NovelToon NovelToon

Cinta Sang CEO Dingin

CHAPTER 1

Aurelia City berkilau di bawah matahari pagi. Gedung-gedung kaca memantulkan langit biru tanpa cela, dan di antara mereka, yang paling menjulang adalah Menara Arsenio Group sebuah raksasa dari baja dan ambisi.

Bagi Lina Anastasya, gedung itu terasa seperti akan menelannya hidup-hidup.

"Kau pasti bisa, Lina," gumamnya pada pantulan dirinya di pintu lobi yang mengilap. Ia merapikan blus sederhananya yang meski merupakan pakaian terbaiknya terasa kusam di tengah lautan setelan mahal yang berlalu-lalang.

Hari ini adalah hari pertamanya sebagai... yah, ia bahkan belum yakin jabatannya apa. Sesuatu di departemen administrasi umum. Surat penerimaannya datang begitu cepat setelah wawancara singkat yang aneh minggu lalu.

Lina memegang erat-erat pass card sementaranya dan secangkir kopi panas yang ia beli di kafe kecil seberang jalan. Kafein adalah keberanian instan yang ia butuhkan.

Lantai 30. Departemen SDM.

Langkah Lina sedikit terburu-buru saat keluar dari lift. Ia terlalu fokus membaca denah di ponselnya, mencoba mencari tahu di mana letak meja SDM, sampai ia tidak melihat sosok tinggi yang melangkah keluar dari lift pribadi di tikungan koridor.

BRUK!

Tabrakan itu tidak terhindarkan. Tubuh Lina terhuyung ke belakang, tapi yang lebih parah, kopi di tangannya menyembur tepat ke dada sosok itu.

Cairan cokelat panas itu langsung meresap ke kemeja putih bersih dan jas charcoal grey yang terlihat sangat, sangat mahal.

Waktu seolah berhenti.

"Ya Tuhan!" pekik Lina, panik. Cangkir plastiknya jatuh menggelinding. "Maaf! Maafkan saya, Tuan! Saya... saya tidak lihat..."

Dalam kepanikannya, Lina melakukan kesalahan fatal. Ia merogoh tasnya, mengeluarkan sebungkus tisu, dan mencoba mengelap noda di jas pria itu.

Sebuah tangan sekuat baja mencengkeram pergelangan tangannya, menghentikan gerakannya seketika.

"Jangan," desis sebuah suara.

Suara itu tidak keras, tapi begitu dingin menusuk hingga membuat bulu kuduk Lina meremang.

Lina mendongak. Dan membeku.

Pria di depannya sangat tinggi. Wajahnya dipahat dengan presisi tajam rahang tegas, hidung lurus, dan mata yang... ya Tuhan, matanya. Mata itu sedingin es di musim dingin, menatapnya dengan tatapan membunuh. Auranya begitu kuat, membuat udara di sekitar mereka terasa menipis.

Ini bukan manajer biasa. Ini adalah aura seorang raja.

"Saya... saya benar-benar minta maaf," bisik Lina, menarik tangannya perlahan. Pergelangan tangannya terasa sakit.

Pria itu tidak memedulikannya. Ia menatap noda kopi di jasnya dengan ekspresi jijik yang tak terselubung. Jas itu kini hancur.

"Apakah kau tahu," suaranya tenang, namun mematikan, "harga jas ini?"

Lina menelan ludah. "Saya... saya bisa ganti rugi, Tuan. Saya akan bayar biaya cuci..."

Pria itu mendengus pelan. Nyaris seperti tawa, tapi tanpa humor sedikit pun. "Biaya cuci? Jas ini dibuat custom di Milan. Harganya mungkin lebih mahal dari seluruh isi lemari pakaianmu."

Wajah Lina memucat.

Tepat saat itu, seorang wanita paruh baya berlari tergopoh-gopoh dari arah lift.

"Predir Ethan! Anda tidak apa-apa?" serunya, sebelum matanya terbelalak melihat noda di jas CEO nya.

"Astaga!"

Presdir... Ethan?

Jantung Lina serasa jatuh ke lambungnya. Ethan Arsenio. Sang CEO misterius Arsenio Group. Orang yang akan menandatangani slip gajinya.

Orang yang baru saja ia mandikan dengan kopi murah.

Mata dingin Ethan Arsenio akhirnya beralih dari noda di jasnya, kembali menatap wajah Lina yang ketakutan. Ia melirik pass card sementara yang masih tergantung di leher Lina.

Mata elangnya menyipit, membaca nama itu.

"Lina Anastasya," ujarnya, menyebut nama itu seolah sedang mencicipi racun.

Ethan melangkah maju satu langkah. Lina refleks mundur satu langkah, punggungnya menabrak dinding koridor. Ia terpojok.

"Hari pertama?" tanya Ethan, suaranya tetap sedingin es.

