Kriettt....
Kursi goyang yang tidak diduduki siapa pun bergerak dengan sendirinya. Lampu-lampu pijar yang samar-samar bercahaya tampak berkedip-kedip dengan suara 'bzzzt' silih berganti, menambah suasana menakutkan di sebuah ruangan tak berpenghuni. Derap langkah segerombolan orang yang berjalan sepelan mungkin menjadi irama di tengah gelapnya malam di dalam ruangan hening itu.
"Psst. K-kita mau ke mana...?"
"Katanya... kita harus pergi ke ruangan yang ada tanda panah merah."
"Tapi, tempat ini luas banget...."
Bisik-bisik terdengar di antara segerombolan murid-murid mahasiswa itu, yang sedang melakukan uji nyali karena merupakan bagian dari acara penutupan yang diadakan oleh universitas mereka.
Teng...! Teng...! Teng...!
Bunyi lonceng yang nyaring tiba-tiba terdengar, menandakan bahwa waktu saat ini tepat mencapai tengah malam, jam 12. Semuanya serentak menggerakkan kepala, mencari asal suara lonceng itu.
"Kok ada suara―"
"Selamat. Datang. Di. Rumah. Hantu. Tengah. Malam."
"Kyaaakkk!"
"Aaarrghh! Hantuuu!"
"Gila weh ada setan!!!"
"Huuwaa! Mamaaa!!"
Suara anak kecil yang tiba-tiba terdengar dari arah depan gerombolan mahasiswa itu membuat mereka berteriak histeris. Terkejut, takut, dan panik bercampur menjadi satu. Raut wajah mereka yang mulanya pucat menjadi semakin tidak karuan ketika berpandangan dengan gadis itu. Yang dilihat mereka adalah seorang anak kecil berpakaian merah muda pucat, yang mirip gaun. Wajah anak itu memang tidak menakutkan, bisa dikatakan dia imut ketimbang ngeri.
Namun, bukan itu yang dikagetkan oleh gerombolan mahasiswa itu, melainkan sosok melayang yang ada di belakang gadis itu.
Mata semerah darah yang tidak memiliki pupil hitam ataupun mata putih. Lalu wajah putih pucat yang dipenuhi bekas cakaran, urat-urat nadi yang menonjol, serta bercak-bercak darah yang mengalir dari kepalanya. Terlebih sosok melayang itu semakin terbang lebih tinggi, membuat siapa pun bisa melihat bahwa....
"K-k-kakinya!"
"Nggak ada?!"
Para mahasiswa itu syok bukan main. Mereka membeku di tempat. Dosen mereka bilang bahwa mereka hanya perlu mencari pintu bertanda panah warna merah di rumah hantu ini, tapi siapa sangka mereka bertemu dengan hantu sungguhan di sini?!
"Kabur, guys!!!"
Dan instruksi dari salah satu mahasiswa yang berhasil sadar dari situasi saat ini pun menyadarkan mahasiswa lainnya. Tidak ada semenit berlalu. Mereka langsung meninggalkan tempat itu dengan berlari secepat mungkin sambil berteriak histeris saat menengok ke belakang, melihat bahwa sosok melayang tadi mengejar mereka dengan sangat cepat. Beberapa di antara mereka bahkan ada yang sampai menangis.
"Yah, mereka pergi." Gadis itu bergumam dengan wajah sedih, menghela napas. "Harusnya Alaric berhenti menakut-nakuti orang-orang. Dasar tukang bulli," lanjutnya lagi sambil mengutuk sosok yang tadi melayang di belakangnya.
"Woi, kenapa panggil?"
Alaric, yang tadinya mengejar targetnya, tiba-tiba muncul di samping gadis itu, melayang di sekitarnya. Mata semerah darahnya masih sama, hanya saja tidak menakutkan seperti tadi. Bedanya kakinya yang tadi dia sembunyikan kini muncul.
"Mia, Mia. Kamu masih saja berharap ada orang yang bisa melepas kutukanmu?"
