"Nay, Nayaa," panggil Sekar.
"Iya," jawab Naya baru keluar dari toilet.
"Cepetan, sudah ditungguin Doni." Sekar yang sudah menyampaikan pesan pada Naya lalu keluar ruangan.
Naya, mahasiswi semester 6 yang sedang melaksanakan KKN bersama 6 rekan lainnya. Baru beberapa hari mereka tiba di sebuah desa tempat melaksanakan KKN yang merupakan daerah pantai. Termasuk tempat wisata yang lumayan dikenal.
Naya yang memang mempunyai keluhan pencernaan yang sensitif, entah apa makanan yang tidak cocok dengan perutnya hingga sejak tadi malam ia bolak balik ke toilet.
"Lama bener sih," ucap Doni saat melihat Naya keluar dari rumah tempat mereka tinggal selama melaksanakan KKN.
"Sabar, aku diare nih."
"Mau lanjut ikut atau istirahat?" tanya Doni.
"Lanjut aja,"
Doni segera menaiki motor matic membonceng Naya, motor sewaan yang akan digunakan mereka untuk melaksanakan program KKN.
Menelusuri jalan desa untuk bergabung ke jalan raya menuju salah satu kawasan pantai. Salah satu program kerja mereka adalah bidang kebencanaan.
Cukup lama mereka ke sana ke mari, setelah selesai singgah pada sebuah kedai es kelapa. Naya meminum air kelapa sambil menatap hamparan laut nun jauh.
'Baru juga seminggu, udah kangen aja. Bener kata Dilan, rindu itu berat,' batin Naya.
Naya telah memiliki kekasih bernama Devan, sesama mahasiswa di kampus yang sama namun beda tingkat. Devan saat ini sudah semester akhir yaitu semester 8. Termasuk dalam list cowok populer, Devan juga dijuluki mahasiswa tajir mengingat dirinya adalah putra dari salah satu pengusaha sukses di Indonesia.
Bukan hanya Devan yang menyukai Naya, gadis itu termasuk most wanted juga di kampusnya. Dengan tubuh tidak terlalu tinggi, surai panjang legam, kulit putih dan hidung lumayan mancung.
"Lumayan terik ya," ujar Doni yang baru saja menghabiskan es kelapa jelly.
"Kayaknya pesisir pantai mah kayak gini cuacanya, makanya aku lebih suka daerah pegunungan, cuacanya dingin," sahut Naya.
"Kalau ke gunungnya bareng Devan, yang ada nanti cari kehangatan ya Nay?" Doni terkekeh setelah ucapannya membuat Naya mendelik.
"Yaelah pake malu, di kampus juga gandengan terus."
"Cuma pegangan tangan doang Don," jawab Naya.
"Belum di apa-apain ya, masih virgin dong."
"Masih dong, eh kenapa malah bahas aku sih."
Doni senyum-senyum, "Hati-hati Nay, Devan banyak juga fans ceweknya, jangan-jangan loe bukan satu-satunya."
"Aku percaya Devan setia, mending sekarang balik, laper banget nih," seru Naya.
Di tempat berbeda, seorang pria bernama Pram Aksa Mahendra sedang mengecek proses pembangunan salah satu resort di wilayah pesisir pantai tidak jauh dari Naya melaksanakan KKN.
"Hampir rampung pak, saat ini kita sudah mulai melakukan rekrutment untuk pengelolaan resort ke depan," jelas Faisal yang merupakan asistennya. Berkas laporan yang dibuat oleh Pak Ubay orang yang bertanggung jawab dalam pembangunan resort sedang dicermati oleh Pram.
Pria berumur 33 tahun itu tampak mengernyitkan dahinya, mengenakan kemeja abu-abu lengan panjang yang saat ini sudah digulung setengah lengan dan bawahan hitam.
"Faisal, kalau kamu baca dari jadwal perencanaan, pembangunan ini lambat. Cari tau apa penyebabnya," titah Pram.