Lina hanya bisa mengangguk kaku.

Ethan menatapnya dari atas ke bawah, penilaiannya begitu intens hingga Lina merasa telanjang.

"Hari pertamamu," ulang Ethan, "dan kau baru saja melakukan bunuh diri karier."

CHAPTER 2

"Bunuh diri karier."

Dua kata itu berdengung di telinga Lina. Kakinya terasa seperti jeli, tak mampu menopang tubuhnya. Ia bersandar di dinding koridor, pucat pasi.

Presdir Ethan Arsenio. Nama yang hanya berani dibisikkan orang-orang di lobi. Dikenal sebagai jenius bisnis berhati es, penguasa Aurelia City. Dan Lina baru saja menodai baju jasnya.

Wanita paruh baya tadi yang Lina duga adalah manajer SDM tampak sama takutnya. "Presdir Ethan, saya... saya akan panggilkan tim kebersihan dan siapkan setelan baru Anda..."

Ethan mengangkat satu tangan. Semua orang langsung diam.

Ia bahkan tidak repot-repot melepas jasnya yang basah. Matanya yang tajam masih terkunci pada Lina, seolah sedang menganalisis mangsa.

"Bu Sandra," katanya, suaranya yang berat dan dingin membelah keheningan. "Batalkan orientasi karyawan baru ini."

Hati Lina mencelos. Ini dia. Pemecatan.

"Baik, Presdir," kata Bu Sandra, menatap Lina dengan kasihan. "Akan saya... antarkan dia ke pintu keluar."

"Tidak," potong Ethan.

Lina dan Bu Sandra sama-sama membeku.

Ethan akhirnya mengalihkan pandangannya dari Lina, menatap Bu Sandra. "Bawa dia ke ruangan saya. Sekarang."

Tanpa menunggu jawaban, Ethan berbalik. Punggungnya yang tegap dan langkahnya yang penuh kuasa memancarkan aura intimidasi murni. Ia berjalan menuju kantor sudut raksasa di ujung koridor, meninggalkan Lina yang gemetaran.

"A-apa yang kau tunggu?" desak Bu Sandra, suaranya bergetar antara marah dan takut. "Cepat jalan! Jangan buat Presdir menunggu!"

Lina merasa seperti narapidana yang digiring menuju tiang gantungan.

Perjalanan menyusuri koridor mewah di lantai 50 itu terasa seperti selamanya. Setiap langkah di atas lantai marmer yang mengilap terasa berat. Kantor CEO itu memiliki pintu ganda dari kayu mahoni gelap yang menjulang tinggi, membuatnya merasa semakin kecil.

Bu Sandra mengetuk pelan.

"Masuk."

Suara itu datang dari dalam, teredam tapi tetap menusuk.

LANTAS, Bu Sandra membuka pintu dan dengan cepat mendorong Lina masuk. "Presdir, ini Nona Anastasya." Lalu, secepat kilat, Bu Sandra menutup pintu, meninggalkan Lina sendirian di dalam kandang singa.

Ruangan itu... sangat besar. Seluruh apartemen studio Lina mungkin bisa muat di dalamnya. Satu dinding seluruhnya terbuat dari kaca, menyuguhkan pemandangan Aurelia City dari ketinggian yang memabukkan. Perabotannya minimalis, mahal, dan dingin. Hitam, abu-abu, dan krom.

Ethan Arsenio berdiri membelakangi pintu, menghadap jendela kaca raksasa itu. Ia telah melepas jasnya yang ternoda, menggantungnya sembarangan di sandaran sofa kulit. Kemeja putihnya juga basah di beberapa bagian, menempel di punggungnya yang bidang.

Keheningan itu menyesakkan. Lina hanya bisa berdiri kaku di dekat pintu.

Akhirnya, Ethan berbalik.

Wajahnya tanpa ekspresi, tapi matanya... matanya seolah bisa melihat menembus jiwa Lina.

"Lina Anastasya," ulangnya lagi. Kali ini bukan pertanyaan. "Umur 23. Lulusan Universitas Negeri Aurelia. Departemen Administrasi Umum."

Lina terkejut. "A-anda... tahu?"

"Aku membaca setiap resume karyawan yang masuk ke gedung hidupku," desisnya. Ia berjalan pelan ke meja kerjanya yang masif, lalu duduk di kursi kulitnya yang seperti singgasana. Ia menatap Lina lekat-lekat.

"Kau pikir kau akan dipecat," katanya.

Lina menelan ludah. "Saya... saya mohon maaf yang sebesar-besarnya, Tuan Arsenio. Saya akan bekerja tanpa dibayar untuk mengganti rugi jas..."

"Diam."

Lina langsung terdiam, bibirnya terkatup rapat.

Ethan mencondongkan tubuhnya ke depan, kedua tangannya terkepal di atas meja. "Aku tidak akan memecatmu."

