Prang!
“Anj*ng! Taunya Cuma minta duit aja! Dasar perempuan nggak berguna! Nyesel aku kawin sama kamu!”
“Baj*ngan! Kamu yang nggak guna! Kamu pikir aku bahagia kawin sama kamu? Hah?! Aku menyesal! Menyesaaal!”
Plak!
“Bangs*t!”
Bruk!
“Berengsek! Dasar Perempuan sial!”
Arrrgh ... another day in hell.
Ini baru pukul tujuh pagi. Tidak bisakah mereka membiarkan aku menikmati akhir pekan yang tenang? Benar-benar sialan.
Aku menutup pintu rapat-rapat dan mengeraskan volume musik yang mengalun dari ponsel. Lagu yang dinyanyikan oleh Big Bang—salah satu boyband favoritku—seketika bergema dalam ruangan pengap ini. Aku menatap nanar pada poster beberapa boyband asal Korea yang memenuhi dinding kamar, satu-satunya hiburan yang aku miliki.
Sejauh yang dapat kuingat, pertengkaran semacam ini sudah berlangsung sejak aku dapat berbicara, membuatku mengira itu adalah hal yang wajar. Kupikir semua orang tua melakukannya ... kau tahu, saling memaki, saling memukul, membanting barang-barang, lalu diakhiri dengan derai air mata dan isak tangis hingga penghujung malam. Itu semua terasa normal untukkku.
Kemudian ketika aku beranjak dewasa, aku sadar satu-satunya sumber keributan yang memancing rasa ingin tahu para tetangga adalah rumahku. Hanya rumahku. Setiap kali aku ke kios kecil di ujung jalan atau berangkat ke sekolah, beberapa dari mereka menatapku dengan sorot yang ... entah, aku tidak ingin mencari tahu apa arti tatapan mereka. Satu hal yang pasti, diam-diam mereka menertawakan kami—aku dan kedua orang tuaku.
Drrrt.
Ponsel di atas meja bergetar, membuat lagu yang menggema terjeda untuk sesaat. Aku memeriksa layar dan tersenyum ketika membaca pesan yang masuk dari Abian, kakak kelas yang sudah lebih dulu kuliah di salah satu universitas ternama di kota ini.
[Hey, Babe. I miss you]
Dengan cepat jemariku menari di atas layar ponsel, mengetik balasan untuk laki-lakiku.
[Miss you too ... so much]
“Nadin! Keluar kamu! Dasar anak sial! Bisanya cuma nyusahin orang tua!”
Buk!
Buk!
Buk!
Aku mendesah pelan dan menutup mata. Jika ibu sudah berani menggedor pintu kamar dan berteriak seperti itu, tandanya ayah sudah pergi. Kini ia bisa melampiaskan semua kekesalan dan amarahnya padaku. Kau tahu ... predator selalu mencari mangsa yang dianggap paling lemah, bukan? Ayah meneriaki dan memukul ibu, wanita itu meneriaki dan menganiaya aku. Lingkaran setan yang sempurna.
Drrrt.
Masuk lagi pesan dari Abian.
[Come, Baby. Aku kosong hari ini]
[Stay there. Jangan ke mana-mana]
Shit. Sebentar lagi ujian kelulusan. Aku harus harus belajar ekstra keras kalau mau keluar dari tempat yang tidak layak disebut rumah ini. Setidaknya dengan ijazah SMU, aku bisa mencari pekerjaan. Menjaga toko atau apa pun, yang penting aku bisa pergi dari neraka ini.
Tanpa membuang waktu, aku membereskan buku-buku pelajaran dan memasukkannya ke dalam sebuah ransel hitam, disusul beberapa potong pakaian ganti dan baju seragam. Kumatikan pemutar musik di ponsel, lalu memesan ojek online.
“Nadiiin! Keluar kamuuu, Anak Setaaan!”
Aku memakai jaket hijau army yang warnanya sudah mulai pudar, mengantongi ponsel dan meraih ransel yang tergeletak di atas ubin. Setelah menarik napas panjang dan mengembuskannya kuat-kuat, aku memutar anak kunci dan menarik handle pintu.
Brak!
