"Dokter detak jantung pasien melemah, dan tekenan darah nya terus naik," ucap Suster Nina, cemas.
"Siapkan ruang operasi cepat!" Perintah Dr. Nofia tegas.
Saat Dr. Nofia dan Suster Nina bergegas menuju ruang operasi, terdengar suara gemuruh di lorong rumah sakit. Listrik padam total, meninggalkan mereka dalam kegelapan yang mencekam.
"Ya Tuhan, kenapa sekarang?" gumam Dr. Nofia, tangannya meraba-raba mencari penerangan.
"Dokter, bagaimana ini? Kita tidak bisa melakukan operasi tanpa listrik!" Suster Nina panik.
"Tenang Nina! Cari senter cadangan dan minta petugas segera perbaiki ini!" jawab Dr. Nofia berusaha untuk tetap tenang.
Tiba-tiba, lampu darurat menyala, menerangi lorong dengan cahaya remang-remang.
"Dokter, pasien semakin kritis! Kita tidak punya banyak waktu!" teriak seorang perawat dari ruang unit gawat darurat.
"Suster Nina, kamu siap? Kita mulai sekarang juga!" perintah Dr. Nofia mengambil keputusan cepat.
Dengan cahaya seadanya, Dr. Nofia, Suster Nina, dan tim medis memulai operasi yang penuh risiko dan tantangan. Jam demi jam berlalu, perjuangan Dr. Nofia semakin berat. Detak jantung pasien semakin melemah, dan waktu terus berjalan.
"Dokter, tekanan darahnya terus menurun," lapor Suster Nina, nadanya penuh ketegangan.
"Kita harus bertahan, Nina! Kita tidak boleh menyerah!" ucap Dr. Nofia menyeka keringat di dahinya.
Mereka tahu, setiap detik sangat berharga. Nyawa pasien kini berada di tangan mereka, dan mereka harus berjuang hingga akhir.
Operasi berjalan selama lima jam penuh, sebuah rentang waktu yang terasa seperti selamanya dalam kondisi darurat dan penerangan seadanya. Keringat membanjiri dahi Dr. Nofia, namun matanya tetap fokus dan tangannya bekerja dengan presisi luar biasa.
"Jantungnya kembali stabil!" seru Dr. Nofia, suaranya tercekat menahan napas lega.
"Kita berhasil!" ucap Dr. Nofia, tersenyum kecil.
Suster Nina dan seluruh tim medis menghela napas serentak. Kelelahan tergantikan oleh rasa syukur dan bangga. Mereka telah memenangkan pertarungan melawan maut.
"Bersihkan pasien, Suster Nina. Pindahkan ke ruang perawatan intensif. Kita harus pantau ketat," perintah Dr. Nofia, nadanya kini kembali tenang dan profesional, meski tubuhnya terasa remuk redam.
Ketika operasi selesai dan kegelisahan perlahan mereda, barulah identitas lengkap pasien terungkap. Pria tua yang baru saja mereka selamatkan adalah Tuan Arisena, yang usianya sudah mencapai 102 tahun, pemimpin dan Tuan Besar dari keluarga Arisena, konglomerat terkaya dan paling berpengaruh di Negara A.
Berita tentang kritisnya Tuan Arisena, yang dirahasiakan ketat, segera bocor.
Tiba-tiba, Rumah Sakit Bhakti Negara dipenuhi penjagaan ketat dan keramaian. Mobil-mobil mewah berjejer di halaman, dan para pengawal berpakaian serba hitam tampak mondar-mandir di lorong.
Dr. Nofia, yang baru saja melepas masker dan jubah operasinya, didekati oleh seorang pria paruh baya berpakaian sangat rapi dan berwajah dingin, dikelilingi oleh dua pengawal.
"Anda Dr. Nofia?" tanya pria itu tanpa basa-basi.
"Ya, saya," jawab Dr. Nofia, tenang dan profesional.
Dr. Nofia sama sekali tidak merasa terintimidasi oleh tatapan tajam pria Paruh baya itu.
