NovelToon NovelToon

Asmarandana Titisan Ningrat

ATN 1 ~ Silsilah

Selamat datang di kisah cinta istana versiku ❤️🥀

Monggo duduk di tempatnya masing-masing, Warning!! Cerita ini hanya fiktif belaka, murni hasil imajinasi penulis semata ya, jika ada kesamaan nama, gelar, tokoh, latar, tempat, sejarah dan semacamnya. Itu hanya sebuah kebetulan dan diciptakan sebagai penghidup kisah semata. Tidak untuk mencolek atau menyangkut-pautkan dengan instansi, lembaga dan daerah tertentu 🙏🙏

Note: untuk gelar kita tidak usah sama persis dengan real, sebab ini hanya cerita imajinasi dan fiktif saja 🙏

Bagi yang sudah membaca bab awal, mohon untuk diteruskan sampai selesai ya atau tidak sama sekali membaca sebab itu akan mempengaruhi retensi karya. So, happy reading, semoga suka 🥰🥰

...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...

...Aku ingin mencintaimu dengan hebat. Sehebat mentari menyinari bumi.......

...Sehebat langit yang membiru untuk pagi......

...Sehebat batu karang yang kokoh menerjang lautan......

...Gusti Raden Bagus Amar Kertawidjaja...

...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...

...🥀Kasepuhan kota udang🥀...

🥀Gusti Raden Mas Harya Bratarana Kertawidjaja ❤️ Gusti Raden Ayu Jembar Kasih (permaisuri)

Gusti Raden Bagus Bahureksa Kertawidjaja (putra pertama)

Gusti Raden Bagus Amar Kertawidjaja (putra ketiga)

Gusti Raden Ajeng Andayani Kertawidjaja (putri kelima)

🥀Gusti Raden Mas Harya Bratarana Kertawidjaja 🩵 Nyai Raden Ayu Mahiswar (selir)

Raden bagus Somantri Kertawidjaja (putra kedua)

🥀Gusti Raden Mas Harya Bratarana Kertawidjaja 🩵 Nyai Raden Ayu Anarawati (selir)

Raden bagus Wardana Kertawidjaja (putra keempat)

Oke, sampai sini unjuk tangannya siapa yang mau jadi selir keempat??😆😆😆

Bangunan yang tiang-tiangnya nampak baru saja di cat ulang itu menjadi saksi bisu saat....

*Prankkk*!

3 pasang kaki anak lelaki berlarian menendang bola di dalam keraton. Arah lari ketiganya mulai berubah jadi berhamburan tak karuan ketika para abdi dalem mulai berseru, *lagi*.

"Aduh, den bagus...sudah guci yang ke 3 kepunyaan gusti kanjeng ayu." Para biyung dan ambu sudah menatapnya gamang, bersama dengan kehebohan mereka membereskan itu.

"Maaf biyunggg!" teriak Amar sementara Somantri sudah tertawa sambil berlari panik.

"Ngumpet...ngumpet! Kalo ayahanda dan ibunda tau pasti kena hukum!"

"Lagian kakang Reksa nendangnya tidak kontrol!" ujar Somantri.

"Ck, ahhh!" cebik Reksa sementara Amar sudah tertawa-tawa, " skor tetap 3-1 ya kang?!"

"Reksa!!! Somantri! Amar!!!"

Lantas mereka berlarian, dengan Bahureksa yang paling kencang berlari dan bersembunyi. Sementara kedua adiknya, Amar dan Somantri ia tumbalkan saja paling belakang.

"Cari mereka!" pinta ayahanda saat laporan dari ibunda dan para biyung.

Amar tertawa saat ayahanda berhasil menangkap ketiganya, padahal kedua kakaknya sudah memasang tampang tegang.

"Siapa dari kalian bertiga? Amar lagi? Tidak mungkin Wardana." tanya ayahanda. Digelengi Amar, "kakang Reksa." Tunjuknya ke samping.

Bahureksa menggeleng dan menuduh Amar, "Amar," lalu ia memelototi Somantri yang menurut saja, "Amar, ayahanda." Cicit Somantri tak berani pada Reksa. Amar mendengus sumbang, damnnn! Kakang Reksa, kakang Somantri, ini namanya perundungan! "Enak saja. Kakang Somantri jujur atuh, kang! Liat ayahanda...Kakang Reksa melototin kang Somantri." Tuduhnya tak terima, sementara kedua kakaknya itu sudah menunduk.

