Bibir gadis kecil itu tak pernah berhenti bergetar, sebuah kesenduan terulas dari wajahnya yang begitu lusuh. Gadis kecil dengan rambut kuncir kudanya, bajunya basah karena terkena tetesan air hujan sedang duduk di depan toko dengan melipat kakinya.
"Nak ....., kenapa hujan-hujanan?" tanya seorang pria seumuran dengan ayahnya mengulurkan payung nya pada gadis itu. Gadis itu pun mendongakkan kepalanya, matanya menyelidik, laki-laki itu adalah juragan kaya di distriknya.
"Paman!" mata bening garis itu berkedip, tak percaya jika pria itu akan mendekatinya, banyak pejalan kaki yang juga sedang lalu lalang, tapi tak ada satupun yang peduli dengannya.
"Ikut paman ya!"
Tanpa pikir panjang, gadis kecil itu pun menganggukkan kepalanya, mungkin dugaannya tidak salah, bersama pria itu adalah pilihan terbaik.
Pria dengan jenggot tebal dan topi lebarnya menggandeng gadis kecil itu, gadis kecil itu adalah gadis yatim piatu yang di rawat bibinya, seluruh penghuni distrik mengenalnya, gadis yang pantang menyerah.
Namanya Bulan, tapi senyumnya tak pernah seindah sinar bulan, semenjak kepergian orang tuanya, sebuah kecelakaan kereta api telah merenggut kebahagian gadis itu.
Pria tua itu mengajak gadis itu hingga ke rumah besarnya. menyiapkan sebuah kamar, gadis itu masih belasan tahun tapi tangannya tampak banyak luka karena setiap hari harus membuat keset dari sabut kelapa, ia tidak pernah istirahat sebelum menyelesaikan pekerjaannya.
"Tidurlah di sini!"
"Terimakasih paman!"
Pria tua itu meninggalkan Bulan di dalam kamarnya, kamar yang begitu nyaman. Baru tadi pagi ia di siksa habis-habisan oleh bibinya. Bibirnya berdarah karena dapat pukulan dari wanita yang begitu kejam yang telah tega menyiksanya selama ini.
Saudara sepupunya juga tidak kalah ganas, bahkan ia memperlakukan Bulan tak ubahnya seperti seorang budak.
Di rumah itu, ia berharap akan mendapatkan kenyamanan, tapi apa yang ia harapkan sebuah kesalahan. Sebuah pembicaraan antara pemilik rumah dan tamu yang datang meluluh lantahkan harapannya.
"Saya akan menyerahkan gadis itu sebagai bayaran atas hutangku pada tuan Damar!"
"Saya pegang ucapan tuan, saya tunggu kedatangan anda besok pagi bersama gadis itu!"
"Baiklah ....!"
Hidup Bulan bagai terombang ambing dalam kesengsaraan yang tak berujung, siapa yang akan menolongnya lagi, ataukah malah akan masuk ke dalam lubang penderitaan yang sama.
Bulan menyerah, tak tahu apa yang akan terjadi berikutnya dalam hidupnya. Pria tua itu meminta Bulan Menganti bajunya dengan baju yang indah.
Pagi ini mereka benar-benar pergi ke kota, ke rumah tuan Damar yang konon katanya, pria kaya yang dingin dan tidak berperasaan, pria yang mengalami disfungsi seksual. Sudah banyak gadis yang di bawa untuk bisa menyembuhkan pria yang bernama Damar itu tapi tak ada yang berhasil. Bulan adalah gadis entah sudah yang ke berapa.
Banyak gadis yang berharap bisa menjadi istri atau sekedar pemuas nafsu pria itu, banyak kemewahan yang di tawarkan jika sampai itu terjadi, tapi hingga detik ini tak ada yang mampu.
"Paman aku takut!" bisik gadis itu saat langkah mereka sudah berada di depan gerbang yang mengungkung rumah yang entah seperti apa bentuk rumah itu, bahkan gerbang itu tak memberi celah pada orang luar untuk sekedar melihat kemegahan rumah itu.
Gerbang yang menjulang tinggi itu sudah berhasil menggambarkan seberapa megahnya rumah itu tanpa harus melihat ke dalam.
