"Aku ingin mati" ucapku.
Seharian ini aku sudah menangis di pelukan wanitaku. Hanya dia satu-satunya yang ingin kupamiti. Tapi dia tidak mau aku mati. Kenapa dia begitu egois?
Apapun yang terjadi. Aku tetap mau mati.
Seharian tidur bersama dia. Sebelumnya adalah malam yang menyedihkan. Aku bersikeras menginginkannya untuk terus menemaniku. Sementara ia sepertinya agak enggan.
Rembulan di langit benderang.
Ketika bangun tadi, posisi sama-sama memunggungi satu sama lain.
Dia bertanya kepadaku, "Ada apa setelah kematian?”
“Ya tidak ada apa-apa.”
“Enak kan?”
“Tapi disini masih ada aku , kamu ingin meninggalkanku?”
“Lama-lama kamu akan teralihkan juga oleh hidup.”
“Tapi ada aku. Kamu punya aku. Aku mencintaimu" Ucapnya dengan agak keras.
Wanita ini sungguh egois. Dia seperti sengaja tidak menangkap poinku? atau mungkin dia benar-benar tidak ingin aku mati.
Kuberi tahu, My Lady sangat pintar. Pintar banyak hal. Ia tahu banyak hal, tajam, juga memuaskan. Laki-laki sepertiku tak gampang dipuaskan. Namun ia cukup memuaskan. Setidaknya untukku.
Namun akhir-akhir ini aku tak merasakan cintanya lagi. Meski aku sebenarnya juga tidak begitu percaya dengan cinta. Hanya saja tak tahu lagi membahasakannya sebagai apa. Dan menurutku, suatu hubungan itu seharusnya tidak perlu untuk diberikan nama.
Setelah perdebatan yang melelahkan, dia pun tidur dan tidak mau memperdulikanku lagi.
Aku menangis 1 jam penuh didekatnya. Berjongkok, memunguti sisa-sisa harga diri yang tercecer di kasur. Dan setelah mendekapnya erat-erat, aku putuskan untuk pergi.
••••••
Sebenarnya keinginanku untuk mati bukan karena dia. Akan konyol jika laki-laki sepertiku mau mati hanya karena cinta. Namun, cukup konyol juga laki-laki sepertiku bisa punya keinginan untuk mati.
Aku sayang wanitaku.
Kupuja semua yang ia punya. Kupuja alisnya yang seperti busur panah, hidungnya yang mancung, setiap letak tai lalatnya, giginya yang kecil, rambutnya yang lebat, kulitnya yang agak gelap tapi halus, pupil matanya yang begitu hitam, jarinya yang lihai, pemikirannya yang tajam, hatinya yang lembut, senyumnya yang paling indah di dunia ini, tubuhnya yang kucinta. Tiap ada kesempatan, selalu kuciumi tubuhnya yang indah itu.
Dia memang pantas dicintai. Sedangkan aku, pantas ditinggalkan. Dan aku sangat memahami itu. Maka dari itu, ku persilakan ia lakukan apapun. Bisa saja nanti aku akan muak. Tapi bisa saja tidak.
“Tatap mataku dan temukan telaga. Di sana ada puluhan mayat wanita mengambang sehabis tenggelam. Aku tak mau wanitaku yang sekarang ikut tenggelam. Dia terlampau sempurna untuk kutenggelamkan".
Selain wanitaku, aku juga dekat dengan seorang wanita, aku kerap berdansa dengannya, seorang perempuan tinggi berambut panjang bergelombang.
Aku mencarinya, ingin berpamitan. Dan setelah bertemu dengannya, aku meminta berdansa untuk yang terakhir kalinya.
“Aku mau meninggal,” kataku.
“Kamu yakin?”
“Aku selalu yakin kan?”
“Tapi kamu selalu tertahan oleh banyak hal, maksudku wanitamu yang sempurna itu".
“Sekarang sepertinya tidak ada.”
“Sudah tahu mau mati dengan cara apa?”
“Gantung diri.”
“Bagus.”
“Sebenarnya aku takut.”
“Takut apa?”
“Takut sakit.”
“Aku kira takut neraka.”
“Hahaha, kamu cukup menghibur.”
“Takut mana dengan hidup?”
“Keduanya” kataku dengan jelas.
“Hati-hati,” katanya sembari tersenyum.
“Apa aku laki-laki yang buruk?”
“Lumayan.”
“Aku memang pantas mendapatkan yang buruk-buruk,” kataku. Air mata yang mendesak keluar kutahan.
“Tidak sejauh itu juga sih.”
“Tapi aku jahat.”
“Lumayan.”
“Sebenarnya aku takut mati.”
“Lalu?”
“Aku takut sakit. Tapi ingin. Sebenarnya aku inginnya dimatikan saja. Sudah berdoa macam-macam tapi Tuhan tak mau kabulkan.”
“Bagaimana dengan aku?”
“Hah? memangnya kenapa denganmu?”
“Aku pasti sedih, akan luar biasa sedih" ucapnya.
"Kamu perempuan paling ikhlas dan paling kuat sedunia, selama ini saja kamu sudah bertahan sebagai simpananku."
"Meski begitu, aku yakin, aku tidak akan kuat kali ini."
Aku menghentikan tarianku bersamanya. Kami duduk di kursi didekat jendela.
“Aku sudah muak, aku tak mau merepoti dan merugikan orang lain lagi."
“Terima kasih untuk semuanya,” kataku sambil tersenyum dengan tulus, dan beranjak untuk pergi.
“Aku akan merindukanmu.” tegasnya.
“Aku juga. Kita bertemu di kehidupan lain.”
“Sampai jumpa.”
Kita lalu berciuman. Lama. Lama dan nikmat sekali. Lalu aku pergi untuk selamanya. Selama-lamanya.
#MangRen