Namun ujung-ujungnya Ayahanda tetap menghukum ketiganya di perpustakaan, selain membaca sejarah babad, namun kedua telapak tangan mereka kena jepret dari sabuk ayahanda juga.

Somantri terima dan pasrah, sementara Reksa...ia sudah mengetuk-ngetuk keningnya merasa pusing dengan semua materi dan pelajaran yang terlalu banyak untuk anak-anak seukuran mereka. Belum lagi rasa panas dan perih di punggung tangannya yang baru saja di cambuk ayahanda.

Namun Amar, ia duduk anteng saja, "ayah...."

"Ya?" lirik sang pimpinan tertinggi ini, tatapannya tajam, kharisma tak terbantahkan begitupun dengan segala yang melekat di dirinya, jiwa ningrat dan pemimpinnya jelas mampu membuat rakyat percaya pada kasepuhan.

"Jadi...prabu Niskala Wastu Kencana itu tidak ikut saat perang Bubat berlangsung? Yang menghabisi seluruh rombongan kerajaan Galuh-sunda?"

"Tidak. Karena usianya masih 9 tahun ketika itu." Jawab sang ayah, "dia pewaris tahta terakhir kala itu, tapii...dinobatkan menjadi raja di usianya yang ke 23 tahun."

Somantri dan Reksa melirik dengan wajah tak percaya, bisa-bisanya Amar masih bisa fokus dan terlihat senang sekali mengerjakan hukuman dari ayahanda ini, padahal mereka sudah malas dan muak, boro-boro mau membaca.

Ketiganya sudah selesai menjalani hukuman. Reksa melihat kedua punggung tangannya, "shhh, aku akan minta biyung untuk kasih plester." Ucap Reksa diangguki Somantri, "kan, apa saya bilang...harusnya kita main di taman atau pelataran saja, kang. Jadi kena hukum ayahanda lagi." omelnya.

Amar hanya mendengus, " ah, Cemen. Akang-akang baru dihukum segini, anggap saja ini pelajaran untuk lelaki..." langkah-langkah para remaja SMP dan SMA ini berbelok melewati beberapa ruang kaputren dimana setiap kaputren dilengkapi dengan ruang beristirahat para biyung atau ambu.

"Biyung!" panggil Reksa saat seorang abdi dalem perempuan melintas.

Ia menunduk sopan, "iya den bagus?"

"Saya mau minta obat merah dan plester untuk ini..." ia memperlihatkan lukanya.

"Oh, iya *mangga* den. Biyung ambil sekarang, mau diobati dimana lukanya?" tanyanya.

Kemudian Somantri menunjuk salah satu gazebo di dekat sana, dimana taman-taman kecil tersedia di setiap kompleks kaputren membuat sejuk dan segar mengisi kasepuhan ini.

"Iya den bagus."

Reksa dan Somantri berbelok dan menepi sejenak, Amar...ia ikut saja dengan kedua kakangnya itu berhubung tak ada lagi yang akan ia lakukan, ditambah, kenapa tidak... luka-lukanya ikut diobati juga.

Matanya mengedar demi mencermati posisi mereka berada, "kang. Kenapa tidak minta di dekat kaputren ibunda saja atau kaputren kita?" tanya Amar, memang dasarnya ia pecicilan dan tak mau diam, ia bahkan sudah naik ke atas gazebo dan tiangnya...entahlah apa yang ia cari, dibanding kedua kakaknya yang sudah duduk manis di gazebo.

Matanya langsung membeliak saat menemukan temuan yang cukup membuat matanya silau, "kang...kang...sini!"

"Apa? Ada apa?" tanya Reksa berhasil menoleh bersama Somantri. Reksa sudah menyusul dan mengikuti adik kandungnya itu untuk naik ke atas gazebo, menyembulkan kepala dari balik tembok tinggi dimana....

"Waduhhhh," refleks Reksa.

"Apa kubilang, ini kan dekat ruang istirahat para biyung. Ini bilik kamar mandi para biyung? Baru tau saya .." tanya Amar namun kemudian ia turun dan tak meneruskan hal me sum berbau kriminal itu.

Reksa yang awalnya kaget, justru keasikan mengintip, "Mantri... sini, Amar dapat temuan bagus..."

"Apa?" tanya Somantri ikut naik, dan...

"Astagaaa...." lirih Mantri melongo sudah berjinjit.