"Baik pak, untuk pembebasan lahan guna perluasan villa masih belum ada solusi. Pemelik lahan meminta kita menemui kasepuhan mereka. Mungkin adat istiadat di sini begitu pak," ungkap Faisal.
"Kasepuhan ?"
"Semacam pemuka agama."
Pram mengangguk, "Siapkan saja, nanti aku akan temui orang tersebut. Hal ini harus sudah selesai sebelum aku kembali ke Jakarta."
"Baik pak."
Pram mengendari mobilnya mendekati pinggir pantai menikmati pemandangan laut, bersandar pada mobil dengan kedua tangan berada pada kantung celana serta menggunakan kaca mata hitam menatap lurus ke depan.
***
Saat malam, Naya dan kawan-kawan baru saja menyelesaikan makan malam saat Doni mengajak kelompoknya berdiskusi.
"Jadi besok Agung harus ketemu Pak Irsyad, untuk pelaksanaan proker kita. Disini masih kental adat istiadatnya, bisa dikatakan harus ijin dulu dengan tokoh masyakatnya," jelas Doni.
Naya terlihat sudah menguap, yang lain menyimak dengan mata terlihat sudah lelah. Hanya Mega dan Dimas yang terlihat saling tatap dan tersenyum.
"Yang lain mengerjakan sesuai rencana sebelumnya, aku harap kita semua bisa menjaga nama baik diri sendiri dan nama baik kampus. Jangan berbuat aneh-aneh, sabar aja, cuma dua bulan."
"Siap bos," jawab Agung.
Esok hari, Naya yang telah tiba di tempat pelaksanaan prokernya tersenyum membaca pesan dari Devan.
Devan 💖: Semangat ya Sayang, Miss you so much
Naya : Miss you too, enggak sabar pengen cepet pulang ke Jakarta
Meskipun pesannya belum di balas kembali oleh Devan, namun cukup menjadikan vitamin untuk menjalankan aktivitasnya.
"Woy, senyum-senyum enggak jelas," ejek Sekar
"Jelas dong, pesan dari pacar jadi mood booster untuk seharian," ucap Naya.
Siang harinya terjadi hal yang memungkinkan Agung menemui Pak Irsyad.
Doni sebagai ketua kelompok yang akan menemui Pak Irsyad menggantikan Agung, "Biar aku aja Don, ketua kelompok harus stay di lokasi proker."
"Serius Nay, agak jauh loh," ujar Doni
"Enggak apa, aku aja yang jalan. Sini kunci motor dan berkasnya."
Kalau melihat pada maps, perjalanan hanya 15 menit menggunakan motor namun melewati jalan rusak membelah perkebunan, bisa dipastikan jika malam hari melewati jalan ini sangat menakutkan.
Tiba-tiba langit tertutup awan gelap, mendung seperti hendak turun hujan. Naya mempercepat laju motor saat hujan turun dengan lebat, karena kurang memahami jalan yang berlubang, motor yang dikendarai Naya terjerembab. Naya yang sudah sangat basah berusaha menghidupkan kembali motor yang ia gunakan, namun nihil motor itu tidak menyala.
Melihat ada mobil lewat yang semakin mendekat, Naya menghentikan mobil tersebut.
Pengemudi menurunkan sedikit kaca jendela sebelah kiri, "Pak, bisa saya ikut. Motor saya mogok," pinta Naya.
"Masuklah," jawab Pram menekan central lock agar Naya bisa membukan pintu mobil.
Naya masuk menenteng ranselnya, "Maaf pak, mobil bapak jadi ikutan basah."
"Kamu mau ke mana? Berbahaya sendirian di jalan sepi begini."
"Saya mau ke dusun di depan, karena hujan saya terburu-buru malah jatuh. Mana enggak nyala lagi motornya."
Hujan masih sangat lebat bahkan sesekali petir dan guntur bergantian bersuara.
Entah mengapa tiba-tiba mobil yang dikemudikan Pram mati. Pram mencoba menghidupkan kembali, menstater namun tidak kunjung menyala.
"Mogok juga pak?"