Secercah harapan mekar di dada Lina. "Be-benarkah?"

"Karena," lanjut Ethan, matanya menyipit berbahaya, "memecatmu terlalu mudah. Itu adalah sebuah kemewahan yang tidak pantas kau dapatkan setelah apa yang kau lakukan."

Harapan itu langsung mati.

"Saya... saya tidak mengerti."

"Kau diterima di Departemen Administrasi Umum di lantai 15," kata Ethan, suaranya datar. "Lupakan itu. Penempatanmu diubah."

Lina mengerutkan kening. "Diubah... ke mana?"

Ethan tersenyum tipis. Tapi senyum itu tidak mencapai matanya. Senyum itu lebih menakutkan daripada amarahnya.

"Ke sini," katanya. "Lantai 50. Kau akan menjadi asisten pribadiku."

Mata Lina terbelalak. Asisten pribadi CEO? Itu lompatan karier yang mustahil. "Ta-tapi Tuan! Saya tidak punya kualifikasi! Saya tidak—"

"Aku tidak butuh kualifikasimu," potong Ethan, nadanya final. "Aku butuh kau berada di tempat yang bisa kuawasi setiap detiknya."

Dia menunjuk ke sudut ruangan, dekat pintu masuk. Di sana ada sebuah meja kecil yang tampak menyedihkan, nyaris seperti meja resepsionis sementara, tanpa komputer, hanya telepon interkom.

"Itu mejamu."

Lina menatap meja itu, lalu kembali menatap Ethan. Ini bukan promosi. Ini adalah penjara.

"Tugas pertamamu," kata Ethan, bersandar di kursinya. "Ambilkan aku kopi baru."

Ia berhenti sejenak, matanya berkilat dingin.

"Dan pastikan. Kali ini. Tidak tumpah."

CHAPTER 3

Mata Lina tertuju pada cangkir kopi yang baru saja tumpah di lantai, sisa-sisa bencana pertamanya. Lalu, ia menatap meja kecil di sudut ruangan yang ditunjuk Ethan.

Itu bahkan tidak bisa disebut meja kerja. Itu lebih mirip meja nakas yang tersesat, terbuat dari kayu gelap yang kaku, dilengkapi kursi kayu yang sama kakunya—jelas bukan kursi ergonomis yang nyaman untuk bekerja delapan jam. Di atasnya hanya ada sebuah telepon model lama dan buku catatan bersampul kulit.

"Tuan Arsenio," Lina mencoba memberanikan diri, suaranya nyaris bergetar. "Tugas asisten pribadi... itu pekerjaan yang sangat penting. Saya tidak punya pengalaman. Saya pasti akan membuat lebih banyak kesalahan."

Ethan mengangkat sebelah alisnya yang tebal. "Aku tahu."

"Lalu... kenapa?"

Pria itu menyandarkan punggungnya ke kursi singgasananya, menautkan jari-jarinya di depan dada. Ruangan itu begitu hening sehingga Lina bisa mendengar detak jantungnya sendiri yang berdebar kencang.

"Anggap saja ini kompensasi," kata Ethan dingin. "Kau merusak hariku dan jas seharga mobilku. Sebagai gantinya, aku akan merusak... beberapa minggu pertamamu di sini."

Lina tidak bisa berkata-kata. Pria ini... pria ini benar-benar membalas dendam karena secangkir kopi?

"Sekarang," kata Ethan, jelas sudah bosan dengan percakapan itu. "Kopi. Dan kali ini, jangan kembali dengan tangan hampa."

Lina mengangguk kaku. "Baik, Tuan. Bagaimana... seleranya?"

"Hitam. Tanpa gula. Double espresso," desisnya. "Dan jangan berani-berani membawakan kopi instan. Mesinnya ada di pantry eksekutif di ujung koridor. Kalau kau tidak tahu cara menggunakannya, jangan kembali."

Ini adalah jebakan. Tentu saja ini jebakan.

Lina berbalik, berjalan keluar dari kantor raksasa itu dengan langkah kaku. Kakinya terasa berat.

Koridor lantai 50 itu sepi. Jauh berbeda dari lantai bawah yang sibuk. Di sini, udaranya tipis dan menegangkan. Ia menemukan pantry eksekutif. Ruangan itu lebih mewah dari dapur di apartemennya. Sebuah mesin espresso perak mengilap, tampak rumit dan mengintimidasi, berdiri angkuh di atas meja marmer.

Lina menatap deretan tombol dan tuas di mesin itu. Ia hanya tahu cara menekan tombol di mesin pembuat kopi filter.

Oke, Lina. Kau lebih pintar dari mesin ini.

Lima menit kemudian, ia harus mengakui, mesin itu jauh lebih pintar darinya. Ia sudah mencoba menekan tiga tombol berbeda, dan yang keluar hanya uap panas yang mendesis marah.

