"Aaaaa!"
Terdengar suara teriakan Amber dari kamarnya. Malam sudah sangat larut, wajar saja jika suaranya itu membawa ayahnya yang tadinya terlelap bergegas menghampirinya, membuka pintu kamarnya bahkan tanpa mengetuk terlebih dahulu.
"Kenapa, Nak?!" tanya Ayah dengan nada kaget dan terengah seolah ia tadi berlari secepat mungkin untuk segera melihat Amber.
"Mimpi, Yah," jawab Amber singkat, mencoba untuk terlihat lebih tenang setelah ia melihat raut khawatir di wajah ayahnya.
"Are you okay?" Ayah bertanya lagi, seperti tidak yakin atas apa yang baru saja didengarnya.
"Ya. Cuma mimpi, Yah," kata Amber sambil tersenyum.
"Apa yang kamu mimpikan sampai kamu beteriak sekencang itu?" Kata Ayah sambil mengusap pundak Amber, berharap bahwa itu bisa memberinya sedikit ketenangan untuk putrinya.
"Bukan apa-apa, Yah," jawab Amber lagi. Singkat.
Walau masih terlihat ragu, ayah akhirnya memilih untuk percaya dan membiarkan Amber beristirahat. "Baiklah kalau begitu. Cobalah tidur lagi. Mau Ayah nyalakan saja lampunya?"
"No, Ayah. Selamat malam," jawabnya.
Ayah berlalu sambil kembali menutup pintu kamar Amber. Suasana pun kembali hening dalam sekejap. Hanya sesekali terdengar bunyi jangkrik yang sepertinya menghuni halaman belakang rumah itu. Terangnya sinar bulan yang menerobos masuk melalui celah-celah tirai jendela, membuat Amber mampu untuk melihat seisi kamar yang cukup luas itu walaupun samar.
Amber kembali merebah. Dia mencoba lagi mengatur napas supaya detak jantungnya tak lagi menderu. Tentu saja, yang barusan bukanlah mimpi biasa. Mimpi semacam itu bukanlah yang ia harapkan hadir di tengah tidur lelapnya.
"Udah lama. Harusnya udah nggak mimpi itu lagi," bisiknya dalam hati, sembari menyeka keringat yang membasahi wajahnya dengan kedua tangannya.
Ia mencoba untuk memejamkan matanya, berharap ia bisa tidur lagi karena pagi masihlah jauh. Sayangnya, ia tak bisa.
Maka ia menyalakan lampu baca yang menempel di dinding dekat ujung kepala tempat tidurnya. Ia mulai membaca buku yang belum sempat ia selesaikan karena banyak hal yang harus ia urus akhir-akhir ini.
***
Amberley Senja. Itulah namanya. Nama unik yang dipilihkan oleh ayah secara khusus untuknya. 'Amberley' sendiri adalah salah satu kata dalam bahasa Sansekerta yang berarti 'langit'. Ya, nama ini memang dipilih atas dasar kecintaan sang ayah pada indahnya langit senja yang selalu membawa banyak kenangan di dalamnya. Kehadiran Amber pun nampaknya menciptakan kenangan dan pelajaran yang sangat penting di hati ayahnya, seolah nama yang ia pilihkan memang sudah tepat sejak awal.
Soal panggilan, ia lebih sering dipanggil dengan nama 'Amber'. Ini terdengar sama dengan sebutan dari salah satu jenis batu berharga dalam bahasa Inggris. Warnanya oranye kekuning-kuningan dan terbentuk dari resin pohon yang lama-kelamaan mengeras dan menjadi fosil setelah puluhan hingga jutaan tahun lamanya. Sangat keras, tapi indah.
Amber adalah gadis tomboy berusia 18 tahun. Walaupun pembawaannya jauh dari kesan feminine, bukan berarti dia juga menyukai potongan rambut pendek ala anak-anak lelaki pada umumnya. Untuk urusan rambut, sedari dulu dia selalu lebih suka menjaga rambut lurusnya hanya sepanjang punggung bagian atas dan tidak pernah melebihi batas itu. Entah disadarinya atau tidak, pilihannya ini malah terlihat sesuai dengan tinggi badan dan bentuk tubuhnya, membuatnya terlihat menarik.
