"Panas banget," keluh Nina. Saat ini dia merasa kurang beruntung karena mendapat tempat duduk di bagian paling belakang angkot.
Sebenarnya masih ada satu tempat kosong di barisan tempat duduknya, namun orang yang duduk di sampingnya tidak bergeser, itu membuat dia harus tetap berada di pojok belakang dengan terik matahari yang terasa langsung mengenai wajahnya.
Nina sebenarnya ingin menegur orang yang duduk di sampingnya agar sedikit bergeser, sehingga terik matahari tidak langsung mengenai wajahnya, namun dia takut orang yang dia tegur akan tersinggung. Dan itu sudah menjadi dilema tersendiri ketika menggunakan angkot.
Akhirnya Nina hanya bisa pasrah menikmati terik matahari yang seakan menampar sambil sesekali menonjok pipinya.
Tak berselang lama, angkot kembali berhenti untuk mengambil penumpang, terlihat seorang pemuda sedang menunggu di pinggir jalan. Nina semakin pasrah, jika pemuda itu naik, harapannya agar orang di sampingnya bergeser akan sirna.
"Permisi Mbak," ucap Pria itu sambil menepuk halus lutut Nina yang saat ini sedang menggunakan celana berbahan Jins.
Pemuda itu meminta Nina bergeser, dan hendak duduk di tempat Nina, mau tidak mau, orang yang berada di samping Nina juga ikut bergeser.
Sekarang Nina tidak lagi terkena terik matahari yang masuk melalui kaca belakang angkot, selain karena posisinya yang sudah agak menjauh dari kaca belakang, tubuh pemuda tadi juga ikut melindunginya.
Nina selalu menganggap tempat bagian belakang adalah tempat dengan kasta terendah didalam angkot.
Nina yang tadi merasa sedang berada di Neraka karena panas terik matahari, kini seakan berada di surga, angin yang masuk dari jendela yang berada tepat di belakangnya, ditambah dengan wangi parfum dari pemuda tadi membuat perjalanan Nina semakin menyenangkan.
Nina melirik pemuda disampingnya, dia ingin mengetahui wajah dari orang yang menurut Nina sudah menyelamatkannya dari Neraka Pojok Belakang.
"Eh... kok cakep ...," gumamnya, Nina tidak menyangka jika pria di sampingnya itu ternyata memiliki paras wajah yang sangat tampan.
Sepanjang perjalanan, pikiran Nina terus berkutat tentang pemuda itu, Nina bahkan berkhayal jika dirinya nanti sudah menikah dan anaknya bertanya, "Ibu dimana kamu bertemu ayah" dia akan menjawab dengan lantang, "di angkot, Nak."
Ketika sedang asik dengan keluarga khayalannya tiba-tiba.
"Kiri, Bang!!"
Suara pemuda tadi membuyarkan khayalannya.
"Inikah waktunya kita bercerai?" gumam Nina dalam hati sambil membayangkan anak dari dunia khayalannya yang sedang menangis karena melihat Ibu dan Ayahnya berpisah.
"Kak Nina," sapa pemuda tadi memanggil nama Nina.
"Iya papah.. ehh .... papah," balas Nina spontan sambil menutup mulutnya yang keceplosan.
Pemuda tadi tersenyum lalu berkata. "Kita sudah sampai, Kak Nina gak turun?"
"Eh...." Nina langsung melihat keadaan di sekitarnya, karena tadi terlalu asik dengan keluarga khayalannya, dia jadi tidak menyadari jika dirinya sudah tiba di tujuan.
"I.. iya benar," sambil menunduk malu, Nina pun turun dari angkot.
Ketika sedang merogoh uang dari tasnya, tiba-tiba pemuda tadi ikut turun. Nina lagi-lagi terkejut, dia diam tidak bergerak, matanya terus menatap pemuda itu yang kini sedang tersenyum kepadanya. Keadaan itu berlangsung selama beberapa saat.
"Sini, Kak, biar aku yang bayar." Setelah mengatakan itu Pemuda tadi membayar ongkos angkot mereka berdua.
Sedangkan Nina masih terdiam dengan posisi tangan yang masih berada di dalam tas.
"Kak Nina ngapain?" tanya pemuda tadi menegur Nina yang masih kebingungan.