"Sepertinya begitu, aneh juga sih, mobil sehat kok tiba-tiba mati begini ya"
Sudah satu jam berlalu, hujan belum berhenti namun suasana di luar semakin mencekam karena menjelang malam. Sesekali Pram mencoba menghidupkan mobil tapi gagal, ia menoleh pada gadis disebelahnya.
Pram memperhatikan Naya yang terpejam, wajahnya terlihat pucat dan bibir bergetar. Gadis itu menggigil, Pram menyentuh dahi gadis itu. "Nona, Kamu menggigil, buka matamu." Pram menggosokan tangannya pada wajah dan lengan Naya, meraih tas yang ada di kursi belakang mencari benda yang bisa menghangatkan gadis itu, namun hanya berkas-berkas terkait pembangunan resort dan satu buah kaos.
Menurunkan sandaran kursi Naya, Pram terus membangunkan Naya, hanya gumaman tidak jelas yang keluar dari bibir pucat gadis itu.
Pram menghela nafas, dia tidak ingin nantinya disalahkan jika terjadi sesuatu pada gadis disebelahnya. Dia perlu menghangatkan tubuh sang gadis.
"Maafkan aku, ini terpaksa." Pram melepaskan kaos yang dikenakan Naya, dua bukit kembar Naya yang tertutup kain berenda berwarna hitam terlihat menggoda. Pram menelan salivanya ketika ia membuka kain tersebut lalu membuka kaos yang ia kenakan. Membawa Naya dalam pelukannya sambil menggosokan tangannya pada punggung Naya. Berharap apa yang ia lakukan dapat mentransfer kehangatan pada tubuh gadis itu.
"Nona bangunlah," ucap Pram pada gadis dalam pelukannya. Sungguh niat untuk menolong membuat dirinya dalam situasi tidak aman, dada gadis yang menempel pada tubuh Pram memberikan sensaai aneh membuat bagian bawah tubuh Pram mengeras.
"Shiitt," pekik Pram. Sesekali ia membenamkan wajahnya pada leher, dada dan perut sang gadis.
Naya sudah tidak menggigil, masih dalam pelukan Pram tiba tiba, tok tok tok, terdengar ketukan kaca sebelah kanan mobil. Pram segera menutupi tubuh Naya dengan kaos yang tadi ia kenakan.
Membuka sedikit kaca disebelahnya, "Ada apa Pak?" tanya Pram.
"Maaf pak, bisa keluar dulu!"
Sebelum keluar ia memastikan kembali tubuh Naya tertutup kaosnya.
Hujan sudah mereda saat Pram membuka pintu mobil, keluar dengan bertelanjang dada. Beberapa orang sudah menunggunya.
"Ada apa ya pak?" tanya Pram
"Justru harusnya kita yang tanya, ngapain aja dalam mobil sama perempuan, enggak pakai baju pula."
"Lagi berbuat mesum kali."
"Udah bawa aja ke dusun."
"Kita arak aja keliling kampung."
"Sebentar-sebentar, saya bisa menjelaskan. Ini tidak seperti yang terlihat," ucap Pram.
"Sudah bapak-bapak, kita bicarakan baik-baik. Bapak sebaiknya ikut kami ke dusun," ujar Bapak yang tadi mengetuk kaca mobil Pram.
"Tapi mobil saya mogok pak,"
"Dihidupkan dulu pak, nanti coba saya cek kebetulan saya bekerja di bengkel."
Pram masuk kembali ke dalam mobil ia memeriksa kembali tas yang ada di kursi belakang, ada satu buah kaos di sana. Entah tas milik siapa, kebetulan mobil yang dia gunakan adalah mobil operasional resort. Ukuran kaosnya lebih kecil dari ukuran pakaian yang biasa ia kenakan, alhasil tubuhnya terlihat gagah dengan kaos yang membuat ototnya menonjol.
Anehnya ketika mencoba menghidupkan mobil, mobil tersebut menyala. Mengikuti motor di depannya menuju dusun terdekat, dibelakang mobil juga terlihat dua motor mengikuti.
