“Tolong, buka tirai jendela kamarnya Bu, aku ingin melihat bulan sebelum tidur,” pintanya padaku, aku tersenyum dan menyibakkan tirainya. Jendela besar dari kaca di lantai dua yang langsung menghadap langit itu terbuka lebar. Dia terlihat sumringah. “Ibu akan buat bulan itu tampak lebih jelas lagi, kamu mau?” Ia mengangguk cepat, “Mau Bu!” Lampu kamar kumatikan begitu pun lampu di balkon. Kamar menjadi gelap. Hanya cahaya bulan yang menerabas masuk ke dalam kamar. Bulan sedang bagus – bagusnya. Purnama penuh ditemani bintang – bintang yang berkelip di langit. Bibirnya terlihat membentuk kata “Wuaaah” tanpa suara dan matanya berbinar senang melihatnya.
Aku naik ke atas tempat tidurnya dan masuk ke dalam selimut bersamanya. Kupeluk erat tubuhnya. “Bulannya indah ya Bu.” Aku menggangguk, “Indah dan cantik sekali, seperti kamu.” Aku bisa mendengar pelan suara tawa senangnya atas pujian itu. “Ih ge er, iya cantik kalau lagi ga ngambek,” kataku. Sekarang dia merajuk dan memelukku erat, aku tersenyum. “Bu, ambilkan bulan itu untukku dong, jadi bisa aku nyalakan kalau – kalau mati lampu,” katanya. Aku tertawa, “Heiy, kau pikir bohlam apa...iya nanti Ibu usahain, tapi Ibu harus bikin tangga dulu yang panjaaaaang banget biar nyampe ngambilnya.” Sekarang dia yang tertawa.
“Bu, itu bintang apa yang berkelip terang di sebelah bulan?”
Mataku mencari – cari ke langit malam, “Yang mana sayang?”
“Itu Bu, yang paling terang.”
“Oiya, itu ya yang paling terang…mmm, bintang apa ya? Kayaknya belum ada namanya, gimana kalo bintang itu kamu aja yang kasih nama?”
“Kok aku Bu? Kan harusnya para penemu yang menamakannya.”
Aku tertawa, “Tapi bintang itu barusan kamu yang menemukannya loh…jadi ya kamu boleh kasih nama dong.”
“Boleh gitu ya Bu?” tanyanya dengan senyum yang lebar.
Aku mengangguk, “Boleh banget sayang.”
Tiba – tiba, aku merasakan nafasnya tersenggal. Kakinya mengejang dan tubuhnya gemetar. Tangannya memegangi kepalanya. Suaranya terdengar tertahan dan mendesis. Dia membenamkan dirinya ke dalam pelukanku, menahan sakit. “Sshh…sshhhh, sayang, sabar ya…sabar…” bisikku di telinganya menguatkan. Aku semakin memeluknya erat, takut pelukan ini lepas. Perlahan aku dendangkan lagu kesukaannya untuk menenangkan. Lama kelamaan dia kembali tenang, kejang dan gemetarnya hilang. Lagu itu menidurkannya. Aku menatapnya dalam lelap. Ada yang menetes dari mataku, mengalir hangat di pipi.
Setiap malam kita melihat bulan dan bintang bersama. Menghabiskan malam dengan memeluknya. Menyanyikan perlahan lagu kesukaannya hingga dia jatuh tertidur dalam pelukan. Ah ini menjadi malam – malam paling bahagia dalam hidupku sekaligus menjadi malam paling gelisah di hatiku. Aku takut ya Tuhan.
--------------------------------------------------
Di hari – hari berikutnya.
“Kemana bulan dan bintang Bu? Kok langitnya sepi?” tanyanya sambil meraba – raba kasur mencari selimut. Aku melihat langit dari jendela, tampak bulan dan bintang sedang bersinar. Hatiku patah dan sedih, sekarang penglihatannya semakin buram.
“Iya ya, kemana ya, sebentar lagi juga muncul, mungkin tertutup awan sayang,” jawabku tersenyum dalam pedih, “Eh, sudah kamu kasih nama belum, bintang yang terang kemarin itu?” Dia mengangguk. “Siapa?” aku penasaran. Dia membisikkinya di telingaku. “Wuaaah, namanya bagus banget…” seruku mencubit pipinya. Dia tertawa riang.
“Tapi malam ini, kasihan langit ya Bu, dia sepi karena ga ada bulan dan bintangnya.”
“Ga juga, tungguin deh sebentar lagi, langit bakalan rame, ga cuma ada bulan dan bintang tapi ada aliennya juga!” seruku sambil melompat ke tempat tidur dan menggelitikinya.