Sebentar lagi, Amber akan memulai kehidupannya sebagai seorang mahasiswi di Jurusan Seni Murni, Fakultas Seni Rupa di salah satu kampus ternama di sebuah kota yang memang belum lama ditinggalinya. Bisa dibilang, ia dan ayahnya memang baru saja pindah ke sana. Walaupun begitu sebenarnya sudah cukup lama mereka mempunyai sebuah rumah di sana. Dulunya, rumah itu hanya mereka kunjungi sesekali saat mereka sedang dalam masa liburan.
Memang tak nampak ada yang salah di diri Amber. Walaupun ia lebih cenderung diam, dia adalah anak yang baik dan sopan. Bagi orang yang belum benar-benar mengenalnya dan hanya melihat sekilas saja, dia bisa membuat mereka merasa iri atau paling tidak sekedar berkomentar tentang betapa beruntungnya dia dan kehidupan yang ia miliki. Bagaimana tidak, dia adalah putri satu-satunya dari pelukis kenamaan tanah air, Laksmana Tarachandra. Setiap karyanya kini biasa terjual dengan harga ratusan juta hingga milyaran rupiah.
Karena semua itulah, bisa dibilang mereka hidup serba berkecukupan atau bahkan lebih dari itu. Semua fasilitas yang Amber butuhkan untuk bisa hidup dengan nyaman dan aman bisa ia dapatkan dengan mudah. Mulai dari makanan, pakaian, tempat tinggal, gadget, hingga sebuah mobil pribadi yang ia dapatkan pada saat ulang tahunnya yang ke-17 semua selalu tersedia. Ayahnya sudah memberikan semua itu, bahkan tanpa ia harus memintanya terlebih dahulu.
Dia juga secara alami mewarisi bakat seni ayahnya. Walau tidak ada yang memaksa atau benar-benar mengajarinya secara formal, dia sudah menunjukkan bakat dalam bidang seni rupa, bahkan sejak usianya masih tergolong sangat muda. Mungkin, ini semua berawal ketika Amber sudah mulai melihat ayahnya melukis di usianya yang kala itu masih 3 tahun. Setelah itu, kemampuan menggambar dan melukisnya seolah berkembang cukup pesat dengan sendirinya dan menjadi semakin baik dari waktu ke waktu.
Saat masih berstatus sebagai seorang pelajar pun, ia sudah sering ikut serta dalam kontes dan kompetisi menggambar di berbagai tempat dalam berbagai tingkatan, mulai dari daerah hingga nasional. Tujuannya bukanlah semata-mata untuk mendapatkan hadiah yang ditawarkan. Ia lebih ingin memberikan rasa puas pada dirinya sendiri. Ada juga rasa bangga karena sedikit demi sedikit ia dikenal atas karyanya sendiri dan bukan karena nama besar ayahnya. Setiap kemenangannya seolah menepis banyak anggapan bahwa ia berkesenian hanya dengan menumpang ketenaran sang ayah, bukan atas kemampuannya.
Berbeda dengan sang ayah yang lebih menjiwai bidang seni lukis beraliran surealis, Amber lebih cenderung menyukai dunia sketsa yang lebih mengarah ke aliran realis dan inspirasinya berasal dari benda hidup atau hal-hal yang ia jumpai di kehidupan sehari-hari. Hal itu jugalah yang menjadi alasan mengapa dia akhirnya mantap untuk memilih jurusan seni murni di sebuah universitas yang ia pilih sendiri. Ia ingin mendapatkan pengetahuan dan pengalaman yang lebih dari yang ia punya sekarang. Ia juga ingin mempunyai kemampuan yang lebih mumpuni di bidang yang sudah lama ia cintai itu.