Tiba di salah satu rumah entah milik siapa, salah satu orang meminta Pram membawa Naya masuk.
Menggendong dan membaringkan gadis yang terlihat sudah lebih baik kondisinya pada ranjang sebuah kamar.
Dari percakapan bapak-bapak di depannya, Pram mengambil kesimpulan bahwa dia berada di rumah kepala dusun. Seorang wanita menyuguhkan beberapa cangkir kopi. Setelah dipersilahkan Pram mengambil satu cangkir dan menyesap kopinya, saat ini ia memang membutuhkan minuman hangat tersebut.
Seorang laki-laki paruh baya hadir di tengah mereka. "Siapa namamu Nak?"
"Pram Aksa Mahendra."
"Nama gadis yang bersamamu?"
Pram menggaruk tengkuknya, "Saya tidak tahu, Pak"
"Woy, orang niat jahat kali ya, enggak kenal main masukin aja ke mobil," ucap salah seorang warga.
"Dedeh, coba kamu cek gadis itu. Kalau sudah sadar bawa dia ke sini."
Tidak lama Naya diapit oleh seorang wanita, berjalan mendekat bergabung dengan orang-orang yang tanpa dia ketahui sudah menggiring dia dan Pram ke dusun. Duduk di sebelah Pram, memandang heran sekelilingnya.
"Siapa namamu Nak?"
"Nay-Nayara Clarisa," jawabnya terbata.
"Nama saya Irsyad, kepala Dusun di daerah ini," ungkap Pak Irsyad.
Naya dan Pram menatap pada pak Irsyad, tanpa mereka ketahui bahwa mereka mencari orang yang sama dan saat ini ada di hadapannya.
"Sesuai laporan dari warga, bahwa terjadi tindakan tidak terpuji di dalam mobil di mana Nak Pram dan Nak Naya berada."
"Hah, enggak salah pak. Saya enggak ingat apa-apa, Bapak macem-macem ke saya ya," delik Naya sambil menatap Pram.
"Sstt, dengarkan dulu. Jangan memotong pembicaraan," sahut Pram. Pak Irsyad memperhatikan pasangan di hadapannya, memang terlihat jelas perbedaan umur antara mereka.
"Pak Asep adalah saksi mata, silahkan diceritakan apa yang kalian saksikan tadi."
"Jadi waktu saya lewat jalan Kebun tebu, saat itu hujan lebat saya melihat mobil berhenti. Di sana juga sudah ada 2 motor berhenti, salah seorang mengintip ke dalam mobil. Saya pun berhenti dan ikut melihat ke dalam mobil, yang kami khawatirkan terjadi sesuatu dengan pengemudi, tapi yang terlihat adalah Bapak ini sedang memeluk mbak ini saya pastikan kembali penglihatan saya ternyata benar bahkan Bapak juga sudah bertelanjang dada."
"Ngapain pake peluk aku segala, Bapak mau berbuat mesum ya," ucap Naya lirih lalu memukul lengan Pram.
"Dengarkan dulu, ini belum selesai," ujar Pram, Naya kembali memukul lengan Pram namun gagal karena tangannya surah dicekal oleh Pram.
"Diam dulu, dengarkan penjelasan sampai selesai."
"Saya perlu mendengarkan penjelasan dari pihak kalian, silahkan Nak Pram," kata Pak Irsyad.
Pram menjelaskan mulai dari Naya yang menghentikan mobilnya sampai dengan kegiatan menghangatkan tubuh Naya terhenti karena ketukan di kaca mobilnya.
"Sesuai dengan adat dan kepercayaan kami, apa yang sudah kalian lakukan termasuk melanggar norma, walaupun tujuannya adalah menolong. Saya akan menikahkan kalian secara agama," jelas Pak Irsyad.
"Menikah ?"ucap Pram dan Naya serempak.
"Nak Pram apa sudah menikah ?"
"Pernah, saya pernah menikah namun gagal hingga harus bercerai."
"Kalian sama-sama lajang walaupun status Nak Pram adalah duda. Apa mahar yang akan diberikan pada Nak Naya ?"