"Kang, biyung kang!" bisik Amar melihat kedatangan biyung tadi sembari membawa obat.

Segera Reksa dan Somantri turun, "kerasa ngga kang?" tanya Amar ditanyai oleh Reksa, "apanya?" tanya Reksa.

"Kok punya saya cenat-cenut?" akui Amar.

Reksa sudah tertawa begitupun Somantri, "kamu ini....saya sudah basah malah."

Amar tertawa, "apanya kang? Maksud saya luka di punggung tangan bukan yang itu, da rahnya juga sudah kering."

Ketiganya tertawa, namun kemudian Amar mengangguk, "tandai kang, para biyung muda mandi jam segini."

Hahahaha!

.

.

.

Notes :

Asmarandana itu api cinta, api asmara. Atau bisa diartikan tembang/sajak yang biasanya digunakan untuk mengungkapkan tentang perasaan cinta, perasaan sayang, rasa pilu, sedih atau prihatin.

ATN 2 ~ Pewaris Tahta

Di usia yang semakin menginjak menuju dewasa, beberapa kebiasaan dan sifat mulai berubah, menjadi jati diri masing-masing. Meski beberapa kebiasaan tak bisa hilang begitu saja.

Bola basket benar-benar memantul berat di atas marmer keraton. Bahkan kilauannya itu lebih berkilau dibanding gaji PNS tahun itu.

"Lempar kang!" pinta Wardana pada Amar, lantas pemuda usia SMA itu mendribble bola terlebih dahulu layaknya Michael Jordan lalu *shoot*! Bukan Wardana yang sudah bersiap menerimanya, melainkan Bahureksa, yang baru saja datang dari kampus, melempar buku dan tasnya sembarang dengan gurat lelah, dan urat syaraf yang menonjol seperti menimbun beban yang akhirnya nanti akan meledak pada waktunya.

Wardana mencebik, apalah daya si bocah SMP melawan kakak-kakaknya yang sudah memiliki tinggi di atasnya itu. Somantri tertawa, terlebih saat Amar justru menjadikan itu sebuah pertandingan serius dengan mengejar dan coba merebut itu dari sang kakak.

Bahureksa membawa bola ke arah luar, dan Amar mengejar. Amar sudah meng-cut dribble-annya, memancing emosi Bahureksa yang memiliki sifat egois itu merasa tercolek harga dirinya, ia tak mau dikalahkan.

Terlebih Amar orangnya, Amar yang menurutnya selalu menjadi pesaing terberatnya dalam segala hal, termasuk perhatian ayahanda dan mata dunia. Dirinya lah putra mahkota, bukan si adik tengilnya itu.

"Tangkap Dan!" pinta Amar pada wajah kusut Wardana sang adik, meski beda ibu, tapi Amar tak pernah membeda-bedakan itu. Wajah Wardana sudah cerah kembali, namun....

Bahureksa kembali merebutnya, memotong laju bola basket yang melayang di depannya, lalu menyeringai. Menghentikan permainan basket, dan mengangkat bolanya tinggi-tinggi.

"Ah curang lah! Udahan lah..." Wardana menyerah frustasi.

"Cemen." Cibir Bahureksa mencibir setengah merendahkan adiknya itu, "jadi laki-laki ngga boleh cemen begitu...ayo rebut lagi, sesuatu yang awalnya punyamu harus kamu rebut kembali!" senyumnya itu senyuman menghina, dan menatap tengil. Ia senang atas ketidakmampuan orang lain.

Amar menggeleng, namun tiba-tiba ia tersenyum menyeringai, melompat dan menepuk bola basket dari tangan sang kakak, PAKK!

"Dan, kejar!" teriak Amar berhasil mengelabui sang Kaka, "jadi laki-laki itu pantang lengah." Balasnya tengil, berlari bersama Wardana yang sudah cekikikan, Somantri hanya memperhatikan tingkah adik dan kakaknya itu, ia lebih memilih kembali dengan seragam SMA yang telah keluar sepenuhnya dari pinggang celana dan tas di sebelah pundaknya menuju kaputren.

Yap! Somantri dan Amar berada di SMA yang sama, bersiap lulus padahal keduanya beda satu tahun lebih tua Somantri, namun kemampuan dan potensi Amar itu justru melampauinya, terlebih sifat Amar yang ekstropert membuatnya mudah sekali menyusup di organisasi manapun, termasuk seringnya ia dibawa ayahanda dalam kegiatan kunjungan bisnis.

