Kisah cinta antara Aku dan ibu guru Asia, mengalami kisah romantis bersama nya, bergandengan tangan, tertawa bersama sembari menatap langit biru, namun dikala itu juga aku harus...
Kematian hanya menunggu waktu nya saja, Dulu aku berpikir jika yang hidup akan mati, jika kita (manusia) akan mati, terus untuk apa kita hidup di dunia ini?
Aku bertanya seperti itu karena aku telah mengalami, maksudku telah melihat orang-orang yang dekat dengan ku, yang aku sayangi, pergi meninggalkan ku untuk selama-lama nya.
Ini lah kisah sedih dari kisah cinta ku.
2 tahun yang lalu, seperti biasa, dimana awal semester baru sekolah di buka kembali. Semua siswa berangkat ke sekolah pagi-pagi sekali, ada yang menaiki sepeda, ada yang berjalan kaki, ada pula yang diantar oleh orang tua nya. Matahari terasa menyilaukan pagi ini masih terasa dingin.
Satpam telah berada tepat di pintu gerbang, memperingati para orang tua untuk mengantar anaknya sebatas di luar saja tak perlu sampai masuk kedalam sekolah. Tas ini sungguh berat, buku-buku, pulpen dan alat tulis lainya memenuhi tas ku, baju seragam ku yang baru ini menambah kepercayaan diri ku. Dengan sedikit bergaya aku bermaksud memamerkan baju baru ku kepada teman-teman ku.
Guru-guru masih belum mengajar, ya maklum sih karena ini hari pertama sekolah di semester ini. Rindang nya pohon yang tumbuh di depan kelas ku menyejukan tubuh saat ada hembusan angin melewati pohon itu dan masuk lewat jendela kelas yang aku buka. Mengobrol dengan teman-teman, saat tak ada kegiatan yang bisa kami lakukan, atau pun memainkan sesuatu di ponsel BB ku.
“Terttt, trettt, trettt...!” bunyil bell pertanda jam pelajaran akan segera di mulai, dengan cepat kami (murid) duduk di bangku masing-masing, dan sekarang semua kegaduhan itu menjadi senyap.
“Siapa ini?” Mungkin begitulah pertanyaan dari kami semua, saat melihat seorang guru baru yang masuk ke kelas kami, tak lama setelah itu ia memperkenalkan diri nya, yang aku ketahui ia guru baru itu bernama ibu Asia cukup unik nama nya, seperti nama benua saja, ia mengajarkan mata pelajaran sejarah, sewaktu itu dari pandangan pertama ku, aku dapat melihat bahwa ia begitu dingin, tak ada ekspresi di raut wajah nya, berbicara lebih pormal dari kebanyakan guru lain nya.
Saat itu kami tak langsung belajar, melainkan di suruh memperkenalkan diri kami masing-masing kepada beliau, dan sesudah itu beliau keluar dari kelas kami, dan hanya berkata bahwa kami boleh beristirahat.
Kantin hari ini cukup ramai, aku cukup malas bila harus berdesak-desakkan dengan murid lainya, akhirnya aku urungkan niat ku itu, dan kembali ke kelas.
“iya, ya, e.. iya.” Ku dengar sayup-sayup suara orang berbicra di balik ruang guru yang sepi, rupanya ibu guru Asia sedang berbicara lewat telepon, karena aku tak berniat untuk menguping pembicaraan itu, aku pun melanjutkan perjalanan ku, namun... Aku sangat terkejut saat ia berbicara tentang penyakit yang dideritanya, “iya aku tau hidup ku tak akan lama lagi, tapi aku tetap ingin bekerja, iya ayah aku akan menjaga diri ku.”
Apa maksud dari percakapan itu?
Aku tak bisa berpikir jernih, aku diam mematung di saat itu, sampai... Ia melihat ku di balik kaca jendela ruangan itu, waktu itu aku ingin berlari saat ia melihat ku, namun kaki ku tak bisa bergerak.
“Sedang apa kamu disini?” pertanyaan pertama yang ia lontarkan kepada ku, tapi aku tak bisa berkata apa-apa, mulut ku seperti membeku, entah dari mana aku mempunyai keberanian untuk menyentuh wajah nya itu. “Hidup ibu pasti berat, pantas ibu guru tak tersenyum pada saat dikelas, Maafkan saya yang sudah berpikir buruk tentang ibu guru.” Ucap ku, melepaskan tangan dari wajah nya lalu, pergi dari diri nya, namun... Dengan cepat ia mengengam tangan ku dan membawa ku ke suatu tempat.
**
“Aku tak perlu kamu kasihani.” Ucap nya, namun aku sudah tau ini bakal terjadi, karena aku sudah pernah merasakan ini semua, dimana saat ayah, dan ibu pergi meninggalkan ku untuk selama-lamanya.
“Jika kamu tau aku harap kamu tak membicarakan kepada orang lain.”
“Lagian tak ada yang peduli pada diri ku.”
Aku masih diam saja pada waktu itu, aku waktu itu mengingat kembali apa yang pernah terjadi dalam hidup ku, di tinggalkan oleh orang tua di saat masih berumur 12 tahun, dan hidup penuh kesendirian, aku jalani itu semua, aku tau dari kata yang ia ucapkan itu bahwa tak ada yang peduli, karena aku merasakan itu dimana tak ada yang peduli pada diri ku saat itu, aku hidup sebatang kara dengan bekerja untuk memenuhi hidup dan sekolah ku.
