Langit cerah berwarna biru mulai tergantikan dengan dengan rona berwarna oranye kebiruan. Senja di depan mata, seorang perempuan duduk diam sambil menatap pemandangan indah tersebut ditemani kopi hitam favoritnya. Sampai lamunannya buyar kala mendengar suara dering ponsel yang begitu nyaring.
Melihat nama yang muncul dilayar, wanita itu hanya tersenyum dan memilih meletakkan ponselnya lagi tanpa berniat menjawab panggilan tersebut.
Mayra Anastasia, perempuan berusia 25 tahun. Tidak terlalu cantik tapi terlihat begitu manis, namun kebaikan dan sikapnya yang ramah membuat semua orang gampang akrab dengannya.
Kembali ponselnya berdering tanda pesan masuk. Tangannya menyahut dan membaca pesan tersebut sebelum mengetikkan jawaban.
Sekitar pukul tujuh malam. Mayra datang ke sebuah cafe yang tidak terlalu ramai, matanya mengelilingi sekitar mencari meja dan mendekatinya.
“Sorry, udah nunggu lama ya,” ucap Mayra kepada seorang laki-laki yang telah duduk di sana.
“Tenang. Aku juga baru datang kok,” sahut laki-laki tersebut dengan ramah.
Mayra mengangguk kemudian menyeret kursi di depan laki-laki tersebut.
“Tumben banget jam segini kok udah free? Biasanya tengah malam.”
“Lagi nggak ada kerjaan, May.”
Setelah memesan minuman dan beberapa camilan, keduanya melanjutkan obrolan dengan ringan. Sesekali tertawa dan saling tersenyum dengan begitu manis.
Mereka bukan sepasang kekasih. Laki-laki di hadapan Mayra saat ini adalah seseorang yang sudah berstatus sebagai suami perempuan lain.
Awalnya mereka berkenalan beberapa tahun yang lalu di sebuah sosial media, bertemu dan menjalin persahabatan hingga saat ini.
Tidak ada yang spesial dari hubungan keduanya. Karena memang Mayra dan laki-laki tersebut hanya bertemu untuk nongkrong dan bercerita dan tentang banyak hal. Tidak pernah ada hal yang lebih dari itu. Tapi laki-laki itu lupa bahwa perasaan perempuan itu begitu lembut dan mudah sekali luluh dengan banyak perhatian.
Laki-laki itu adalah sosok malaikat dalam hidup Mayra. Dia selalu membantunya dalam hal apa pun bahkan soal materi di saat Mayra dalam masalah.
Diam-diam Mayra menaruh hati pada laki-laki tersebut.
“May, kalau nikah jangan lupa undangannya ya.” Perkataan laki-laki tersebut membuat Mayra tersentak.
“Apa?”
“Nikah May. Kawin!”
“Siapa?”
“Ya kamu, masa aku mau nikah lagi,” candanya dengan tawa pelan.
“Kali aja kamu mau nikah lagi. Aku mau daftar jadi calonnya.” Perkataan itu yang keluar dari dalam hati Mayra. Tapi bukan itu yang keluar dari mulutnya. “Belum ketemu yang cocok,” jawabnya sambil menyeruput capuccino dalam gelasnya.
“Mau aku kenalin temenku nggak? Dia baik, kali aja kamu cocok.”
“Mau jadi mak comblang? Sorry, aku nggak minat,” sahut Mayra dengan ketus.
Laki-laki itu memandangnya dengan senyum menggoda. “Dia tampan, May. Cocoklah dibawa ke kondangan.”
“Terserah,” sahut Mayra dengan wajah sebal.
Sudah sering kali laki-laki itu menggodanya untuk dikenalkan pada sahabatnya. Tapi Mayra selalu menolak dengan berbagai alasan.
Karena yang diinginkan Mayra hanyalah laki-laki itu.
Sekitar pukul sepuluh malam, mereka memutuskan pulang. Sebelum itu, laki-laki itu masuk ke dalam mobilnya dan terlihat membawa paper bag yang langsung diulurkan ke arah Mayra.
“Nih oleh-oleh yang kamu minta.”
“Wih beneran dibeliin. Padahal aku cuma bercanda,” sahut Mayra.