Pintu terempas karena ibu memukulnya dengan cukup keras.
“Sialan kamu, ya! Pura-pura tuli? Hah!”
Aku mengabaikan teriakan wanita yang tidak layak kusebut ibu itu dan langsung berjalan menuju pintu depan. Namun, aksi diamku justru membuatnya muntab, seperti yang sudah-sudah.
“Nadin! Mau ke mana kamu? Keluyuran aja kerjamu! Dasar anak gak berguna! Nyesel aku lahirin kamu!”
Langkah kakiku terhenti di dekat pintu. Kedua tanganku mengepal dengan sangat kuat hingga dapat kurasakan seluruh tubuhku gemetaran.
Aku berbalik, menatap lurus ke mata ibu dan berkata, “Nadin juga nggak pernah minta dilahirin, Bu. Nggak pernah. Kalau tahu bakal punya keluarga kayak gini, mending gak usah dilahirin sekalian.”
“Anak sial! Berengsek kamu! Durhaka kamu berani ngelawan ibu!”
Plak!
Tamparan itu membuat pipiku terasa panas, tqpi tidak masalah. Aku sudah pernah mengalami yang lebih buruk dari sekedar tamparan. Tanpa mengatakan sepatah kata pun lagi, aku melangkah keluar.
“Mending dulu aku bunuh aja kamu pas baru lahir! Harusnya kucekik kamu sampai mati! Anak pembawa sial!”
Entah sudah berapa kali aku mendengar umpatan seperti itu. Ah ... mungkin memang seharusnya ibu mencekikku saja waktu itu.
“Pak!” seruku sambil melambaikan tangan kepada ojek online yang kupesan.
Aku naik dan duduk di jok belakang, mengabaikan rintik-rintik air yang mulai menetes dari mendung yang menggayut.
“Jalan, Pak,” pintaku tanpa menoleh lagi.
“Pergi sana! Minggat kamu! Biar diperkosa sampai mati, Anak Jahanam!”
Aku masih bisa mendengar teriakan itu. Teriakan yang terus berdengung dan menggema dalam kepalaku. Pandanganku mengabur. Pelupuk mata terasa memanas. Meski begitu, aku tetap berusaha tegar. Jangan sampai air mataku jatuh di hadapan para tetangga sialan yang hanya bisa berbisik-bisik dari balik pagar rumah mereka.
Aku membenci ayah. Aku membenci ibu. Aku membenci tetangga-tetangga sialan itu. Aku membenci hidupku. Aku membenci semuanya!
Kecuali Abian. Dia berbeda. Dia selalu bisa membuatku merasa dicintai. Hanya Abian satu-satunya pria yang bisa mengerti dan memahamiku.
***
“Mereka bertengkar lagi?” tanya Abian begitu aku tiba di halaman kontrakannya.
Aku mengangguk lesu, lalu mengambur ke pelukannya dan menangis tanpa suara.
“Shhh ... tenanglah. Ada aku.”
Pemuda beraroma mint itu menyugar rambut ikalnya sebelum menuntunku masuk, langsung menuju petakan kedua yang menjadi kamarnya.
“Jangan menangis lagi ... ada aku di sini,” gumam Abian pelan.
Dia menahan ujung daguku dan mengusap bulir-bulir bening yang menetes di pipi. Tatapannya yang tajam dan teduh memerangkap jiwaku. Napas hangatnya menerpa wajahku ketika dia mendekat, mencecap sisa-sisa air mata yang tertampung di sela bibir.
“Asin,” bisiknya lagi sebelum lidahnya menelusup masuk.
“Umh.”
Aku mengerang pelan telapak tangannya yang kokoh dan hangat menelusuri punggung, bergerak naik dan menekan leherku untuk memperdalam ciuman kami. Ia melakukannya hingga kami sama-sama terengah karena kehabisan napas.
“I love you, Babe,” ujar Abian seraya membaringkanku ke atas kasur, lalu mulai melucuti pakaianku.
Sorot matanya dipenuhi gairah ... juga cinta ....
Ujung-ujung jarinya seperti memercikkan api ketika menyentuhku. Api yang membakar kami dalam tarian yang panas dan liar.
