CERPEN
Elok Paling Menyakitkan
Oleh: Siyuk Sie
Kakiku tak pernah jemu melangkah ke rumahmu, meski dirimu telah lama tak lagi tinggal di situ. Menatap nanar dari kejauhan, sebuah rumah yang dulu sering kudatangi. Kali ini, ibumu duduk bersandar di teras. Tubuhnya yang kian renta menyiratkan lamanya waktu yang telah berlalu.
"Gadis bodoh."
Pasti itu yang kamu gumamkan sekarang. Aku memilih berbalik seraya kembali melangkah membawa seikat bunga lili putih di tangan.
"Lihatlah! kamu masih saja terbaring disana," ucapku sembari meletakkan bunga yang kubawa.
Masih kuingat kala kita berdebat tentang bintang. Dahulu kukira, bintang selalu ada untuk menemani sang bulan. Ternyata, aku salah, bintang makin jarang terlihat. Kurasa, memang pendapatmu yang benar. Kuizinkan jika ingin mengejekku namun nyatanya hanya embusan angin yang menerpa. Langit begitu cerah, awan bergumul di angkasa. Seolah membentuk garis lengkung menyerupai wajahmu, leburkan rindu yang menggunung, aku tersenyum.
"Apa yang sedang kamu lakukan Nathan?"
Bertahun-tahun yang lalu, hujan lebat mempertemukan kita. Layaknya adegan film yang romantis. Hujan menahanmu bersamaku, berteduh di depan pertokoan yang tutup. Matamu tak berkedip saat melihatku, membuat pipiku memerah, tersipu malu. Sebelum akhirnya, kamu berani menanyakan namaku. Hujan selalu menyimpan kenangan manis untuk kita namun sekarang, yang kuinginkan hanyalah malam bertabur bintang karena katamu, saat itulah kamu sedang memandangiku.
Cincin pemberianmu masih melingkar di jari manisku serta manisnya janjimu, masih teringat jelas di otakku. Katamu, setelah aku bergelar sarjana, pernikahan kita akan segera di selenggarakan namun ternyata, kamu bahkan tidak datang saat gelar itu berhasil kusandang. Lebih dari kecewa, kamu memutuskan hubungan secara sepihak. Aku yang tak tahu apa-apa, hanya bisa menangis semalaman. Terlebih, kamu menolak untuk memberi penjelasan kecuali ucapan bahwa sudah tak ada lagi perasaan untukku. Bagai bulir bunga ilalang yang bertaburan. Terhempas angin tanpa memiliki kendali diri. Aku pun mulai hilang kendali, terpuruk bergumul luka yang hadir tanpa permisi.
Kupikir, tak lama lagi, sebuah undangan akan datang. Kupikir, kamu pasti memiliki pilihan lain tapi yang terjadi, sama sekali tiada kabar. Menghilang tanpa jejak, bak ditelan bumi. Sedikit pun tidak ada rasa peduli.
Bertahun-tahun, aku hidup dalam kebencian. Semua bungkam, tak satu pun dari saudaramu yang berkenan memberiku penjelasan. Bahkan, kedua orang tuamu hanya menepuk pelan pundakku sembari memintaku kembali pulang.
"Lanjutkan hidupmu Jihan! maafkan Nathan!" pinta ibumu sembari menyeka air matanya.
Akhirnya, aku menyerah, berhenti mencari penjelasan, memilih menyendiri guna menyembuhkan diri. Hingga pada suatu malam, kuterima panggilan dari nomer yang tidak ku kenal.
"Benarkah?" benakku saat itu.
"Jihan."
"Suara ini.."
"Nathan, ini aku Nathan, bagaimana kabarmu?"
Mataku membulat, kerongkonganku serasa tercekat. Kamu menghubungiku setelah menghilang lebih dari dua tahun. Mencampakanku tanpa iba dan sekarang, kembali menyapa seolah tidak pernah terjadi apa-apa. Ingin sekali memakimu namun yang terlontar hanyalah isakan dari air mata yang tak bisa kutahan.
"Jihan, jangan menangis!" ucapmu di ujung panggilan.
Suaramu begitu lembut menyapa pendengaranku. Suara yang telah begitu lama menghilang. Sangat nyata, seolah kita tengah berhadapan sekarang.
"Apa maumu? minta maaf? sudah sangat terlambat Nathan," jawabku dengan nada bergetar.
"Aku senang dapat mendengar suara yang kurindukan."
"Berhenti bersandiwara! kita berdua tahu, apa yang telah kamu lakukan padaku."
Keadaan hening sesaat.
"Kamu benar, aku ingin meminta maaf."
"Jelaskan!"
"Tidak sekarang tapi aku janji akan memberimu penjelasan suatu hari nanti."
"Nathan cukup! aku sudah tidak butuh."