Tentu saja, mengetahui hal tersebut sang ayah sangat bahagia dan mendukungnya. Sebenarnya, beliau cenderung mendukung semua hal positif yang diminati oleh putrinya. Hanya saja, untuk hal yang satu ini terasa lebih spesial karena kebetulan serupa dengan apa yang ia sukai pula.
Semua penjelasan tentang Amber tersebut terdengar cukup fantastis bukan? Apa lagi sih yang kurang darinya? Ia seolah mirip dengan tokoh-tokoh bergelimang harta yang sering muncul di dalam drama televisi ataupun komik. Hidupnya sekilas terlihat selalu bahagia, terlebih lagi dia tak lagi perlu memikirkan susahnya tak punya cukup uang.
Sayangnya, ada satu hal yang banyak orang sering lupa. Tidak ada seorang pun yang sempurna di dunia ini. Amber pun juga begitu. Dia bukan seseorang dengan kehidupan yang sempurna seperti yang selama ini kebanyakan orang anggap.
Dari semua hal yang nampak fantastis di kehidupannya tersebut, ada satu hal yang tidak diketahui oleh banyak orang. Mungkin sebenarnya mereka menyadari hal ini, hanya saja mereka benar-benar tidak tahu perihal tersebut. Di mana ibunya? Kenapa ia seolah jarang sekali terlihat di kehidupan Amber? Apakah dia adalah seorang wanita karier yang sangat sibuk, sehingga bahkan mata kamera para pencari berita pun tak pernah menangkapnya? Apakah dia tidak tinggal di negara yang sama dengan Amber? Ataukah ia tinggal dan menetap di luar negeri karena pekerjaannya?
Sosok ibu adalah satu-satunya yang seolah tak nampak dari kehidupan Amber yang tergambar serba sempurna dan berkecukupan. Seseorang yang harusnya menjadi bagian terpenting dari semua keluarga. Seseorang yang bisa menjadi poros utama dari setiap anggota keluarga. Ke mana dia?
Yang orang lain ketahui, ibunya memang tidak terlalu sering terlihat. Bahkan, di beberapa tahun terakhir keberadaannya seolah semakin tenggelam entah kemana. Dari situ, muncullah spekulasi bahwa ayah dan ibunya mungkin telah diam-diam bercerai. Dan, melihat fakta bahwa Amber masih bersama ayahnya sekarang, membuat mereka bahkan juga mengira-ira bahwa hak asuh atasnya jatuh ke tangan sang ayah.
Yang menjadi pertanyaan adalah: apakah memang semua perkiraan tersebut benar adanya? Walau tak sepenuhnya salah, kenyataan yang dihadapi Amber sebenarnya jauh lebih buruk dari itu.
***
Amber lahir dari rahim seorang wanita bernama Ayu. Ya, hanya itu namanya, tanpa ada embel-embel apapun di belakangnya. Mungkin saja, saat ia lahir, orang tuanya sangat terpesona pada parasnya yang cantik sehingga tak lagi merasa perlu untuk menautkan nama lain untuk membuatnya terkesan panjang.
Dan memang benar, ibu Amber adalah orang yang berparas cantik memesona. Sifatnya yang kalem membuatnya terlihat anggun. Bisa jadi, hal ini jugalah yang membuat Tarachandra, yang tak lain adalah ayah Amber, jatuh hati padanya. Ayu bertemu dengannya untuk yang pertama kali di sebuah pameran tunggal yang diadakan di sebuah galeri ternama di pusat kota. Kala itu, nama Tarachandra sudah mulai dikenal publik berkat karyanya yang selalu membawa pesan menggelitik dan berani, baik itu soal masyarakat atau pemerintahan di negeri ini. Hal-hal dengan topik tersebut lebih mudah untuk mendapat perhatian orang dari berbagai kalangan saat itu. Karenanya, nama Tarachandra cukup cepat melejit. Walau begitu, tentu saja, hal ini juga tidak bisa dipisahkan dari kualitas karya-karya lukisannya yang berkarakter dan sudah mempunyai ciri khas tersendiri.
