Mia. Satu nama yang terlihat biasa. Gadis itu tidak banyak dikenal orang karena sifatnya yang yang introvert. Ia bahkan tak memiliki banyak teman di sekolah karena mereka menganggapnya membosankan. Bahkan mungkin mengabaikan keberadaannya dengan menganggapnya tidak ada.
Namun bagi Mia, itu bukanlah hal yang baru. Sebenarnya ia bisa menjadi seseorang yang asyik untuk diajak berbicara jika ia sudah merasa nyaman dengan seseorang. Namun untuk memulai itu, tidaklah mudah baginya.
Di kelas ia hanya punya beberapa teman. Itu pun tidak terlalu dekat. Hanya berbicara sekedarnya saja.
Namun walaupun ia sudah terbiasa dengan hal itu, tetap saja terkadang ia benci untuk jadi seorang yang introvert. Ia benci disaat ia harus sendiri. Dimana tak ada seorangpun yang bisa mengerti dirinya.
Di sisi lain, ada Tommy. Lelaki itu adalah salah satu idola di sekolah. Kulitnya putih dan berperawakan tinggi. Dia cukup berprestasi di kelas. Hanya saja ia lebih sering bolos sekolah tanpa alasan yang jelas.
Tiga tahun mereka sekelas, namun mereka berdua tak pernah sekalipun berbicara satu sama lain. Mungkin lelaki itu juga menganggap Mia tak pernah ada. Dan mengabaikan kehadirannya.
Menjadi seorang introvert memang bukanlah hal yang mudah. Apalagi tidak ada dukungan dari orang sekitar.
Minggu ini adalah hari-hari terakhir berada di sekolah. Setelah melaksanakan ujian akhir, siswa-siswi lainnya berencana untuk berlibur ke pantai untuk melepaskan penat.
Mia juga diajak pergi oleh seorang temannya karena bagaimanapun ia juga bagian dari kelas. Walaupun sebenarnya merasa enggan. Mau tak mau akhirnya ia juga pergi bersama mereka. Tommy juga ikut berpartisipasi.
****
Perjalanan ke pantai memakan waktu selama dua jam. Mereka pergi dengan menggunakan bus besar yang mereka sewa.
Mia duduk bersama Ratih. Teman yang cukup dekat dengannya. Sesekali mereka tampak berbicara. Tapi kebanyakan hanya diam. Ratih lebih banyak berbicara dengan teman sebelahnya.
Sesampainya di pantai, sebagian dari mereka tampak langsung berlarian memasuki area pantai setelah meletakkan barang mereka di pondok yang mereka sewa.
Mereka menyewa dua pondok besar di sana.
Mia tampaknya tidak terlalu antusias seperti yang lainnya. Ia lebih memilih untuk berjalan seorang diri di sudut pantai yang tidak terjamah oleh orang lain. Memperhatikan teman-temannya yang sedang asyik bersama kelompok-kelompoknya.
Menyedihkan memang. Tapi begitulah ia sejak dulu. Orang tuanya juga tak terlalu perduli padanya. Mereka hanya memandang Kakak dan adiknya saja karena mereka lebih terlihat menonjol daripada dirinya.
Mereka juga tidak pernah memujinya jika ia melakukan hal yang baik. Namun berbeda halnya jika kedua saudaranya itu yang melakukannya. Mereka akan memujinya dan memeluk mereka.
Jika dibilang iri, tentu dia sangat iri. Ia sering bertanya-tanya pada dirinya sendiri. Mengapa ia terlahir berbeda? Mengapa ia tak bisa bernasib sama dengan orang lain? Apakah ia tidak layak?
***
Tanpa terasa hari menjelang sore. Setelah mengambil beberapa foto untuk kenang-kenangan, mereka kembali pulang. Mia juga sempat diajak berfoto bersama mereka. Walaupun hanya sekali. Itupun karena Ratih mengingatnya.
***
Hari kelulusan.
Para siswa dan siswi tampak menghadiri acara kelulusan tersebut dengan gembira. Itu karena hanya siswa dan siswi yang lulus sekolah saja yang bisa hadir di sana.
Mia juga lulus walaupun tidak mendapatkan peringkat sepuluh besar dikelasnya. Namun nilainya masih cukup bagus. Orangtuanya tidak bisa hadir karena tengah menghadiri acara kelulusan adiknya yang bertepatan jatuh pada hari ini juga. Kebetulan juga adiknya mendapatkan peringkat kedua dikelasnya.
Ia terlihat kecewa dan sedih. Namun ia juga tak bisa berbuat apa-apa. Awalnya ia merasa malas untuk menghadiri acara tersebut. Tapi akhirnya ia tetap datang walaupun dengan berat hati.
Acara berlangsung dengan lancar. Para siswa-siswi lainnya tampak berfoto dengan keluarga dan sahabat mereka. Sementara Mia langsung pulang ke rumah dengan memendam kekecewaan yang besar pada keluarga dan teman-temannya.
Akhirnya ia tahu jika ia benar-benar sendiri selama ini.
**"
(Tommy POV)
"Tommy! Kau mau kemana?" tanyanya seorang pria pada Tommy.
Tommy sedang terlihat mencari sesuatu.
"Aku ingin mencari seseorang." jawabnya lalu pergi meninggalkan pria itu.
Saat ia sibuk mencari, ia di hadang oleh sekelompok gadis dari kelasnya. Mereka mengajaknya untuk berfoto.
Karena di paksa, mau tak mau akhirnya ia melayani mereka juga. Ia berfoto bersama mereka.
***
Sesampai di rumah, Mia mendapati orangtuanya tengah berfoto bersama dengan adiknya, Lili. Mereka tampak gembira.