"Jangan takut ...., paman cuma punya kau sebagai penyelamat perkebunan paman, berlakulah baik. setidaknya jika tuan Damar menerimamu, hidupmu akan lebih baik dari pada tinggal dengan bibi dan sepupumu!"
Pria tua itu mendongakkan kepalanya, seperti sedang mencari-cari sesuatu. Dan yang di cari pun keluar, dua pria dengan wajah seram dan senapan yang ada di tangannya, matanya begitu tajam dan menyelidik.
"Siapa kalian?" suara Barito itu berhasil membuah keberanian pria tua itu menciut.
"Kami ingin menemui tuan Damar!" ucapan pria tua itu terdengar bergetar.
"Urusan apa?"
"Saya di minta tuan Oscar untuk membawakan seorang gadis untuk tuan Damar!"
"Tunggu di sini!"
Bulan dan pria tua itu tidak di perbolehkan masuk, mereka harus menunggu cukup lama hingga pria serang itu kembali dan membukakan sedikit gerbang itu.
"Kalian boleh masuk!"
Pria itu mengajak Bulan dan pria tua itu untuk masuk, sebuah halaman yang begitu luas bahkan lebih luas dari perkebunan yang ada di distrik. Hamparan rumput yang terawat dan bunga yang saling bermekaran, air mancur yang menghiasi setiap sudut jalan masuk.
Setelah masuk dan terus masuk barulah mereka bertemu dengan rumah utama yang begitu besar dengan pintu yang menjulang tinggi, bahkan di samping kiri kanan pintu itu ada yang menjaga dan bersiap membukakan pintu yang nampak sangat berat.
Di samping kiri kanan ada rumah yang sebenarnya juga tak kalah besar, rumah itu terpisah dari rumah utama.
Pintu utama terbuka, menampilkan sebuah rumah yang menakjubkan, furniture yang tak biasa, begitu mengkilat dengan berbagai hiasan mahal.
"Silahkan!"
Seorang yang mengantar tadi sudah menghilang kini berganti dengan orang yang berada di dalam rumah itu. ketakjuban yang hanya di tunjukkan oleh wajah Bulan dan pria tua itu.
Kepala pelayan itu mengantar mereka melewati beberapa ruang, butuh waktu lama untuk sampai di ruangan itu. Rumah itu benar-benar mirip istana.
Kepala pelayan itu membukakan pintu, di dalam sudah menunggu seseorang dengan wajah tegas.
"Duduklah!"
Suara itu lebih tajam dari pada pisau belati, membuat hati siapapun bergemuruh, jika bukan karena pembayaran hutang, mungkin pria tua itu akan berpikir ribuan kali untuk sampai di tempat itu.
Pria itu menyodorkan sebuah map dan polpen.
"Buka dan pelajari!"
Bulan hanya menunduk, ia tidak tahu sedang berada di sebuah tempat di belahan bumi yang mana hingga atmotfernya begitu berbeda, menyesakkan.
Pria tua itu bergetar memegang map itu dan membukanya, membaca perlahan isi map itu, sebuah surat perjanjian yang menyatakan jika sampai garis itu keluar dari rumah besar itu sampai sebelum waktunya habis makan seluruh kepemilikan pria tua itu menjadi milik tuan Damar.
Pria tua itu menatap Bulan, memastikan bahwa gadis itu tidak akan berbuat macam-macam sampai perjanjian mereka selesai.
Dengan tangan bergetar pria tua itu menggerakkan tangannya dan menorehkan tinta di atas kertas itu.
"Baiklah ....., sekarang tinggalkan gadis itu di sini!"
pria yang bernama Oscar itu meminta pria tua itu meninggalkan Bulan.
"Paman!" Bulan memohon untuk tidak meninggalkannya, ia begitu takut. wajah pria bernama Oscar itu begitu menakutkan.
Tapi sepertinya pria tua itu tidak mempedulikan keluhan gadis itu, yang terpenting untuknya adalah bisa pergi dari tempat itu dengan selamat dan hutangnya lunas. kehidupan keluarganya bisa terjamin.
