Jaket biru bergaris hitam
Cerpen
Based on True Story
Aku bertemu dengannya pertama kali di ruang kepala sekolah, dia kakak kelasku, sebut saja namanya Akbar. Tentu ini bukan nama asli, hanya agar memastikan identitasnya tidak benar-benar terkuak.
Aku kelas 1 SMA dia kelas 2. Kami bertemu di sana untuk rapat karena baru saja pemilihan ketua kelas. Sebenarnya aku bukan ketua kelas, aku wakil, tapi karena saat itu ketua kelas izin sakit, jadilah aku menggantikannya untuk datang ke sana. Ke ruang kepala sekolah itu. Di sanalah aku bertemu dia.
Lelaki yang untukku, sangat tampan. Cara bicaranya sangat dewasa. Sungguh tipeku. Hari-hari selanjutnya, kami sering bertemu yang pada akhirnya aku tidak bisa bilang itu kebetulan.
Setiap kali jadwal olahragaku selesai, dia selalu ada di kantin itu sendirian, padahal belum jam istirahat, dia sedang makan. Kami biasanya setelah pelajaran olahraga selalu ke kantin dulu untuk makan, baru kembali ke kelas.
Satu kali aku pikir kebetulan, dua kali aku pikir kebetulan yang beruntung, tiga kali aku mulai berpikir, Tuhan baik sekali. Lelaki yang aku sukai, bisa terlihat sesering itu.
Dia memakai jaket berwarna biru dengan garis hitam di lengannya. Setiap kali aku memasuki kantin dia selalu sedang melihat ke arah pintu masuk, hingga kami akhirnya bertatapan secara tidak sengaja, saat itu terjadi, aku hanya tersenyum ramah, senyum adik kelas kepada kakak kelas.
Kau tahu, bodohnya aku, remaja yang baru beranjak dewasa, tenggelam dengan rasa tidak percaya diri. tidak sadar, lelaki itu menungguku, setiap kali aku selesai olahraga, dia di sana, dengan posisi yang sama, bagaimana mungkin hal itu terjadi selama 3 bulan berturut-turut tanpa maksud.
Tapi aku terlalu malu dan merasa tidak pantas didekati. Setiap dia melihat ke arahku, aku akan mencoba cari cara agar tidak terjangkau.
Bukan, bukan karena aku tidak menyukainya, tapi aku tidak menyukai diriku. Aku tidak percaya Tuhan semudah itu memberiku jalan pada seseorang yang aku suka. Perjalanan hidupku sulit sejak kecil, jadi aku tidak punya keyakinan bahwa lelaki ini semudah itu menyukaiku, masa iya cintaku semulus itu? Maka aku berlari karena takut sakit lagi.
Pada akhirnya, dia hilang setelah enam bulan dengan setia duduk di bangku yang sama, hari itu dia tidak duduk lagi di kantin menungguku selesai pelajaran olahraga, aku mencarinya, aku bertanya karena sudah tiga kali dia tak terlihat, artinya sudah tiga minggu kami tidak bertemu.
Dibanding rindu, aku lebih khawatir, ada apa dengannya? karena terakhir melihatnya, aku merasa tatapan mata itu begitu kelabu. Kami sering tak sengaja saling menatap dan aku selalu mengecewakannya dengan berpaling. Hingga aku mendapat kabar, dia akan pindah sekolah.
Masih saat pelajaran olahraga aku melihatnya, dia keluar dari ruang bimbingan penyuluhan, kami biasa menyebutnya ruang BP, diantar seorang wanita yang terlihat sudah cukup berumur, aku menebak itu ibunya. Aku kalut, maksudku, hubungan kami bahkan selesai sebelum dimulai, apa ini! Untuk pertama kalinya aku mengejar dia. Di sana, di tempat itu aku bertanya.
"Kak Akbar, boleh ngomong?" tanyaku.
Dia tersenyum saja, senyum yang terlihat pahit entah mengapa itu yang aku rasakan, senyum yang dipaksakan.
"Ada apa?" katanya.
"Kakak, mau pindah ... sekolah?" Aku bertanya dengan menahan debaran yang cukup mengganggu, takut terlihat terlalu berlebihan ingin tahu urusan orang.
Dia mengangguk.
"Kenapa?" tanyaku lagi.
"Satu dan lain hal."
Saat dia jawab itu, aku tahu, ini bukan soal uang, kelak aku tahu alasannya, obat terlarang, obat brengsek itu membuat lelaki yang kukagumi harus pergi.
"Kak ... hati-hati, ya." Cuma itu yang bisa aku katakan, aku bingung mau ngomong apa lagi, mencegahnya terasa tidak mungkin.
"Res .... " Aku terkejut dia tahu namaku, maksudku ingat namaku.
"Ya?" Aku tidak berani menatap matanya, salah satu hal yang sampai sekarang sulit aku lakukan, menatap mata orang yang aku sukai.
"Kalau aku lebih cepet kenal kamu, mungkin aku ga akan berakhir begini." Matanya memerah, akupun sama.
Tatapan matanya dalam sekali, dia pamit setelah sebelumnya membuat hatiku hancur dengan perkataannya, yang maknanya jelas sangat menyakitkan. Terlambat adalah kata yang sangat aku benci.
"Res ...," dia kembali memanggil namaku dengan lembut, "kalau aku sembuh, boleh aku datang lagi? Boleh aku duduk di kantin itu lagi sambil menunggu perempuan dengan pakaian olahraga, dia selalu paling berisik di antara yang lain, apa saja menarik sekali dicelotehkan. Si penyuka puisi itu, sama sepertiku. Violet anggun yang ceria." Dia tahu nama penaku, aku adalah pengisi majalah dinding yang aktif saat itu, selalu tidak pernah absen taruh puisiku di sana dengan nama pena Violet.
Lalu dia pergi tanpa ingin melihatku menangis. Tanpa menungguku menjawab, seolah itu hanya kalimat retorika.
Bulan berganti, tahunpun tak mau kalah, lalu akhirnya dia tak pernah kembali. Aku mencarinya, tapi tak pernah ketemu, bahkan sosial media tak mampu membantuku.
Apakah kita masih di dunia yang sama, Kak?
Bahkan tatapan lembutmu, masih terasa menusuk hatiku, terlmbat ... andai saja aku tahu, bahwa satu senyumanku atas sapaanmu di kantin itu, bisa menyelamatkanmu dari kehilangan masa depan, aku akan melakukannya walau itu terasa menurunkan harga diriku yang sudah rendah karena hidup yang sulit.