Pameran kala itu adalah yang cukup besar yang bisa Tarachandra wujudkan untuk pertama kalinya setelah sekian tahun berkecimpung di dunia seni lukis. Dan nyatanya, dewi keberuntungan sedang berpihak padanya. Pameran tersebut menjadi titik awal ketenaran dan kesuksesannya. Bahkan, pameran itu jugalah yang mempertemukannya dengan wanita yang kelak akan menjadi istrinya.
Ya, Ayu memang datang ke sana untuk melaksanakan tugasnya sebagai wartawan yang meliput acara pembukaan pameran tunggal yang bertajuk MATA RAKYAT BICARA tersebut. Tentu saja, di sana ia juga harus mewawancarai sang pelukis guna membuat liputan yang akan dia tulis menjadi lengkap.
"Permisi, Bapak Tarachandra. Saya dari surat kabar Pertiwi. Mohon waktunya sebentar untuk wawancara." Suaranya yang lembut namun lugas menarik perhatian sang pelukis yang kala itu memang masih bujang.
Tentu saja, ia lalu meluangkan waktunya untuk memenuhi permintaan wawancara tersebut. "Ya, silahkan. Dengan siapa ini?" tanyanya ingin tahu.
"Saya Ayu, Pak," jawabnya sambil manjabat tangan Tarachandra, lalu mengeluarkan sebuah alat perekam suara. "Langsung pada pertanyaannya ya, Pak. Seperti yang sudah tertera dalam katalog yang kebetulan sudah saya baca terlebih dahulu tadi, Anda memilih tajuk MATA RAKYAT BICARA untuk pameran tunggal yang perdana ini. Sebenarnya apa alasan di balik pilihan tersebut, Pak?" Ayu bertanya dengan mantap, seakan dia sudah mempersiapkan bahan untuk wawancara tersebut dengan matang.
"Ya, pada jaman sekarang ini, semakin banyak rakyat yang pintar dalam mengamati dan menyadari hal-hal yang sedang terjadi di negara kita tercinta ini, terutama jika itu berkaitan dengan pemerintah-" Ia pun memberi sedikit jeda pada jawabannya, seolah sedang memikirkan sesuatu. "Hanya saja, tidak semua orang mempunyai keberanian yang cukup untuk menyampaikan hal-hal tersebut walaupun mungkin sebenarnya apa yang mereka pikirkan memang benar adanya. Oleh karena itu, karya-karya yang ada dalam pameran tunggal ini, saya harapkan bisa menjadi perwakilan dari apa yang banyak rakyat lihat, pikirkan, dan harapkan dari pemerintah," lanjutnya dengan serius.
Ketika bicara soal karya seninya, apalagi yang isinya mengandung kritik sosial terhadap wakil rakyat, Tarachandra memang tidak pernah main-main. Dirinya pun merasa sebagai rakyat, sebagai bagian dari negara ini, yang berhak dan berkewajiban menyuarakan kebenaran jika memang ditemui adanya ketidakadilan, penyimpangan, atau bahkan pelanggaran yang dilakukan oleh pemerintah yang harusnya menjadi wakil yang mengedepankan rakyatnya.
"Lalu, berapa lama total waktu pengerjaan keseluruh 31 lukisan yang Anda ikut sertakan dalam pameran ini?" Ayu bertanya tanpa terlebih dahulu basa-basi menanyakan berapa jumlah keseluruhan lukisan yang ada dalam pameran itu. Dia sudah terlebih dahulu membaca dengan hati-hati semua informasi yang ada dalam katalog seni yang sudah ia terima sebelum acara pembukaan resmi dilaksanakan. Dengan begitu, ia bisa lebih fokus pada hal-hal yang memang belum tertera di sana.
Menurutnya, menjadi seorang wartawan haruslah pintar dan proaktif. Selain itu, dia tahu betul bahwa terkadang seorang pencari berita tak diberikan waktu banyak untuk mendapatkan semua informasi yang dibutuhkan. Oleh karena itu, ia harus bisa memanfaatkan waktu yang ada dengan sebaik mungkin, bukan malah menanyakan pertanyaan yang tidak perlu atau yang sebenarnya sudah diketahui jawabannya.