Bulan hanya bisa tertunduk, ia benar-benar tidak berani menatap pria di depannya, jika saja asistennya sekejam itu bagaimana dengan tuannya.
"Persiapkan dirimu!"
"Heh?" Bulan tidak percaya pria itu bicara padanya. untuk pertama kalinya pria kejam itu mengajaknya bicara.
"Saya tidak suka mengulangi perintah!"
prok prok prok
pria bernama Oscar itu menepuk tangannya tiga kali, tak berapa lama beberapa pelayan sudah berjejer dengan tangannya membawa berbagai macam benda.
"Persiapkan dia!"
"Baik tuan!" jawab para pelayan itu serentak.
Benda-benda itu ternyata seperangkat gaun dan alat merias. Mereka begitu cekatan merawat Bulan, tanpa celah.
setelah selesai merawat Bulan, Bulan pun segera di antar ke sebuah ruang, ruang makan dengan dekorasi yang sangat indah. Bulan pun di minta duduk di salah satu tempat duduk itu, dengan meja bundar yang sudah tertata rapi berbagai jenis makanan dan minuman, dengan lilin besar di tengah meja.
Awalnya ia masih begitu tenang, tapi setelah suara sepatu yang menggema di ruang itu yang terpantul saat berbenturan dengan lantai jantung Bulan seakan tertekan begitu keras hingga ia kesusahan untuk bernafas.
Suara pantulan itu terdengar semakin dekat saja, membuat keringat dingin mengucur dengan sendirinya tanpa di minta. tangannya mulai bergetar, Bulan memejamkan matanya saat merasakan seseorang memegang pundaknya, tubuhnya bergetar semakin hebat.
"Bulan!"
Suara berat itu terasa begitu menggema sehingga berhasil memenuhi ruangan yang luas itu, bahkan rasanya Bulan tidak mampu mendengar suara lainnya selain dari pria itu.
"Menikahlah denganku!"
Ucapan pria itu berhasil membuatnya terperanjat, ia tidak pernah mengira jika pria itu akan mengatakan hal itu, ia mengira jika pria itu tidak mengerti tentang sebuah hubungan hingga memaksakan kehendaknya.
Makan malam itu berlangsung begitu saja, apa yang di pikirkan Bulan tidak pernah terjadi, pria itu tidak seburuk yang ia pikirkan. Sepanjang makan malam pria itu hanya diam dan memperhatikan Bulan, membuat bulan semakin tidak mengerti dengan apa yang sebenarnya terjadi.
tok tok tok
Suara ketukan pintu membuat Bulan tersadar dari lamunannya, beberapa pelayan masuk ke dalam kamarnya, mereka membawa perlengkapan yang sama seperti kemarin, Bulan hanya bisa berfikir, untuk apa lagi semua ini.
"Hari ini hari pernikahan nona, jadi berbahagialah!" ucapan salah satu pelayan itu kembali membuat Bulan terkejut, ada apa lagi ini? kehidupannya benar-benar seperti bola yang terus menggelinding tanpa henti.
Mereka membawa bulan ke sebuah aula, di sana sudah banyak orang, seorang penghulu sudah siap bersama pria asing itu. Bulan tak mampu menolak, ia duduk di samping pria itu, dan akad nikah pun berlangsung.
Tidak banyak tamu yang datang, setelah acara selesai, pelayan pun membawa bulan kembali ke kamar, tapi bukan kamar yang sama. kamar itu lebih luas dari kamar yang dia tempati beberapa hari ini.
Pelayan meninggalkan Bulan di sana sendiri dengan pintu yang tertutup. tak berapa lama, pintu itu kembali terbuka, seorang pria dengan jas putih itu masuk dan duduk di samping Bulan.
Tangannya mengulur, meraih dagu Bulan, mendekatkan wajahnya pada wajah Bulan.
"Apa kau mengenalku?"
Bulan hanya menggeleng, ia bahkan belum pernah mengenal pria di depannya itu, pria yang telah menjadi suaminya itu.
"Aku membutuhkanmu untuk menjadi ibu dari anakku, jadi beri aku anak dan kau akan bebas setelah ini!"