Dr. Nofia bukan hanya berprofesi sebagai Dokter, tapi Dr. Nofia adalah master beladiri dan ahli senjata. Dari kecil Dr. Nofia di didik dengan keras oleh Ayahnya, yang berprofesi sebagai jenderal militer, yang keras dan juga tegas.
"Saya adalah Tuan Genta Arisena, putra tertua. Dokter bagaimana keadaan Ayah saya? Jika terjadi sesuatu yang buruk..." ucapan Tuan Genta menggantung, nadanya terselip ancaman halus yang jelas.
"Tuan Arisena, Ayah Anda sudah melewati masa kritis. Operasinya berjalan sukses," jawab Dr. Nofia dengan suara mantap, tidak gentar sedikit pun.
"Tim kami telah melakukan yang terbaik, dan kini beliau akan menjalani pemulihan intensif," lanjut Dr. Nofia.
Tuan Genta memandang Dr. Nofia dengan pandangan yang sulit diartikan, campuran antara keterkejutan, kelegaan, dan perhitungan.
"Bagus, Dokter, Anda telah menyelamatkan nyawa yang tak ternilai harganya. Kami akan pastikan Anda menerima penghargaan yang sepantasnya. Sekarang, saya ingin melihat Ayah saya. Pastikan tidak ada satu pun kesalahan dalam perawatan pasca-operasi," ucap Tuan Genta, tegas.
Dr. Nofia hanya mengangguk, namun jauh di dalam hatinya, ia tahu bahwa menyelamatkan Tuan Arisena mungkin baru permulaan dari masalah yang jauh lebih besar. Ia kini terperangkap dalam intrik keluarga konglomerat terkaya di Negara A.
Perawatan intensif Tuan Arisena berjalan lancar di bawah pengawasan ketat Dr. Nofia dan tim medis. Namun, suasana di rumah sakit terasa semakin mencekam. Bukan lagi ketegangan medis, melainkan ketegangan politik dan kekuasaan.
Keluarga Arisena mendominasi setiap sudut. Mereka membawa pengawal pribadi, koki, dan bahkan perawat mereka sendiri, membuat Dr. Nofia merasa seolah-olah seluruh Unit Perawatan Intensif telah diambil alih.
Tuan Genta Arisena, putra sulung, secara terang-terangan menunjukkan ketidakpercayaan pada prosedur rumah sakit.
Suatu sore, saat Dr. Nofia sedang meninjau catatan medis Tuan Arisena, ia dipanggil ke ruangan khusus yang dijaga ketat oleh dua pengawal besar. Di sana, ia bertemu dengan Nyonya Kirana, satu-satunya putri Tuan Arisena, yang jauh lebih ramah namun matanya memancarkan kecerdasan dan perhitungan yang sama tajamnya dengan kakaknya.
"Dr. Nofia, terima kasih banyak telah menyelamatkan Ayah kami," ucap Nyonya Kirana dengan senyum manis, menyajikan teh mahal.
"Namun, saya tidak nyaman dengan kehadiran Kakak saya, Genta, yang terus-menerus mengintervensi keputusan medis Anda," lanjut Nyonya Kirana, yang merupakan putri bungsu Tuan Arisena.
"Saya menghargai kekhawatiran Anda, Nyonya Kirana. Kami hanya mengikuti protokol medis terbaik," jawab Dr. Nofia hati-hati.
"Tentu saja. Tetapi kami semua tahu, siapa yang berhasil membuat Ayah pulih akan mendapat kepercayaan penuh dari beliau setelah ini," ucap Nyonya Kirana, mencondongkan tubuhnya.
"Dr. Nofia, Anda mungkin telah menyelamatkan Ayah, tetapi Anda belum tahu betapa rumitnya intrik di keluarga kami. Genta tidak akan membiarkan Anda menjadi pahlawan sendirian. Dia akan mencari cara untuk mengklaim semua kredit itu," lanjut Nyonya Karina, dengan suara pelan dan penuh penekanan.
