Bab 2 Kepergian Mas Agam
Aku masih terisak dengan segala kepedihan mendera. Memori ku berputar, menginggat
kejadian - kejadian yang telah berlalu. Betapa beratnya perjuangan yang kami lalui bersama. Meskipun sebagian keluarga besar Mas agam menganggap aku adalah orang yang sangat beruntung mendapatkan yang sudah PNS, tetapi mereka tidak pernah tahu bahwa berjalannya roda ekonomi kami, ada jeri payahku di dalamnya.
" Mbak nia pasti senang , ya, punya suami seperti Mas agam. Gajinya sebulan lima jutaan, kan? Belum lagi sertifikasi yang keluar tiga bulan sekali. Wah kalau aku sih bakal gonta - ganti gelang sama kalung Mbak. "
Teringat kata - kata dina adik sepupu Mas agam yang suka berpenampilan mewah kala itu. Aku hanya tersenyum menanggapi pernyataannya. Tak kubantah maupun mengiyakan. Sekali lagi, karna menjaga marwah suami. Andai mengatakan yang sebenarnya pun, akankah mereka percaya dengan ceritaku yang harus ikut serta membanting tulang demi membutuhi kebutuhan keluarga? Menginggat sosok Mas agam yang disanjung akan kebaikan dan sikap perduli terhadap sanak saudara.
Dada ini terasa semakin sesak. Namun, aku segera menguasai diri. Aku harus mencari tahu, kemana uang Mas agam yang selama ini disembunyikan. Pada siapa ia berikan? Dan aku tak bisa menghadapi ini semua dengan emosi karena berakibat fatal Lagi - lagi, omongan keluarganya yang aku takutkan.
Jujur, selama ini orang tua serta kakak perempuan satu - satunya Mas agam sering mengeluarkan sedikit kalimat yang menggores relung hati ini. Namun, tidak pernah sekali pun mulut ini membalah ucapan mereka, karena takut bagaimanapun, mereka semua adalah orang tua yang harus kuhormati. dari rahim ibunyalah suaiku dilahirkan.
" Biarkan agam pulang kesini. Kasian kalau harus jauh - jauh pulang kerumahmu. Aku mengkhawatirkan kesehatan dan keselamatanya. Kalau harus berkendara selama empat jam pulang pergi tiap hari, kan, kasian. Aku tidak tega. Cukuplah seminggu sekali ia mengunjungimu."
Ucapan dari Mbak Eka Kakaknya mas Agam selalu teringat di kepalaku. Ketika itu aku masih hamil empat bulan, anak pertama. Entah terlalu perasa atau memang ucapan itu yang terlau menusuk, ada sesuatu seperti menhunus ulu hatiku.
" Tapi aku lagi hamil, mbak."
" Lho, apa hubungannya hamil dengan kepulangan Agam? Aku aja, yang di tinggal merantau ke, kalimantan tidak masalah. Malahan, suamiku belum tentu pulan setahun sekali pulang. "
Salahkah bila keadaan hamil ingin selalu bersam suami?
" Mbak Eka itu baik, Dek. Sayang sekali sama mas. Makanya dia berbicara seperti itu. Udak, gak
apa - apa. Jangan dipikirkan, ya? Yang penting, mas pulang gak sampai seminggu sekali, Dek.
Paling tiga hari dirumah ibu. Jangan sedih,ya. Ibu hamil gak boleh tertekan. Di buat bahagia aja ya, sayang?
Begitu jawaban Mas Agam saat aku mengadu perihal perkatan Mbak Eka.
Mas, kenapa gak pindak saja? Cari yang dekat sini. Toh, mas pulang kerumah ibu juga perjalanan hampir satu jam, kan? Ya, suamiku memang mengajar bukan di daerah tempat tinggal ibunya. Bila kesana, ia harus berkendara kearah timur. Sedangkan pulang kerumahku ke arah barat. Aneh, bukan?
" Mas sudah nyaman sama teman - teman disana, Dek. Mas takut, bila pindah gak nemu yang klop yang seperti mereka. Dan kalau dipikir, tetap dekat ke rumah ibu, kan?
" Kalau gitu, aku ikut kesana, ya, Mas? Aku ingin selalu bersama Mas setiap hari. Kan, aku sedang hamil, " Mas pintaku, merajuk.
" Aduh, jangan sayang. Kan kamu harus ngajar, kan? Kalau kamu keluar, gak ada yang gantiin kamu gimana. "
Akhirnya, aku hanya bisa pasrah pada keadaan.
Kepulangan si sulung Dinta dari sekolah, membuatku tersadar dari segala lamunan. Dia terlihat kaget melihat mataku sembab.
