Siang itu melibatkan matahari, lebih terang, dan garang. Aku membuka pintu kelas, setelah bel nyaring berbunyi tanda pelajaran hari ini telah selesai. Bel di Sekolah seperti pemberitahuan Statiun Kereta Api, begitulah. Ada suara wanita dan pria bergantian berbicara menggunakan dua bahasa, Indonesia-English. Aku berharap kelas yang berantakan akan rapih dengan sendirinya, dengan tangan-tangan yang sembunyi.
Panggil saja aku Naila, siswa yang sebentar lagi akan memindahkan langkah dari kelas dan sekolah ini. Meninggalkan memori semasa aku diam, dan bertarung dengan kecemasan. Di Sekolah aku termasuk siswa yang tidak terbilang buruk, beberapa prestasi dan nilai akademik yang baik. Beberapa kali, mewakili sekolah dan membawa beberapa sertifikat/piagam. Ada piala-pialaku dalam lemari kaca, di antara pintu masuk, setelah gerbang. Cita-cita saat pertama kali aku masuk ke Sekolah ini, setidaknya dapat sekali atau lebih mencatat namaku di sini dengan prestasi.
Aku mengibarkan lembar-lembar dari halaman, membaca kemudian menuliskan apa saja. Tentang kabar nama-nama yang kujumpai hari ini atau kabar yang kuterima dari beberapa orang yang bercerita tentang dirinya. Aku hanyalah si murid yang kutu buku, begitulah julukan yang kuterima dari teman-teman. Aku tidak pandai bersahabat dengan para teman-temanku, saat itu. Aku merasa tertinggal dalam masa-masa seperti mereka. Tapi sekali lagi, aku memiliki buku. Aku memiliki banyak guru yang paham dan menyayangi. Terkadang mengistimewakanku di antara lainnya. Dan ketika aku mengenal satu guru, yang membuatku jengkel mulanya hingga beliau selalu jadi satu motivasi, kemudian menjadi salah satu guru yang selalu aku nantikan kehadirannya. Sebut saja guru itu bernama Pak Fadlan. Guru bagian IPA dan Teknologi Informatika. Berusia sekitar 29th dengan tinggi tubuh sekitar 175cm, memang terbilang muda saat itu, jika dibandingkan dengan guru-guru yang sudah senior di atasnya. Namun memang kelebihan dari guru ini, ia selalu ramah menyapa. Meski sedikit sama sepertiku, hanya seperlunya berkata atau membuat dialog di antara kami, para muridnya. Namun, dia yang kukenal selama ini berbeda. Pak Fadlan selalu terbuka tentang apa yang ingin ia sampaikan padaku. Dia pun pandai membuat beberapa orang di dekatnya tersenyum menahan tawa karena lelucon atau candanya.
Hingga, suatu malam. Ketika aku terlibat dalam kegiatan Sekolah, dalam rangka pelatihan siswa baru. Kami sempat berada pada satu ruangan di malam itu. Kami berdua, dengan 15 Komputer, 1 Televisi, mejakursi kosong dan Ada beberapa alat-alat percobaan IPA dan beberapa alat-alat electronik. Di sana, kami semakin dekat. Antara Guru dan siswa.
Diam-diam ternyata ia menyimpan kekagumannya padaku. Si murid kutu buku, yang tidak tahu apa yang dituliskannya. Dan diam-diam aku pun sama mengagumi cara dia menghadirkan suasana hangat.
“Naila,” Panggilnya.
“Ya, ada apa Pak?”
“Kenapa ya kamu bisa sebisa itu?” tersungging senyum.
“Sebisa apa, Pak?” tanyaku dengan heran.
“Bapak orang tehnik yang kurang terlalu suka menyimak sebuah tulisan yang dari awal sudah enggak‘ngeh’ lagi. Semenjak membaca tulisan-tulisanmu bapak baru tahu, ternyata bapak suka dengan tulisan yang berbau nyata. Tapi membaca tulisanmu, selalu membawa penasaran untuk melanjuti sampai-sampai tiba ditanda titik. Akhir dari tulisanmu itu, hehehe”
Dalam batin aku berpikir, jarang sekali pak Fadlan memuji tulisanku. Setelah ternyata ia selalu menjadi penikmat setia tulisan prematureku. Aku cukup senang mendengarnya.
“Terimakasih Pak. Naila senang ternyata ada yang mau menyimak tulisan-tulisan Naila diblog itu. Maaf pak, Naila masih belajar dan berlatih. Belum sebagus itu.”
“Ya, begitulah kelebihanmu, Naila. Memiliki kelebihan namun tetap rendah hati. Nanti buatkan tulisan apa saja untuk bapak ya? bapak akan sangat senang.” Pintanya.
“Bagi Naila, bapak terlalu indah untuk dituliskan oleh tangan Naila yang masih merangkak ini, Pak..”
Di dalam ruang, banyak sekali canda yang terlahir. Dari mulai pertanyaan-pertanyaan ringan hingga menyintir beberapa perkembangan teknologi sampai ke politik dan hukum di Negeri ini. ya, berbincang dengannya selalu yang aku nantikan lama. Pak Fadlan selalu tersenyum, dipermanis dengan kumis yang pas menjadi payung di atas ranum senyumannya.