Sesaat setelah percakapannya dengan Nyonya Kirana selesai, Dr. Nofia kembali ke ruangannya dan menemukan Suster Nina menunggunya dengan wajah pucat.
"Dokter, ada yang aneh," bisik Suster Nina, merapatkan pintu.
"Saya mendengar perawat pribadi Tuan Genta, yang dia bawa sendiri, bertanya detail tentang dosis obat dan prosedur infus Ayahnya. Padahal, dia tidak punya wewenang medis," lapor Suster Nina.
"Apa yang dia tanyakan, Nina?" tanya Dr. Nofia, firasat buruk mulai merayapi dirinya.
"Dia bertanya secara spesifik tentang obat penenang dan obat pengencer darah yang kita gunakan. Dia bahkan mencoba diam-diam memotret catatan resep harian," jawab Suster Nina, dengan suara pelan, takut terdengar oleh orang lain.
Mendengar ucapan dari Suster Nina, Dr. Nofia segera menyadari bahaya yang mengintai. Tuan Arisena adalah kunci kekuasaan dan kekayaan yang tak terbayangkan.
Keberhasilannya di mata Tuan Arisena berarti kegagalan bagi pihak lain di keluarganya.
Dr. Nofia tahu, di balik dinding rumah sakit ini, permainan kotor telah dimulai, dan dia sang dokter yang menyelamatkan nyawa kini berada di tengah-tengah perang keluarga Arisena. Ia harus melindungi pasiennya, bukan hanya dari komplikasi medis, tetapi juga dari orang-orang terdekatnya sendiri.
Pada malam yang sunyi, ketika Dr. Nofia sedang mengecek monitor Tuan Arisena di ICU, suasana tenang tiba-tiba pecah oleh suara tembakan keras dari lobi utama. Alarm darurat rumah sakit meraung
DOR
DOR
DOR
Suara tembakan dari senjata api saling bersahutan, membuat keadaan rumah sakit malam itu sangat kacau.
Dr. Nofia tidak menyia-nyiakan waktu, dia tahu lorong ICU sudah tidak aman, dengan cepat Dr. Nofia mengambil keputusan untuk memindahkan Tuan Arisena, sebuah prosedur yang sangat berisiko bagi pasien pasca-operasi.
Dr. Nofia segera menghubungi Suster Nina melalui telepon internal.
"Nina, saya sudah melumpuhkan gelombang pertama. Saya akan memindahkan Tuan Arisena. Jangan keluar dari tempat persembunyianmu sebelum saya memberimu aba-aba," ucap Dr. Nofia, tegas.
"Baik Dokter. Anda hati-hati, rumah sakit sudah dikepung oleh ratusan pria bersenjata," jawab Suster Nina, di sebrang sana terdengar panik dan khawatir.
Tanpa membuang-buang waktu lagi, Dr. Nofia menarik kursi roda yang tersembunyi, lalu dengan hati-hati melepaskan Tuan Arisena dari semua kabel monitor yang tidak vital. Ia memindahkan pria tua yang rapuh itu ke kursi roda, memastikan jalur infus dan oksigen terpasang dengan aman.
Saat Dr. Nofia mendorong kursi roda, ia mengambil napas dalam-dalam dan berbicara kepada pasiennya, seolah Tuan Arisena bisa mendengarnya.
"Tuan Arisena, Anda harus kuat. Kami belum selesai. Maafkan saya harus melakukan ini," ucap Dr. Nofia, mencengkram kuat kursi roda Tuan Arisena.
Dr. Nofia mendorong kursi roda Tuan Arisena dengan tatapan mata yang sangat waspada, dia menghindari lorong utama yang dipenuhi suara tembakan dan bentrokan antara pengawal keluarga Arisena dan anggota mafia yang tersisa. Sebaliknya, ia memilih rute tersembunyi melalui dapur rumah sakit dan koridor layanan staf.