"Eh... maaf," jawab Nina yang sudah kembali sadar dari keterkejutannya. "Angkot?" sambung Nina sambil menoleh ke tempat angkot yang tadi mereka gunakan.
"Udah pergi Kak, lagian Kak Nina ngapain, wah kayaknya butuh Aqua nih," jawab pemuda itu sambil bercanda.
Nina lagi-lagi menunduk malu, sudah dua kali dia terlihat memalukan di depan pemuda yang sudah sah menjadi suaminya di dunia khayalannya.
Pemuda itu berjalan bersama Nina menuju komplek tempat tinggal Nina, dalam perjalanan menuju rumahnya di pikiran Nina pertanyaan terus bermunculan, mengapa pemuda ini tahu dia tinggal disini, mengapa pemuda ini ikut turun, apakah dia mengenal pemuda ini. Dalam diam pertanyaan demi pertanyaan terus bermunculan.
"Halo, Om," sapa pemuda tadi menyapa.
"Halo Gas baru pulang?" jawab pria yang disapa oleh pemuda tadi.
"Iya, Om," balas pemuda itu.
Nina lalu menoleh ke arah pria yang disapa oleh pemuda itu. "Ayah...?" sahut Nina sambil terkejut.
Ayah Nina tertawa melihat ekspresi terkejut anaknya. "Ya iyalah ini Ayah, memang menurut kamu siapa?" balas Ayah Nina yang juga merupakan Ketua RT di komplek itu.
Nina lalu melihat di sekelilingnya, karena tadi terus melamun dia lagi-lagi tidak sadar jika dia sudah tiba di depan rumahnya.
Setelah berpamitan dengan Ayah Nina, pemuda tadi pergi meninggalkan Nina.
"Ayah kenal dengan orang itu?" tanya Nina kepada Ayahnya.
"Iyalah, dia itu Bagas anak Haji Arya, bukannya waktu masih kecil dia sering main ke rumah?"
"Oh, itu Bagas...," ucap Nina seakan tak percaya jika pemuda tadi adalah tetangganya yang dulu sering main ke rumahnya.
Di dalam kamarnya Nina kembali mengingat masa kecilnya, Bagas dua tahun lebih muda dari Nina, dari dulu Bagas memang cukup menonjol, bagas memiliki kulit putih bersih, wajahnya juga tampan, di tambah dengan postur tubuhnya yang memang jauh lebih tinggi dari anak seusianya waktu itu.
Tidak heran jika anak-anak perempuan seusia Bagas yang tinggal di komplek itu menyukai Bagas, itu juga karena sewaktu kecil Bagas tidak pernah membeda-bedakan temannya, baik laki-laki maupun perempuan, Bagas berteman dengan mereka semua.
Karena alasan itulah yang membuat anak-anak perempuan yang bahkan lebih tua dari Bagas, ikut mengidolakan Bagas, dan Nina juga adalah salah satu anak yang mengidolakan Bagas waktu itu.
"Oh My God, tetanggaku ternyata Idolaku." ucap Nina sambil menutup wajahnya dengan bantal.
Waktu sudah menunjukkan pukul 17:00, Nina saat ini sedang merias wajahnya dengan riasan tipis yang terlihat natural, setelah selesai, Nina bergegas menuju halaman rumahnya, dia lalu mengambil sapu dan mulai membersihkan halaman rumahnya.
Sambil menyapu, Nina sesekali melirik ke arah rumah Haji Arya, dia sedang menunggu idolanya keluar, dia berharap Bagas masih sama seperti dulu yang suka lari sore.
Tebakannya benar, tak berselang lama Bagas akhirnya keluar rumah untuk lari sore, namun hal yang terjadi berikutnya membuat Nina terkejut.
"Citra ?!" seru Nina dalam hati.
Dia melihat Citra, anak gadis tetangganya yang masih duduk dibangku SMA menyapa bagas, Citra juga mengenakan pakaian olahraga, setelah saling menyapa, bagas dan Citra pergi lari sore bersama.
Pupus sudah harapan Nina untuk bertemu dengan idolanya, dia kembali menyapu halaman rumahnya dengan penuh rasa kecewa.