" Ibu kenapa? Habis nangis ?
" Iya, sayang. Tadi habis baca novel online, ceritanya sedih banget, " jawabku berbohong. Bagaimanapun keadaanku, aku tidak ingin ia yang masih berusah tujuh tahun harus mengerti bebanku.
Dinta masuk kamarnya, berganti baju lantas makan. Setelahnya, terdengar langkah kaki sang adik danis baru pulang bermain. Ia berlari memeluku. Kebiasaan itu selalu di lakukannya saat masuk rumah kudekap erat tubuh mungilnya. Usainya baru genap empat tahun, bulan lalu. Ia menjadi anak kesayangan Mas Agam.
Hari ini jadwal Mas Agam pulang kerumahku. Iya rumahku. Karena rumah ini diberikan oleh orang tuaku. Mereka membuat rumah ini saat Dinta umur satu tahun. Jarak tempat tinggal ibu dan bapak hanya lima ratus meter.
Aku tidak langsung menanyakan perihal buku rekening yang ku temukan tadi siang, menunggu saat yang tepat.
Setelah anak - anak tidur dan kami berdua tengah menonton telivisi, barulah aku menyusun bahasa untuk menanyakan gajinya. Lebih tepatnya, Menginterogasi.
Mas, saat bersih - bersih tadi siang aku menemukan ini." Kuberikan buku rekening miliknya. Buku tersebut sebelumnya sudah kusimpan dibawah kasur yabg sengaja digunakan saat
anak - anak menonton TV.
Wajah Mas Agan terlihat pucat. Tangannya bergertar saat memegang benda berharga miliknya itu. " Ka-kamu nemu dimana, Dek? Ka-kamu udah buka isinya? " tanyanya dengan nada terbata - bata.
"Di dalam buku pembelajaran matematika. Sudah, " jawabku santai. " Kenapa kamu pucat seperti itu, Mas? Apa karena isi buku itu berbeda dengan yang kamu ceritakan padaku?" tanyaku kemudian, sembari menatap tajam matanya. " Tega kamu, Mas! Aku seperti kamu paksa untuk berjuang sendiri demi menghidupi keluarga kita. Sekarang aku tanya, kemana uang kamu yang lain? " Ia diam, tidak menjawab. Dengan kepala tertunduk, ia memainkan kuku - kukunya.
" Aku kasian sama ibu, Dek," sahutnya dengan lirih, setelah lama diam.
kuembuskab nafas dengan kasar. Lalu mencoba menetralisir gemuruh dalam dada dengan menarik napas kembali secara pelan - pelan. " Sebagian uang, sertifikasi juga?" Ia mengangguk. " Begini, Dek. Karena mas menjadi seorang PNS Karena ibu. Kan, kamu dapat senengnya, Dek.Ibu yang telah berjuang agar mas bisa sekolah, hingga sampai di titik ini. Kamu harus terima, dong. Jangan egois begitu, lah. Kamu seharusnya bersyukur, dapat
laki - laki mapan kayak aku. Hidupmu terjamin," jelasnya terdengar agak ketus .
Apa? Beruntung karena hidupku terjamin? " Kalau hidupku terjamin, seharusnya aku tak perlu susah payah jualan ini itu, dong, Mas?
" Sudah nasib kamu, lah. Coba kamu kayak aku, jadi abdi negara juga, kamu gak perlu ngemis nafkah gitu sama aku. Kalau kamu harus susah payah jualan, ya, itu karena gajimu kecil. Bahkan aku gak tahu kamu ngajar dapat gaji apa tidak."
Netra ini tiba - tiba memanas. Suamimku yang selalu bertutur kata, kata - katanya sungguh tajam bagai belati malam ini.
" Mas, seorang istri wajib kamu nafkahi. Uang suami berarti uang istri. Sedangkan uang istri bukan uang suami. Aku tidak melarangmu memberi uang sama ibu. Tapi tolonglah, lihat dulu keadaan aku. Sementara ibu hiduo bercukupan, bahkan berlebihan. Memangnya kamu tidak bisa menukar nominal uang yang di berikan pada ibu itu untukku? Karena aku lebih membutuhka itu, Mas. Lalu, uang sertifikasi yang separuh kemana.
" Buat ibu juga lah, Terserah aku, dong. Itu uangku, kenapa kamu yang sewot? Itu kalau kamu masih mau jadi istriku, kamu harus nurut."
Selepas bicara itu, dia bangkit. Masuk kamar untuk mengambil jaket, lalu keluar dan terdengar ia pergi mengendarai Motornya.
Kulihat tas dan helm tidak ada di meja kerja. Sepertinya, ia pergi ke rumah orang tuanya.