Dengan keahlian yang Dr. Nofia miliki, akhirnya mereka tiba di sebuah pintu baja yang jarang digunakan, pintu darurat menuju area parkir bawah tanah yang terisolasi. Dr. Nofia membuka pintu itu dengan hati-hati.
Saat itu, sebuah keajaiban terjadi. Tuan Arisena, yang seharusnya masih dalam pengaruh obat penenang pasca-operasi, perlahan membuka matanya yang keriput. Tatapannya tajam, terbebas dari kepayahan yang selama ini ia tunjukkan.
Tuan Arisena tersenyum samar, senyum yang sama sekali tidak menunjukkan rasa takut, melainkan kebijaksanaan mendalam. Pria tua itu seolah sudah tahu bahwa penyerangan ini akan terjadi.
"Anda adalah dokter yang hebat," bisik Tuan Arisena, suaranya serak namun terdengar jelas di tengah kekacauan di atas.
"Saya telah menunggu. Mereka semua hanya memperebutkan warisan, tetapi Anda hanya berusaha menyelamatkan nyawa," lanjut Tuan Arisena.
Dr. Nofia tertegun, dia tidak menyangka pasiennya sudah sadar dan mengetahui namanya.
"Siapa nama Anda Dokter?" tanya Tuan Arisena.
"Nofia. Dan Anda Tuan Arisena, jangan bicara. Anda harus menghemat energi," ucap Dr. Nofia, matanya masih waspada mengawasi area sekitar.
"Tidak, saya harus bicara sekarang," jawab Tuan Arisena, tangan kurusnya meraih tangan Dr. Nofia.
"Ancaman yang Anda hadapi hari ini tidak akan berakhir. Setelah melihat cara Anda bergerak, saya yakin Anda bukan hanya seorang dokter," ucap Tuan Arisena.
"Anda telah melewati ujian saya, Nofia. Dua ujian, tepatnya. Sebagai dokter yang berdedikasi, dan sebagai pelindung yang tangguh," lanjut Tuan Arisena menghela napasnya panjang, matanya menatap dalam mata Dr. Nofia.
Dr. Nofia hanya diam, mendengar kan, karena menurut nya apa yang dia lakukan pada Tuan Arisena itu memang kewajiban nya sebagai seorang Dokter, menyelamatkan nyawa pasien nya.
"Itu milik saya, bukan milik putra atau putri saya. Kuncinya ada di saku jubah Anda. Pindahkan saya ke sana, dan pergi dari sini secepatnya. Ada tempat di mana kita bisa aman," ucap Tuan Arisena mengangkat tangan lainnya, menunjuk ke sebuah mobil sedan hitam biasa yang terparkir jauh di sudut.
"Tapi, bagaimana dengan putra-putri Anda? Dan rumah sakit ini?" tanya Dr. Nofia, masih bingung dengan alur pembicaraan yang tiba-tiba berbalik ini.
"Mereka sudah menjalankan peran mereka. Sekarang, Anda ambil alih. Saya mempercayakan nyawa dan rahasia saya kepada Anda, Dokter. Saya tidak punya waktu lagi untuk memilih-milih. Saya butuh dokter dan pengawal yang berintegritas," jawab Tuan Arisena menarik napas pendek.
"Di mobil itu, ada nomor kontak Tuan Gara Kepala Keamanan sejati keluarga Arisena. Beri dia kode. Phoenix Bangkit. Dia akan membantu kita. Sekarang, pergilah!" ucap Tuan Arisena, tegas.
Dr. Nofia, kini menyadari bahwa pria tua ini adalah dalang di balik semua kekacauan, mengangguk.
Dengan hati-hati, ia mendorong kursi roda menuju mobil hitam itu, tidak lupa Dr. Nofia mengambil pistol laras panjang dari tasnya dan membawanya sambil berjaga-jaga. Pertarungan barusan hanyalah pemanasan, perburuan yang sesungguhnya baru saja dimulai.