Suara Azan berkumandang Nina kembali menuju halaman rumahnya, dia kembali mengingat kebiasaan Bagas, salah satunya adalah Bagas tidak pernah melewatkan Sholat berjamaah di Masjid.
Tebakannya lagi-lagi benar, Bagas masih sama seperti yang dulu, dari halaman rumahnya Nina dapat melihat Bagas keluar dari rumahnya. Baju koko berwarna putih dengan sarung berwarna hitam polos membuat aura Bagas semakin terlihat.
Nina sendiri jarang ikut sholat berjamaah di Masjid, dia terbiasa sholat dirumah, apalagi saat ini dia sedang halangan.
Dari jauh Nina kembali mengagumi ketampanan dari idola kecilnya dulu, namun lagi-lagi Nina kembali terkejut.
Dia melihat Fatin, anak gadis Haji Malik yang juga masih duduk di bangku SMA sedang menyapa Bagas. Mereka berdua tertawa bersama dan tak berselang lama, mereka berdua berangkat ke Masjid.
Saat waktu sholat Isya tiba, hal serupa kembali terjadi, Fatin kembali berangkat bersama Bagas menuju masjid.
Nina kembali kesal, jika saja dia tidak sedang halangan, tentu saat ini Nina sudah mengambil mukenahnya dan menyusul Bagas, apa daya takdir berkata lain, kini Nina hanya bisa melihat idolanya jalan dengan anak gadis tetangga.
"Oke Citra..., Oke Fatin...., ini artinya Perang" tegas Nina sambil menatap wajahnya di cermin.
Citra menjalankan Taktik Lari Sore Bersama, sedangkan Fatin menjalankan Taktik Adek Kakak ke Masjid Bareng-Bareng, ini membuat Nina dalam keadaan sulit.
Nina adalah Mahasiswi tingkat akhir, pagi hari Nina sudah berangkat ke kampus, dan biasanya setelah waktu Isya baru pulang kerumah, hari ini termasuk beruntung karena beberapa dosen pembimbing tidak bisa hadir, itu membuat dia bisa pulang lebih awal dan akhirnya bertemu Bagas, oleh karena itu dia tidak bisa menggunakan Strategi yang sama dengan kedua lawannya.
Beberapa ide muncul di kepalanya, mulai dari Taktik Silaturahmi Menyambut Teman Masa Kecil yang Baru Pulang, sampai dengan Taktik Minta Tolong di Antar ke Minimarket muncul di kepala Nina, namun Nina merasa strategi itu masih jauh di bawah Taktik yang digunakan kedua lawannya.
Dalam keadaan sedikit putus asa, Nina mengambil ponselnya dan mengirim pesan kepada kedua saingan cintanya, dia meminta kedua anak gadis tetangganya itu untuk datang ke rumahnya.
Tak berselang lama, Citra dan Fatin sudah datang, setelah mempersilahkan masuk, Nina langsung menarik kedua tangan anak itu menuju kamarnya.
"Ehmm... dari sejak kapan Bagas tiba?" tanya Nina kepada Citra dan Fatin.
"Sudah tiga hari kayaknya, Kak," jawab Citra.
"Iya, Kak, sudah tiga hari." Fatin ikut mengamini jawaban Citra.
"Oh...," ucap Nina sambil mengangguk tenang.
"Aduh, aku udah kalah start duluan, Citra sudah 3 hari lari sore bersama, dan Fatin sudah 3 Hari sholat berjamaah bersama..," keluh Nina dalam Hati.
"Kak Bagas cakep banget, jadi pengen punya pacar seperti Kak bagas," ucap Citra sambil memegang kedua pipinya.
"WHAT!!! JANGAN, DEK, KAMU MASIH KECIL! SEKOLAH DULU YANG BENER!!" jerit Nina dalam hati, dia terus berusaha tetap tenang.
"Iya, Kak Bagas cakep banget, karena sering ke masjid sholat berjamaah bersama, aku jadi mau Kak Bagas untuk jadi imam ku seumur hidup," ucap Fatin, dia tersenyum bahagia.
"HAH!! IMAM?, SEUMUR HIDUP? aduh... kok anak SMA sekarang ngeri-ngeri bahasanya," jerit Nina dalam hati, matanya melotot karena terkejut.