Somantri berhenti sejenak, melihat sang adik, satu-satunya putri mahkota dari keluarga ini, Andayani....bocah cantik yang siap mekar, dan kini ia tengah meminta makan pada biyung.

Cup!

"Ihhh!" gidik Andayani mengusap pipinya jijik, ia yang selalu jadi sasaran keusilan dan kegenitan kakak-kakaknya itu, "cieee udah ada jerawat!" goda Somantri menunjuk bintik merah di dekat hidung mancung Anda.

Andayani melotot sambil mendelik, "engga yah! Ini cuman bakteri yang hinggap aja..." jawabnya gadis dengan rok merah ini, ia bahkan sudah menyarangkan pukulan-pukulannya ke arah Somantri.

"Eeeh...udah-udah." Seorang wanita cantik yang mirip dengan Somantri, seorang mantan sinden idola yang kini menetap di salah satu ruangan *hareem* keraton menyapa keduanya.

"Ini loh amih Mahis, kakang Somantri godain Anda terus." gerutunya mengadu. Jujur saja, si putri manja ini lebih dekat dengan para selir ayahnya ketimbang ibunya sendiri.

"Emang iya kan, tuh liat mih...udah ada jerawat, udah puber, masih bocah juga..." kembali Somantri menggoda seraya bersembunyi di balik tubuh ibunya sementara Andayani sudah bersiap menyarangkan kepalannya lagi.

Amar mengayunkan langkahnya dengan keringat yang telah bercucuran, "wah ada apa nih rame-rame."

"Liat Mar, bener kan saya...Anda sudah punya jerawat... bocah-bocah sudah puber." Ujar Somantri membuat Anda semakin manyun. Amar tertawa, "ini mah bisulll, gede gini..." justru tambah Amar.

"Enak aja!"

"Den Amar, ya Allah...itu sampai banjir keringat begitu." ujar Mahiswar.

Amar nyengir, "ngga apa-apa amih. Besok di sekolah pelajaran olahraga kok. Jadi ngga pake seragam ini." Jawabnya.

Bahureksa yang menyusul ikut hadir dan langsung merebut makan siang serta es jeruk milik Andayani sang adik yang baru saja dibawa biyung.

"Punyaku ya ini! Wah...."

Andayani langsung melotot tak terima saat kakangnya itu langsung meneguk es jeruk yang ditunggunya sampai tenggorokan kering itu hampir tandas, "kakang Reksa!!! Itu punya Anda...kalo mau, minta lagi!" tak peduli, ia justru sudah melahap menu makan siang itu terus sampai-sampai mata Andayani sudah berkaca-kaca kini, ia sudah lama menunggu tapi justru direbut begitu saja, jengkel!

"Kang," lirih Somantri ingin menegur.

Mahiswar menggeleng, selalu begitu. Merebut milik adik-adiknya, "den Reksa.." gumamnya merasa jengah namun tak bisa apapun menghadapi sifat angkuh, egois dan yapp! Tentu saja ia kadang-kadang berani membangkang pada para selir ayahnya itu.

Somantri sudah tak aneh, ia melengos tak ingin ikut memiliki urusan dengan abang tertuanya itu. Karena paling, ujungnya ia yang selalu kalah apalagi ia hanya anak seorang selir.

"Kang, ngga bisa ya ambil sendiri?" tanya Amar membela sang adik. Bahureksa yang tengah melahap menu makan siangnya sempat terdiam sejenak dengan rahang mengeras.

"Anda bisa minta lagi ke biyung, ngga apa-apa ya..." pinta Amar yang langsung meminta lagi pada biyung tadi, "biyung, minta tolong satu lagi buat Anda?"

"Iya den gusti." Andayani menatap kesal, dan mengikuti sang biyung sambil menghentak-hentak langkahnya, "Anda ikut ke dapur kering saja."

Bahureksa menghadang langkah Amar yang ingin ke kamarnya, "cuma masalah sepele begini, ngga usah bertingkah kamu sama kakang sendiri. Se simple itu tinggal minta biyung lagi." Amar mendengus menyugar rambutnya, "iya memang hanya hal sepele, kang. Tapi akang seperti tidak punya mulut dan attitude. Akang ini yang paling besar, harusnya kasih contoh yang baik, mengayomi, mengalah dan melindungi adik-adiknya."

