Hai, apa kabar hati yang lemah? Pada dasarnya pura-pura kuat itu nyata menyakitkan.
-Desy Puspita-
"Kamu percaya cinta?" Lembaran kertas itu seakan menatapku begitu lekat, menanti jawaban yang tak kunjung aku temukan sejak kemarin.
Lagi-lagi hanya coretan tak bermakna yang memenuhi permukaan kertas putih itu, pertanyaan yang sama bahkan aku sudah muak menyimpulkan maknanya.
Beranjak dewasa namun tetap saja aku lemah, kata orang itu bukan cinta. Tapi, jatuh cinta. Kamu jatuh lantaran lancang mencinta, ya apapun whatever intinya aku hanya berdecak kesal kala kembali mengingat kalimat itu.
Perihal rasa aku lemah, kala sudah mencinta jangankan raga, jiwapun milik dia. "Hahah, romantis bukan? Atau sebenarnya kau bodoh?"
Pertanyaan berbungkus candaan disertai hinaan kerap aku terima kala aku bermain dengan cinta, eits bukan bermain tepatnya memaknai cinta.
Ya begitulah aku, tak semudah itu menempatkan seseorang dalam jiwa. Kala aku memutuskan dia untukku, maka namanya meyatu dalam aliran darah dan setiap helaan napas.
Siapa sangka, kala hatiku memutuskan bodo amat akan rasa dia datang dan menghancurkan dinding pertahanan itu dalam sekejap mata.
Malam kelam, di bawah langit yang sama namun suasana berbeda. Berpadu dalam alunan nada cinta yang terkesan tergesa.
"Hah? Suka?" aku mengernyit kala membaca chat personal dari pria itu berulang kali.
"Kamu mabuk?" Begitulah tanyaku memastikan, aku tahu perasaan takkan semudah itu bicara.
"Tidak, jangan percaya!" Begitulah caraku menyakinkan diri agar tetap berpegang pada prinsip awal.
Nyatanya meyakinkan diri sendiri itu lebih sulit dari pada meyakinkan orang lain. Kejutan dari hari ke hari membuat cintaku semkain menjadi tanpa aku sadari.
Enggan menerima lantaran ketakutan akan satu hal "Kehilangan," ya aku takut akan kata itu.
Gagal dalam sebuah hubungan yang nyatanya bercanda membuatku menutup mata tentang rasa. Kehilangan sosok yang pernah mengukir cinta bukan main sakitnya, dan aku takkan mengulangi hal itu kedua kalinya.
Dan denganmu, aku memutuskan untuk yakin lukaku takkan terulang. Menghela napas perlahan seraya menatap bayangan di cermin kamar, "Tenang, semua akan baik-baik saja." Begitulah ucapku seraya meletakkan telapak tangan di dadaku.
Hari demi hari berlalu, kita baik-baik saja, angan dan harapan sama besarnya. Tawa dan air mata sama derasnya. Nyatanya benar, bahwa tak ada cinta tanpa air mata.
Apapun sebabnya tentu saja tangisan itu ada. Tapi, aku yakin semua akan berganti tawa jika memang sudah waktunya. Tuhan takkan salah, hanya saja kita yang salah menafsirkan.
Pernah menarik sudut bibir kala teman seusiaku mengeluh tentang LDR, yaps Long Distance Relationship. Dan aku malah merasakannya "Hahaha!" Lucu bukan bahkan aku kini mentertawakan diri sendiri.
Aku jatuh cinta pada mata yang bahkan belum pernah aku tatap, jemari yang belum pernah aku genggam, dan raga yang belum pernah aku peluk. Dan lagi-lagi fakta bahwa cinta tak ada logika itu nyata adanya.
"Tuhan, aku tidak salah kan?"
Aku kerap bertanya dalam kesendirian, mengapa Tuhan menempatkan perasaan ini, dah parah-Nya begitu dalam. Aku bahkan merasa dirinya sedekat itu denganku, dan aku harap Tuhan mengizinkan untuk benar dekat dengan jiwa, raga dan hatinya untuk waktu yang lama, lama dan sangat lama.
Kalaupun harus menanti waktunya, aku akan sabar tentu saja. Aku ingin jadi bahagianya, aku ingin menjadi alasan dia tertawa, aku ingin menjadi alasan agar ia merasa berharga. Dan begitupun sebaliknya.
Tak sulit kan bagi Tuhan mengabulkannya? Dalam tangis dan tawa harapku tetap sama, saling memiliki dan merengkuh dalam lingkar bahagia.
Aku milikmu, maka kau juga akan menjadi milikku.
But, ini bukan cerpen, hanya goresan tangan penulis tentang cinta untuk cintanya.
-Aku mau kamu baik-baik saja.
-Jika kamu lemah, maka kuatlah.
-Jika kamu lelah, istirahat sejenak, nanti kembali ya.
-Jangan merasa menyakitiku, aku tidak sakit karenamu.
Love you, see you di titik terbaik menurut takdir.
Semoga Tuhan mengizinkan dan takdir tak mematahkan.
-Selasa, 02 Maret 2021.
Bumi, Indonesia.
Hujan rintik dalam kesendirian.
20:10 WIB💖