Inilah satu-satunya bahasa cinta yang aku tahu. Aku bersedia karena aku mencintainya. Bersama Abian, semua terasa indah ... terasa menyenangkan. Menenangkan ....
“Love you too, Bi ....”
Rintik di luar menderas, menjadi titik-titik air yang memukul-mukul atap dan jendela. Sementara di dalam sini, semua rasa sakitku berubah menjadi jutaan kupu-kupu yang berputar-putar pada satu titik, lalu meledak dan membawaku terbang menuju bintang-bintang.
***
[Aku akan menunggumu di Red Room Cafe, Bi. Seperti biasa]
Setelah mengirim pesan untuk Abian, aku mematut diri di depan cermin. Kaos oblong hitam dan celana jeans belel yang kupakai terlihat sedikit kebesaran. Rupanya bobot tubuhku merosot cukup drastis. Belajar ekstra keras untuk menghadapi ujian, juga pertengkaran ayah dan ibu yang semakin hebat setiap hari membuatku hampir gila. Aku pasti gila kalau terus-terusan seperti ini.
Setelah memoles bekas lebam di pipi dan leher dengan bedak, aku menarik napas dalam-dalam dan membuka pintu kamar.
“Masih berani keluar kamu?!”
Teriakan ibu menyambutku di ruang tamu yang berantakan. Aku berhenti dan mengamati sekilas. Penampilan ibu sama suramnya dengan warna cat di ruang tamu yang sudah mengelupas di sana-sini.
Rumah yang sudah kutempati selama 17 tahun ini benar-benar tidak layak disebut tempat tinggal. Bahkan hewan pun sepertinya enggan berlama-lama di sini. Aku menghela napas dan kembali melangkah.
“Nadin! Kamu makin kurang ajar! Pembangkang! Anak nggak tahu diri!"
Sepertinya ibu benar-benar murka karena aku mengacuhkannya.
“Argh!”
Aku memekik keras ketika jemari ibu menjenggut rambutku sekuat tenaga, membuatku terhuyung dan hampir menabrak lemari yang sama usangnya dengan jalan hidupku.
Sepertinya beberapa helai rambutku tercerabut. Aku meringis dan mengusap kepala, lalu melirik tangan ibu teracung di udara. Aku bisa melihat dia mengumpulkan seluruh kekuatan dalam kepalannya sebelum menghantamkannya ke tubuhku, seperti kemarin.
Wanita serupa monster itu mendelik dan berteriak, “Berani kamu keluar dari rumah ini, jangan pernah kembali lagi! Mengerti! Jangan pernah kembali!”
Untuk pertama kali dalam hidupku, aku meraih tubuh yang menegang karena amarah itu dan memeluknya. Aku mendekap ibu erat-erat tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Aku lelah. Terlalu lelah untuk berdebat, atau marah ... atau apa pun.
Setelah menghitung sampai lima dalam hati, aku mengurai pelukanku dan berjalan keluar, meninggalkan ibu yang mematung di dekat pintu. Kepalan tangannya terkulai begitu saja, seperti potongan benang kusut yang tersiram air.
Aku sungguh kasihan padanya. Wanita malang yang terjebak dalam nerakanya, lalu menyeretku bersamanya. Akan tetapi, aku tidak mau selamanya tinggal di sini. Aku tidak mau menjadi seperti ibu.
Ah, aku harus buru-buru. Mungkin Abian sudah sampai di cafe. Jangan sampai dia menunggu terlalu lama.
Untunglah ojek online yang kupesan segera tiba. Hanya membutuhkan waktu 15 menit untuk sampai ke cafe yang menjadi tempat aku biasa menghabiskan waktu berjam-jam bersama Abian, menikmati camilan dan segala hiruk-pikuk di sekitar kami sambil sesekali membahas kehidupan yang berengsek ini.
“Terima kasih, Pak,” ujarku sebelum berjalan pelan memasuki bangunan yang terlihat sepi.
Deretan kursi kayu cokelat di bagian tengah cafe masih banyak yang kosong. Aku hanya menoleh sekilas pada wanita paruh baya di sudut ruangan, lalu langsung menuju tempat favoritku. Dua buah single sofa yang saling berhadapan di dekat jendela itu kebetulan masih kosong. Sesaat rasa senangku menguap karena menyadari kosongnya bangku itu berarti Abian belum datang.