Gadis itu menutup mulutnya rapat-rapat dan mengalihkan pandangan ke arah lain. Alaric memutar matanya sebal ketika melihat anak itu tidak menjawab lagi. Ia pun berhenti melayang dan berdiri di samping Mia, sosok hantu yang berbeda jenis kelamin dengannya.
"Dengar, Mia. Kutukan yang kamu dapat tidak akan bisa terlepas. Ucapan kakek tua itu hanya omong kosong."
"Ya, ya." Mia menjawab dengan malas. "Aku memang bodoh karena percaya ucapan kakek tua itu~"
"Bocil satu ini nyebelin banget sumpah," oceh Alaric dengan suara yang sengaja dia tinggikan, bertujuan menyulut emosi Mia. "Mending kamu cari orang yang bunuh kamu sana. Masa kamu nggak mau balas dendam tapi berniat pergi ke akhirat saat kutukanmu sudah terlepas? Dasar orang baik."
"Nyenyenye~"
Dan terjadilah pertengkaran adu mulut di antara keduanya.
Mia, gadis kecil yang menjadi korban pembunuhan berantai 10 tahun yang lalu, dan Alaric, anak laki-laki yang dibunuh oleh kerabat terdekatnya karena masalah warisan 12 tahun yang lalu.
Mereka adalah dua sosok hantu yang menempati Rumah Hantu Tengah Malam, yang bertugas menakuti orang-orang yang datang sebelum mereka pergi ke akhirat.
Dan syarat untuk pergi ke akhirat adalah mereka harus membalaskan dendam atas ketidakadilan yang mereka dapatkan. Alaric sudah melakukannya, tapi dia menunda waktu keberangkatannya ke akhirat. Itu semua karena Mia, yang belum menemukan pembunuh berantai yang membunuhnya.
×××
Ada batasan usia untuk orang yang sudah meninggal yang masih berkeliaran di dunia manusia. Batas waktu mereka menjadi arwah gentayangan adalah lima tahun.
Jika sudah lima tahun terlewati, maka mereka yang menjadi arwah gentayangan akan dibawa ke akhirat dengan paksa sesuai tanggal waktu kematian mereka.
Tapi Mia, yang sudah bergentayangan di dunia manusia selama hampir sepuluh tahun, tidak bisa ke akhirat. Itu karena dia tidak bisa menemukan orang yang membunuhnya untuk membalaskan dendam, padahal dia sudah menjelajahi kota kelahirannya bahkan di kota-kota lain. Jadi akhirnya Mia menyerah untuk pergi ke akhirat.
Lalu Malaikat Maut tiba-tiba mengatakan bahwa dia 'dikutuk'.
Yang benar saja orang yang sudah meninggal dikutuk?
Itulah yang dipikirkan Mia pada awalnya, hingga akhirnya dia benar-benar mengakui bahwa dia dikutuk.
Dan pada saat itulah seorang kakek tua, yang bisa melihat makhluk halus, berbicara kepadanya tentang kutukannya.
"Di antara orang-orang yang datang ke Rumah Hantu Tengah Malam, ada seseorang yang bisa melepaskan kutukanmu. Carilah orang itu."
Begitu katanya, tapi sampai sekarang Mia belum bisa menemukan orang yang dimaksud kakek tua itu. Jadilah Alaric menjatuhkan harapannya untuk menemukan orang itu dan mendorongnya agar mencari pembunuh berantai yang bertanggung jawab atas kematiannya.
"Ngomong sih gampang. Tapi aku sudah cari ke seluruh kota dan nggak ada berita sama sekali tentang 'pembunuh berantai misterius yang meresahkan masyarakat'. Masuk akal nggak, sih?" gerutu Mia sambil meminum tehnya, minuman khusus para hantu.
Alaric hanya diam mendengarkan sambil sesekali mengangguk, tidak berniat merespons. Dia meminum tehnya juga dengan tenang, sok-sokan meresapi aroma tehnya.