Dr. Nofia dengan cepat memindahkan Tuan Arisena ke kursi belakang mobil sedan hitam itu. Mobil itu ternyata sudah dimodifikasi dengan kaca anti peluru dan lapis baja ringan. Saat Dr. Nofia bersiap masuk ke kursi kemudi, ia merasakan kehadiran di belakangnya.
"Mau lari ke mana, Dokter?"
Suara itu dingin dan keras, milik Tuan Genta Arisena, putra sulung Tuan Besar, yang kini berdiri di ujung lorong parkir bawah tanah, ditemani oleh dua pengawal pribadinya. Di tangan Tuan Genta, berkilauan sebuah pistol.
"Ayah Anda sudah sadar?" Tuan Genta tampak terkejut melihat Tuan Arisena sudah bangun, namun ia segera menguasai diri.
"Ayah, jangan dengarkan Dokter ini! Dia mencoba menculik Anda demi uang!" ucap Tuan Ganta, dengan tuduhan palsunya.
"Genta, hentikan sandiwara ini," jawab Tuan Arisena, suaranya tenang namun penuh otoritas.
"Aku tahu kau yang mengatur serangan ini, bekerja sama dengan mereka. Kau ingin aku mati di sini, bukan?" ucap Tuan Arisena, menatap tajam Putra sulung nya.
Wajah Tuan Genta menegang, rasa malu dan amarah memenuhi matanya.
"Jika Anda tidak mau mati karena mereka, Anda akan mati karena saya, Ayah! Warisan ini milik saya!" teriak Tuan Ganta, bersiap menarik pelatuk pistol nya.
"Keluar dari mobil itu, Dokter! Atau aku tembak kepalanya!" ancam Tuan Genta, mengarahkan pistolnya ke Tuan Arisena.
Dr. Nofia tahu, ia tidak punya waktu untuk bernegosiasi, ia melemparkan dirinya ke dalam mobil, segera menyalakan mesin, dan menginjak gas. Mobil melaju kencang, menabrak pagar rantai yang membatasi area parkir.
Seperti pembalap profesional, Dr. Nofia membawa mobil itu dengan kecepatan tinggi, membuat Tuan Ganta, meraung marah di belakang sana.
"SAILAN!!!"
"Kejar mobil itu cepat!!" perintah Tuan Ganta, sambil melepas tembakan nya.
DOR
DOR
DOR
Tuan Genta dan pengawalnya segera mengejar mobil yang dikendarai oleh Dr. Nofia, mereka melepaskan tembakan bertubi-tubi. Peluru memantul di kaca belakang mobil yang berlapis baja.
DOR
DOR
DOR
Dr. Nofia mengendarai mobil nya dengan tatapan mata yang terus fokus ke depan, sambil terus menghindar dari serangan peluru di belakang nya.
"Aku harus menyelamatkan Tuan Arisena, bagiamana pun caranya," batin Dr. Nofia, mencengkram kuat setir mobil nya.
Namun, saat mobil berbelok tajam di tikungan keluar dari parkiran bawah tanah, Dr. Nofia menyadari satu kelemahan fatal. Jendela di sisi pengemudi tidak berlapis baja. Itu adalah jendela manual biasa, mungkin agar mobil terlihat kurang mencolok.
DOR
Satu peluru nyasar dari senapan otomatis salah satu pengawal Tuan Genta mengenai bahu kiri Dr. Nofia.
Tidak ada jeritan, tidak ada ringisan, walupun rasa sakit yang tajam menusuk, namun ia tidak melepaskan setir.
Dr. Nofia memutar mobil ke jalanan yang gelap, menjauhi menjauhi area rumah sakit yang kacau balau.
"Kau terluka, Nofia!" ucap Tuan Arisena panik dari kursi belakang.
"Saya baik-baik saja," jawab Dr. Nofia, menggertakkan gigi menahan sakit.
Dr. Nofia merogoh saku, menemukan ponsel yang diberikan Tuan Arisena, dan dengan tangan kanan yang gemetar karena cedera di bahu kirinya, ia menelepon nomor Tuan Purbaya.