Bahureksa mencengkram kerah seragam Amar, "kamu ngga usah ngatur dan ngasih tau tentang attitude sama akang, lancang. Disini kamu yang selalu main rebut." Tatapnya bengis dengan urat kemarahan yang sudah keluar, seperti sedang memperingati hal lain.

"Akang sedang ada masalah?" tanya Amar mengernyit, ia seolah sudah paham dengan watak kakaknya itu. Namun, alih-alih menjawab, Reksa justru meninggalkan begitu saja piring yang masih menyisakan banyak nasi dan lauknya itu, jelas tujuan kakangnya itu bukan sebab terlampau lapar, namun memang sedang menumpahkan dan melampiaskan emosinya.

Tidak ada yang berani padanya, selain Amar, dimana kekuatan statusnya dan Reksa sama, meskipun Reksa adalah putra mahkota, namun sepertinya posisi itu sedikit mulai terancam dengan ayahanda yang selalu melibatkannya dalam hal apapun tentang bisnis dan kepemimpinan kasepuhan.

Sebenarnya, Bahureksa seringkali menjadi pribadi yang menyenangkan bagi adik-adiknya itu, menjadi partner kejahilan yang best untuk Amar namun jika sedang dalam kondisi mood yang anjlok, atau memiliki masalah, ia berubah jadi pribadi menyebalkan dan menakutkan.

Bahureksa menggusur langkahnya dengan pikiran yang sudah kacau dan emosi yang belum teredam mengingat obrolan ibunda dan ayahanda semalam yang tak sengaja ia dengar.

"*Harusnya engkang ikut sertakan Bahureksa. Dia putra mahkota, anak pertama kita, kang*..."

"*Hm. Entahlah yayi...akang merasa Amar lebih cocok menggantikan akang nantinya sebagai putra mahkota*..."

*Kilatan mata remaja itu mencuri tatap pada kedua orangtuanya yang sedang bersiap istirahat*.

"*Saya tau, kang. Saya pun merasa begitu, tapi Reksa*..."

"*Biar saya ajak semua, termasuk Wardana dan Somantri." Jawab ayahanda dan ibunda mengangguk*.

.

.

.

ATN 3~ Potret kontras

Andayani belum keluar untuk makan malam, disaat semua sudah berkumpul di meja panjang berbahan kayu jati, menyajikan berbagai menu makan malam keluarga kasepuhan ini.

Ada ketiga istri ayahanda, termasuk ibunda dengan wajah judes tak terkalahkannya, pahatan judesnya ibunda bercampur dengan dinginnya ayahanda tumplek semua di wajah kakang Bahureksa.

Ada selir paling ramah dan cantik, amih Mahiswar, dimana ayahanda memperistrinya setelah memiliki Bahureksa. Hingga akhirnya, hamilnya amih Mahiswar hampir bersamaan dengan ibunda mengandung Amar.

Lalu ada selir yang paling peduli dengan kesehatan, amih Anarawati, dimana ia seorang tenaga kesehatan lalu memiliki Wardana. Namun dari ketiga istri ayahanda itu, mereka bisa hidup rukun meski terkadang sifat otoriter ditunjukan ibunda Jembar Kasih sebagai permaisuri ningrat murni yang dijodohkan orangtua ayahanda dan orangtua ibunda.

"Ambu, tolong panggilkan ----" ibunda bicara pada ambu yang tengah menuangkan minum di gelas masing-masing anggota keluarga.

Amar bergerak mundur dari kursinya, "biar Amar yang panggil Anda, ibunda."

Reksa mendengus sumbang melihat adiknya yang menurutnya selalu cari muka. Memangnya mukanya kemana mesti dicari?

"Hm, ya.." ibunda mengangguk. Langkahnya terayun ke arah kamar sang adik bungsu.

"Nda...den ajeng Andayani..." panggil Amar seraya mengetuk pintu dengan ukiran ciri khas kasepuhan, yang bermotif bunga jalar.

"Sebentar kang, bilang ibunda dan ayahanda aku terlambat makan malam. Tugas yang harus kukerjakan masih banyak..." jawabnya tanpa mau membuka pintu kamar.

Namun Amar tak kehilangan akalnya, ia tetap berada disana, "boleh akang masuk?" tanya Amar.

"Boleh!"

