Bel istirahat belum lima menit berbunyi. Namun seisi sekolah sudah memenuhi kantin.
Alya melewati antrian tukang bubur. Matanya menyapu deretan meja kayu. Semua penuh.
"Al, sini!"
Seseorang melambaikan tangan. Sedikit lega Alya menghampiri meja di depan gerobak roti bakar.
"Emangnya hari ini ada program makan gratis ya, Ra?" keluh Alya sambil duduk.
Kiri dan kanannya sudah penuh. Ada Anastasia dan Honey di kiri, dan Fadila di sebelah Aura. Punggung mereka juga sudah rapat dengan teman-teman kelas lain.
"Ih, kamu bener banget!" sahut Aura sambil tertawa kecil. "Kevin, 12 A, tau? Dia lagi ultah dan nraktir semua cewek di sekolah kita."
Alis Alya terangkat. "Semua cewek?"
"Iya, tau kan. Dia semacam playbloy gitu."
"Kemarin dia en de geng," sela Fadila. "Berantem ama anak SMA Harapan Bangsa. Menang, Guys. Jadi sekalian ngerayain gitu."
"Iya," sahut Anastasia. "Harbang emang bebuyutan mereka. Geng Kevin kalah melulu."
Dengusan Alya tertelan kehebohan di gerobak seberang. Beberapa cewek berebut kursi di sebelah seorang cowok.
Aura berkata pelan, "Tuh dia sultannya."
Alya melengos berdiri.
"Pesen dulu ah."
Matanya mencari antrian paling pendek. Sialnya, ada di gerobak tempat para cewek berebut itu.
Alya berbalik langkah ke gerobak paling jauh.
"Mang, batagor kering jangan pedes!"
Disodorkannya selembar lima ribuan. Tiba-tiba ... BYUUUURRR!
Dalam sekejap, ia merasa tubuhnya basah kuyup. Dan dingin. What the ....
Sejenak seisi kantin hening. Kemudian satu per satu tawa keluar. Cowok di depannya terbahak. Kalau Alya tidak salah ingat, dia geng Kevin. Di tangan cowok itu sebuah ember teracung.
"Yang bayar sendiri, dibanjur." Suara di belakangnya membuat Alya berbalik.
Cowok dengan tinggi 180 senti dan rambut model kusut tersenyum lebar. Ia menyodorkan sapu tangan handuk.
"Sori, bukan aku yang bikin aturan."
Seorang cewek menggerutu.
"Tau gitu aku juga bayar. Biar dapet sapu tangan Kevin."
Alya menyentak sapu tangan itu dan menatap Kevin seolah telah bermusuhan sejak invansi tentara sekutu ke Surabaya.
"Kalau butuh baju ganti, dateng aja ke kelas. Aku bawa T-Shirt."
Kevin masih memaku senyum yang terbukti membuat belasan cewek di samping Alya mendesah.
Alya mengelap wajah dan rambutnya, lalu melemparkan sapu tangan itu ke arah Kevin. Sigap cowok itu menangkapnya. Kemudian menyodorkannya kembali.
"Kamu juga boleh bawa ini. Buat kenang-kenangan," katanya tersenyum jahil.
Sambil melangkah pergi, Alya berkata, "Gak mau. Bau!"
*
Bubar sekolah, buru-buru Alya keluar gerbang. Beruntung kini tubuhnya diselubungi jaket panjang milik Ghina. Meski sempat keberatan awalnya.
"Aku gak pede kalo gak pake jaket, Al. Badanku kan oversize gini."
"Duh, Ghin. Aku juga gak pede basah gini. Seragam kita kan putih. Tolong ya? Please ...."
Akhirnya, cewek berkaca mata itu mau meminjamkan jaketnya.
Sedikit aneh tubuhnya dibalut yang bukan miliknya. Apalagi kebesaran. Alya merasa tenggelam dan hanya menyisakan telapak kaki. Bodo amat lha, pikirnya.
Tiiin ... Tiiiiinn ....!
Alya tersentak. Pikirannya kembali ke masa kini. Sebuah motor memotong jalannya dan berhenti mendadak. Ia menatap marah si pengemudi. Baru saja ia hendak membentak, orang itu membuka helm. Menatapnya.
"Naik!"
Alya melotot. "Gak mau!"
"Emangnya kamu mau naik angkot pake baju kedodoran gitu?"
"Ini juga gara-gara kamu!"
"Makanya aku mau tanggung jawab! Naik!"
Beberapa anak menoleh ketika sampai di kata 'tanggung jawab'. Bibir Alya menipis. Ia menggeram. Sambil menyentak kaki, dihampirinya motor Kevin. Ia naik dengan kasar, dan menggunakan ransel sebagai batas dirinya dan cowok itu. Andai ada jurang portable, mungkin Alya akan pakai itu juga.