"Iya, ya. Ngapain juga aku ngomong ke kamu?" Mendengkus kesal, Mia menaruh gelas tehnya dengan sekali hentakan, menimbulkan bunyi keras. "Kamu juga nggak membantu. Jadi buat apa kamu terus diam di sini? Pergi ke akhirat sana," suruhnya dengan kesal.
"Yakin?"
"Ya iyalah!"
"Tapi kalau aku nggak mau bagaimana, dong?"
"Dahlah. Terserah."
Mia mengibaskan tangannya sambil memutar matanya. Selalu saja begitu. Alaric menyuruhnya untuk mencari orang yang membunuhnya, tapi anak laki-laki itu malah tidak pernah membantu sama sekali.
"Aku pergi dulu."
"Kamu mau ke mana pagi-pagi begini?" tanya Alaric ketika ia menangkap tangan Mia, mencegahnya pergi. Matahari pagi memang sudah terbit sejak beberapa jam yang lalu dan sangat jarang ada hantu yang berkeliaran di pagi hari. Lalu alisnya mengerut. "Jangan bilang kamu masih mau menunggu orang di pintu masuk?"
"Nggak," jawab Mia sambil tersenyum, setelah itu tidak mengatakan apa-apa lagi.
Wosh!
Sosok Mia pun menghilang. Alaric terbengong di tempatnya sesaat, setelah itu berdecak. "Tunggu, kek! Aku juga mau ikut!" ucapnya yang tidak bisa didengar Mia, lalu ikut menghilang.
×××
Mia tiba di makamnya, yang dihadiri oleh beberapa orang terdekatnya. Hari ini adalah hari peringatan kematiannya yang ke-10 tahun. Dia melihat bibinya, pamannya, dan kakaknya.
"Ngapain kamu ke sini?" Terdengar suara Alaric di sampingnya. Mia diam dan terus melihat kakaknya, yang sedang meletakkan buket bunga ke makamnya. "Apa dia kakakmu, orang yang sering kamu ceritakan?"
"Iya."
"Dia kelihatan baik, sama seperti kamu."
"Kakak memang orang yang baik," balas Mia lirih.
Ia memang tidak terlalu mengingat bagaimana dia dan kakaknya menghabiskan waktu bersama karena saat itu ia masih kecil, sekitar berumur 7 tahun, dua bulan sebelum kematiannya. Tapi hanya dengan melihat kakaknya, Mia bisa tahu bahwa hubungan mereka sangat baik.
"Aku sedih karena harus pergi lebih dulu, dan meninggalkan Kakak sendirian."
Alaric diam mendengarkan. Mata merahnya menatap Mia dan kakak laki-laki Mia secara bergantian. Dalam sekali melihat, mereka memang mirip.
Mia pernah cerita padanya kalau kakaknya sering membantunya mengerjakan tugas rumah, selalu merawatnya dengan baik, dan membelikan apa pun yang dia inginkan. Dari cerita itu, Alaric berpikir bahwa kakaknya Mia adalah orang yang baik.
Tapi anehnya, saat bertemu langsung seperti ini, Alaric merasa bahwa kata 'baik' tidak cocok untuk menggambarkan kakaknya Mia. Dia merasa bahwa pria yang mengunjungi makam Mia memiliki pandangan yang tidak biasa.
"Aku selalu pergi ke sini setiap setahun sekali. Tapi tetap saja sama. Nggak ada orang mencurigakan yang datang. Jadi aku nggak punya tersangka yang punya motif untuk membunuhku."
"... Begitu." Alaric membalas dengan singkat, masih menatap ke makam Mia. "Apa kamu nggak berniat mencurigai bibimu, pamanmu, atau kakakmu?"
Mia mengerutkan keningnya ketika mendengar pertanyaan Alaric yang menurutnya sangat konyol.
"Untuk apa aku mencurigai mereka? Mereka selalu baik padaku."
"Yah, yang namanya orang baik pasti punya sisi jahat juga, 'kan."