Amar membuka kamar sang adik dan memang benar....penampakan yang ia temukan adalah Andayani di bawah lampu belajar kuningnya tengah berkutat dengan buku catatan dan buku paket, "duh, pr aku banyak banget kang...takut ngga selesai. Makanya ngebut dulu ini, kemaren aku lupa kerjain."

Amar tersenyum, berdiri tepat di belakang kursi Anda, "matematika." Garis bibirnya melengkung, "wahhh ini mikirnya keras banget nih, mesti dikasih amunisi dulu otaknya, takut blank di tengah jalan."

Anda mendengus geli, "kalo makan dulu justru suka langsung ngantuk."

"Kalo ngga makan dulu suka mendadak bodoh." Tukas Amar membalas memasukan kedua tangannya ke saku celana samping. Anda berhasil menoleh dengan lirikan sinis, "ih, akang ko gitu ngomongnya." dan kembali ia menatap angka-angka itu dengan mata yang hampir juling.

"Sok coba...tahan berapa lama. Biar akang bantu nanti, tapi syaratnya ikut makan malam dulu. Ibunda sudah teriak-teriak dari tadi, ngga mau liat urat leher ibunda putus kan?" tanya Amar berhasil membuat Andayani terkekeh, "bagus malah. Biar ngga teriak-teriak terus."

Hanya berselang 10 menit, Amar datang dengan Andayani, disaat mereka sudah memulai acara makan sejak tadi.

"Nah, kenapa harus disusul dulu, neng?" tanya ayahanda saat Anda mengambil duduknya di samping Amar dan amih Anarawati.

"Jangan nunda makan neng, nanti sakit. maag..." ucapnya di lengan Anda.

"Tugas aku banyak ayah, bunda, amih..."

"Sebanyak-banyaknya tugas, makan jangan sampai terlewat." Ucap ibunda.

"Iya ibunda, maaf."

Dan tak ada lagi yang bicara ketika acara makan malam berlangsung. Benar-benar hening dimana suara yang tersisa disana adalah bunyi dentingan alat makan dan kunyahan lembut. Lirikan-lirikan mata pun hanya berupa interaksi singkat saja tanpa benar-benar ada cengkrama yang terjadi. Semua patuh pada aturan yang sudah tercatat sejak lama.

Padahal, jika di luaran...seperti cafe dan sekolah...para keturunan ningrat ini akan gacor sama halnya keluarga dari kalangan biasa. Akan melahap makanan sambil bicara, bahkan sambil berkelakar dan tertawa. Vibesnya begitu kontras.

Setelah habis dan meneguk air minumnya, ayahanda barulah angkat bicara.

"Kunjungan ke sentra batik lusa, semua anak ayahanda ikut."

Anarawati melirik begitupun Mahiswar, "oh."

"Aku?" tanya Andayani.

"Neng tidak usah kalau memang tak mau. Tapi kalau mau ikut boleh." Angguk ibunda.

"Loh, saya kira hanya bersama den bagus Reksa saja kang?" tanya amih Mahiswar.

"Somantri dan Wardana ikut juga, yayi. Termasuk Amar..." jelas ibunda.

Lirikan mata Bahureksa jelas menatap tajam pada Amar yang kini ada di depannya. Tanpa bicara apapun, namun gestur kesalnya begitu terlihat.

"Tapi ceu, Wardana sekolah." Lirih Anarawati.

"Itu makanya, kenapa saya memindahkan jam kunjungan setelah dzuhur saja, setelah anak-anak pulang sekolah, nyai." Timpal ayahanda lagi diangguki paham oleh para selirnya.

Amar menatap ayahanda dan kembali pada makanannya tak begitu peduli dengan hal itu, hanya kunjungan kerja seperti biasanya saja, dan ia sudah sering ikut ayahanda. Mengawasi dan mengecek setiap sentra usaha di bawah kepemimpinan kasepuhan termasuk biasanya yang terjauh ada di Bandung, yaitu pabrik teh.

Rumah panggung itu masih berdindingkan anyaman bambu, dan saat ini di ruang tengah, 4 bersaudara tengah duduk.

Gadis dengan mata hitam yang bening itu menelan salivanya kering, ia bisa kenyang hanya dengan meneguk air putih saja untuk saat ini membiarkan Laksmi dan Widuri melahap menu makan malam ini duluan. Sementara, ia dan Jayadi sudah terbiasa menunggu dan sisa kedua adik terkecil mereka.