Dengan diawali senyum yang seolah paham bahwa Ayu memang bukanlah wartawan amatiran atau paling tidak dia adalah wartawan dengan dedikasi tinggi, Tarachandra pun menjawab, "jika hanya dilihat dari lini masanya, saya memulai pengerjaan lukisan pertama untuk pameran ini sekitar bulan Juni tahun lalu. Lukisan terakhir selesai pada bulan Januari awal. Jadi kurang lebih saya menyelesaikan semua lukisan ini hanya dalam waktu 6 bulan saja."
Luar biasa memang. 31 lukisan dengan ukuran yang cukup besar selesai dikerjakan dalam waktu yang bisa dibilang cukup singkat. Itu bukanlah hal yang bisa dilakukan oleh semua orang. Yang membuatnya lebih istimewa, kualitas dari setiap karyanya tidak perlu dipertanyakan lagi. Kemampuan semacam itu adalah hadiah istimewa yang ia terima dari Sang Pencipta.
"Wah, Anda luar biasa sekali, Pak," Ayu secara refleks memberikan pujian pada sang pelukis karena rasa kagumnya. "Kalau mengenai karya di pameran kali ini, menurut Anda pribadi, manakah yang paling berkesan, Pak Tarachandra?" Ayu kembali mengajukan satu pertanyaan.
"Mari, saya tunjukkan," kata Tarachandra sambil mengajak Ayu menuju ke bagian depan tengah ruang galeri tersebut. Di sana, terpampang sebuah lukisan yang memang ukurannya lebih besar jika dibandingkan dengan lukisan lain di pameran tunggal itu. Lokasi tempat di mana lukisan itu dipajang pun sangatlah strategis, di mana setiap orang yang baru saja memasuki ruang pameran akan langsung bisa melihatnya.
"Ini dia. Kira-kira, apakah anda bisa menebak hal yang ingin saya tunjukkan dari lukisan ini?" tanyanya kepada Ayu.
Ayu berpikir sejenak lalu menjawab. "Apakah ini mengenai kerusuhan besar waktu itu, Pak?" Ayu teringat pada peristiwa kerusuhan besar yang terjadi di ibukota dan beberapa kota lainnya dalam waktu yang hampir bersamaan. Entah mengapa, ia seolah bisa melihat peristiwa itu tertuang dalam karya surealis ini.
"Tepat sekali. Hanya saja, saya tidak memilih sudut pandang si pelaku kerusuhan atau juga sudut pandang pihak-pihak yang dituntut dalam peristiwa tersebut. Seniman lain juga tentunya sudah banyak menyampaikan itu di dalam karya-karya mereka," terangnya. Lalu ia terdiam sejenak. Ia seolah menggali kembali memori akan kerusuhan itu yang tersisa di pikirannya. "Saya paham betul betapa ada banyak pihak yang sangat menderita akibat peristiwa tersebut dan saya juga menuangkannya di beberapa karya saya di sini. Namun, ada hal yang cukup mengganggu batin saya kala itu dan itulah yang menjadi inspirasi utama dari lukisan yang satu ini," lugasnya.
"Kalau boleh tahu, hal apakah itu, Pak?" Ayu spontan bertanya karena merasa penasaran. Wawancara kali ini malah semakin terasa seperti sebuah obrolan.
"Menurut Anda?" Tanya sang pelukis dengan singkat sambil melihat wajah Ayu yang mungkin sebenarnya sudah menyita perhatiannya sejak awal.
Ayu kembali menatap lukisan itu dalam-dalam dan mencoba menangkap suasana yang ada di dalamnya. Tak mudah memang karena lukisan tersebut beraliran surealis. Karya semacam ini berbeda dengan karya realis yang peristiwa di dalamnya bisa lebih mudah terbaca.
Walaupun sedang dalam sesi wawancara, Ayu tidak terlihat terburu-buru dalam membaca lukisan tersebut. Rupanya, hal ini tertangkap oleh mata Tarachandra. Ia yakin bahwa Ayu tidak akan secara sembarangan menjawab pertanyaannya.