“Jangan berkata seperti itu, masih ada yang peduli pada anda, aku mendengar lewat telepon saat ibu berbicara pada ayah anda. Bukankah artinya ayah anda masih peduli?”
Aku segera pergi dari tempat itu, namun... Lagi-lagi ia mencegahku dan kali ini ia tiba-tiba memeluk tubuh ku, dan menangis di depan ku, berteriak entah apa teriakan itu didengar oleh yang lain nya. Namun aku tau sekarang ini ia sedang melepaskan beban yang ia pikul, aku tau itu. “sudah?” tanya ku dan menyapu air mata nya. Tapi ia masih saja menangis kecil, kini aku yang memeluk diri nya, mengusap rambut yang sebatas bahu itu. Entah dari mana semua ini kami seperti mempunyai kecocokan satu sama lain nya. Aku mencoba menenangkan dirinya, sampai Bell berbunyi.
Hari ini kami tak belajar, ya karena ini awal semester. Namun kami tak di izinkan berkeliaran di luar kelas. Aku merasa bosan, dan memikirkan tentang kejadian tadi, saat aku memikirkan itu dada ku terasa sakit dan jantung berdetak lebih cepat. Aku terus saja memikirkan ibu guru Asia yang sedang menangis dalam pelukan ku. Membayangkan betapa berat hidup yang ia jalani, aku ingin berbicara lagi dengannya maksudku berbicara berdua saja, bertukar cerita tentang kehidupan yang kami jalani.
Akhirnya sekolah usai, aku dengan cepat mengemasi barang-barang ku. “bisa berbicara sebentar?” ucap nya dengan menoleh ke sana-kemari.
“E... A... Gimana ya... bilang-nya? Tapi apa ini benar?”
Aku tak tau apa yang ingin ia kata kan, saat itu aku merasa gugup saat berduaan dengan-Nya di tempat ini, dengan halus ia menggenggam kedua tangan ku, wajahnya menunduk, dengan agak gagap ia berbicara sangat kecil, hingga aku tak dapat mendengar perkataan nya itu.
Lalu aku meminta ia untuk mengulangi nya lagi, “AKU CINTA PADA MU SAAT PANDANGAN PERTAMA!” teriak nya yang tentu saja membuat ku kaget, lama aku berpikir dan hanya mematung seluruh tubuhku menjadi dingin dan berkeringat, apakah yang kurasa kan tadi sebenarnya adalah rasa cinta, bukankah berarti aku juga cinta pada sosok yang ada didepanku sosok seorang guru?
“Ta, tapi aku adalah seorang murid, bukankah ini tabuh?”
Ucapku kepadanya dan langsung saja wajah nya menjadi muram dan perlahan tangan ku ia lepaskan dari genggamannya. Aku rasa ia sekarang merasa tersakiti dari perkataan ku tadi. Lalu, “maaf aku hanya sedikit keget karena aku berpikir ini terlalu cepat, dan sebenarnya aku juga merasakan hal yang sama, aku juga cinta pada ibu guru.”
**
Saat itu aku belum tau, apakah ini benar-benar cinta? Aku hanya berpikir bahwa kami mempunyai hal yang sama, hingga dua bulan kemudian. Aku baru menyadari bahwa cinta ini sudah tumbuh semakin besar dalam diri ku.
Aku tak pernah membayangkan nya, namun aku cukup senang dan bahagia saat aku menatapi wajah nya, tapi aku juga merasa sedih jika aku membayangkan tentang dirinya tentang apa yang ia alami. Aku selalu berpikir apakah ia akan meninggalkan ku di saat aku mulai mencintai nya? Jika iya, bukankah ini sama saja tak berarti, bukankah ini akan menjadi kepahitan?
Aku, tak tau apa yang harus aku lakukan, aku hanya mengikuti arus saja, aku hanya berharap bahwa ini hanya mimpi dalam diriku, dan aku akan terbangun di pagi hari.
Di saat itu aku pernah berpikir untuk menghindari nya, aku takut bila cinta ini akan berakhir menyedihkan, namun saat itu aku tak pernah sekalipun melaksanakan niat ku. Sehari saja tak melihatnya aku sudah rindu.
Kami pada waktu itu, menyembunyikan hubungan kami, saat di sekolah ia bu Asia hanya mengabari ku lewat BBM saja tentang apa yang ia lakukan, kadang saat ia atau aku rindu, kami bertemu secara sembunyi-bunyi, kami di saat bertemu tak pernah menatap wajah satu sama lain nya dalam waktu yang lama, aku malu bila menatap wajahnya dalam waktu yang lama, di saat bertemu aku mencoba menggenggam tangannya, tapi baru sebentar saja aku sudah merasa gugup, keringat dingin mengucur dari balik kulit ku, Ia juga sama seperti ku.
Saat di luar (tak di sekolah) aku dan dia masih sama, kami malu-malu, kami gugup, aku tak tau apa yang harus aku lakukan.