"Iya nih Fatin, Magrib sama Kak Bagas, Isya juga sama Kak Bagas, dalam sehari kamu dua kali berangkat bareng sama Kak Bagas ke Masjid," keluh Citra disertai dengusan kecil.
"Besok aku juga mau sholat berjamaah di masjid," tegas Citra membulatkan tekadnya.
"Eh... gak boleh, kamu lari sore aja," protes Fatin kepada Citra.
"Lah, kok orang mau ibadah dilarang-larang." balas Citra yang terlihat tidak senang.
"Citra... kamu kan beragama Kristen, gimana sih...," ucap Nina sambil menepuk jidatnya sendiri.
"Oh iya, Kak, ... lupa..., hehehe," ucap Citra sambil tertawa.
Fatin dan Nina ikut tertawa mendengar jawaban polos Citra.
"Nanti aku mau minta ke ayah biar gak diantar ke sekolah lagi," ucap Fatin.
"Memang kenapa?" tanya Nina yang sedikit penasaran dengan apa yang baru Fatin ucapkan.
"Oh, aku tahu!" seru Citra, "Kamu pasti mau berangkat sekolah naik angkot bareng Kak Bagas, kan?" sambung Citra dengan penuh percaya diri.
Mata Nina langsung melirik tajam, dia sangat tertarik mendengar informasi ini.
"Iya dong, Kak Bagas setiap pagi pasti berangkat menggunakan angkot, aku sering ketemu kalau lagi di antar ayah ke sekolah." balas Fatin sambil tersenyum.
"INI DIA!" teriak Nina dalam hati.
Nina tidak menyangka jika kedua lawannya ini, memberikan informasi berharga kepada pihak musuh dengan begitu mudah, dalam hati Nina terus tertawa.
___
Keesokan harinya Nina sudah menunggu di tempat dia biasa menunggu angkot, berkat informasi dari Citra dan Fatin, Nina akhirnya memiliki taktik sendiri, dia menyebut taktik itu dengan nama Taktik Naik Angkot Bareng Tetangga Idola ke Kampus.
Namun setelah beberapa menit berlalu, idolanya tak kunjung terlihat. Jika dia terus menunda naik angkot, Nina takut dia akan terlambat ke kampus.
"Kak Nina!"
Mendengar suara idolanya memanggil, Nina langsung menoleh. Dia melihat Bagas sedang memanggilnya dari mobil HRV berwarna merah milik ayah Bagas.
"Mau ke kampus, kan? Sini aku antar, kebetulan ayahku sedang tidak masuk kantor hari ini," ucap Bagas sambil tersenyum.
Nina tersenyum sambil mengacungkan jempolnya, mirip seperti pose bapak-bapak ketika sedang di foto, entah apa yang ada dipikirannya sampai dia menggunakan pose itu.
Dalam perjalanan mereka berdua saling bercerita, mereka membahas tentang masa kecil mereka, canda tawa terus menghiasi saat mereka bercerita.
"Kak Nina, besok Ayah Kak Nina ada di rumah?"
"Iya," jawab Nina singkat.
"Aku besok mau ketemu dengan Ayah Kak Nina"
"Oh... jam berapa?" tanya Nina.
"Mungkin sehabis Sholat Isya," jawab Bagas
"Oke, nanti aku sampaikan ke ayahku," balas Nina sambil tersenyum.
"Aku harus tenang... aku harus tenang... Bagas mau ketemu Ayah... itu artinya... LAMARAN!!" ucap Nina dalam hati, dia berusaha keras menahan ekspresi bahagianya.
Setelah sampai di depan kampus Nina, Nina turun dari mobil Bagas, tak lupa, Nina berterima kasih karena sudah di antar oleh Bagas.
Hari itu semua wajah dosen pembimbing terlihat seperti penghulu di mata Nina, ketika dia sedang berkonsultasi dengan dosen, di dalam benaknya, dia merasa seolah lagi mendapat kuliah nikah singkat dari penghulu.
Hari yang dinanti tiba, hari ini Bagas berencana datang menemui ayah Nina.
"Assalamu alaikum Pak RT."
"Wa alaikum salam," jawab Ayah Nina.
Setelah menjawab salam, ayah Nina mempersilahkan Bagas untuk masuk.