"Aa ..." kata Ayu tiba-tiba. "Saya memang belum pandai membaca keseluruhan dari lukisan Anda ini. Hanya saja, pada bagian ini," kata Ayu sambil menunjuk pada salah satu bagian di lukisan itu, "saya melihat perasaan yang terteror. Seolah merasakan suasana yang mencekam kala itu. Mungkin, Anda menuangkan perasaan dari orang-orang yang walaupun tidak terlibat tapi ikut menyaksikan kerusuhan kala itu," pungkasnya.
"Mata Anda cukup jeli, Nona Ayu," puji Tarachandra.
Ayu tersenyum puas. Dia memang cukup sering mengunjungi galeri dan pameran lukisan, sekedar untuk memuaskan rasa ingin tahunya. Tak terasa lama kelamaan hal itu menjadi hobi yang bisa mengusir penatnya disela-sela hari kerjanya. Mungkin karena hal itulah ia ditugaskan untuk meliput pameran tunggal Tarachandra kali ini.
"Baiklah, saya rasa semua info yang saya butuhkan sudah saya terima. Selebihnya, saya meminta ijin untuk menggunakan info lain dari katalog ini jika diperbolehkan," kata Ayu seraya meminta ijin.
"Ya, ya. Silahkan saja. Katalog seni ini memang dibuat guna mempermudahkan setiap orang, termasuk para penulis berita, yang datang ke sini untuk mendapatkan info lengkap, terutama tentang setiap karya yang saya sertakan dalam pameran ini," jawab Tarachandra.
"Terimakasih, Pak Tarachandra. Sungguh menyenangkan bisa berbincang dengan Anda. Kalau begitu saya pamit dan sekalian minta ijin untuk mengambil beberapa foto," kata Ayu sembari mengulurkan tangannya untuk menjabat Tarachandra.
"Sama-sama. Silahkan. Tapi sebelumnya, apakah Anda memiliki kartu nama atau nomor yang bisa dihubungi? Siapa tahu suatu saat perlu," tanya Tarachandra.
Ayu yang kala itu sedang bertugas sebagai wartawan tentu sama sekali tidak menaruh curiga. Dia memang selalu membawa kartu namanya ke mana-mana untuk keperluan kerja. "Ini, Pak," kata Ayu sambil mengulurkan kartu yang lengkap berisikan namanya dan juga nomor telepon yang bisa dihubungi. Dia melihat, Tarachandra menerima kartu itu sambil seperti sedang mencari sesuatu di dalam kantong kemeja hitamnya.
"Nah, ini dia. Ini kartu nama saya. Simpanlah. Jangan lupa hubungi saya jika hasil liputannya sudah terbit, saya pasti akan membacanya." Rupanya, Tarachandra juga memberikan kartu nama kepada Ayu lalu menjabat tangannya.
Tanpa Ayu ketahui, Tarachandra sebenarnya bukanlah orang yang sering memberikan kontaknya secara sembarangan. Rupanya kali ini ia ingin memastikan bahwa Ayu tahu namanya, tahu nomor teleponnya, dan tahu ke mana harus mencarinya.
Satu hal yang mungkin Ayu memang tidak tahu saat itu. Nampaknya, itulah cinta pada pandangan pertama yang dialami oleh sang pelukis.
Setelah pertemuan pertamanya dengan Ayu, Tarachandra tak serta-merta menghubungi Ayu duluan walaupun dia juga sudah menyimpan nomor teleponnya. Selain karena disibukkan dengan pameran tunggalnya yang masih berlangsung, ia juga yakin bahwa dalam waktu dekat wanita dengan paras cantik itu akan menghubunginya dulu.
Keyakinannya itu bukannya tak beralasan. Bukan pula karena ia terlalu percaya diri dan menganggap Ayu juga tertarik padanya. Dia hanya mencoba berpikir logis saja.
