Kabupaten B, provinsi Jawa Tengah. Tahun, 2005.
Liburan sekolah memang selalu di nanti para anak-anak sekolah, sama halnya dengan ku, yang sudah menanti-nanti liburan sekolah ini, terlebih saat tahu. Jika orang tua ku akan mengajakku ke desa.
Kampung halaman ayahku, di salah satu Kabupaten yang tidak terlalu terpencil namun tidak di kota juga.
Saat ini aku masih duduk di bangku sekolah dasar kelas empat. Aku memiliki satu adik perempuan yang masih berusia tujuh tahun, dia sudah bersekolah di SD yang sama dengan ku. Sebagai adik kelas, tiga tingkatan di bawah ku.
Pukul lima pagi ini, kami sampai. Dengan menunggangi bus Sinar(J) yang berhenti di terminal, sudah membuat ku sangat antusias.
Banyak hal yang ingin ku lakukan di sini. seperti bermain air di kali dengan air mancur yang tinggi dan kuat semburannya. Belum lagi bertemu dengan salah satu teman dekat ku di kampung.
Hehe aku belum memperkenalkan diri. Aku Eca. Kadang di panggil Caca Juga atau Uli, karena memang nama lengkap ku adalah Eca Yulia.
Baiklah kembali ke cerita. Karena perjalanan ke rumah nenek masih lumayan jauh, sekitar tiga ratus meter, Ayah pun menyewa becak sebagai tunggangan kami menuju rumah nenek.
Sungguh bahagia, udara yang sejuk dan masih asri ini. Selalu membuat kami merasa damai. Hingga tanpa sadar Saking asiknya menikmati perjalanan, becak mulai berbelok dan masuk ke salah satu pelataran rumah yang masih khas jawanya. Kami menyebutnya rumah joglo.
Di sana aku melihat, mbah putri (sebutan ku ke pada Nenek ku) tengah menyapu halaman, dengan kain jarik yang menutupi bagian pinggang sampai ke kaki, juga baju kebayanya. Mbah langsung menghentikan kegiatannya, tersenyum sumringah menyambut kedatangan kami di sana.
"Alhamdulillah... Akhirnya sampai juga." Kata dia menepuk kedua telapak tangannya satu kali, memeluk aku menciumi kedua pipi ku, lalu bergantian dengan adik perempuan ku. Kami tertawa senang, karena bisa bertemu Mbah Putri. Dan langsung saja aku mencari sosok yang lain, dan ku dapati beliau baru saja keluar dari tempat sholatnya. Dialah mbah Kakung (julukan untuk kakek ku)
"Weeehhh... Sudah sampai ya kalian." Sambutan yang sangat kami rindukan, langsung saja kami berhambur ke pelukan mbah Kakung yang masih mengenakan jas dan sarungnya. Memang kebiasaan beliau yang gemar memakai jas majelis. Katanya hangat saja di pakai. Hehehe.
Lingkungan rumah itu terbilang sepi, namun cukup nyaman juga bagi kita yang lelah dengan hiruk pikuk kota Jakarta.
Dan hal yang selalu menarik perhatian ku adalah salah satu ruangan. Tempat di simpannya peralatan untuk mengurus jenazah di desa ini.
Ya... Rumah kakek ku memang di gunakan sebagai tempat menyimpan itu semua. seperti kain hijau penutup keranda, meja untuk memandikan beserta bak juga gayung. Dan Juga meja untuk membungkus jenazah tersebut.
Memang agak lain ruangan itu, bahkan ibu ku saja tidak berani masuk ke ruangan tersebut. Entah kenapa, namun menurut ku yang sedikit bisa merasakan sesuatu yang aneh tidak hanya di ruangan penyimpanan peralatan kematian saja. Namun ada satu kamar lagi, letaknya di depan dekat ruang tamu.
Kamar itu kosong, karena memang tidak ada yang bisa tidur di sana. Karena yang kita tidak akan bisa tidur tanpa merasakan sensasi ketindihan. Begitu menurut penuturan orang-orang yang pernah mengalaminya.
–––
Waktu berjalan dengan cepat, dimana senja telah datang. Mengguratkan nuansa jingga di langit yang cerah, tak berawan.
mentari pun mulai masuk ke tempat peraduannya. Meninggalkan sinar temaram yang semakin meredup cenderung gelap. Berganti tugas dengan si cantik purnama.
Suara adzan Maghrib pun mulai berkumandang. Aku sudah bersiap dengan mukenah ku, mengikuti Mbah Putri dan mbah Kakung untuk ke tempat peribadahan. Tidak jauh, karena kami hanya cukup berjalan kaki saja. melewati kebun kosong yang gelap, lalu sampailah kami di mushola yang tidak terlalu besar.
Beberapa orang sudah ramai di sana, ada anak-anak lain juga yang tengah asik berperang dengan sarung mereka di depan mushola namun seketika hening saat mendapati mbah Kakung ku. Iya, Mbah ku terkenal galak dan tegas bagi anak-anak di desa itu, namun tidak menurut ku tuh hehe.
Selepas solat berjamaah kami pun beristirahat. Di ruang tengah ada Mbah Putri dan ibu yang sedang menonton sebuah acara televisi, sementara ayah ku di ruang depan dengan Mbah Kakung, berbicara dengan bahasa Jawa yang entah apa. Karena memang aku belum begitu paham, maklum saja aku hidup di Jakarta semenjak lahir jadi bahasa Jawa aku masih belum menguasai.