Apa maksudnya dengan bebas, apa setelah aku melahirkan anak dia akan membuang ku?
Seperti apa yang di katakan, Bulan tak bisa bertanya ataupun protes. Pria bernama Damar itu menginginkan anak darinya. Bulan hanya bisa melayaninya di ranjang tapi ia tidak punya kebebasan lainnya, bahkan Damar tidak mengijinkannya untuk pergi kemanapun, setiap kali dia datang, dia hanya membutuhkan tubuhnya.
Bulan bagai hidup di dalam sangkar emas, hingga ia mengandung. Damar begitu memperhatikan anak dalam kandungan Bulan, makanan dan sebagainya begitu di atur oleh Damar.
Hingga hari itu tiba, Bulan melahirkan seorang anak laki-laki. Damar begitu bahagia, begitupun dengan Bulan.
Tapi ternyata kebahagiaan itu tidak berlangsung lama, Damar memberinya waktu hingga enam bulan.
Sebuah tamparan keras seakan tidak begitu sakit, bahkan sabetan belati pun tidak akan menandingi sakit yang harus di tanggung Bulan saat sebuah keputusan yang di ambil saat ini.
"Nona Bulan, tuan Damar ingin anda menandatangani surat ini!"
"Ini surat apa?"
"Surat cerai, dan hak asuh tuan muda berada di tangan tuan Damar. Dan setelah ini anda tidak berhak menuntut atas apapun!"
Jadi dia benar-benar hanya menginginkan anak dariku, apa salahku hingga hidupku seperti ini. Bahkan belati pun tak mampu menandingi rasa sakit karena harus berpisah dengan putranya.
"Apa aku bisa berbicara dengan tuan Damar?"
"Maaf nona, tuan Damar tidak ingin bertemu dengan nona lagi, jadi segeralah tinggalkan tempat ini sebelum tuan Damar berubah pikiran!"
"Tapi biarkan aku tetap bersama putraku, aku tidak mungkin meninggalkannya!"
"Tapi dalam perjanjian, anda hanya akan menjadi istri tuan Damar sampai tuan Damar mendapatkan putra!"
Prok prok prok
Oscar si pria kejam itu kembali menepuk tangannya, seakan itu adalah tepukan perpisahan. Tiga orang tinggi besar bersiap untuk menarik kedua tangan Bulan dan menyeretnya keluar dari rumah besar itu. Begitu kejam, mereka tidak mengijinkannya bahkan untuk mencium putranya.
Hujan deras itu seakan menjadi temannya, setiap kali berada dalam kesedihan yang mendalam, langit pun menemaninya.
Hatinya begitu hancur, ia terus meraung dalam derasnya hujan, suaranya bercampur dengan derasnya hujan hingga menambah kepiluan siapapun yang mendengarkannya.
Air matanya bercampur dengan hujan, entah sebanyak apa air mata itu, seakan menandingi derasnya air hujan. Bulan terduduk di tanah, meratapi kepedihannya. Seakan sedih ini tidak berujung.
Gadis kecil yang sudah menjelma menjadi seorang ibu itu kini harus menimpal luka di usianya yang masih sangat muda.
Gadis belasan tahun itu, seharusnya masih bersenang-senang dengan teman-temannya, tapi gadis itu kebahagiannya untuk kesekian kali harus direnggut dari hidupnya.
Saat ia belum mengenal cinta, ia harus merasakan kepahitan dalam rumah tangga semunya, dan saat ia belum mengerti arti menjadi seorang ibu, ia harus menerima keputusan bahwa ia harus kehilangan putranya.
Siapa yang paling bersalah? Dan siapa yang harus di persilahkan? Hidupnya? Nasibnya? atau takdirnya?
Aku kira aku adalah Cinderella yang bahagia setelah mendapatkan keburukan yang banyak, tapi ternyata aku bukan Cinderella.
Tapi tak ada yang lebih kejam di banding siksaan seumur hidup karena telah berpisah dengan buah hati.
Hidup itu seperti bunga mawar, bunganya indah tapi berduri, hidup itu juga seperti lautan, ombaknya indah tapi dapat menghanyutkan.