Selalu hidup dengan bergelimang harta, tak membuatku bahagia. Aku lebih memilih menjadi miskin dan kaya akan kasih sayang daripada bergelimang harta, tapi tak sekalipun aku merasakan kasih sayang.
Plak!
Tamparan keras mendarat mulus di pipiku, aku hanya meringis dan memegang erat pipiku. Perempuan yang menamparku adalah Ibuku sendiri, Wulan.
Setiap hari, hanya merasa kehampaan dan kesepian, tak pernah sekalipun merasa bahagia. Selalu di tuntut menjadi nomor satu dan hebat di segala bidang. Aku muak, kesal dan marah, ketika melihat orang-orang disekitarku bahagia, dengan keluarga mereka.
Saat SMP, di hari kelulusan semua orang tua datang dan memberi semangat pada anak mereka masing-masing. Aku? mendapatkan nilai sempurna dan menjadi juara umum, tapi tetap tidak ada yang datang untukku. Mama? Papa? semua sibuk dengan pekerjaan mereka, padahal mereka yang menuntut agar mendapatkan yang pertama.
Saat SMA, aku menjadi bruntal. Membully, menyiksa dan memalaki anak-anak di sekolah.
Plak!
Aku menampar keras wajah perempuan seumuranku, menatap jijik sorot matanya yang meminta ampun dan mendengar mulutnya mengatakan pertolongan pada kedua orang tuanya.
"Mama... hiks Papa."
"Cih, Gue muak."
Setiap hari, Aku semakin bandel dan melakukan banyak sekali masalah. Membully, bolos dan tak mengerjakan pr. Mungkin, dengan begini kedua orang tuaku sadar bahwa Aku tak selamanya bisa menjadi nomor satu dan sangat membutuhkan kasih sayang mereka.
Salah! Semua salah besar, kedua semakin benci dan memaksaku. Di sekolah aku semakin benci diri sendiri dan meluapkan semuanya, menjadi jahat dan bengis.
"Lo enggak usah cengeng, Lo kira nyokap, bokap Lo bakalan nolongin lo, hah!" bentakku, melihat siswi perempuan yang menangis tersedu-sedu akibat ku tampar dan ku siksa.
Dihukum, di marahi dan diskor suka jadi makanan sehari-hari. Kedua orang tuaku juga semakin gencar, menyiksaku karena semua nilai, sikap dan sifat ku yang berubah drastis.
"Bukankah ini yang kalian mau! ini, ambil semua!" teriakku, melempar semua piala, sertifikasi penghargaan, piagam dan rapot yang berisi semua kemenangan dan kepintaranku dari SD hingga SMP.
Semua hancur, piala terbelah dan sertifikasi robek. Aku tak lagi memikirkan itu semua, aku muak dan jijik berada di rumah yang membuatku merasa lebih baik mati daripada hidup.
Plak!
Bugh!
Tamparan juga tendangan mendarat begitu saja, Aku tak menangis, tapi gentar sedikitpun. Aku sudah kehilangan air mata dan rasa takutku.
Mulai saat itu, Aku berubah 180°. Aku tak lagi meraih prestasi, tak lagi jadi anak teladan dan tidak lagi masuk sekolah. Aku pergi, dari rumah maupun sekolah. Menjadi preman yang akan menyiksa setiap anak yang bahagia dan membantu semua anak yang tersiksa.