Malam yang semakin larut membuat ku mengantuk. Aku meminta ibu untuk menemani ku sejenak ke sumur, sudah menjadi kebiasaan ku. Sebelum kembali ke tempat peraduan ku, aku harus buang hajat terlebih dahulu. Agar tidak menggangu tidur ku di tengah malam.
Saat itu entah bagaimana perasaan dingin tiba-tiba saja hadir. Aku menggigil padahal tadi biasa saja, sampai-sampai pandangan ku terus tertuju pada salah satu bilik. Yang dulunya sempat untuk kamar mandi juga namun sudah tidak terpakai, setelah kakek membangun bilik kamar mandi baru.
Entah lah tidak tahu jelas apa penyebabnya kakek memindahkan bilik kamar mandi dan lebih memilih membangun yang baru.
Pandangan ku terus saja tertuju ke sana, hingga akhirnya aku seperti menangkap sesuatu.
Sebuah bayangan atau mungkin siluet seorang wanita. Wajahnya tidak nampak tapi aku seperti melihat dia tersenyum.
Ingin sih aku bertanya namun aku tidak berani. Ibu memanggil ku karena menurutnya aku terlalu lama di dalam tandas. Hingga aku pun menyaut dan mengakhiri urusan ku itu.
–––
Malam semakin larut, aku sudah berada di atas ranjang ku. Sebuah dipan yang terbuat dari besi dengan kasur kapuk yang menurut ku agak keras, sungguh berbeda dengan ranjang ku yang ada di Jakarta. Aku tidur di kamar itu hanya berdua dengan adik ku, sedang ayah dan ibu ku tidur di kamar yang lain.
Ya... Ini bukan hari raya, jadi aku bisa tidur di kamar lain yang kosong.
Singkat cerita, aku tidur dengan posisi terlentang. Namun ada yang lain rasanya,
Entah mengapa tiba-tiba saja aku merasakan hawa yang sangat pengap. Hingga aku pun terjaga, dengan tubuh kaku dan tidak bisa bergerak sama sekali.
Aku tidak tahu apa yang terjadi, yang jelas yang ku rasa aku sudah terjaga. Karena mata ku langsung membulat sempurna, saat melihat sesosok hitam berada di atas tubuh ku, wajah kami saling bertemu namun aku tidak melihat perwujudannya dengan jelas.
hanya seperti bayangan saja hitam legam dengan rambut yang kriting.
Aku sempat mengira itu adik ku, karena dia juga berambut keriting hampir kribo. hingga ku pejamkan mataku karena tubuh ini tidak bisa bergerak dan hanya bisa berdoa saja. perlahan tangan ini mulai mampu bergerak, aku pun kembali membuka mataku. Dan sosok itu sudah tidak ada.
Ku lihat adik ku di sebelah kiri, masih pulas tertidur. Lalu siapa yang berada di atas ku tadi?
Sekujur tubuh ku masih gemetaran, jika itu ketindihan mungkin aku masih dalam posisi tidur, faktanya tidak aku benar-benar terjaga, dan melihat dengan jelas bayangan hitam itu.
Hingga tak lama, aku mulai mendengar suara seperti meja yang di gebrakan. Aku sedikit terperanjat sih, karena itu suaranya kencang sekali. Tidak sekali dua kali, namun suara gebrakan itu tidak henti-hentinya terus saja berbunyi.
Jujur aku penasaran, namun ketakutan ku mengalahkan rasa penasaran ku. Bahkan dari kejadian sesosok hitam tadi hingga suara ini membuat ku tidak bisa tidur lagi.
Aku saja sampai menangis saking takutnya, ingin ku panggil ibu ku namun suara seolah tak bisa ku keluarkan, dan yang ku lakukan hanya menutup rapat tubuh ku dengan kain selimut, sampai waktu sebelum adzan subuh berkumandang. Barulah aku mendengar suara pintu yang di buka, lalu suara nenek yang sedang bergumam entah apa menggunakan bahasa Jawa.
Di sana baru aku merasa aman dan mata ini pun terpejam untuk tidur.
***
Siang harinya, aku memberanikan diri untuk bertanya pada kakek. Tentang apa yang ku lihat, dan apa yang ku dengar malam tadi.
Namun kakek hanya senyum-senyum, entah apa maksudnya.
"Hanya mau kenalan, lalu suara yang kamu dengar itu, karena meja ada yang mau memakainya." Tutur beliau.
Dari sana aku masih belum begitu paham. Hingga pada usia ku yang ke 19 belas tahun. Hal yang sama terjadi, suara meja yang di gebrakan kembali terdengar ketika aku berlebaran di rumah nenek.
Saat itu yang ku dengar dari paman dan bibi adalah, hal biasa jika meja itu hendak di gunakan untuk tempat menidurkan mayat, maka dia akan berbunyi.
Karena di sana, Ketika hendak di Solat kan atau di kafani maka jenazah akan di letakan di salah satu meja berwarna coklat. Sementara yang untuk memandikan berwarna hijau. Dan yang berwarna coklat itu lah yang akan berbunyi.
Dan akan selalu di berbunyi di tuju hari sebelum adanya warga RT situ yang hendak berpulang.
Tamat....