"Butuh bantuan, Sayang?"

Sebuah suara ceria tiba-tiba terdengar dari belakang. Lina terlonjak kaget, hampir menjatuhkan cangkir porselen kosong yang dipegangnya.

Seorang wanita cantik dengan rambut pirang madu bergelombang dan setelan rok yang pas di badan sedang bersandar di pintu pantry, menatapnya dengan geli. Dia tampak seumuran dengan Ethan, memancarkan aura kepercayaan diri yang menyilaukan.

"Saya... saya mencoba membuat kopi untuk Presdir Ethan," jawab Lina dengan wajah memerah.

Wanita itu tertawa kecil. "Asisten baru, ya? Berani sekali kau. Ethan benci orang baru yang menyentuh mesinnya." Ia melangkah masuk, dengan ahli mengambil alih. "Dia monster kalau belum dapat kafein paginya. Geser."

Dengan beberapa gerakan cepat menggiling biji kopi, memadatkannya, mengunci tuas—wanita itu menghasilkan secangkir kecil cairan hitam pekat yang beraroma kuat.

"Ini," katanya, menyerahkan cangkir itu pada Lina. "Antarkan sebelum dia mulai membakar gedung."

"Te-terima kasih banyak, Nona...?"

"Elena. Sekretaris Eksekutif. Aku bekerja di lantai 49, tapi aku satu-satunya yang diizinkan mengatur jadwal 'Raja Iblis' itu," katanya sambil mengedipkan mata. "Siapa namamu?"

"Lina Anastasya."

Mata Elena membelalak sesaat, seolah baru menyadari sesuatu. "Ah... Lina Anastasya. Jadi, kau orangnya. Kudengar tentang insiden di lift tadi. Berita cepat menyebar."

Lina hanya bisa menunduk malu.

"Semoga berhasil," kata Elena, nadanya kini sedikit serius. "Kau akan membutuhkannya."

Lina kembali ke kantor CEO dengan langkah seribu kali lebih hati-hati. Ia memegang cangkir kecil itu seolah memegang bom.

Ia meletakkan cangkir itu dengan sangat pelan di atas meja Ethan.

Ethan melirik kopi itu, lalu melirik Lina. "Apa yang membuatmu begitu lama?"

"Saya... memastikan tidak tumpah, Tuan."

"Duduk," perintahnya, menunjuk ke meja penjara di sudut.

Lina segera menurut. Ia duduk di kursi kayu yang keras itu. Dan keheningan pun dimulai.

Satu jam berlalu.

Dua jam.

Ethan bekerja tanpa suara. Hanya ada bunyi ketikan keyboard yang cepat dan sesekali bunyi lembaran kertas dibalik. Lina hanya duduk diam. Ia tidak punya komputer. Ia tidak punya tugas. Ia hanya... pajangan. Pajangan yang berfungsi sebagai pengingat hidup atas kesalahan secangkir kopi.

Ini bukan pekerjaan, batin Lina getir. Ini penyiksaan.

Tepat saat Lina mengira ia akan mati kebosanan, interkom di mejanya berbunyi. Suaranya yang melengking membuat Lina terlonjak dari kursinya.

Ia buru-buru menekan tombol. "Ya, Tuan Arsenio?"

"Ke sini."

Lina bergegas menghampiri meja utama.

Ethan mendorong setumpuk dokumen setebal kamus ke arahnya. "Aku benci jadwal minggu ini. Atur ulang."

Lina menatap tumpukan kertas itu dengan bingung. "Atur ulang... bagaimana, Tuan? Saya tidak punya akses ke kalender Anda."

Ethan menatapnya. Tatapan itu lagi. Tatapan yang membuatnya merasa seperti partikel debu.

"Kau punya buku catatan. Kau punya telepon," kata Ethan. "Di buku catatan itu ada nomor Elena di lantai 49. Telepon dia. Minta dia memberimu daftar jadwal. Lalu, kau tulis ulang jadwal baru di kertas. Pindahkan semua rapat hari Rabu ke hari Selasa. Yang hari Selasa, batalkan. Aku tidak mau ada rapat di hari Rabu. Mengerti?"

Lina menelan ludah. Melakukan penjadwalan ulang puluhan rapat eksekutif... dengan tangan... menggunakan telepon?

"Tapi, Tuan," protes Lina, "itu... itu sangat tidak efisien. Kenapa tidak minta Nona Elena melakukannya saja? Atau berikan saya komputer?"

Ethan Arsenio mendongak dari dokumennya. Suaranya turun satu oktaf, menjadi sangat berbahaya.

"Nona Anastasya," katanya pelan. "Aku tidak memindahkanmu ke sini untuk efisiensi. Aku memindahkanmu ke sini agar aku bisa melihatmu menderita."

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!