"Tapi mereka keluargaku!" tegas Mia dengan seruan, menatap langsung ke mata merah Alaric. Amarah terlihat di mata biru mudanya. "Dan aku sudah bersama dengan mereka sejak orang tuaku masih hidup, jadi aku tahu kepribadian mereka."
"Heh." Tanggapan sinis dari Alaric menyulut emosi Mia, tapi kemudian ia diam seribu bahasa saat Alaric dengan enteng berucap, "Apa kamu lupa siapa yang membunuhku? Mereka juga kerabatku, yaitu paman dan bibiku. Kamu nggak tahu 'kan seberapa dekatnya aku dengan mereka dulu? Tapi siapa yang menyangka bahwa mereka adalah orang yang membunuhku hanya karena masalah warisan?"
"... Jadi?"
"Kamu mungkin juga sama," jawab Alaric, menohok hati Mia yang berusaha keras untuk tidak mencurigai keluarganya. "Karena kamu lahir di keluarga kaya juga, mungkin orang yang membunuhmu disuruh oleh salah satu keluargamu. Jadi nanti saat kamu mati, warisan yang harusnya kamu dapat malah diambil oleh mereka. Benar, 'kan?"
"J-jangan bercanda! Itu nggak mungkin! Nggak masuk akal banget!" elak Mia bertubi-tubi. Ia menatap Alaric penuh amarah. "Keluargaku nggak mungkin seperti itu. Nggak akan pernah! Apa kamu mengerti?!"
Dan dengan suara 'wosh', Mia menghilang lagi. Alaric menghela napas di tempatnya. Lalu ia melirik kakaknya Mia yang tengah berjalan menuju sebuah mobil hitam.
'Apa wajah seorang kakak bisa tanpa ekspresi seperti itu saat mengunjungi makam adiknya?'
Alaric penasaran, tapi ia tidak menyelidiki lebih lanjut dan mencari keberadaan Mia.
×××
Alaric tiba di sebuah toko kue, tempat di mana Mia dibunuh sepuluh tahun yang lalu. Ia melihat Mia berdiri di depannya, mungkin belum menyadari kedatangannya. Dia pun menghampiri gadis itu.
"Ternyata kamu ke sini?"
Tepukan kecil yang terasa di bahunya membuat Mia tersentak. Ia menengok ke belakang, berpandangan dengan mata merah Alaric.
"Ngapain kamu ke sini?!" balasnya ketus, masih kesal dengan kejadian tadi. Ia pun memalingkan wajahnya. "Pergi sana!"
Alaric terkekeh sesaat dan berdiri di depan Mia. Tangannya pun dengan gesit menangkup pipi gadis itu dan mencubitnya.
"Utututu~ Aku minta maaf, ya," ucapnya sambil berlagak sok imut yang membuat Mia mengerutkan keningnya dalam-dalam sebelum akhirnya tertawa. Alaric tersenyum senang kala melihat reaksi gadis itu. "Nah, gitu dong. Kamu makin jelek kalau marah kayak tadi."
"Ini sih gara-gara kamu!"
"Iya, iya. Aku minta maaf."
"Lain kali jangan begitu lagi," peringat Mia selagi tangannya melepas tangan Alaric dari pipinya. "Kamu 'kan tahu kalau aku sensitif soal masalah kayak begitu."
"Iya. Aku janji nggak bakal kayak tadi." Lalu Alaric menyugar rambutnya dan bergaya sok keren. "Ngomong-ngomong, tadi aku imut, 'kan?"
"Imut palamu!" balas Mia dan tertawa mengejek. "Aku tadi ngerasa kayak lihat gajah terbang."
"Woilah!"
"Hahaha!"
Mereka tertawa receh dan saling bercanda yang membuat perseteruan kecil di antara mereka tadi diselesaikan dengan cara damai.
"Oh, ya. Kamu ngapain ke sini?" tanya Alaric setelah mereka duduk di salah satu kursi yang ada di toko kue itu. Ekspresinya terlihat cemas. "Ini 'kan tempat kamu meninggal."
"Nggak tahu juga. Aku tiba-tiba memikirkan tempat ini pas kita bertengkar tadi."