Tak lama kemudian, seulas senyum sedikit kupaksakan ketika seorang pemuda yang memakai apron merah bata membawakan daftar menu. Aku memesan dua porsi Bingsu dan cheesecake, menu yang selalu aku dan Abian pesan setiap kali berkencan.
Aku merogoh ponsel dari saku celana dan mengusap permukaan layarnya untuk memeriksa apakah sudah ada balasan dari Abian. Aku tahu kekasihku itu sedang sibuk mengerjakan tugas akhir-akhir ini, tapi ...
If you, if you ...
ajik neomu neutji anhatdamyeon
uri dasi doragal suneun eopseulkka
If you, if you ...
neodo nawa gachi himdeuldamyeon
uri jogeum swipge gal suneun eopseulkka
isseul ttae jalhal geol geuraesseo
Ah ... inilah salah satu alasanku menyukai Red Room Cafe. Tempat ini selalu memutar lagu-lagu K-Pop yang aku suka. Suasana mendadak menjadi melow, meski di luar sana cahaya matahari sore memberi kesan hangat.
Aku menoleh ketika seorang pria berkacamata memasuki cafe dengan sedikit tergesa. Pria itu langsung menuju salah satu kursi di dekat kasir dan menyalakan laptopnya. Aku mengulum senyum ketika menyadari pria berpipi chubby itu sesekali mencuri pandang pada gadis pelayan yang tampaknya seusiaku. Kadang cinta memang seabsurd itu, mampu membuat seseorang melakukan hal-hal di luar logika.
“Silakan,” ujar pelayan yang tadi membawakan menu. Dia meletakkan pesananku di atas meja.
“Terima kasih.”
Aku langsung mengambil sendok kecil dan memotong cheesecake yang terlihat sangat menggoda. Tekstur yang lembut seolah meleleh dalam mulut, meninggalkan rasa manis dan gurih yang pas.
Mungkin seperti inilah hidup. Tidak selalu manis, tidak juga selalu masam. Hanya saja, aku tidak terlalu menyukai hidupku ... um, bukan berarti aku tidak ingin hidup. Bukan. Aku hanya ingin sedikit keadilan.
Setidaknya, kirimkan satu orang saja yang benar-benar peduli padaku, yang mau mendengar semua keluh-kesahku. Rasa sakit ini semakin mengakar kuat, menekan dada hingga aku kesulitan bernapas.
Ah, sial ... mengapa dulu ibu tidak membunuhku saja? Paling tidak pilihan untuk menghabisi nyawaku sendiri atau tetap bertahan dalam neraka ini tidak menjadi keputusanku.
Aku mengerjap pelan ketika sebutir cairan hangat meluncur melewati pipi dan memercik di atas ponsel yang masih kugenggam. Setelah menarik napas dalam-dalam, aku mengusap layar ponsel dan mengetik pesan untuk Abian.
[Aku hanya ingin sebuah perpisahan yang layak. Kumohon ....]
Jemariku bergetar setelah mengirimkan pesan itu. Kilasan memori berkelebat satu demi satu, saat bara api kami masih menyala di tempat yang sama.
Air mataku menderas. Dulu aku tidak mengerti, cinta macam apa yang menyatukan kedua orang tuaku. Sekarang aku paham, bara api sebesar apa pun tetap bisa padam. Mungkin karena tekanan, mungkin karena keadaan, atau mungkin juga karena salah satu pemilik api sudah mulai bosan hingga memilih untuk membiarkannya padam.
Oh, astaga ... aku tidak ingin menangis. Tidak boleh menangis.
Setelah menyusut air mata dengan selembar tisu dari kotak putih di atas meja, kusendok potongan stroberi di atas Bingsu dan menyuapkannya ke mulut.
Aneh. Mengapa rasanya getir?
Pandanganku mengabur, entah karena air mata yang tidak mau berhenti, atau karena sinar matahari senja yang hangat perlahan memudar. Mendung berarak, dengan cepat membawa titik-titik air dan menumpahkannya ke jalanan. Orang-orang yang tadi masih bercengkerama seraya tersenyum kini berhamburan mencari tempat berlindung.