Aku hanya bisa menundukan kepala ku, dan ia menoleh kearah lain, hingga...
Aku memberanikan diri membuka pembicaraan, mencoba untuk menepis kesunyian, kami di waktu itu bercerita tentang apa yang kami jalani dikehidupan ini. Menceritakan tentang diri sendiri bukankah itu aib?
Samar-samar lampu kuning menerangi jalanan, aku coba meraih tangannya, menggenggam dan menuntun diri nya di malam itu, malam itu ia terlihat lebih muda dari biasanya, kami menghabiskan malam itu dengan cerita yang biasa-biasa saja.
“Hujan.” Di saat aku terbangun dari tidur, membuka tabir, melihat air hujan. Bus masih lama datang nya, halte ini begitu ramai tapi sunyi akan suara-suara, bus datang dengan cepat aku naik kedalam bus sambil menenteng payung. Berdesak-desakan dengan orang-orang, lengketnya bau parfum di baju ku.
Jam menunjukan pukul 6:45 menit, hari ini masih sepi mungkin karena hujan. “apakah kamu sudah sampai?” sebuah pesan lewat BBM ia kirimkan, lalu dan dilanjutkan dengan sebuah ajakan untuk ketemuan di tempat biasanya, yang tak diketahui orang.
“Ada apa?” Dengan sedikit malu-malu ia memberikan sekotak bekal kepada ku, “terimakasih.” Ucapku mengelus kepala nya, kemudian mengambil bekal yang ia berikan itu, betapa senangnya diri ku dibuatkan bekal oleh seorang pacar.
Hari ini hujan masih belum mau berhenti, aku sekarang merasa kedinginan, mana lagi aku duduk di dekat jendela, udara yang masuk lewat celah cendela yang tak tertutup rapat menyentuh kulitku.
“Drettt...” ponsel ku begetar di saku celana ku, dengan sembunyi-bunyi aku memeriksa ponsel dan ternyata ia mengirim pesan.
“Pak saya permisi mau ke WC.” Ucapku padahal aku ingin ketemuan dengannya, entah apa yang di inginkannya, “minum.” Ia menyuruhku untuk meminum segelas teh hangat dengan cepat, Hah? Apakah ia ingin membuatku mati kepanasan? Tapi aku hanya menuruti saja “panas!” teriak ku, ia menertawai ku.
“Nih!” Kemudian aku kembali lagi ke kelas, sekarang aku merasa tak kedinginan lagi, tubuhku menjadi hangat, tapi bibirku terasa perih, bagai mana tidak teh hangat itu membuat bibirku menjadi begini.
**
Merasa sangat nyaman, selalu gugup, jantung berdebar, keringat dingin mengucur deras, salah tingkah, begitu lah kami berdua. Aku mencoba menggenggam tangannya saat sudah menggenggam tangan nya tubuhku terasa seperti tersengat listrik, entah apa maksudnya.
Ia lebih tua dari ku, kami mempunyai perbedaan umur yang sangat jauh. Tapi, sepertinya aku lah yang lebih dewasa darinya, maksudku pemikirannya, aku mencoba memahami dirinya, aku selalu ingin masuk kedunia kecil dalam dirinya, dunia yang tertutup oleh pekatnya warna hitam itu. Namun saat aku berusaha masuk lebih dalam, itu begitu gelap bahkan senter yang aku bawa tak mampu menembus kegelapan itu, aku terkurung dalam gelap tanpa tau lagi arah untuk kembali, lalu aku berfikir lebih baik aku lanjutkan saja ini, menyusuri setiap ruang dunia kecil nya yang begitu gelap.
Ia tak pernah tersenyum padaku, aku selalu menyuruhnya untuk tersenyum namun, saat ia mulai melakukan itu ia begitu kaku, wajah cantik nya berubah menjadi menyeramkan, sorot mata penuh kebencian, aku tak habis pikir apakah beban di dirinya begitu berat. Aku selalu menyemangati dirinya, aku selalu berkata agar ia tak begini terus. Aku berkata agar ia bangkit dan membuang kegelapan dalam dirinya. Namun asilnya belum sepenuhnya dapat kurasakan ia masih sama seperti kemarin tak ada beda.
“Bisakah aku bergantung pada mu, membuang beban dalam diriku, mencoba menata kembali?”
Ia meminta ku, ia ingin bergantung pada diriku, aku tak yakin namun akan aku coba itu sampai batasku. Bukankah harusnya aku yang bergantung pada nya? Karena aku seorang murid dan dia seorang guru.
Ia berkata bahwa ia ingin melakukan suatu kebahagian bersama ku dalam sebuah mimpi, mendegarnya saja sudah membuatku bersedih, aku tau ini tak akan lama, aku tau ini begitu pahit di akhir. Namun membuat kenangan yang indah dan mengingatnya walau pun aku harus sedih pada akhirnya aku akan melakukan itu agar kelak perpisahan ini tak menjadi penyesalan untuk ku.
Ia begitu cantik, aku tak munafik. Namun dalam dirinya ada suatu bunga yang layu, dan hampir mati. Aku sekarang sedang berusah agar bunga itu tak mati, namun nampaknya usaha ku sia-sia saja, coba saja aku cepat bertemu dengannya mungkin ini bisa aku perbaiki. Aku tau ia begitu kesepian dalam keadaan ini, menemani nya untuk menepis kesepian aku berusaha melakukan itu.
