Bunga Mawar
Lastri duduk termenung di depan kebunnya yang porak poranda. Entah siapa yang membuatnya menjadi rusak. Pot - pot dari tanah liat yang tertata apik dengan beberapa bunga kesukaannya pecah. Tanaman mawar, lily, anggrek, bougenville, semua rusak.
Lastri menatap nanar, air matanya telah luruh sejak dua jam lalu. Lastri berulang kali menyusut hidungnya yang berarir. Baginya kebun kecil ini sama dengan hidupnya, inilah peninggalan ayahnya yang terakhir.
Ayahnya, Sastro Wardoyo memberikan kebun kecil kepada Lastri saat ulang tahunnya yang kesepuluh. Bunga pertama yang ditanam adalah bunga mawar.
Ayahnya pernah berkata bahwa seorang gadis kelak akan mempunyai cinta kepada lawan jenis layaknya seperti bunga mawar. Cinta iti indah, elok, cantik, wangi tetapi ketika batangnya digenggam erat, durinya akan menusuk dan menyakiti si penggenggam.
Lastri tertunduk lesu, memandang pojok kebun mawarnya yang sudah hancur, batang mawar dan kelopak yang indah yang tadi pagi yang sempat dikaguminya rusak.
" Rasakan, Lastri. " ucap seorang tersenyum sinis ketika melihat gadis itu masih terduduk di tanah sambil menangis tersedu.
" Gara - gara kau, aku ditolak oleh mas Fajar. Kau yang selalu membanggakan kebunmu yang cantik, bunga mawarmu yang subur, yang kemarin dipesan Direktur Rumah Sakit untuk isterinya, yang dipakai di acara pernikahan si A, ... akh Lastri ..Lastri sekarang kebun bunga mawarmu sudah ku hancurkan. Kau lihat, aku yang menang. Kau tak akan bisa membanggakan mawarmu kepada Mas Fajar. Karena Mas Fajar hanya milikku. " umpat Niah dari balik pohon mangga dengan senyum penuh kemenangannya setelah memgjancurkan kebum mawar milik Lastri.