"Halo ini Nofia. Kode. Phoenix Bangkit," ucap Nofia, suaranya tercekat.
"Kami di jalan raya menuju utara. Kami dikejar..."
DOR
PYARRRRR
Saat ia mengucapkan kata terakhir, kaca samping pengemudi tiba-tiba pecah berkeping-keping.
Tuan Genta dan pengawalnya berhasil mengejar mereka dengan mobil lain yang lebih cepat.
Dr. Nofia refleks merunduk, tetapi sebuah peluru tepat mengenai sisi kepala bagian kanannya. Kepalanya membentur setir. Seketika, pandangannya menjadi kabur, darah mengucur deras, membasahi wajah dan setir mobil.
Melihat Dr. Nofia terhuyung, Tuan Arisena menjerit panik.
"Nofia! Bertahanlah!" teriak Tuan Arisena dari kursi penumpang.
Dengan sisa kekuatan terakhirnya, Dr. Nofia menarik rem tangan dengan keras, memutar setir, dan mengarahkan mobil ke arah sebuah truk kontainer yang melaju kencang di jalur berlawanan. Ini adalah pengorbanan terakhirnya.
"Selamatkan diri Anda, Tuan..." bisik Dr. Nofia, sebelum kesadarannya hilang total.
BRAKKKK
Mobil sedan itu menghantam pembatas jalan. Sebelum mobil Tuan Genta sempat mendekat, truk kontainer itu menabrak sisi mobil Dr. Nofia, tepat di sisi pengemudi. Suara benturan yang mengerikan memecah malam.
Truk kontainer itu meluncur tak terkendali, menabrak mobil Tuan Genta yang datang dari belakang. Kekacauan total terjadi di jalanan gelap itu.
Tuan Arisena terlempar namun selamat berkat sabuk pengaman dan interior mobil yang kokoh. Ia merangkak keluar dari puing-puing, tubuhnya yang tua gemetar. Ia melihat tubuh Dr. Nofia, tak bergerak, terjebak di antara puing mobil yang ringsek.
Tuan Arisena menatap wajah dokter muda itu, yang baru saja mengorbankan nyawanya demi dirinya. Air mata menetes di pipi Tuan Besar yang keras itu.
Tiba-tiba, dari kejauhan, terdengar sirene yang mendekat. Tuan Gara, yang berhasil melacak panggilan terakhir Dr. Nofia, telah tiba dengan timnya.
Melihat Tuan Arisena selamat, Tuan Gara berlari mendekat, dia menatap puing-puing mobil, lalu menatap tubuh tak bernyawa Dr. Nofia.
"D-dia menyelamatkan saya. Dia tewas demi saya, Gara," ucap Tuan Arisena dengan suara penuh kepedihan, sambil memegang surat perintah yang ia ambil dari saku Nofia.
"Gara hubungin kelurga Dr. Nofia, mulai sekarang, carikan semua orang yang bertanggung jawab atas kematian Nofia. Mulai dari Genta," perintah Tuan Arisena
"Dan Gara, seluruh harta dan kekuasaan Arisena, akan kuserahkan pada orang yang akan meneruskan perjuangan Nofia!" lanjut Tuan Arisena tegas.
Perintah Tuan Arisena adalah sebuah guntur yang memecah keheningan malam tragedi.
Keesokan harinya, Negara A diguncang oleh dua berita besar: kecelakaan maut yang melibatkan konglomerat Tuan Arisena dan kematian seorang dokter muda yang secara misterius terlibat. Pihak kepolisian segera mengambil alih lokasi, namun di balik layar, mesin kekuasaan keluarga Arisena yang sesungguhnya di bawah kendali Tuan Gara mulai bekerja.
Tuan Genta dan pengawalnya ditahan dengan tuduhan berlapis, dimulai dari percobaan pembunuhan terencana terhadap ayahnya hingga pelanggaran lalu lintas dan penggunaan senjata api ilegal. Nyonya Kirana, putri bungsu, menyangkal keterlibatannya dalam insiden penyerangan tersebut, namun ia tahu posisinya kini sangat genting.