Aku mencoba memperbanyak kenangan bersama dengan diri nya, sembari tetap fokus pada sekolah dan pekerjaan ku, ia ibarat lampu yang mulai kehilangan daya, perlahan-lahan ia mulai redup. Aku selalu berkata agar ia kuat dan mampu melewati ini, aku berusaha membuat senyum di wajahnya, membuat dirinya nyaman saat berada di dekat ku, ada kala ia bersender di pundak ku, ia buang sementara status guru yang ia miliki, ia seperti seorang gadis muda yang membutuhkan perasaan nyaman di dekat kekasihnya, rambut nya begitu wangi saat aku mulai menciumi kepala bagian atasnya. Menemani dirinya dalam keterpurukan, kadang aku ikut menemani dirinya mengecek keadaan dirinya di rumah sakit, aku selalu harap-harap cemas. Namun aku tau dan ia selalu bilang bahwa ini tak akan bisa lagi membaik, ia cukup sedih begitu juga aku, aku sangat sedih saat ia berkata seperti itu pada ku, harapan ku untuk bersama nya dalam waktu yang lama nampak nya tak terlaksanakan.
**
Aku begitu egosi, aku selalu memaksakan ia untuk bertindak seperti apa yang aku inginkan, maksudku aku ingin ia tersenyum seperti apa yang aku inginkan, sebab ia begitu dingin. Aku menyadari bahwa ia begitu cangung saat berada di dekatku, ia begitu salah tingkah, pernah aku menanayakan ini, tentang kenapa ia begitu selalu salah tingkah saat berada di dekatku.
Ia bilang bahwa baru kali ini ia merasakan cinta, mendengar itu aku tau apa maksudnya. Entah dari mana aku begitu berani menyentuh pipinya, tangan ku menyentuh pipinya, ku lihat matanya terpejam, aku yakin aku tau apa yang ia pikirkan.
“Aku tak bisa melakukan ini, bisakah beri aku waktu?” ucap ku, melepas sentuhan di wajahnya. Dari helahan napas nya aku tau ia begitu kesal, karena tak mendapat apa yang ia inginkan. Mencoba mengulur waktu, aku hanya bisa berbuat sedemikian hanya untuk...
Aku sungguh terbenani antara cinta dan kehilangan, melihat ia yang begitu serius mengajar di kelas. Ia begitu lain bila sedang dalam hal ini (mengajar) ia terlihat seperti guru biasa, namun saat berdua’an dengan ku ia begitu terlihat seperti seorang gadis yang pemalu.
Rasanya ia begitu cantik saat serius begini, aku selalu mencuri pandangan ke arahnya. Terlihat ia begitu salah tingkah saat mengetahui bahwa aku sedang melirik kearah dirinya. Sesekali ia memandagi ku untuk beberapa saat sebelum akhirnya kembali fokus pada apa yang ia lakukan (mengajar).
Hari ini, maksudku hari minggu ia mengajakku untuk pergi jalan-jalan, ia hari ini sungguh cantik pakaian yang ia kenakan sungguh cocok untuk dirinya, ia bagai seorang gadis muda, ikat rambut yang ia kenakan sungguh membuatku menelan ludah beberapa kali, aku terpanah akan apa yang ada di hadapan ku sebelum ia membuyarkan lamunan ku itu.
“Kamu cantik.” Ucap ku memuji dirinya, ia tertunduk malu, sambil mencubit lengan ku, lalu ia mengengam tanganku dan kepalanya ia rebahkan di pundak ku. Jantung ku tak berhenti berdegup kencang, aku merasa sangat senang di hari ini, aku mencoba menggenggam erat tangannya, tangan itu sungguh lembut lebih lembut dari kapas. Ah! Rasanya ini, jantungku ingin copot saja.
Kami tak seperti kebanyakan pasangan pada umumnya, seperti pergi ke restoran. Mengunjungi tempat-tempat yang cukup ramai, berbelanja Dan lain-lain. Bukanya aku tak mau namun ia lah yang tak menginginkannya, katanya itu akan menghabiskan uang ku saja, katanya cukup makan di sini (pingir jalan) saja.
Ia begitu suka dengan makanan bernama bakso, cabe yang begitu banyak hingga kuah bakso berwarna merah tak membuat ia menyerah untuk tetap memakannya, aku yang melihatnya saja sudah ngeri akan kepedasan bakso itu, apakah ia termasuk pecinta makanan pedas? Entah lah.
Duduk ditaman, dimalam hari, ditemani lampu taman. Kami berdua duduk dan bercerita berbagai hal. Tentang kehidupan yang kami lalui.
Rasanya dunia nya kini lebih mudah untuk aku masuki, melihat apa yang ada didalamnya aku hanya ingin membuat dirinya bahagia saat bersama ku, menikmati hari-hari yang entah kapan akan berakhir.
Aku ingin memperbanyak kenangan dengan nya, aku ingin membuat ia bahagia, sebab karena aku... Jauh dalam diri ku, aku sungguh mencintai nya.