"Hanya itu?"
"Iya. Dan kamu nggak perlu khawatir, soalnya aku sudah sering ke sini," lanjut Mia sambil tersenyum simpul. Alaric membelalakkan matanya kaget saat mendengarnya. "Tapi aku nggak pernah menemukan petunjuk apa pun. Mungkin kali ini akan sama, tapi aku mau mencoba lagi."
Alaric masih kaget dengan penuturan Mia tadi. Ia tidak menyangka bahwa Mia tidak merasakan trauma ataupun semacamnya saat datang ke tempat di mana ia dibunuh. Kekaguman melintas di mata laki-laki itu.
"Baguslah kalau kamu nggak trauma dengan tempat ini."
Mia membalasnya dengan senyuman riang.
"Lagian nggak ada salahnya juga menyelidiki tempat ini lagi," lanjut Alaric memberi semangat.
Mia mengangguk kecil sebagai tanggapan. Lalu mata biru mudanya melihat-lihat sekeliling toko kue dengan pandangan sendu.
"Ngomong-ngomong, tempat ini benar-benar nggak berubah. Padahal hari itu adalah hari yang spesial. Tapi kenapa aku harus dibunuh saat itu? Ini benar-benar nggak adil."
"Iya, ya. Kalau dipikir-pikir, waktu aku meninggal juga adalah hari yang spesial." Alaric menyahut, mengingat kembali momen yang tidak akan pernah dia lupakan. "Hari kematian ibuku."
"Ups! Maaf, maaf! Aku lupa...!"
"Nggak apa-apa," sela Alaric sambil tersenyum. "Lagian sudah lewat. Harusnya aku nggak ingat hari itu lagi, ya."
"Tapi tetap saja―"
"Berita terkini pagi ini. Pasangan suami-istri ini ditangkap atas tuduhan pembunuhan terhadap keponakan perempuan mereka. Mayat Lamia Sliver yang diawetkan ditemukan di ruang bawah tanah pasangan ini."
Deg.
Mia dan Alaric serentak menoleh ke arah televisi hitam yang dipasang di salah satu dinding toko. Seorang reporter wanita melaporkan sebuah kasus pembunuhan dan memperlihatkan video seorang wanita dan pria yang dibawa oleh polisi.
"Jasad korban memang tidak ditemukan sepuluh tahun yang lalu meskipun sudah dicari. Tak disangka bahwa keponakan sendiri pun dilenyapkan dan mayatnya diawetkan agar tidak berbau. Padahal mereka baru saja pulang dari makam Lamia Sliver karena hari ini adalah hari peringatan kematiannya yang ke-10. Ini benar-benar berita mengejutkan penuh intrik yang mengguncang dunia pemberitaan."
Foto-foto pasangan suami-istri itu saat sedang berkunjung ke sebuah makam pun terlihat di layar televisi. Lalu foto seorang pria tampan dengan setelan jas hitam muncul di samping foto-foto tadi.
"Kakak korban, Andrew Sliver, memberi kesaksian bahwa dia melihat gerak-gerik bibi dan pamannya agak mencurigakan belakangan ini. Katanya mereka selalu menghalanginya saat dia ingin membuka lagi kasus kematian adiknya. Daisy Lea melaporkan dari SCL News."
Laporan itu pun diselesaikan dengan video di mana jasad Lamia Sliver yang dibungkus kain dibawa keluar dari ruang bawah tanah.
"Ha, haa, haa...."
Mata biru muda Mia bergetar saat mengetahui pengkhianatan dari bibi dan pamannya. Napasnya tidak beraturan karena syok dan wajahnya dibanjiri keringat. Ia terhuyung dan akhirnya jatuh dalam posisi duduk.
Kenangan-kenangan indah bersama mereka ketika orang tuanya sudah tiada masih membekas di kepalanya. Namun kini kenangan yang indah itu terasa pedih dan menyakitkan.
Apakah semuanya hanya sandiwara?
"Mia!!"
"A-Al...."