"Tapi pak, saya sudah memiliki kekasih. Saya enggak mau nikah sama dia pak," ucap Naya.
"Kamu pikir saya mau," seru Pram.
"Ini bukan masalah mau dan tidak mau, tapi kalian berada di situasi yang mengharuskan menikah."
"Saya enggak cinta dengan Pak Pram, bagaimana bisa saya menikah dengan dia?"
"Percayalah kalau ini adalah takdir Tuhan yang harus kalian jalani. Jadi apa maharnya?"
Pram melepas kalung yang ia kenakan, melepaskan liontin yang menggantung yang ternyata adalah sebuah cincin. Juga mengeluarkan salah satu kartu debit dalam dompetnya.
"Kartu debit ini berisi lebih dari 100 juta rupiah dan cincin ini akan saya jadikan mahar untuk pernikahan ini."
Pak Irsyad dan Pram bersalaman, siap melafazkan kalimat ijab qabul.
Naya menatap tangan yang sedang bersalaman, masa depannya ada pada kedua tangan tersebut.
Sepintas angan dan cita yang sebelumnya ia bayangkan bersama Devan hancur.
"Pram Aksa Mahendra Saya nikahkan dan saya kawinkan engkau dengan Nayara Clarisa binti Syamsul Arifin dengan mas kawin uang sebesar seratus juta rupiah dan cincin emas 2 gram dibayar tunai."
"Saya terima nikah dan kawinnya Nayara Clarisa binti Syamsul Arifin dengan mas kawin tersebut, tunai.”
"Bagaimana para saksi?"
"Sah."
"Sah."
"Alhamdulillah."
Pak Irsyad memimpin doa untuk keberkahan pernikahan Pram dan Naya. Pram kemudian memakaikan cincin emas sederhana yang merupakan milik keluarganya, lebih tepatnya diturunkan dari neneknya kemudian ke ibunya dan kini dia pakaikan pada Naya istrinya.
Kini Naya sudah berada dalam salah satu kamar rumah Pak Irsyad, menghela nafas mengingat bahwa ia baru saja menjadi seorang istri, istri dari Pram Aska Mahendra.
Pintu kamar dibuka lalu masuklah Pram, pasangan itu diminta menginap di kediaman Irsyad, selain cuaca yang masih tidak bersahabat juga menghindari isu yang tidak baik akibat pernikahan dadakan keduanya.
"Sebutkan nomor ponselmu!" pinta Pram pada Naya.
"Untuk apa ?"
"Kamu sekarang sudah jadi istriku, masa suami tidak menyimpan kontak istrinya," ucap Pram menggoda Naya.
"Enggak perlu, pak Pram saya enggak setuju dengan pernikahan ini."
"Saya juga," ucap Pram.
"Kenapa tadi enggak menolak."
"Kamu tadi sudah dengarkan kenapa kita dinikahkan dan walaupun aku bukan laki-laki suci tapi saya tidak mau mempermainkan agama. Jadi lebih baik kita menerima kondisi ini."
"Maksudnya saya harus terima Pak Pram jadi suamiku, lalu saya harus... tidak, saya tidak mau."
"Jangan panggil pak dong, kita jadi berasa anak dan bapak aja."
Naya membuang pandangannya pada jendela, Pram mau tidak mau mengambil ponsel milik Naya yang ada di nakas.
"Eh, mau ngapain," ucap Naya melihat ponselnya diambil Pram.
Setelah menyimpan kontak Naya, ia mengirimkan pesan pada gadis yang baru saja dinikahinya. "PIN untuk kartu debit sudah aku kirim."
"Saya sudah punya pacar pak, jadi setelah pergi dari dusun ini kita masing-masing saja. Anggap saja kejadian tadi itu cuma mimpi."
Memijat dahinya, Pram menghembuskan nafas kasar, "Kamu tadi dengarkan yang saya ucapkan. Saya tidak akan bercanda terkait agama. Pernikahan kita sah dimata agama tinggal membuat legalitas untuk pernikahan negara."