"Baiklah, aku memahami rasa sakitmu. Aku sungguh berharap, kamu bisa hidup dengan baik."
"Tentu saja aku bisa."
Terdengar tawa kecil yang sangat kurindukan.
"Kabarnya, pekerjaanmu berjalan dengan lancar, aku turut senang."
"Kamu-kamu masih mencari kabar tentangku?"
"Emm... itu.. sudah malam, sebaiknya kamu istirahat. Terima kasih untuk semuanya."
"Nathan!"
Itulah percakapan terkahir kita sebelum kabar mengejutkan kudengar di bulan berikutnya.
Adikmu Lisa, mendatangiku di tempat kerjaku. Hanya untuk menyerahkan sebuah kotak kecil berisikan surat hasil tulisan tanganmu.
"Ini jawaban atas penjelasan yang kamu minta selama ini," ucapnya saat itu.
Suratmu membuat air mataku berlinang untuk yang kesekian kali. Di samping pusaramu, rasa sesal bercokol di dada. Begitu banyak kebohongan yang kamu lakukan. Demi kebaikanku, begitu yang tertulis di suratmu. Nathan, ini jauh lebih menyakitkan.
Masih kuingat saat kamu meminta, pertunangan kita dipercepat. Ternyata, kamu takut takkan mampu mewujudkan pertunangan hikmat yang ku idamkan. Dalam suratmu, kamu telah mengetahui perihal penyakitmu. Suatu hari, kamu bilang, ada tugas di luar kota, nyatanya, tubuhmu tengah tergolek lemah di Rumah Sakit. Inilah kebohongan pertamamu. Sengaja menyembunyikan penyakitmu dariku.
Kamu yakin, sakit itu akan pergi. Bahkan, beberapa kali, bertolak ke luar negeri, namun takdir berkata lain. Kamu termenung cukup lama kala pertama kali rambutmu rontok akibat kemoterapi, saat itulah semangatmu menghilang. Seolah menarik diri, pertemuan kita makin jarang.
"Fokus saja pada skripsi mu! aku tidak ingin, kamu gagal."
Selalu itu yang kamu ucapkan untuk menenangkan keresahan ku, yang mana sebenarnya, kamu tengah menimbang untuk meninggalkanku. Kamu pikir, meninggalkanku adalah pilihan terbaik. Kamu tak ingin melihatku sedih apalagi menyia-nyiakan waktuku untuk seseorang yang tak lama lagi akan mati. Dengan sengaja memutus hubungan tanpa sebab, Membuatku membencimu dengan harapan, aku dapat melanjutkan hidup tanpa memikirkanmu.
****
_Aku tidak ingin kamu menangis._
_Aku tidak ingin kamu bersedih._
_Apalagi melihatmu terpuruk._
_Karena aku, sudah tak bisa menyeka air matamu._
_Tak bisa lagi menghiburmu, apalagi memelukmu._
_Maafkan caraku yang mungkin salah di matamu._
_Hiduplah dengan bahagia, karena hanya dengan begitu, aku bisa tenang meninggalkanmu._
_Layaknya Mentari yang akan pergi bersama datangnya senja._
_Pertemuan kita pun pasti ada akhirnya._
_Jika suatu hari, rindu datang menghampiri._
_Lihatlah bintang paling terang._
_Itu aku yang tanpa jemu memandangimu._
Inilah sepenggal suratmu yang menguras air mataku. Meski tiga tahun telah berlalu, ternyata hatiku masih enggan melepasmu. Masih terduduk di samping pusaramu, berteman angin dan sepinya hati.
"Nathan, betapa bodohnya keputusanmu. Aku berhak menemanimu. Tahukah kamu, betapa berharganya tiap detik kebersamaan kita? Bagaimana bisa kamu tanggung sendirian? katamu, demi kebaikanku. Nyatanya ini menyakitiku."
Aku mendengus.
"Pusaramu selalu ada bunga segar, kurasa ibumu pun belum mampu merelakanmu."
Kini, aku mengerti, perihal bintang yang tak selalu muncul kala bulan bersinar. Perihal cinta mendalam hingga memunculkan kekuatan untuk merelakan. Menahan sakit demi kebahagiaan orang terkasih. Meski jauh di lubuk hati ini, masih sering mengucap harap. Andai waktu dapat di putar. Tidak akan aku percaya, setiap kata menyakitkan yang terlontar dari bibirmu. Akan kuhabiskan lebih banyak waktu bersamamu. Menemani di setiap laramu. Berharap penyesalan tak akan terjadi seperti sekarang.
"Nathan lihatlah! betapa menyedihkannya diriku tanpamu."
💘 TAMAT 💘
Find Me On IG gaess = @siyuk_sie_orchid
Terima Kasih 😘😘😘