"Tadi aku kan udah bilang, aku bawa T-shirt. Aku juga bawa jaket." Kevin menolehkan kepala saat berkata demikian.
Alya memberengut.
"Aku juga udah bilang, gak mau. Sapu tangan kamu bau! Siapa tau yang lain juga."
Kevin tak menyahut. Dikebutnya motor sport hitam itu melewati perempatan tepat saat lampu hijau berubah merah.
*
Sesampainya di rumah, tanpa berkata apa pun Alya melompat turun. Ia berlari masuk rumah, menapaki anak tangga menuju kamarnya. Beberapa menit ia di kamar mandi. Membersihkan semuanya seolah hendak membuang sial karena cowok itu.
Baru saja ia selesai berpakaian, pintu kamarnya diketuk. Ia membukanya.
Cowok itu berdiri canggung, mengangkat sekotak pizza dengan lilin di atasnya. Baju seragamnya sudah berganti jins dan T-Shirt.
"Ehm ... Ada yang ngirim ini. Aku gak mau makan sendiri," kata Kevin.
Alya menatapnya datar. Cowok itu makin salah tingkah.
"Anggap aja bayaran yang tadi."
"Jadi menurut kamu, aku dibayar untuk menghibur seisi sekolah?" tukas Alya.
"Eh, bukan gitu. Ng ... Ini sebagai permintaan maaf ...."
"Permintaan maaf yang dibayar orang lain?"
Kevin memutar bola mata.
"Aku gak bisa ngabisin sendirian, oke? Kan udah seharusnya kalo ada rejeki kita saling berbagi?"
"Cis, berandalan ceramah."
Kevin menghela napas.
"Aku udah minta maaf ya tadi. Aku bilang, itu bukan ideku. Waktu liat kamu di kantin aku udah ngejar kamu, mau ngasi tau. Tapi kantinnya penuh. Jadi aja telat."
Alya menatapnya sambil menggigit bibir. Pantas. Ia melihat Kevin sedang dikerubuti cewek, tiba-tiba sudah ada di belakangnya.
Bahu Alya menurun. Sambil menutup pintu kamar, ia berkata, "Oke."
*
Mereka duduk di karpet, menghadap meja kopi. Layar datar 50 inci menampilkan iklan ponsel. Alya mengecilkan volumenya. Api lilin kecil di atas pizza meliuk terembus gerak tangannya saat meletakkan remote.
Kevin menaruh lengannya di meja, menatap lilin sambil menghela napas.
"Setiap tahun, setiap tiup lilin aku berharap hal yang sama," katanya sendu.
Alya hanya bisa menunggu penuh tanya.
"Aku berharap gak lahir. Mungkin dengan gitu Mama bisa bahagia."
"Mama kamu bahagia sekarang," tukas Alya.
"Tapi aku jadi beban papa kamu."
Alya terdiam. Kevin berkata lagi, "Aku juga jadi beban kamu."
"Aku gak bisa bilang 'gak apa-apa' atau apa gitu yang bisa hibur kamu," kata Alya. "Itu bukan aku banget. Tapi kamu bisa tinggal di sini, berarti papa nerima kamu apa adanya."
Kevin terdiam sesaat. "Papa kamu hebat. Mau nerima aku yang anak haram. Anak orang bejat yang merkosa mama di kamar kosnya."
"Gak ada itu anak haram," kata Alya pelan. "Mama kamu juga hebat. Bisa melalui semua fitnah. Itu gak gampang lho."
Sudut bibir Kevin bergerak datar. "Yah, hebat. Bisa ninggalin bayinya di dus tengah malem. Terus menyangkal waktu tetangga bawa bayi itu ke rumahnya. Terus kepaksa nerima karena ancaman pidana."
"Bayi itu juga hebat bisa bertahan 17 tahun."
Kevin mengusap wajah. "Aku pernah mau bunuh diri."
"Tuhan belum mengizinkan kamu menyerah."
Mereka terdiam lagi. Alya mengusap hidung sekilas.
"Papa pernah bilang," katanya. "Orang hebat tumbuh dalam kesulitan."
Tawa Kevin terlompat.
"Gak salah? Kamu barusan muji aku?"
"Biar cepet makan, Dodol! Laper tau!"
Buru-buru Kevin mendorong dus pizza mendekat ke arah Alya.
"Ambil aja," katanya.
Alya mendorongnya lagi sambil menggeleng.
"Gak boleh, harus yang punya duluan."
Sambil berdecak Kevin meniup lilin sekali mati. Kemudian mengambil sepotong pizza dan mendorong lagi dusnya.
Tersenyum Alya menyambutnya.
"Jadi, harapan kamu apa tadi?"
"Gak pake gituan," tukas Kevin. "Nanti aja sepertiga malam."
"Bwahahaha ... Berandal Bertobat."***