Biasanya, berita mengenai acara apapun itu akan terbit tak lama setelah liputan dilakukan. Maksimal beberapa hari setelahnya berita tersebut biasanya sudah terbit dan bisa dibaca di surat kabar. Dan, ia juga tak lupa bahwa Ayu berjanji akan menghubunginya jika berita sudah diterbitkan.
Benar saja. Sore ini Tarachandra tak sedang berada di galeri. Semua urusan pameran sudah ia serahkan kepada kurator. Setelah acara pembukaan, ia hanya sesekali datang ke galeri, sekedar menikmati pemandangan berbagai macam raut wajah yang sedang menikmati karyanya.
Karena lelah, Tarachandra memutuskan untuk membuat secangkir kopi panas. Dia tak pernah menambahkan gula ke minuman favoritnya tersebut. Menurutnya, rasa otentik dari tiap jenis kopi hanya bisa dinikmati saat kita tidak menambahkan apapun ke dalamnya.
Di rumah kecilnya yang juga berfungsi sebagai studio pribadinya, Tarachandra selalu memilih untuk menikmati kopinya di kursi teras belakang. Suara gemericik air dari kolam yang dipenuhi ikan koi warna-warni seringkali memberinya inspirasi.
Belum juga sempat ia menyeruput kopinya yang masih panas mengepul, terdengar suara telepon genggamnya berdering di atas meja makan. Ia lalu berjalan ke sana untuk mengangkat panggilan tersebut.
Senyumnya merekah saat menatap layar telepon itu. Di sana, ia melihat nama yang sudah ia tunggu-tunggu.
"Halo, siapa ini?" tanyanya pura-pura tidak tahu. Padahal, nomor telepon Ayu sudah dia masukkan ke dalam daftar kontak tak lama setelah ia menerima kartu nama Ayu saat pembukaan pameran waktu itu.
"Ini Ayu, Pak, dari surat kabar Pertiwi yang mewawancarai Bapak tempo hari. Apa kabar?" Di seberang sana terdengar suara lembut yang sudah ia rindukan. Suara yang pemiliknya terus mengganggu pikiran dan mimpinya selama beberapa hari terakhir ini.
"Ooo … Nona Ayu. Ya saya ingat. Kabar saya baik. Bagaimana dengan anda?" tanyanya lagi.
Ia mencoba untuk berbasa-basi demi memperlama obrolan melalui telepon tersebut. Padahal, dia juga sudah tau bahwa jika Ayu menghubunginya duluan, maka hal yang akan dibicarakan tentu akan berhubungan dengan liputan kala itu.
"Baik, Pak Tarachandra. Terima kasih sudah menanyakan kabar saya. Saya hanya ingin memberi kabar bahwa hasil liputan tentang pameran tunggal bapak akan terbit besok dan kami akan mengirimkan secara khusus satu eksemplar edisi khusus untuk Bapak," jawabnya dengan lugas dan langsung pada intinya.
"Oo … ya, terima kasih sudah mengabarkan hal tersebut. Anda menepati janji anda rupanya," puji Tarachandra.
"Saya hanya mencoba menjalankan tugas dengan baik, Pak. Surat kabarnya akan saya kirim ke alamat yang tertera di kartu nama Bapak ya?" tanya Ayu mencoba memastikan bahwa alamat tersebut memang tempat tinggal Tarachandra.
"Ya, betul. Itu adalah alamat rumah dan studio saya," kata Tarachandra yang sebenarnya juga ingin berkata pada Ayu, "silahkan mampir kalau mau". Tentu saja ia tak mengatakannya.
"Baiklah kalau begitu, Pak. Kalau begitu, hanya itu yang ingin saya sampaikan. Terima kasih banyak atas waktunya, Pak," kata Ayu yang terdengar sudah bersiap mengakhiri pembicaraan.
Tarachandra yang sebenarnya masih ingin berbincang dengannya pun tak kehabisan akal. Sebuah rencana memang sudah ia siapkan jika tiba-tiba Ayu meneleponnya.
Ternyata kesempatan untuk melancarkan rencana tersebut tiba pada hari ini. Tentu saja, Tarachandra tidak akan melewatkannya begitu saja.