Kedengarannya aku sangat egosi karena memaksakan kehendak ku sendiri. Namun ini lah yang harus aku lakukan, sebab sudah di pastikan ia akan pergi meninggalkan diri ku, dalam waktu yang cukup cepat.
“Aku, tak lah menilai cinta dari rupanya saja, sabab seiring waktu berjalan rupa pun akan berubah. Mungkin saat ini kamu cantik, tapi apakah disaat tua kecantikan ini tetap ada?”
**
Semakin hari aku semakin menikmati kebersamaan ini menggenggam tangannya, berbicara tentang berbagai hal, berdua kami melalui hari-hari yang sangat menyenangkan. Ia selalu menggenggam tanganku saat kami bertemu. Seringkali ia bersender di diriku, menatap lurus kedepan, rambut harumnya seringkali membuat aku tak bisa mengontrol diri untuk mencium rambut itu.
Ia saat bersama ku, ia begitu manja. Aku terbuai akan kebersamaan ini, berdua dengannya dan bercerita. Aku melupakan sejenak kepahitan hidup ini, aku pernah berpikir apa mungkin ini bisa sedikit lebih lama? Menjani kebersamaan ini, walau aku tau setiap cerita hidup pasti diakhiri kesedihan. Aku ingin hidup dengannya di hari tua, menikmati masa tua dan menunggu detik-detik akhir kehidupan, tapi itu nampak-nya tak akan terwujud sebab ia sudah difonis mengidap kanker otak stadium akhir, yang artinya ia tak akan lama... Aku tak bisa berucap lagi rasanya aku sungguh merasa sesak didada ku, aku selalu menahan tangis di mata ku saat bersama nya.
Selalu saja seperti ini, tak pernah hidupku dipenuhi kebahagian, aku selalu kehilangan apa yang ada didekat ku, mereka selalu meninggalkan ku dengan kepedihan yang mendalam di diri ku. Ingin ku berteriak bahwa tuhan tak adil pada ku namun, itu sia-sia saja ini tak akan mengubah apa yang sudah digariskan. Melihat wajah nya yang begitu manis seketika kesedihan ku hilang berganti senyuman kepada nya.
Aku suka rambut nya, aku suka dirinya yang pemalu, aku suka dengan apa yang ada diri nya. Andaikan ini bisa berubah aku yakin aku akan sangat bahagia, sering kali ia mengajak ku naik keatas bukit melihat hamparan pepohonan hijau sejauh mata memandangnya, dan masih tetap seperti biasa ia memegang tangan ku sebegitu erat.
“Kenapa kamu bersedih?” tanya ia saat mengetahui bahwa aku menangis, aku tak yakin kenapa mata ku tak bisa berbohong, dengan tangannya yang halus ia menyapu air mata ku, dan perlahan ia mendekat ke wajahku, kening kami bersentuhan.
“Kamu pernah berkata agar aku tak bersedih, namun sekarang kamu lah yang bersedih.” Ucapnya dan tanpa sadar ia tersenyum pada ku, “akhirnya aku bisa melihat senyum mu.” Ku peluk dirinya kali ini aku menangis sejadi-jadinya dan berteriak sekuat-kuatnya.
Rasanya aku begitu tak bisa membayangkan ini, mungkin aku begitu egois namun saat ini aku perlu keegoisan itu.
Disaat aku ingin tetap mendekap nya dalam pelukan itu, ia melepaskannya. Ia Berkata kepada ku dengan suara pelan, lalu tersenyum, “bisakah aku mencium mu?” tanya nya lalu mendekatkan wajah nya ke wajahku. Bibir itu maksudku bibirnya begitu lembut, walau saat pertama kami berciuman kurasakan begitu pahit namun ini sungguh sangat mengenak kan bagiku. Aku sungguh terbuai akan hal ini sampai aku lupa berapa lama kami melakukan ini.
Saat kami selesai melakukan itu, nafas kami tersengal-sengal. Aku mencoba mengatur nafas begitu juga ia, lalu kami tertawa setelah itu. Seperti ada yang lucu, saat kami baru menyadarinya, dan... Aku dan ia tiba-tiba saja memalingkan wajah kearah lain aku malu saat menyadari bahwa aku telah melakukan itu. Wajahku memanas, keringat mengucur di kulit ku, namun aku merasakan sentuhan yang halus ditelapak tangan ku, saat aku menoleh rupanya ia mencoba meraih tangan ku.
“Aku cinta kamu, apakah kamu juga mencintai aku?” ucapnya, dan mungkin tak perlu aku jawab melainkan hanya tersenyum dan memeluk dirinya.
**
Hari kamis, dipagi hari yang cerah, bunga bermekaran sepanjang jalan. Baju batik yang aku kenakan begitu indah penuh seni didalamnya berwarna merah motif daun dan bunga. Aku berjalan ke sekolah membawa kebahagian dalam diriku, ku lihat ia sedang menunggu di pintu gerbang mungkin sekarang adalah jadwal piketnya, ya guru juga ada jadwal piket, sama seperti murid-murid. Memeriksa kelengkapan siswa seperti sepatu harus berwarna hitam, memakai kaus kaki atau tidak dan lain sebagainya. Sesekali ia mencuri pandangan kepada ku saat aku menunggu giliran untuk diperiksa.