Di tengah hiruk-pikuk intrik kekuasaan itu, ada sebuah kesedihan yang tak terhindarkan.
Pemakaman Dr. Nofia berlangsung tiga hari kemudian.
Cuaca pagi itu kelabu, seolah langit pun ikut berduka. Upacara pemakaman militer yang khidmat dan sederhana dilaksanakan di pemakaman keluarga yang dikelilingi oleh pepohonan rindang. Nofia adalah putri tunggal seorang Jenderal purnawirawan yang sangat dihormati, Jenderal Bagaskara
Petinya diselimuti bendera kebangsaan, dan deretan salute dari rekan-rekan militer ayahnya mengiringi prosesi. Namun, di tengah semua formalitas militer itu, hanya ada satu sosok yang menjadi pusat perhatian: Jenderal Purbaya.
Jenderal Bagaskara, seorang pria dengan rahang tegas, mata tajam, dan punggung yang selalu tegak, kini berdiri di samping liang lahat, tampak menyusut di dalam seragam resminya. Ia tidak menangis. Sejak menerima kabar itu, tak ada setetes pun air mata yang tumpah dari matanya yang merah. Tangisan adalah kemewahan yang tidak ia izinkan untuk dinikmati saat ini.
Ia hanya menatap nanar peti mati putrinya, Nofia satu-satunya alasan ia merasa hidup, satu-satunya kelembutan yang ia miliki dalam kehidupan yang keras dan disiplin. Ia mendidik Nofia dengan keras, mengajarinya cara bertarung, bertahan, dan menggunakan senjata, bukan karena ia ingin Nofia menjadi tentara, tetapi karena ia ingin putrinya tidak pernah menjadi korban.
Ironisnya, putrinya tewas dalam sebuah perang yang bukan miliknya, sebuah intrik kotor, bukan di medan perang yang terhormat.
Ketika tim mulai menurunkan peti mati, Jenderal Bagaskara melangkah maju. Tangannya yang biasanya kokoh, kini terasa gemetar saat ia menyentuh kain bendera di peti itu untuk terakhir kalinya.
"Kau melayani dengan integritas, Nak," bisiknya, suaranya serak, terdengar seperti kerikil yang bergesekan.
Jenderal Bagaskara tidak mengatakan Kau tewas dengan hormat atau Kau tewas sebagai dokter. Ia mengatakan Kau melayani.
Suster Nina, yang berdiri agak jauh bersama tim medis rumah sakit, menangis tanpa suara. Ia mengenal Dr. Nofia sebagai sosok yang tenang, tegas, dan berintegritas tinggi. Ia ingat setiap detail dari malam mengerikan itu dan keberanian Nofia.
Di sisi lain, di bawah payung hitam, berdiri Tuan Arisena yang rapuh, didampingi oleh Tuan Gara. Pria tua itu harus menggunakan kursi roda dan selang oksigen, tetapi matanya, mata yang sama tajamnya saat ia berbicara kepada Nofia di parkiran kini menatap penuh penyesalan dan hormat.
...............................
Kami berdiri di sini, diselimuti kesunyian yang tebal, merasakan kehilangan yang sungguh tak terperikan. Dunia telah kehilangan salah satu jiwa yang paling tulus dan paling berani. Engkau adalah anugerah terindah bagi dunia medis, yang mengajarkan kami bahwa ilmu pengetahuan harus selalu diiringi dengan welas asih tanpa batas.
Selamat jalan, Dr. Nofia. Tidurlah dalam damai. Pengorbananmu tidak sia-sia. Cahayamu akan terus menyinari jalan kami, mendorong kami untuk bekerja dengan kejujuran, integritas, dan pengabdian sepertimu. Terima kasih telah menjadi pahlawan kami. Kami akan selalu mengenangmu sebagai Sang Penyelamat Berhati Mulia yang mengorbankan segalanya demi janji kemanusiaan.
Rip Dr. Nofia 🥀
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!