"Tunggu, Ayu. Apakah Ayu tahu pelukis Wijaya Kusuma?" buru-buru ia bertanya, sambil berharap Ayu mengenal nama tersebut dan tertarik pada topik pembicaraan itu.
"Tentu saja saya tahu, Pak. Beliau adalah salah satu pelukis yang saya sukai. Saya selalu datang ke setiap pameran yang ia selenggarakan di kota ini," jawab Ayu dengan nada yang terdengar sangat antusias.
Seperti mendapatkan angin segar, Tarachandra merasa bahwa rencananya kali ini akan berhasil.
"Kebetulan sekali kalau begitu. Jadi begini, saya mendapatkan dua undangan untuk menghadiri pameran beliau yang akan diselenggarakan hari Minggu besok. Apakah Ayu tertarik untuk menemani saya datang ke sana?"
Walaupun ia yakin bahwa ini akan berhasil, ternyata tetap saja ada perasaan deg-degan dalam hatinya. Bagaimana tidak, gadis yang ia ajak itu adalah gadis yang sudah menyita perhatiannya sejak pertama kali bertemu.
Tiba-tiba muncul kekhawatiran di benak Tarachandra. Bagaimana kalau Ayu sudah mempunyai kekasih, atau bahkan sudah menikah? Bagaimana jika Ayu menolak ajakannya? Jika memang begitu, maka pupuslah harapan yang bahkan belum sempat berkembang dengan benar.
Di luar dugaannya, Ayu menjawab dengan sangat cepat. "Mau, Pak!" Ayu setengah berteriak. Setelah ia sadar, ia jadi merasa malu sendiri karena sudah bersikap terlalu antusias.
"Maaf, Pak. Hehehe. Saya terlalu senang." Suara tawa kecil ini membuat Tarachandra merasa gemas. Rupanya wanita yang lugas dalam menjalankan perannya sebagai wartawan punya sisi imut juga dalam dirinya.
"Tolong kirimkan detail waktu dan tempat pamerannya melalui SMS ya, Pak. Saya akan datang tepat waktu," kata Ayu dengan semangat.
Tadinya Tarachandra ingin menawarkan untuk menjemput Ayu. Hanya saja, ia berpikir bahwa mungkin terlalu dini untuk hal seperti itu. Ia memilih untuk bersabar dan menunggu saat yang tepat kelak. Tentu, itupun jika dewi cinta berpihak pada mereka berdua.
"Baiklah, nanti akan saya kirimkan detailnya. Sampai jumpa besok Minggu," pungkasnya.
"Baik, Pak. Terima kasih banyak," kata Ayu, lalu memutus panggilannya.
Setelah memastikan bahwa sambungan telepon sudah benar-benar terputus, Tarachandra melompat dan berteriak kegirangan. Tentu dia belum ingin Ayu tau betapa senang hatinya saat itu.
Selama ini dia selalu disibukkan dengan urusan studi dan kariernya. Tak pernah sekalipun ia membuka ruang untuk urusan percintaan.
Tapi kali ini lain. Rasa tertarik tiba-tiba menyeruak di hatinya tanpa rekayasa. Semua terjadi begitu saja seolah sudah diatur oleh Yang Kuasa.
Pekerjaannya sedang cukup senggang karena memang dia baru saja menyelesaikan proyek pameran tunggalnya. Selain itu, ia juga secara tiba-tiba bertemu dengan wanita yang secara ajaib langsung menarik perhatiannya sejak pandangan pertama.
Entah dia terlalu percaya diri atau bagaimana, tetapi yang pasti ia merasa yakin bahwa semuanya memang sudah menjadi bagian dari rencana Tuhan. Dari situ pula ia merasa yakin bahwa rencananya tidak akan meleset. Dia pasti bisa menaklukkan hati Ayu.
Langkahnya terasa lebih ringan saat pergi menuju ke kursi di teras pinggir kolam. Ia pun duduk dengan nyaman, menyeruput kopinya yang sudah berubah hangat. Entah kenapa, kopi itu terasa manis walau tanpa gula.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!