“Kamu hari ini sangat tampan.” Bisik nya saat memeriksa telinga ku ada atau tidak tindikan di telinga. Mendengar itu tubuhku menjadi meriding maksudnya bukan merinding karena melihat hantu tapi merinding mendengar ucapan nya.
Belajar, mengerjakan tugas yang diberikan guru. Kadang itu membuat kepala kami menjadi sakit, tiga jam terlewati dengan hanya duduk saja rasanya pinggang ku menjadi sakit saat aku mulai bangkit dari tempat duduk.
Hp ku bergetar aku yakin ini pasti ulahnya dan benar saja saat aku membuka pesan ia mengajak ku untuk ketemuan di tempat biasanya, semenjak kami memiliki hubungan ini kami selalu saja bertemu secara sembunyi-bunyi, disaat ketemuan itu ia selalu memberi bekal kepada ku atau pun hanya ingin melihat ku sambil malu-malu dan wajah yang memerah, sungguh aku beruntung dapat memilikinya.
Kemudian aku mencoba menyentuh kepalanya sembari tersenyum, dan mengatakan terimakasih kepadanya, dan ucapanku itu malah membuat ia semakin tersipuh malau. Ah... Rasanya aku ingin menciumnya namun ini sekolah aku tak bisa leluasa melakukan itu.
Saat aku hendak kembali ke kelas. ia, tangannya mencegah ku untuk melakukan itu katanya bisakah aku di sini sebentar? Katanya ada yang aku lupakan. Tapi aku tak tau apa yang aku lupakan itu, aku mencoba berpikir tentang apa yang aku lupakan itu, lama aku berpikir dan kulihat wajahnya mulai cemberut, huh... Sungguh imut saat ia membuat wajah cemberut itu, apakah aku melupakan itu? Aku bertanya dalam hati lalu dengan hati-hati aku mulai mencium keningnya dan wajahnya semakin memerah karena ulah ku, dengan cepat ia berlari meninggalkan ku dan berkata terimakasih kepadaku.
Sungguh ia begitu manja, ia ingin aku melakukan itu setiap kami ketemuan dan mengakhirinya, adakah ia bersikap lebih dewasa? Entah lah aku yakin aku lebih suka sifat ini dari nya aku tak ingin ia mengubah sifat ini.
Jari-jariku terasa sakit saat mengengam pulen terlalu lama, aku coba meletakan pulpen di meja kemudian mulai mengerak-gerakan jari agar tak sakit lagi. Di arah luar jendela aku lihat ia dari kejauhan sedang berbicara dengan seorang pria tua yang aku ketahui adalah ayah nya tapi aku tak tau apa yang mereka bicarakan, mungkin saja... “Raka!” panggil guru lalu dengan cepat aku menoleh kedepan hampir saja aku melakukan kesalahan.
Apa yang mereka bicarakan? Mungkinkah tentang kesehatan bu guru? Entahlah aku akan menanyakan nya saja dari pada aku harus diam dan selalu memikirkannya.
Huh... Aku sungguh letih, rasanya letih ini akan ku rasakan terus menerus, membagi waktu diantara belajar dan kerja adalah hal yang sangat melelahkan.
“Ayahku ingin aku berhenti dari kerjaan ini, lalu tentang kesehatan ku yang akhir-akhir ini semakin memburuk, namun aku katakan aku tak akan berhenti dari apa yang aku cita-citakan sejak kecil aku ingin tatap seperti ini sampai nafas tak lagi bisa berhembus.”
**
Hari-hari ini ingin ku lalui bersamanya, tertawa bersama menikmati udara segar dibawah rindang pepohonan duduk bersama, memejamkan mata dan mengkhayal tentang yang indah. Matahari menyilaukan mata saat aku mulai membuka mata ku, hangat kan tubuhku. Andaikan waktu itu kenangan ini tak menjadi kenangan saat-saat hari demi hari terakhirnya mungkin aku sekarang sedang duduk bersama nya dan menulis cerita cinta yang kami jalani kemudian anak kami mengganggu momen ini, hahahaha... Rasanya hayalan itu sungguh terlalu tinggi.
Aku memang orang tersial didunia, aku tak pernah merasakan kebahagian dalam waktu yang lama. Apa yang aku miliki apa yang aku genggam apa yang aku cintai akan hilang dari ku, ingin rasanya aku berteriak waktu itu, namun suara ku tertahan oleh sesaknya dada ku coba meremas dadaku dan bermaksud untuk menghilangkan rasa perih yang ada di dada namun itu sia-sia saja.
Aku tak bisa! Senyuman nya membuat aku tak bisa menangis air mata ku seakan keluar sendiri, sedih rasanya bila harus memikirkan itu. Ya Tuhan... Apa yang harus aku lakukan aku binggung akan hal ini ia begitu bersahaja di kala ini haruskah aku menahan rasa sakit ini? Namun aku cukup bodoh untuk berbohong di depannya.
Bukit ini terlalu indah untuk ku, aku tak bisa menahan tangis di hadapannya. Ia memeluk ku, mencoba menenangkan ku, membelai rambutku aku tak yakin tapi itu cukup membuat diriku merasa lebih tenang. Sekarang aku bisa melihat sisi dewasa dari dirinya, wajahnya yang begitu pucat ia masih tetap tenang. Aku memeluk dirinya memeluk dengan erat aku tak ingin melepaskan pelukan ini.