"Teh." Jayadi sudah memberikan isyarat dengan mengusap perut ratanya. Tidak bisa dipungkiri ia begitu...lapar dan ya ampun...itu telurnya jangan dihabiskan, Widuri.... Clap...clap. Ia mengecap lidahnya, refleks ikut mangap ketika Widuri menyuapkan nasi. Dengan perasaan yang tak sabar, cepetan kenyang dong Wi, Mi...nasinya mau aku kuahin pake air teko ngga? Bahkan cicak-cicak yang sedang berkejaran itu lebih kenyang daripada dirinya.

"Awas lalat masuk Jay, kamu ikut mangap begitu." Cibir Sekar tertawa kecil.

Tak lama, dari dapur yang masih berlantaikan tanah itu mak sudah membawa sekeranjang singkong rebus dan masih mengepulkan asapnya, aromanya itu cukup wangi untuk perut-perut yang keroncongan.

Rambut legam nan panjangnya ia belit menjadi satu cepolan, lalu dengan lapang dada, sebagai anak yang paling besar....Sekar memilih meraih singkong itu bersama Mak, "bapak mana? Sudah makan, Mak?"

Mak menggeleng, "nanti pulang setelah isya berjamaah dari surau."

Widuri dan Laksmi sudah selesai dengan porsi yang berantakan, "kamu dan Jayadi saja yang makan. Bapak dan Mak biar singkong dan ubi saja."

Namun Sekar menggeleng, ia meraih wadah nasi yang terbuat dari anyaman bambu itu, menaruh nasi untuk Jayadi yang langsung membuat adik lelaki satu-satunya itu menjelma jadi mo nyet kelaparan, "bismillah dulu Jay..." senyum Mak.

Lantas Sekar membagi sisa nasi yang tinggal dua centong itu menjadi 3 bagian, "biar kebagian semua. Sisanya bisa dicampur singkong, kalo masih lapar."

Mak mendengus sumbang, lebih pada sedih dan terharu, "maafkan Mak, Sekar...."

Sungguh potret yang berbanding terbalik dengan kehidupan ningrat.

Gadis cantik dengan bibir tipis itu menggeleng, ia tak mau larut dalam kesedihan dan keterpurukan. Ia terpaksa harus menyudahi sekolahnya yang hanya sampai SMP saja, tak melanjutkan ke tingkat menengah atas atau SLTA, segitu pun sudah dianggap berpendidikan tinggi. Ia tau sampai dimana kemampuan kedua orangtuanya. Tak mungkin lebih memberatkan. Jayadi, lelaki. Katanya....Jayadi akan lebih membutuhkan pendidikan ketimbang dirinya.

Yang membuat Mak dan bapak sakit hati adalah, Sekar Taji merupakan gadis pintar, tapi nyatanya pintar saja tak cukup. Sampai-sampai, ia sering menemukan Sekar yang mengumpulkan bekas koran yang tercecer entah itu yang sudah kusut atau memang dibuang orang, demi ia baca kabar berita yang terkandung di dalamnya, perih sekali rasanya!

Tak jarang, Sekar ikut membantunya dan sang suami yang bekerja sebagai buruh tani serabutan, dan ia sendiri buruh bantuan di sentra batik. Bukan tidak pernah mencoba melamar namun belum ada lowongan untuk itu...melainkan hanya membantu apa yang kurang jika dibutuhkan.

Bahkan ucapan tetangga teramat menyakiti hati.

Buat apa sekolah tinggi-tinggi, perempuan itu ujungnya di dapur, sumur dan kasur. Nikahkan saja, biar tidak jadi beban keluarga lagi....hidup banyak anak begitu biar ringan, Toh Sekar cantik, banyak yang mau.

"Besok Sekar coba cari peruntungan ikut latihan tari di sanggar, siapa tau terpilih jadi ronggeng kasepuhan nantinya, mak. Seperti teh Nuroh bisa bantu uang dapur, bawa uang...do'akan saja." ucapnya, untuk saat itu...pekerjaan mudah untuk perempuan ya jadi penghibur!

"Aamiin!" Jayadi mengaminkan kencang diantara kunyahannya, "semoga nanti teteh bisa jadi ronggeng terkenal, jadi bisa beliin Jayadi martabak. Kalo bisa jadi selir di kasepuhan..."

Hush! Mak langsung menegur Jayadi atas do'a anak lelakinya itu.

.

.

.

.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!