“Hahaha…ah Ibu bohong….hahaha…”
Aku terus menggelitiknya, sia – sia dia menghindar aku terus mengejarnya, tawanya menggemaskan sekaligus menghujam tajam jantungku. Ya Tuhan, aku selalu ingin mendengar tawanya.
Hari – hari yang dilalui, tidak ada satupun yang terlewat untuk memperjuangkannya. Aku terus berusaha dan berusaha, kau tahu, aku tidak pernah menyerah untukmu sayang. Wajahnya yang bulat dengan bulu matanya yang lentik terlelap, aku tidak pernah bosan memandanginya. Rambutnya yang dulu ikal lebat kini habis, tapi tetap membuatnya cantik tak ada duanya. Aku mencium keningnya dan menahan isak di dada.
---------------------------------------------
Hening malam ini. Sudut – sudut rumah begitu muram. Detak detik di jam dinding ruang tengah menambah sunyi yang mendalam. Mataku masih sembab, hatiku masih pecah berantakan dan setiap malam kesenyapan ini selalu membungkam. Perlahan aku mendorong pintu kamar dengan jendela besar di lantai dua. Kamar yang selalu membuat airmataku jatuh menetes begitu saja tanpa kompromi. Kakiku melangkah masuk.
“Sayang, mau Ibu sibakkan tirainya? Kamu mau lihat bulan malam ini kan?” Tidak ada tanggapan. Aku tetap membuka tirainya.
“Eh Ibu akan buat bulan itu tampak lebih jelas lagi, kamu mau?” Tidak ada tanggapan. Aku tetap mematikan lampu kamar dan lampu balkon hingga kamar menjadi gelap. Cahaya bulan menyemburat masuk melalui jendela kaca dan satu bintang berkelipan terang di sana.
Aku naik ke atas tempat tidurnya, menyelimuti tubuhku dengan selimutnya. “Sayang, lihat…itu si Hope muncul…di sebelah bulan…bintang yang paling terang, kau lihat?...Itu nama yang kau berikan untuk bintangnya…kau ingat kan? Kau yang membisikkan nama itu ke Ibu waktu itu.” Tidak ada tanggapan.
Bibirku mulai gemetar, bola mataku bergetar – getar, “Sayang…jangan diam aja…jawab Ibu sayang…Ibu di sini….” lirih aku tersedak sedih.
Tetap tak ada tanggapan dan jawaban. Di kamar itu hanya ada aku sendiri.
“Lihat sayang, bulan sedang cantik – cantiknya…dan itu, Hope bersinar terang, kamu harus lihat ini…kamu harus lihat nak, kamu pasti…suka,” suaraku semakin pelan, serak lalu tenggelam bersama harapan yang hilang dan isak kesedihan yang menyelesak dada.
Apa yang paling menyakitkan bagi seorang ibu? Adalah melahirkan, membesarkan lalu melihat darah dagingnya pergi mendahuluinya tanpa bisa menahannya.
Aku tahu sakitmu dan waktumu yang sedikit, tapi kepergianmu tetap meninggalkan lubang dalam di dadaku. Sesak mengisi paru – paruku. Ini kesedihan hebat yang harus aku jalani setiap hari dan aku akan selalu jatuh di situ. Mau bilang apa lagi. Bulir – bulir airmataku jatuh pecah di atas selimutmu. Harum tubuhmu tertinggal di selimut ini dan aku ciumi. Perlahan aku memohon kepada Tuhan untuk membawamu kembali.
*Ambilkan bulan Bu…ambilkan bulan Bu
Ini ibu nyanyikan untukmu, lagu kesukaanmu. Di saat kau terlelap dan ibu menjagamu.
*Yang selalu bersinar di langit
Maafkan ibu yang belum sempat mengambilkan bulan untukmu.
*Di langit bulan benderang
Bulan itu Ibu, selalu ada untukku, kamu yang bilang begitu.
*Cahyanya sampai ke bintang
Dan kamu adalah bintang yang selalu bercahaya. Kamu bintang kesayangannya Ibu.
*Ambilkan bulan Bu…
Sayang, bila kamu bertemu Tuhan, katakan Ibu ingin kamu pulang.
*Untuk menerangi…
Ibu tidak sanggup sendiri tanpamu.
*Tidurku yang gelap
Ibu kangen, ingin memelukmu erat.
*Di malam gelap…
Dan ibu tidak akan pernah melepaskanmu lagi.
TAMAT