“Hari-hari terakhir ku semakin dekat, bisakah kita setiap hari seperti ini. Melihat hijau nya pepohonan?”
Aku berharap ia tak berbicara seperti itu rasanya sakit apa bila harus membayangkannya. Aku tak kuat bila harus ditinggal pergi oleh nya. Tolonglah jangan katakan itu, aku tak ingin mendengarkan nya. Aku setiap waktu selalu menemani dirinya, menjalani hari-hari sulit ini, kini rambutnya mulai rontok dan hanya meninggalkan sebagian saja. Bibir yang pucat dan mata... Tolonglah Tuhan beri waktu untuk kami berdua sampai hari tua nanti.
Dia masih tetap sama selalu ceria dalam rasa sakit di tubuh, mengunakan kursi roda dan selang infus aku menemani dirinya melihat langit jingga di atas bukit, cuaca mulai dingin aku mengajaknya untuk segera pergi dari bukit ini. Mendorong kursi roda itu aku dan dia bercerita sambil tertawa di tengah perjalanan.
Menyuapi bubur kepadanya selalu aku lakukan saat sepulang sekolah dan sebelum berangkat kerja, aku harus melakukan ini sebelum ia pergi meninggalkan ku dan aku harus menyesal karena tak memiliki banyak waktu untuk nya.
Tubuhnya sangat lemah, aku tak tau seberapa sakitkah yang ia rasakan dalam tubuhnya. Mungkin ini sangat lah sakit.
Aku, dulu pernah menyuruhnya untuk tesenyum. Namun, kali ini aku benci senyuman dari nya sebab senyuman yang ia buat itu penuh kebohongan yang menyesakkan dadaku.
Meraih tangannya menggenggam dengan lembut aku coba menceritakan tentang kabar sekolah kepadanya, tentang bahwa semua murid, guru-guru, staff sekolah yang memberikan semangat untuk kesembuhannya.
“Aku benci saat kamu tersenyum, walau dulu aku lah yang menyuruh mu untuk tersenyum. Kamu selalu berbohong di setiap senyuman mu, kamu ubah sakit itu menjadi senyuman, aku benci itu.”
**
Saat malam mulai datang, dan aku masih bekerja aku tak fokus dalam berbagai hal aku selalu saja memikirkan nya, langit penuh bintang dan tiba-tiba saja hujan membasahi kota ini gelap nya malam menambah bayangan ku kepada nya. Ku coba menepis ini namun ia selalu datang lewati bayang menusuk ke reluk jiwa ini, aku berharap ia baik-baik saja.
Hujan ini selalu membawa kepedihan menemani setiap gerakan ku, aku selalu saja khawatir kepada bu guru, menanti kerjaan ini selesai. Aku tak sabar menunggu bis datang, berlari ditengah hujan, lampu jalan terbias air hujan baju basah, dalam kedinginan ku coba menghampiri dirinya yang tengah terlelap.
Dalam kedinginan aku duduk sembari tetap menatap lekat wajah nya, ia begitu tenang saat tidur. Baju basah ku tak menjadi masalah, biar pun tubuh ini mengigil kedinginan aku akan tetap menjaga nya.
Aku berharap ia baik-baik saja, aku berharap waktu ini masih lama, kenangan ini belumlah terlalu bayak, apakah ibu guru merasa kesakitan? Aku berharap anda baik-baik saja walau aku tau apa yang anda alami tak lah baik.
Izinkanlah malam ini aku menemani mu dalam suasan hujan dan dinginnya cuaca. Izinkan aku untuk sepuas nya menatap wajah mu karena aku tau bahwa aku tak memiliki banyak waktu lagi untuk menatap wajahmu.
Ruangan ini sungguh pengap, angin kencang masuk ke dalam, membawa hawa dingin.
“Raka bangun!”
“Hah!”
Aku rupanya ketiduran, dan baju ku pun sudah kering, ia bertanya kenapa aku tidur disini. Aku hanya takut apa bila ia tak lagi dapat...
Aku tak bisa berkata itu kepadanya, waktu itu semakin dekat. Aku hanya ingin membuat kenangan lebih bersama nya. Aku tak ingin kesedihan ini membebani dirinya, aku hanya ingin ia bahagia dengan sisa waktu ini. Sungguh itu terasa sekakan dada ku.
Aku berharap saat waktu perpisahan tiba, aku dan dia tak bersedih aku hanya ingin saat ia menutup matanya ia tersenyum bahagia.
Walau setiap perpisahan pasti akan meninggalkan kesedihan yang mendalam bagi orang yang ditinggalkan. Aku ingin menari bahagia dengannya melihat senyum tulus darinya, aku bodoh aku egois aku hanya memikirkan diriku saja, tapi aku percaya tapi aku yakin ini akan membuat ia bahagia dalam setiap waktu.
Menari dalam rerumputan, berputar-putar searah jarum jama, bunga mulai berjatuhan tertiup angin, langit biru.
Masa-masa ini akan segera berakhir. melihat nya saja aku bisa menepis kesedihan.
