Kumpulan titik air yang turun dari langit sering kali diartikan sebagai kemalangan atau suatu hal buruk. Tapi apa yang terjadi kalau saat kumpulan titik air itu turun, akan menjadi moment manis sekaligus menyakitkan dalam waktu yang sama?
***Selamat Membaca***
Langit sore yang indah, angin yang bertiup seakan membelai, keadaan yang tidak terlalu ramai, setidaknya begitulah yang dirasakan Mentari sebelum sampai di halte untuk berteduh karena tidak membawa payung.
Mentari benci sekali cuaca hujan. Selain dia tidak bisa ke mana-mana meskipun sudah membawa payung, bau udara saat hujan selalu membuatnya teringat pada kenangan buruk saat kecil. Alasan sekarang Mentari tidak membawa payung karena semua payung yang dia bawa selalu rusak, entah tidak mau terbuka, patah, atau terbuka mengembang ke atas seperti mangkuk. Jika Mentari menerobos hujan agar sampai rumah maka dirinya akan sakit selama tiga hari. Mentari tak mau hal itu terjadi. Menunggu. Itulah yang bisa dilakukannya saat ini dengan wajah kesal. Sudah hampir sebulan ini hujan terus datang mendadak saat Mentari pulang sekolah.
Saat sedang asik bermenung menunggu hujan sendirian di halte, tiba-tiba datang seorang cowok yang mengenakan jaket biru gelap, yang di dalamnya mengenakan seragam SMA. Terlihat headphone menggantung di lehernya. Dia terlihat terengah-engah dan hampir basah kuyup. Begitu sampai, Ia langsung membuka tudung jaketnya dan menepuk-nepuk tasnya yang terkena hujan karena digunakan untuk menutupi kepalanya dari hujan sambil berlari. Rambutnya yang sedikit lebat dan agak basah diacak-acak, kemudian ia rapikan kembali dengan jari tangannya.
Mentari memang tidak begitu memedulikan kehadiran laki-laki itu. Tapi, rasa ingin mengobrol melanda pikirannya, meskipun itu hanya bertanya tentang sekolah karena di halte hanya ada mereka berdua. Ditambah Mentari merasa bosan karena menunggu hujan. Ia juga merasa kalau mereka seumuran karena sama-sama mengenakan baju seragam SMA: putih abu-abu. Namun, Metari mengurungkan niatnya itu ketika mengetahui cowok itu langsung menggunakan headphone nya sambil membaca sebuah buku dan juga jarak duduk mereka yang berjauhan: Mentari duduk di ujung bangku halte, cowok tersebut berada di sisi lainnya. Ketika hujan berhenti, Mentari melanjutkan perjalanannya, sedangkan cowok itu masih tetap di halte dengan buku yang terbuka di hadapannya.
Keesokan harinya, Mentari membawa sepeda dengan harapan bisa pulang dengan cepat sebelum hujan turun. Hanya saja usaha itu sia-sia. Hujan tetap turun saat Mentari sampai di halte tempatnya kemarin berteduh. Saat ini halte tersebut dipenuhi banyak orang yang ikut berteduh. Cowok yang kemarin ditemuinya sudah datang lebih dulu dan dia sedang duduk sambil membaca buku yang kemarin dibacanya. Beberapa menit kemudian datang seorang nenek yang ikut berteduh setelah turun dari sebuah angkutan umum. Nenek itu terpaksa harus berdiri menunggu hujan karena tidak ada yang mau sukarela berdiri hanya untuk memberikan tempat duduk.
"Oh, kamu disini, pantas di cariin nggak ketemu" sahut Mentari tiba-tiba sambil menarik lengan cowok yang ditemuinya kemarin untuk berdiri.
"Maaf ya tiba-tiba narik, kasian itu nenek nggak dapet tempat duduk," ucap Mentari sedikit berbisik kepada cowok itu. Mengetahui seorang nenek yang sedang berdiri di ujung halte, cowok itu langsung memanggil dan menawarkannya untuk duduk. Setelah si nenek duduk, mereka berdua menunggu hujan sambil berdiri hingga hujan berhenti. Selama menunggu tak ada obrolan lebih lanjut di antara mereka berdua, hanya suara hujan yang memenuhi isi halte.