Seandainya mencari tempat berlindung semudah itu. Maksudku, dari semua kekacauan ini. Aku tidak bisa pergi ke mana-mana. Tidak ada yang peduli meski aku tersengut-sengut sepanjang sore hingga malam menjelang. Semua orang terlalu sibuk dengan urusan mereka masing-masing.
Kini beberapa pejalan kaki hilir-mudik sambil membawa payung. Lampu-lampu jalanan menyala satu per satu, membiaskan rintik hujan yang mulai reda. Dua cangkir kosong dan piring kecil dengan ceceran krim di pinggirnya terlihat seperti sepasang kekasih yang menyedihkan. Kulihat jam dinding yang menempel pada tembok di sisi kiri. Sudah pukul 20.12. Sepertinya aku sudah menunggu cukup lama.
Aku mengambil ponsel dan memeriksa pesan yang kukirim untuk Abian. Masih tetap satu centang abu-abu, tanpa balasan. Sesibuk itukah dia?
[Kamu nggak datang, Bi. Aku pergi]
Setelah mengirim satu pesan terakhir, aku bangun dan membayar tagihan di kasir. Ekor mataku menangkap bayangan seorang wanita yang sedang mematung di depan beberapa cangkir kopi dan dua gelas teh yang masih penuh. Entah apa yang sedang dipikirkannya, tapi tas bunga mataharinya terlihat cantik, berbanding terbalik dengan raut wajahnya yang muram.
Everybody has their own hell, right?
Pintu kaca sedikit berderit pelan ketika aku mendorongnya. Aku mendongak dan mengulurkan tangan, mencoba menangkap percikan air yang terasa dingin ketika menyentuh permukaan kulit. Deru kendaraan yang lalu-lalang dengan kecepatan tinggi meski jalanan licin akibat guyuran hujan membuatku menggelengkan kepala pelan. Ke mana mereka ingin pergi hingga begitu terburu-buru? Mengapa tidak ada yang mengajakku?
Aku ingin pulang ....
Apakah Abian sudah kembali ke kontrakannya? Dua hari terakhir tempat itu selalu kosong ketika aku ke sana.
“Awas!”
Suara teriakan seorang gadis yang duduk di seberang jalan disusul pekikan orang-orang dan klakson bertubi-tubi membuat telingaku berdenging, tapi aku tidak ingin berhenti.
Brak!
Ckiiit!
Tubuhku melayang selama beberapa detik sebelum menghantam aspal dengan sangat keras, lalu terseret sejauh ... entah, kupikir mobil ini tidak akan pernah berhenti.
Kraaak!
“Ugh!”
Sebuah benturan keras akhirnya membuat tubuhku berhenti berputar. Aku membuka mata dengan susah payah, lalu menyadari kalau tubuhku terjepit di antara dua mobil.
Sesak. Paru-paruku sepertinya akan meledak. Rasa asin dengan aroma anyir yang pekat bercampur dengan hujan tergenang dalam mulutku, membuatku tersedak dan kepayahan. Untuk menggerakkan kepala saja aku tidak bisa.
Meski tidak bisa melihatnya, aku bisa merasakan cairan hangat mengalir dari sela paha. Mungkin membuat genangan air di sekitarku ikut memerah. Orang-orang berteriak dan menunjuk-nunjuk ke arahku dengan panik, membuatku sangat ingin terkekeh. Apakah harus dengan cara seperti ini baru mereka menyadari kehadiranku?
Ah ... perutku sakit sekali, membuatku merasa bersalah sekaligus lega. Setidaknya, aku tidak akan meneriaki dan menyumpahi anakku ketika dia terpaksa lahir meski tidak diinginkan. Dia tidak harus mengalami apa yang sudah kulalui. Tidak harus mengambil keputusan mengenai hidup dan mati.
Aku sangat ingin menyentuhnya, janin kecil yang bahkan belum terbentuk dengan sempurna dalam rahimku. Aku ingin meminta maaf karena terpaksa mengambil keputusan untuk kami berdua, tapi ....
***