"Mereka memang tidak pernah perduli padaku.* batinnya.
Ia berjalan ke dalam setelah mengucapkan salam. Ia sudah terbiasa melihat hal itu. Terkadang ia ingin berontak. Tapi ia tak punya keberanian untuk melakukannya.
" Kau sudah pulang? Bagaimana acaranya? Apa berlangsung meriah?"tanya ibunya begitu melihat kehadirannya di rumah itu.
"Meriah! Bagi mereka yang datang bersama orangtua mereka." sindirnya secara terang-terangan.
"Maaf sayang! Kami sudah berusaha untuk hadir, tapi waktunya tidak cukup. Pihak sekolah juga ingin mengambil foto bersama para orang tua. Jadi maafkan kami ya. Kau tidak marah, kan!" ucap ibunya meminta maaf. "Tapi kenapa kau sudah pulang? Kenapa kau tidak bermain bersama teman-temanmu?" tanyanya kemudian.
Mia terdiam sejenak. Lalu ia menjawab.
"Aku tidak punya teman." jawabnya sinis lalu pergi ke kamarnya
"Mia!" panggil ibunya namun ia tak menghiraukannya.
Mia mengunci pintu dan menangis. Ia merasa sakit hati. Pada keluarga juga pada orang-orang di sekitarnya.
***
Suatu malam ketika mereka sekeluarga sedang makan malam di ruang makan.
Arman, kakak Mia, sedang senang karena ia baru saja naik jabatan di kantornya sebagai manajer pemasaran. Ia membeli hadiah untuk mereka. Termasuk Mia. Ia memberikannya satu set pakaian. Begitupun untuk Lili. Arman memang menyayangi kedua adiknya itu. Walaupun terkadang ia lebih menyayangi Lili karena ia anak terkecil di keluarganya.
"Mia! Kenapa kau tidak mengucapkan selamat pada kakakmu? Kau juga tidak mengucapkan terima kasih padanya." tanya ayahnya karena melihat gadis itu hanya diam.
"Terima kasih, kak! Dan selamat untuk pekerjaan baru mu." ucapnya sambil tersenyum simpul.
"Jadikan kakakmu sebagai contoh. Dia sudah sukses di usia mudanya. Kau juga harus seperti itu. Buatlah kami merasa bangga karena memilikimu." ucapnya.
Mia seketika tertawa masam saat mendengar perkataan ayahnya yang dirasa sangat menyakitinya.
"Jika aku tidak bisa seperti kakak, apa kalian tidak akan bangga padaku? Apa seorang anak harus memiliki kelebihan agar bisa membanggakan kedua orangtuanya. Apa jika dia tidak punya kepandaian apa-apa, dia tidak akan dianggap oleh orangtuanya?" tanyanya yang membuat semua orang terkesiap.
"Maksud ayahmu bukan seperti itu, Mia!" bantah ibunya.
"Lalu seperti apa? Kalian selalu mengutamakan kakak dan Lili. Kalian tidak pernah memperdulikan aku. Padahal aku selalu menuruti apapun yang kalian katakan. Aku memang tidak pintar, aku juga tidak berprestasi seperti mereka. Tapi aku juga anak kalian. Aku hanya ingin sedikit perhatian dan dukungan dari kalian. Apa itu juga tidak bisa ku dapatkan?" Mia meluapkan segala emosi yang dipendamnya selama ini pada orangtuanya.
Orangtua dan kedua saudaranya terdiam. Apa yang dikatakan Mia memang ada benarnya. Selama ini mereka memang kurang memperhatikan Mia. Mereka hanya fokus pada kedua anaknya saja.
Mia sangat tertutup. Mereka juga jarang mengobrol satu sama lainnya. Sehingga kedua orangtuanya sulit untuk memahami perasaan putrinya tersebut.
"Maafkan ayah dan ibu! Kami tidak bermaksud untuk mengabaikan mu. Ini semua memang salah kami karena tidak terlalu memperhatikan dirimu. Itu juga karena kau terlalu menutup diri. Cobalah untuk belajar lebih terbuka agar kami bisa memahami dirimu." ucap ayahnya sambil memeluknya.
"Iya sayang! Maafkan kami. Kau bisa jadi apapun yang kau inginkan. Yang terpenting kau bisa menjadi dirimu sendiri. Hiduplah dengan bahagia. Itu sudah lebih dari cukup bagi kami." ibunya juga ikut memeluknya.
Begitupun kedua saudaranya. Bukankah akan lebih baik jika mencoba untuk terbuka kepada orang lain. Agar mereka bisa memahami apa yang kau inginkan. Namun hal itu juga butuh dukungan dari orang lain, bukan?
****
Setahun kemudian,
Mia sudah menjadi seorang mahasiswa di sebuah universitas swasta. Ia mengambil jurusan teknik sipil.
Namun ia tetap menjadi seorang yang introvert. Tapi ia memiliki beberapa teman dekat yang baik kepadanya. Mereka sering menghabiskan waktu bersama. Entah sekedar berkumpul maupun Jalan-jalan.
Hari ini ada mahasiswa pindahan baru dari Bandung. Kebetulan dia akan satu kelas dengan Mia.
Dan Mia tampak terkejut begitu melihat pria itu. Dia adalah Tommy. Apakah pria itu mengenalinya.
Pria itu sudah banyak berubah. Yang jelas ia semakin terlihat tampan dan dengan pembawaan yang dewasa.
Mia tampak canggung. Ia menutupi wajahnya dengan buku. Berharap jika pria itu tidak mengenalinya.
Namun sepertinya Tommy mengenalinya. Tanpa ia sadari pria itu tersenyum simpul padanya.
"Akhirnya aku menemukan mu!" batinnya.
*******