Belajar dari pengalaman sebelumnya, Mentari yang sudah pasrah dengan keadaan, akhirnya tidak membawa sepeda lagi dan kembali seperti sebelumnya: berjalan kaki. Kali ini Mentari membawa ponsel. Meskipun di hari-hari biasa Mentari tidak pernah membawa ponsel, untuk saat ini Mentari tau menunggu hujan di halte itu sangatlah membosankan dan berharap dengan membawa ponsel ia bisa menghilangkan rasa bosan saat menunggu.
Selagi duduk menunggu hujan sendirian di halte, Mentari mengeluarkan earphone dan mendengarkan beberapa lagu yang ada di playlist sambil bersandar di sebuah tiang di tengah halte. Tanpa sadar, dirinya tertidur saat mendengarkan lagu tersebut. Begitu terbangun, Mentari kaget karena hari sudah gelap dan waktu sudah menunjukkan angka tujuh malam. Ia baru tersadar kalau tempat dia bersandar sudah bukan lagi di tiang, melainkan di bahu cowok yang beberapa hari ini ditemuinya di halte. Karena panik, Mentari segera minta maaf dan langsung pergi meninggalkan cowok itu sendiri. Beruntungnya tidak terjadi apa-apa pada dirinya.
Keesokan harinya hujan turun saat Mentari masih di sekolah. Menurutnya ini lebih baik daripada harus menunggu di halte. Saat sedang menunggu di lobby gedung sekolahnya, tiba-tiba lewat cowok yang sering ditemuinya di halte berjalan melewati sekolah Mantari menggunakan payung. Tanpa pikir panjang Mentari memangil dengan suara keras serta lambaian dengan harapan cowok itu mendengar dan menoleh padanya. Namun usaha tersebut sia-sia karena suara hujan membuat panggilan Mentari tak terdengar. Karena penasaran dan meyakini kalau dirinya tidak salah memanggil orang, Mentari mengejar cowok itu dengan tasnya yang berada di kepala.
Cowok itu kaget dengan kehadiran Mentari yang terlihat pucat berlari menghampirinya dan masuk ke bawah payung yang dipegangnya. Merasa khawatir dan panik, cowok itu meminta Mentari untuk memegang payungnya dan langsung melepas jaketnya untuk dipakaikan kepada Mentari. Melihat perlakuan tersebut, Mentari merasa ada yang tidak beres dengan dirinya karena merasakan ada debaran di dada yang membuatnya tersipu malu diperlakukan seperti itu. Selama perjalanan ke halte, Mentari mulai berpikir kalau hujan tidak terlalu buruk juga dan perlahan mulai menyukai hujan serta bau yang ada di jaket tersebut. Setelah sampai di halte, cowok tersebut meminta Mentari untuk menunggu dirinya di halte dan langsung pergi meninggalkan payung beserta jaket miliknya. Mentari berpikir kalau cowok tersebut akan balik lagi, tapi setelah hampir setengah jam cowok itu tak kunjung datang. Selagi menunggu Mentari merasa ada yang mengganjal di jaket milik cowok itu. Ketika diperiksa, terdapat pembatas buku yang berjudul SKY-5 dan di baliknya tertulis nama "Chandra Dinata" dan sebuah tanggal. Mungkin saja itu tanggal ketika buku itu dibeli karena tercantum angka "1/3".
"Jadi nama dia Chandra ya," gumam Mentari sambil menatap tulisan tangan di pembatas buku yang sudah dilaminating itu.
Karena cowok yang bernama Chandra itu tidak kunjung datang dan hujan sudah reda, Mentari memutuskan untuk pulang duluan dan berniat mengembalikan jaket beserta payung saat bertemu di lain hari. Tidak begitu jauh dari halte, terlihat ada kerumunan orang di pinggir jalan. Salah satu dari mereka mengatakan kalau telah terjadi tabrakan, korbannya adalah anak SMA laki-laki yang tewas seketika. Mentari yang mendengar kabar itu mendadak terpaku dan lemas hingga payung yang dipegangnya hampir saja terlepas. Saat Mentari mendekat dan melihat berusaha untuk memastikan, korban yang dikatakan orang-orang sudah masuk ke dalam ambulans dan terlihat darah yang membekas di aspal. Mentari berjalan pulang dengan langkah yang berat dan menangis di dalam payung yang ditinggalkan pemiliknya. Setelah kejadian itu, Mentari sakit dan diopname hingga beberapa hari karena terpukul mengetahui orang yang membuatnya berdebar telah meninggalkannya untuk selamanya.