“Udah, pulang sana. Gak baik anak gadis masih keluyuran jam segini.” Sambil mengusap rambut Mayra yang tergerai.
Mayra mencebikkan bibirnya dengan kesal karena ucapan laki-laki tersebut.
“Kamu berani pulang sendiri, kan? Atau mau dikawal seperti biasa.”
Mayra melihat jam tangannya. Kemudian menggeleng pelan. “Masih jam segini. Nggak usah, jalanan masih rame.”
Kemudian mereka berpisah untuk pulang ke rumah masing-masing.
Malam semakin larut, Mayra tidak bisa tidur. Ia masih berkirim pesan dengan laki-laki yang baru saja ditemuinya beberapa jam yang lalu.
Membahas sesuatu hal yang tidak penting sering kali mereka lakukan untuk mengisi waktu luang.
Kebaikan, perhatian dan segala bentuk sikap laki-laki itu diam-diam membuatnya tertarik, jatuh hati dan pada akhirnya memendam perasaan terlarang.
Tanpa diketahui siapa pun, Mayra mencintai laki-laki tersebut. Walaupun ia sadar perasannya salah, namun hati begitu mengkhianati.
Detik demi detik berlalu, hari berganti, minggu berlalu dan bulan terus berlanjut. Hubungannya dengan laki-laki tersebut masih terjalin. Berkirim pesan, nongkrong dan beberapa kali melakukan trip perjalanan dengan komunitas.
Mayra menggelengkan kepala keras saat perasaan ingin memiliki mulai ada dalam hatinya. Ia ingin laki-laki itu. Sisi jahat dalam dirinya menggoda namun akal sehatnya masih berguna.
Berkali-kali Mayra meyakinkan diri bahwa apa yang akan dilakukan tidak baik. Ia tidak mau merebut, mengambil atau apa pun yang bukan miliknya.
Menangis, meraung bahkan memaki dirinya sendiri sudah dilakukan.
Sampai pada akhirnya, Mayra menyatakan bahwa ia akan pergi untuk beberapa waktu. Mayra dan laki-laki tersebut bertemu di malam minggu. Ini mungkin akan menjadi pertemuan terakhir mereka.
“Kok mendadak, May?”
“Iya, urusan pekerjaan.”
“Berapa lama?”
“Nggak tahu. Bisa enam bulan atau satu tahun.” Atau mungkin selamanya, lanjut Mayra dalam hati.
“Hati-hati di mana pun kamu berada ya, May. Kabari aku jika kamu butuh sesuatu. Tetap saling berkabar dan jangan melupakan aku.” Laki-laki itu berbicara tanpa menatap wajahnya.
Mayra hanya mengangguk sebagai jawaban. Ia memalingkan wajah untuk menghindari tatapan mata laki-laki itu. Untuk yang terakhir kalinya, biarkan ia memandang dan menyimpan potret wajah laki-laki itu dalam ingatannya.
Ketika perasan itu mulai membuncah dan tak tertahan, Mayra memutuskan untuk menjauh sebelum perasaan itu membuatnya gila.
Bahkan untuk terakhir kalinya, Mayra beranikan diri memeluk laki-laki tersebut dengan erat. Mencium aroma tubuhnya untuk yang terakhir kali sebelum perpisahan itu terjadi.
Malam semakin larut, Mayra sudah mengemas beberapa keperluan yang akan dibawa ke dalam koper dengan tetesan bening yang mengalir membasahi pipinya begitu saja tanpa bisa dicegah.
Setelahnya, Mayra memutuskan istirahat. Namun mata itu enggan terpejam.
“Maafkan aku yang telah dengan lancang mencintaimu tanpa izin. Maaf karena perasaan itu berkembang begitu cepat tanpa disadari. Ini memang gila dan aku tidak mau menyeretmu ke dalam pusaran perasaan terlarang ini.” Mayra menatap langit-langit kamarnya sebelum memaksa matanya terpejam.
Mayra pergi dengan membawa kenangan bersama dengan laki-laki tersebut. Menjauh dengan segala perasaan sesak yang luar biasa menyerbu dadanya.
Untuk yang kesekian kalinya. Mayra Anastasia harus kembali terluka sebelum memulai.
Mencintai laki-laki beristri adalah keputusan. Tersakiti adalah pilihan sebagai konsekuensi yang harus ditanggung.