Mia memanggil Alaric lirih saat kesadarannya belum sepenuhnya kembali. Matanya terasa panas dan lembab. Bibirnya gemetar.
"Mia! Tenangkan dirimu dulu!"
"T-tidak bisa, hiks...! Aku, aku... hiks, hiks, huwaaa...!"
Akhirnya Mia menumpahkan kesedihannya di dalam dekapan hangat Alaric. Ia menyesal sudah mencari tahu siapa orang yang membunuhnya. Jika saja ia tidak melakukan itu, mungkin hubungannya dengan bibi dan pamannya masih harmonis seperti dulu.
×××
Hari itu adalah hari yang cerah. Minggu pagi yang paling disukai anak-anak kecil karena tidak perlu berangkat ke sekolah. Tapi anehnya, jalanan sepi dan toko-toko yang biasanya buka tiba-tiba tutup, hanya menyisakan sebuah toko kue yang tidak terkenal.
"Kakak pasti suka kue yang aku beli!"
Di sana ada Mia, yang datang ke toko kue untuk membeli kue ulang tahun. Karena hari ini adalah ulang tahun kakaknya.
"Halo."
Bayangan tinggi seorang pria menghalangi jalan Mia. Gadis kecil itu mendongak. Senyuman lebar pria itu yang terkesan menakutkan membuat Mia tanpa sadar gemetar. Perbedaan tinggi di antara mereka yang sangat menonjol membuat Mia merasakan perasaan mengintimidasi mengarah padanya.
"Kemarilah."
"S-siapa... aakh!" Mia membelalakkan matanya kaget saat merasakan tenggorokannya tercekik hingga membuatnya tidak bisa bernapas. "Haa.... A... a... kkk...."
Ia berusaha berbicara tapi tidak bisa. Kedua kakinya yang lemas berayun di udara, sementara tangannya berusaha memberontak namun ditekan dengan kuat oleh pria tinggi itu.
"Berhenti memberontak dan matilah."
Pandangan Mia menjadi kosong dan air mata membanjiri wajahnya. Bungkusan kue yang dia beli dengan senang hati untuk kakaknya jatuh ke tanah dan menjadi hancur, menggambarkan dirinya saat ini.
'Kakak... tolong aku.'
Sampai akhir hayatnya pun, Mia menyebut kakaknya di dalam hati, berharap remaja laki-laki yang selalu tersenyum padanya itu datang menolongnya.
×××
"Haahh...!"
Mia terbangun dengan napas tersengal-sengal. Butiran keringat mengalir di wajahnya. Matanya mengerjap-ngerjap, berusaha melihat sekitarnya.
"Mia! Kamu sudah sadar?!" Alaric datang menghampirinya dengan panik. Ia memeriksa suhu tubuh gadis itu dan menghela napas. "Aku senang kamu tidak demam."
"Alaric," panggil Mia seraya memegang tangan anak laki-laki itu.
"Kenapa? Apa kamu butuh sesuatu?" balas Alaric lembut.
Mia bangun dan duduk, memperhatikan sekitarnya yang ternyata adalah salah satu kamar di Rumah Hantu Tengah Malam.
"Aku kenapa?"
"Kamu tadi pingsan. Jadi aku bawa kamu ke sini. Kamu pingsan cukup lama. Sekarang sudah jam setengah 12 malam."
"... Ohh."
"Tadi Malaikat Maut juga datang menjenguk kamu." Mia memandang Alaric kosong seolah tak percaya dengan ucapan laki-laki itu. Melihat reaksinya, Alaric tertawa kecil, setelah itu ia tiba-tiba menggeram seolah sedang kesal. "Dia bilang kalau orang yang membunuhmu bukan bibi dan pamanmu."
"... Apa?"
Ingatan tentang paman dan bibinya yang diberitakan menjadi pelaku atas kematiannya yang ia tonton tadi melintas di kepalanya. Mia masih mengingat jelas bagaimana paman dan bibinya ditangkap oleh polisi dan tangan mereka diborgol.