Perlahan berjalannya waktu. Kedekatan kami pun seperti seorang ayah muda kepada anaknya. Aku memang cukup tinggi dibanding murid lainnya, tinggi tubuhku sekitar 168 cm. Beberapa anak di sekolah selalu bergosip. Sempat kelas dibuat heboh akibat gosip ‘kentut’ tersebut. Gosip tersebut menyebutkan aku dan pak Fadlan yang berpacaran. Setiap pelajaran pak Fadlan, pasti selalu ada lontaran dari mulai sindiran hingga perkataan yang membuatku jengkel. Namun, mengapa harus dimasukan ke dalam hati, jika bukan itu kenyataan yang terjadi. Pak Fadlan hanya tersenyum menyikapi itu, dan sesekali mengalihkan tatapan matanya padaku.
Mendekati masa Ujian Akhir Sekolah. Ada beberapa rasa ketakutan akan kehilangan atau kegagalan, tapi sekali lagi Pak Fadlan dan guru lainnya selalu memberikanku support serta do’a yang paling terpenting, disertai juga dengan ikhtiar. Kecemasanku waktu itu memang sempat membuatku sakit selama dua minggu. Sebelum minggu depannya adalah hari ‘H’. Pak Fadlan selalu menyempatkan menjengukku dan memberikan beberapa ringkasan materi. Terkadang ia mengajarkanku di ruang rawat itu. Pak Fadlan memang guru yang serba bisa, pikirku saat itu.
“Kamu harus cepat sembuh, Naila. Dalam do’a Bapak, selalu ada namamu..” kalimat yang tertulis dibungkusan bunga dengan tiga macam warna, masih tersimpan. Dengan nama Fadlan A. Di bawahnya.
Setelah Ujian Akhir selesai. Kami menunggu pengumuman kelulusan berikut nilai-nilai di dalam keterangan itu. Aku bertawakal pada Allah SWT, semoga kelak bukan hanya nilai-nilai itu yang menjadi acuan untuk menentukan masa depan. Tapi kualitas dibalik nilai tersebut. dan bukan tujuan hal yang terpenting, namun prosess ketika penyampaian tujuan tersebut. Aku berdo’a dengan airmata yang mengalir di wajahku.
Setelah itu, sengaja aku menunggu Pak Fadlan di halaman belakang Sekolah, tempat biasa kami bertemu sesaat waktu renggang.
Sudah hampir 45 menit menunggu. Belum juga datang. Mungkin masih di jalan atau ada kesibukan lainnya. Karena jarang sekali Pak Fadlan terlambat seperti ini, sebelumnya.
Di bawah kursi kayu, aku menemukan amplop putih. Aku membawanya, dan melihat ada nama di atasnya, bertulis Naila. Aku membukanya dengan perlahan, karena aku menduga mungkin ini untukku.
***
Naila
Di Halaman Belakang Sekolah
Waktu-waktu mungkin sulit untukku ketika tak menjadikan senyummu untuk bahan bakar senyumku, Naila. Seperti matahari yang terbit setelah mata terbangunkan, ketika itu aku mengenalmu dekat. Kau lantas akan heran, gurumu menyembunyikan kerapuhan di dalam hatinya. Di dalam saat diam-diam aku mendidik agar aku dapat mencintai seorang wanita. Setelah ini mungkin kau akan bertanya-tanya. Mengapa gurumu dapat jatuh hati sepanjang jam-jam saat kita berada dekat. Jangan mengadukanku pada Kepala Sekolah, setelah kau membaca surat ini. Simpanlah baik-baik, Naila. Ini adalah tanda pamitku. Gurumu. Karena aku tak akan bertahan lama, menyaksikan kepergianmu dari ruang Sekolah ini. Dan Aku sangat bangga memiliki murid secerdasmu. Seindah lebih aku mengenalmu, Naila. Dan hapuslah airmata itu, jika saat ini kau menangis membaca surat ini.
Aku selalu menunggumu, menunggumu selalu. Sampai kelak jika Tuhan menakdirkan untuk kita dapat lekas bersama. Percayalah diam-diam saat itu aku mengagumimu hingga kini aku diam-diam memperhatikanmu. Aku tidak datang hari ini, karena aku lebih ingin datang di hatimu. Tapi aku akan salah jika mempercepat kedatangan ini. aku menunggumu menjadi wanita yang telah siap untuk ini. Terimakasih Naila.. Aku gurumu, aku yang mencintaimu.
Dengan cinta,
Fadhli Ariansyah.
***
Ya, airmataku menitik membasahi suratmu, ketika aku membacanya. Dan setiap berulang kali aku membukanya. Aku menata surat-surat darimu. Apakah ini cinta terlarang? Yang kini, mungkin aku perlahan melanggarnya. Mengapa pergi, sebelum aku pergi dari tanak tempat kau mengukus ilmu-ilmu di otakku?
Sore itu, hari mendung. Mungkin kau tahu. karena cuaca selalu merautkan apa yang dikabarkan oleh dua hati saat itu. Aku berharap hujan akan membasahiku, agar ia menghapus dan mensucikan airmataku yang jatuh dibelahan jiwa-jiwa yang merindukan senyuman purnama. Terimakasih guruku, aku yang merindumu saat itu dan hingga detik ini. Aku menggenggam erat-erat suratmu.
End.
***
Jangan lupa klik tanda ♥️ yah sebagai tanda dukungan dari kalian. Thanks for reading 🤗