"Sebaiknya kamu istirahat tadi kamu sempat tidak sadarkan diri, besok kita bicarakan lagi bagaimana untuk ke depannya."
"Pokoknya saya enggak mau jadi istri Bapak," ucap Naya lalu membaringkan tubuhnya membelakangi Pram, menutupi tubuhnya dengan selimut sampai dengan telinga.
Pram menggelengkan kepala dan mengurut dadanya, 'Sabar-sabar,' batin Pram.
Keesokan hari, pasangan itu sudah berada dalam mobil yang dikemudikan Pram, sebelumnya mereka sudah menyampaikan bahwa tujuan ke dusun adalah mencari Pak Irsyad.
Pak Irsyad terkekeh mengetahui kenyataan pasangan tersebut berniat menemuinya malah berakhir dinikahkan olehnya, "Terimalah nasib kalian, karena kalian memang berjodoh dengan cara seperti ini."
Tidak ada sepatah kata pun yang keluar dari mulut Pram atau Naya, sesekali Pram menoleh pada Naya. Namun gadis itu sejak tadi hanya memandang pada jendela di sampingnya.
"Mau diantar ke mana?" tanya Pram.
Pram mengangguk setelah mendengar tujuan Naya, "Kita harus bicara terkait beberapa hal, mungkin nanti sore. Kirim saja alamatmu, nanti aku jemput."
Pram kembali menghela nafas melihat sikap istrinya, kembali mengemukan mobilnya untuk menuju resort.
"Ya ampun Naya, bikin khawatir deh,"ucap Sekar.
"Gimana, semalem mau kita susuln lo bilang enggak usah," ujar Doni.
"Iya, nanti aja deh ceritanya, kita lanjut aja."
Selama pelaksanaan proker Naya banyak melamun, memikirkan Devan. Bagaimana kelanjutan hubungannya dengan Devan.
Sesekali melihat ponselnya berharap laki-laki itu mengirim pesan. Memang semenjak Naya KKN, mereka jarang berkomunikasi.
"Hah, jadi sekarang status loe udah menikah dong?" tanya Sekar ketika Naya menceritakan kejadian detail kemarin. "Terus gimana suami loe Nay, ganteng kan ? Tajir enggak ?"
"Apaan sih, mau dia ganteng atau tajir yang jelas gue enggak mau. Gue enggak cinta, cinta gue cuma buat Devan. Gara-gara motor butut itu tuh, kalau gak mogok semua enggak akan terjadi."
"Udah takdir Nay, motor mah cuma perantara," sahut Doni.
"Aku enggak mau berita ini tersebar, cukup kalian yang tau. Aku enggak perduli dengan pernikahan ini."
"Hm, yakin Nay. Jangan-jangan nanti malah loe yang bucin," ejek Doni.
Sorenya, ketika semua anggota kelompok sudah kembali ke rumah dan sedang berstirahat setelah seharian melaksanakan Proker, sebuah mobil SUV premium memasuki pekarangan tempat tinggal sementara Doni CS.
Dimas, Mega dan Anggi yang sedang berada di beranda menoleh memastikan siapa yang datang.
Seorang pria dengan mengenakan jas dan bawahan hitam, kemeja putih tanpa dasi turun dari mobil mendekat ke beranda.
"Permisi, apa benar nona Naya tinggal di sini ?"
Mega dan Anggi saling menatap, lalu kembali menoleh pada pria yang masih berdiri menunggu jawaban. "Iya, betul," jawab Dimas.
"Boleh saya bertemu dengan nona Naya?"
"Nay!!" teriak Mega masih menatap pria tersebut.
Naya memperhatikan lelaki yang mencarinya. Merasa tidak mengenalnya jadi dia agak bingung untuk menyapa.
"Nona Naya ?"
"Iya betul."
"Maaf Nona, perkenalkan saya Faisal asisten Pak Pram. Saya diminta menjemput Nona Naya."
Naya menghela nafas. Doni yang mengetahui bahwa Pram adalah suami Naya mengajak teman-temannya masuk.
"Jemput ke mana ya pak ?"
