.
Nashwa menghampiri suaminya yang terkapar di sofa, dengan emosi wanita itu mengambil air untuk mengguyur tubuh suaminya dengan air. "Pemalas, putrimu sedang sakit kamu malah mabuk!" maki Nashwa.
"Kenapa kau mengguyurku!" marah Hikmet.
"Putri kita sedang sakit, apa kau akan tidur dan mabuk seperti Raja!" nada bicara Nashwa tak kalah tinggi.
Mendengar itu semua Hikmet langsung berlari menuju kamar Gulya, di susul dengan Nashwa di belakangnya.
Di kamar pun mereka saling menyalahkan satu sama lain, "ini semua salahmu!" ucap Hikmet menyalahkan istrinya.
“Salahku! Ini juga salahmu yang egois!” maki Nashwa tak kalah tinggi.
Mereka berhenti tatkala melihat Gulya mengeluarkan darah di hidungnya, “Gulya!” suami-istri itu langsung membawa putri mereka ke rumah sakit.
Gulya sangat sulit untuk makan rasanya mengunyah saja terlalu lemah, mereka berdua tak ingin kehilangan anak untuk kedua kalinya jadi mau tak mau mereka berdua berdamai.
Rasanya sangat sulit, pada akhirnya mereka berusaha saling memahami setelah Gulya mengalami penyakit tipes.
Gulya mulai bahagia, tapi anak itu sangat sulit untuk makan, makin hari tubuhnya semakin kurus. Kedua orang tuanya bingung harus apalagi, segala cara sudah di lakukan demi putri mereka tapi sia-sia.
Gulya hanya meminta dua permintaan yaitu adik dan kedua kasih sayang, memang mudah tapi sulit untuk keduanya.
"Hikmet kamu benar Gulya membutuhkan kita," ucap Nashwa dengan derai air mata.
Hikmet hanya memeluk istrinya di dalam dekapannya, tak lupa ada Gulya yang berlari menghampiri keduanya lalu memeluk mereka.
"Mama! Baba!" ucap Gulya dengan tubuhnya yang kurus, lalu memeluk kedua orang tuanya.
Nashwa dan Hikmet berusaha untuk memperbaiki rumah tangga mereka, pada akhirnya Nashwa memutuskan memberi Gulya seorang adik.
Akhirnya keluarga itu sudah lengkap dengan hadirnya bayi laki-laki di beri nama Ibrahim, untuk Gulya sakitnya sulit sembuh tubuhnya sangat sulit menerima makanan.
Tapi semuanya sudah cukup untuk Gulya, gadis kecil ini rela mengorbankan dirinya demi keluarganya.
Harapannya sudah terkabul, "harapanku sekarang sudah terkabul." Gulya bicara pada bonekanya, tangan mungilnya memeluk boneka itu.
"Aku memiliki adik sekarang, dan Mama juga Baba tidak berantem lagi."
Tamat