Tapi ternyata bukan mereka pelakunya? Lantas siapa?
"Aku tahu kamu syok sekarang. Tapi tolong tarik napas pelan-pelan. Aku nggak mau kamu pingsan lagi," tutur Alaric lembut. Ekspresi cemas dari anak laki-laki itu menghangatkan Mia. Ia pun menarik napasnya dan mengembuskannya perlahan. "Iya, begitu. Kamu harus berkepala dingin kalau mau berpikir."
Setelah tenang dan mengatur pikirannya, Mia menatap Alaric. "Jadi, bukan paman dan bibiku yang jadi pelakunya?"
"Benar."
"Berarti mereka dijebak."
"Yap. Bisa jadi begitu atau bisa jadi mereka sekongkol dengan pembunuh yang asli."
"Hmm. Kalau begitu, aku harus cari tahu sendiri siapa pembunuh yang asli."
Alaric mengangguk setuju. "Jadi kamu mau ke ruang bawah tanah di rumah bibimu?"
"Kok tahu?"
"Otak kecilmu itu mudah ditebak tahu," katanya jahil sambil menjitak dahi Mia. Mia pun melotot tajam sedangkan Alaric cengar-cengir tidak jelas. Lalu ia memberi jawaban logis yang mudah diterima. "Yah, aku bisa tebak karena kita sudah lama bersama."
"Kamu benar."
"Jadi, mau pergi sekarang?"
"Ayo!"
Wosh!
Ruang bawah tanah yang ada di dalam imajinasi Mia adalah ruangan yang gelap dan pengap. Namun, kini ruangan seperti itu seketika lenyap dari imajinasinya kala melihat secara langsung bagaimana ruangan bawah tanah di rumah bibi dan pamannya.
'Kok terang?'
Mia dan Alaric saling memandang dan melontarkan pertanyaan yang sama melalui mata mereka.
"Besok adalah hari yang besar."
Mia mematung ketika mendengar suara seseorang. Ini berarti ada orang lain selain dia dan Alaric di sini. Sumber suaranya pun berjarak tak jauh dari tempatnya.
"Alaric."
"Aku tahu. Ayo kita ke sana."
Alaric melangkah lebih dulu menuju suara tadi, sedangkan Mia mengikuti di bekakangnya.
"Aku akan jadi pewaris resmi besok."
Deg.
Alaric seketika berhenti. Ia menatap sengit ke arah seorang pria yang ternyata adalah pemilik suara tadi. Tangannya mengepal. Melihat Alaric berhenti, Mia ikut berhenti sambil menatap bingung punggung Alaric.
"Kamu kenap―"
Deg.
Mata biru muda Mia yang mengikuti arah pandang Alaric menjadi terbuka lebar. Ia seketika kaku. Sosok seorang pria dengan wajah yang mirip dengannya terpantul di mata birunya.
Teng...! Teng...! Teng...!
Bunyi dentingan lonceng yang keras dari atas ruang bawah tanah itu menandai tengah malam pada jam 12 tepat.
'Saat itu aku tiba-tiba teringat ucapan Alaric.'
Kakak yang sangat ia sayang. Kakak yang selalu ada untuknya. Kakak yang selalu merawatnya. Dan kakak yang sangat baik padanya.
"Mia sudah mati. Bibi dan Paman juga sudah kusingkirkan. Sayang sekali mereka jadi kambing hitam, padahal mereka kompeten dalam bekerja."
Ternyata semuanya adalah papan catur dan mereka adalah bidak yang diatur oleh kakaknya sendiri?
"Akhirnya kamu yang selalu menjadi batu penghalang yang menghalangi hidupku hilang selamanya." Andrew tertawa gila, merasa puas seolah-olah dia baru saja diangkat menjadi raja. "Adik tiriku tersayang."
Deg. Deg. Deg.
'Harusnya dari dulu aku mencurigai keluargaku sendiri.'
Tepat ketika lonceng jam 12 berdentang, pembunuh yang sesungguhnya mengungkapkan diri.
×××
Tamat.