Kebodohan ku menjadi-menjadi seiring waktu, tangannya begitu dingin terbaring, dengan selang inpus mata menatap sayu diriku, ia masih sempat tersenyum pada ku.
Warna oranye menembus cela gorden rumah sakit aku kini terbiasa dengan suasana ini di setiap sorenya. Malam datang bintang berbinar ia menjelaskan kepada ku tentang rasi bintang yang ia tunjuk dengan jari lemahnya.
Bulan tampak tak terang kali ini, malam tanpa awan kemungkinan tak akan ada hujan, sunyi dirumah sakit ini aku sudah terbiasa dengan hal ini.
Perlahan ia tertidur dalam belaian tangan ku di kepala nya yang sudah tak mempunyai rambut itu. Aku berharap ia tetap kuat menjalani ini.
“aku akan selalu ada disamping mu, menemani mu dalam menjalani semua ini. Tidurlah dan semoga besok akan menjadi hari yang baik untuk kita.”
**
Di musim hujan, angin berhembus dijalanan titik air memercikan kedinginan di kaki. Berkabut penuh halangan di setiap langkah kaki, sepatu basa menyerap air di jalanan, baju seragam ku pun ikut basah. Kantong plastik ku jinjing, berisi bubur ayam untuknya aku tak tau apakah bubur ayam ini dingin nantinya.
“Kenapa dengan baju mu, mengapa basah?” tanya ia, kemudian aku duduk lalu merogoh kantung plastik berisi bubur ayam itu, menuangkan ke mangkuk yang ada di pojok kiriku, “makanlah.” Sembari aku menyodorkan sendok makan kepada nya.
Rasanya waktu semakin cepat berlalu aku tak tau sejak kapan waktu ini cepat berlalu, aku berharap ini berhenti sejenak, aku tak ingin ia pergi dari ku hanya, aku ingin terus bersamanya namun ini takdir yang tak akan pernah dapat aku ubah.
“Kamu sedih?” Kenapa aku tak bisa, raut wajahku tak bisa berbohong didepannya, kenapa aku cengeng sekali saat bersama nya, bisakah aku tak begini.
Cinta tak selalu mendatangkan kebahagiaan bagi sepasang insan yang sedang jatuh cinta, kadang ia menghancurkan harapan bagi yang tengah jatuh cinta.
Aku pernah kalah dalam lomba lari, dan bersedih karena tak bisa menjadi juara. Namun ini lebih menyedihkan bagiku.
Aku hanya berharap ini tak akan terjadi pada ku.
“Bisakah kamu menemani ku melihat senja dibukit itu?”
Aku menuruti apa yang ia minta itu, dan kami pergi ke atas bukit melihat senja jingga di atas bukit hijau.
“Aku bahagia saat ini, walau sepertinya waktu ku hanya sebatas hari ini. Aku bahagia bisa mencintaimu, aku bahagia karena kamu masih tetap bersama ku di saat aku terpuruk melawan penyakit kanker ini. Jika kamu ingin menangis aku tak akan melarangnya. Namun sesudah itu aku minta kamu... Ha... Jangan berlarut dalam kesedihan... Hu... Aku.”
Waktu itu. Didepan mata ku sendiri ia menghembuskan nafas terakhirnya aku tak bisa mengontrol diriku, aku menangis sejadi-jadinya. Memeluk tubuhnya sekuat tenagaku.
“ASIA!!!!!”
Kita sama-sama berjalan dengan kamu menyender di bahuku
Hal-hal yang tidak penting selalu kita tertawakan sambil menatap langit yang biru
Jika aku mendengar lagi suara mu, suara yang cukup lucu itu. aku selalu tertawa dan kemudian menangis lagi
Saat kamu tak ada disini, aku menjadi kesepian
Tapi ketika aku mengatakan kalau aku kesepian, mungkin kamu akan menertawaiku
Aku pun terus memikirkan mu, memikirkan tentang cita-cita kita
Yaitu cita-cita tentang hidup dalam sebuah keluarga
Seperti langit setelah hujan, udara yang segar, aku tersenyum mengingat mu
Aku mengingat senyum mu yang ada di pikiranku, kemudian aku menangis
Tentu saja, aku cukup cengeng. Sama seperti waktu itu.
Kamu selalu bersikap ke kanak-kanakkan, kamu begitu manja dengan ku, selalu mencium ku disaat aku lengah
Kapan pun aku merasa kesepian dan mulai bersedih
Bayangan mu selalu menghiburku, menemani ku menjelang tidur
Aku penasaran apa kamu bisa melihat ku
Dan apa yang kamu lihat dari sana
Jika kamu melihat ku
Aku akan melambaikan tangan ku, lalu berteriak sekuat-kuatnya
Dari banyaknya butiran air hujan, masih tak sedingin dirimu
Bahkan jika aku tau kamu akan pergi meninggalkan ku, aku akan tetap menangis
Suatu hari, kita akan bertemu di surga.
Memiliki hubungan yang indah dan memulai semua nya
Aku ingin disaat itu kita berdua tertawa bahagia bersama anak-anak kita
Pada hari itu, aku berharap kita akan bahagia bukan bahagia sementara namun bahagia yang kekal.
Aku berharap aku akan bertemu denganmu lagi
End