Tujuh tahun berlalu. Kini Mentari telah bekerja di sebuah kantor perusahaan jasa. Kejadian saat SMA itu tidak luput dari ingatannya, bahkan setiap Mentari sedang menunggu, baik itu menunggu hujan reda atau pun menunggu angkutan umum, Mentari selalu menatap pembatas buku yang ditinggalkan pemiliknya di jaket tempo hari. Pembatas buku itu bagaikan sebuah kenangan indah bagi Mentari, jadi pembatas buku itu selalu dibawa ke mana pun ia pergi.
Saat Mentari sedang menunggu hujan di halte tempat biasa dia menunggu kendaraan umum, Seorang pria berpakaian rapi dengan jas abu-abu dan tas selempang di bahunya, juga earphone yang tergantung di telinganya, datang duduk di sebelah Mentari yang sedang menatap pembatas buku.
"Diliatin terus mbak itu pembatas buku," sahut pria itu. Sambil menatapi lurus ke depan dan melepas earphone yang dipakai. Mentari hanya bisa tersenyum sambil mengangguk. "Saya punya bukunya loh, ceritanya bagus," lanjut pria tadi menjelaskan.
"Ngomong-ngomong belom pulang mbak? Udah jam segini loh" tanya laki-laki tadi. Suara asing yang terasa familiar ini seperti deja vu bagi Mentari. Meskipun hanya sebentar mereka saling menatap, Mentari sempat melihat seulas kekhawatiran dari wajah Pria itu.
"Masih hujan, Mas. Saya juga nggak bawa payung. Payung yang bisa saya pake cuma dari yang punya pembatas buku ini, itu juga ketinggalan di kantor," jawab Mentari sambil ikut memandang lurus kedepan setelah lama menunduk menatap pembatas buku.
"Lupa bawa payung lagi? Mau tukeran, nggak, payung saya sama pembatas buku itu? Biar mbak bisa pulang," sahut pria itu. Mentari kaget dengan pertanyaan yang di tawarkan.
"Maksudnya gimana, ya, Mas? Maaf saya tidak bisa menukarkan pembatas ini kepada siapa pun," jawab Mentari sambil tersenyum.
"Loh, kok nggak bisa? Kan cuma pembatas aja. Lagipula punya saya pembatasnya juga hilang padahal sudah saya tulis nama saya di situ," sahut pria itu sambil menyodorkan payungnya.
"Nggak. Maaf, Mas. Bagaimanapun saya tetap tidak bisa karena ini peninggalan dari orang yang saya sukai sejak dulu, jadi saya anggap kenangan dari pemilik yang namanya tertulis di sini," jawab Mentari sopan menolak dan menjelaskan alasannya dan memperlihatkan tulisan di balik pembatas buku itu.
"Justru itu saya minta tukeran karena itu punya saya," jawab pria yang mengaku pemilik pembatas buku itu.
"Maaf, Mas, pemiliki yang aslinya sudah meninggal. Mungkin mas salah mengenali" jawab Mentari tak percaya.
"Saya, meninggal? Kalau saya meninggal berarti saya ini hantu dong? Ini buktinya saya bisa menyentuh Mbak. Berarti saya manusia, kan?" sahut laki-laki itu sambil menahan tawa dan menggenggam tangan Mentari kemudian dia mengeluarkan kartu nama yang bertuliskan sama seperti yang ada di balik pembatas buku. Mentari terkaget-kaget dan merasa malu karena mengatakan hal yang tidak pernah dibayangkan di depan orangnya langsung.
Mereka kemudian mengobrol dan Chandra menjelaskan kejadian sebenarnya saat hari Mentari salah paham dengan kejadian tabrakan tujuh tahun yang lalu. Pada saat itu Chandra hanya menolong korban yang ditabrak, dan ikut ke rumah sakit. Saat kembali ke halte, Chandra tidak menemukan Mentari di sana. Setelah lama berhubungan, mereka memutuskan untuk menikah. Akan tetapi, tepat di hari pernikahan mereka, hujan turun rintik-rintik cerah seakan memberikan selamat kepada kebahagiaan mereka berdua.Di kehidupan mereka selalu dipertemukan dengan hujan sebagai pertanda baikuntuk Mentari dan Chandra. Mentari juga sudah benar-benar mengubah pemikirannya mengenai cuaca hujan yang menurutnya suatu hal yang buruk. Karena, menurutnya, pastiada hal indah di balik gelapnya hujan yang selalu dijumpainya selama ini.