Nina mengintip dari ruang keluarga, dari situ dia bisa melihat Bagas yang terlihat rapi menggunakan kemeja berwarna biru gelap dipadukan dengan celana berbahan jins.
"Haji Arya..., silahkan masuk pak Haji," ucap Ayah Nina mempersilakan Ayah Bagas masuk ke dalam rumah.
Nina sontak kaget mendengar ayahnya menyapa Haji Arya.
"Astagaaa!! Bagas datang bersama kedua orang tuanya?" Nina berseru dalam hati.
"Jadi ada keperluan apa Pak Haji beserta keluarga datang?" tanya ayah Nina dengan sopan.
"Masalah pernikahan Bagas...."
Setelah mendengar ayah Bagas menyebut kata pernikahan, Nina langsung berlari menuju kamarnya, dia tidak sanggup mendengar jawaban ayahnya. Nina takut ayahnya akan menolak lamaran pernikahan dari orang tua Bagas. Saat ini Nina masih berkuliah, tentu saja akan ada kemungkinan ayah Nina menolak karena alasan itu.
Beberapa saat kemudian, Bagas dan kedua orang tuanya sudah meninggalkan rumah mereka. Nina bergegas ke tempat ayahnya, dia ingin mengetahui jawaban ayahnya.
"Jadi apakah ayah menerima permintaan ayah Bagas?" tanya Nina penasaran.
"Iya, tapi sangat di sayangkan sekali karena kamu masih kuliah," jawab ayah Tiysa.
Mata Nina langsung berkaca-kaca mendengar jawaban ayahnya, dalam hati ia berkata. "Ayahku memang baik sekali, tenang ayah, aku berjanji akan tetap menyelesaikan kuliahku sekali pun sudah berstatus sebagai istri Bagas."
"Katanya calon istri Bagas orang Bandung, setelah menikah mungkin Bagas akan tinggal bersama istrinya di sana."
"Eh... apa? Bandung? ... ehhh.... gimana maksudnya ayah?" tanya Nina dengan mulut terbuka karena merasa heran dengan apa yang baru saja ayahnya ucapkan.
"Iya Bandung, ini undangannya?" balas Ayah Nina sambil menyerahkan undangan pernikahan Bagas.
Nina mengambil undangan pernikahan dari tangan ayahnya, disitu tertulis nama Bagas dan nama calon istrinya yang tentu saja bukan bernama Nina.
"Terus... kedua orang tuanya Bagas datang untuk apa?" tanya Nina yang masih mencoba lari dari kenyataan.
"Oh... itu untuk mengurus izin pernikahan, mereka juga sekalian mengantar undangan, kan kamu tahu sendiri kalau Pak Haji Arya memang punya akhlak dan adab yang baik," jawab Ayah Nina.
"Lalu maksud perkataan ayah, sayang sekali karena aku masih kuliah apa?" Nina kembali bertanya, dia masih sulit menerima kenyataan.
"Oh... itu..., sayang sekali kamu masih kuliah, kalau kamu udah lulus, ayah juga mau agar kamu cepat menikah, biar ayah bisa cepat punya cucu, Hahahahaha"
"Haaaahhh !!!"
___
Hari ini adalah hari pernikahan Bagas, Nina akhirnya bisa menerima kenyataan pahit yang menimpa dirinya.
Begitu keluar rumah, sudah menunggu dua anak gadis pejuang lainnya yang juga harus menerima kenyataan, dengan wajah tertunduk lesu, mereka bertiga menuju tempat acara pernikahan idola mereka dilangsungkan.
"SAH !!!"
Dengan kompak semua orang meneriakkan kata kata itu, yang disambut tepuk tangan dari semua warga komplek yg hadir ditempat itu, ketika Bagas selesai mengucap kalimat Ijab Qabul mempelai pria.
Satu persatu tamu naik memberikan ucapan selamat. Kini giliran Nina, ia juga naik ke pelaminan dan menuju tempat Bagas dan Istrinya yang sedang berdiri menyambut tamu, sambil berjabat tangan dia mengucapkan selamat kepada Bagas.
Cinta Nina dimulai ketika bertemu Bagas di angkot, dan sekarang harus di akhiri di pelaminan, namun sayang bukan Nina yang duduk disitu, dia datang hanya sebagai tamu.
END
Terima kasih sudah membaca Cerpen ini.