"Marina Royal Resort, Pak Pram menunggu di sana."
Faisal membukakan pintu untuk Naya saat mobil itu sudah tiba di area Marina Royal Resort milik Pram.
Mengantarkan Naya pada sebuah ruangan di mana Pram sudah menunggu.
"Silahkan Nyonya." Faisal mempersilahkan Naya masuk setelah membuka pintu ruangan.
"Tadi Nona sekarang Nyonya," batin Naya.
"Duduklah," titah Pram pada Naya. Pram memijat pelipisnya melihat busana yang dikenakan Naya. Mengenakan jeans dan atasan berjenis wrap top.
"Apa dia sedang menggodaku," batin Pram. Atasan yang digunakan Naya berjenis kimono ini sangat mudah dibuka dan Pram sedang memikirkan isinya. Sudah pernah melihatnya hingga berakhir dinikahkan oleh pemuka agama setempat, membuat gair*ah pria ini bangkit.
"Apa aku bawa gadis ini ke ranjang, memuas_kanku, toh dia sudah halal bagiku." Bukan niat yang muncul karena sisi bangsat dari seorang Pram, tapi sebagai laki-laki dewasa yang notabene pernah menikah tentu se-ks adalah suatu kebutuhan dan ia membutuhkannya saat ini.
"Ada apa Bapak memangil saya?"
Pertanyaan Naya menghentikan lamunan mesum yang ada dalam pikiran Pram.
"Tadi pagi saya sudah bilang, kita perlu bicara." Konsentrasinya sudah kembali namun has_ratnya masih tinggi hingga di bawah sana terasa sesak.
Pram menelan salivanya memandang bibir mungil istrinya, sudah pasti rasanya sangat kenyal jika ia memagutnya. Ceruk leher Naya yang menggoda membuatnya ingin membenamkan wajah di sana dan bukit kembar yang menonjol sempurna dengan ukuran pas di genggamannya, menantang untuk dikulum.
Argghhhh, sungguh menyiksa bagi Pram dengan Naya merengek tidak menyetujui pernikahan ini sudah pasti dia tidak bisa menuntut haknya pada Naya.
"Kamu tunggu di sini, aku akan kembali. Ingat, jangan ke mana-mana."
Naya hanya mengangguk, ia heran dengan gelagat aneh dari Pram.
"Oh shhhiitt," ucap Pram menuju kamar mandi. Mau tidak mau ia harus menuntaskan pusingnya dengan bersolo karir.
Naya menatap aneh pada Pram yang sudah kembali, kemeja yang sudah digulung sampai siku. Rambut yang tidak serapih tadi bahkan wajahnya terlihat lelah.
"Jadi ?" Ucap Naya mengingatkan pertanyaannya pada Pram.
"Kita perlu sepakati untuk kedepannya."
"Apa yang mau disepakati? Aku enggak terima dengan pernikahan ini."
"Tapi kita tidak bisa mempermainkan agama."
"Ya udah Bapak talak saya aja, masalah selesai."
"Nayara!!" Seru Pram dengan intonasi lebih tinggi.
"Pernikahan ini bukan permainan, semalam kita ijab qobul lalu sekarang ikrar talak."
"Karena awal pernikahan udah salah. Tidak ada cinta, keluarga dan tanpa rencana. Saya punya kekasih yang menunggu saya kembali ke Jakarta. Setelah saya lulus kuliah, kami mau menikah. Mungkin Bapak jomblo kali ya, jadi enggak masalah nikah tanpa cinta," ungkap Naya.
"Enak aja, mana mungkin saya jomblo. Kamu enggak lihat apa muka saya ini gantengnya kebangetan, bahkan kalau saya buka baju kamu juga termehek-mehek, jadi enggak mungkin saya jomblo."
Naya hanya memandang kesal dengan ucapan Pram.
"Waktu kamu hanya sampai KKN selesai, silahkan sampaikan pada keluarga."
Naya tidak menyangka jika kegiatan KKN nya dia harus menikah, tepatnya terpaksa menikah.
___
Jan-22