NovelToon NovelToon

Istriku, Bidadari Yang Ku Ingkari

Kabar Dari Ruang Tamu

Suara sendok yang beradu dengan cangkir porselen terdengar lembut di ruang makan keluarga Zahra. Aroma teh melati mengepul dari teko kaca di atas meja. Alya Nur Zahra, gadis berwajah teduh dengan rambut hitam legam yang diikat sederhana, duduk diam di hadapan ayah dan ibunya. Tatapannya sesekali jatuh pada permukaan meja, seolah tengah membaca sesuatu yang tidak tertulis di sana.

Sejak kecil, Alya terbiasa hidup dalam ketenangan. Ia bukan tipe yang suka membantah atau menuntut banyak hal. Dunia baginya sederhana, asal orang tuanya bahagia, itu sudah cukup. Tapi sore itu, ketika ayahnya memecah keheningan dengan kalimat yang mengubah arah hidupnya, Alya tahu bahwa kesederhanaan itu akan segera hilang.

“Alya, Ayah ingin bicara serius,” ujar Pak Zahra dengan nada yang pelan tapi berwibawa.

“Keluarga Maheswara menghubungi Ayah tadi pagi. Mereka ingin menjodohkanmu dengan putra mereka, Arga.”

Sendok di tangan Alya berhenti bergerak.

Udara di ruangan itu mendadak terasa berat.

“Menjodohkan?” ulangnya perlahan, memastikan ia tidak salah dengar.

Ibunya, Bu Ratna, menatapnya dengan senyum yang berusaha terlihat lembut. “Ayah dan Ibu tahu ini mendadak, Nak. Tapi keadaan perusahaan sedang tidak baik. Ayahmu sudah berusaha keras menyelamatkannya. Dan keluarga Maheswara… mereka menawarkan kerja sama dengan syarat adanya ikatan keluarga.”

Alya terdiam. Ia tahu betul seperti apa keadaan bisnis keluarga mereka. Sejak pandemi, perusahaan properti Zahra Land terombang-ambing. Banyak proyek tertunda, investor menarik diri, dan hutang mulai menumpuk. Ayahnya terlalu keras kepala untuk menjual aset, tapi terlalu idealis untuk berutang besar. Dan kini, solusi yang ditawarkan bukan sekadar merger bisnis, tapi… pernikahan.

“Arga Maheswara,” gumamnya lirih.

Nama itu tidak asing. Ia pernah mendengarnya. Anak tunggal dari pengusaha sukses di bidang konstruksi dan investasi. Usianya terpaut dua tahun darinya, seorang lelaki yang dikenal dingin, ambisius, dan... sulit didekati.

Alya menghela napas dalam.

“Kalau memang ini keputusan Ayah dan Ibu, aku akan menuruti. Aku percaya semua yang Ayah pilih pasti demi kebaikan keluarga.”

Pak Zahra menatap putrinya dalam-dalam. Ada kelegaan di matanya, tapi juga rasa bersalah yang dalam. “Terima kasih, Nak. Ayah tahu ini tidak mudah, tapi keluarga Maheswara bukan orang sembarangan. Kamu akan baik-baik saja.”

Alya tersenyum kecil, walau di dalam dadanya terasa sesak. Ia tidak tahu apakah itu tanda ketulusan… atau kepasrahan.

 

Sementara itu, di sisi lain kota, suasana rumah keluarga Maheswara sangat berbeda.

Kamar Arga Maheswara dipenuhi dengan dokumen proyek, blueprint gedung, dan laptop yang masih menyala dengan deretan angka di layar. Ia baru saja menyelesaikan rapat daring dengan timnya ketika suara ketukan terdengar di pintu.

“Masuk,” katanya tanpa menoleh.

Ayahnya, Damar Maheswara, masuk dengan langkah mantap. Pria paruh baya itu masih berpenampilan rapi meski hari sudah menjelang malam, setelan jas abu-abu muda, rambut tersisir ke belakang, dan aura otoritatif yang tidak pernah pudar.

“Arga, kita perlu bicara,” ucapnya tegas.

Arga menatap sekilas. “Tentang apa? Proyek Batavia Tower?”

“Bukan. Tentang keluarga Zahra.”

Nama itu membuat Arga menegakkan badan.

Ia tahu keluarga Zahra, rekan bisnis lama yang dulu sempat berjaya, tapi kini hampir tenggelam oleh utang dan proyek macet. Ia juga tahu hubungan kedua keluarga itu cukup dekat di masa lalu. Tapi yang tidak ia sangka adalah kalimat berikutnya.

“Papa sudah menyetujui kerja sama strategis dengan mereka. Tapi ada satu hal yang menjadi syarat penting. Kamu akan menikah dengan putri mereka, Alya Nur Zahra.”

Arga menatap ayahnya tak percaya.

“Apa?” suaranya meninggi. “Menikah? Dengan orang yang bahkan belum pernah aku temui?”

Damar menatapnya tanpa ekspresi. “Ini bukan tentang cinta, Arga. Ini tentang masa depan. Tentang tanggung jawab terhadap perusahaan yang sudah kita bangun selama puluhan tahun.”

Arga tertawa pendek, sarkastik. “Jadi papa mau menjadikan aku alat negosiasi?”

“Jangan bicara seperti itu,” Damar menimpali tajam. “Keluarga Zahra pernah membantu kita di masa sulit. Sekarang giliran kita membantu mereka. Dan kamu sebagai putra tunggal keluarga ini punya kewajiban menjaga hubungan itu.”

“Dengan menikah?” Arga menatapnya dingin. “Papa tahu aku tidak percaya dengan pernikahan yang dijodohkan. Aku tidak mau hidup dengan seseorang hanya karena kontrak bisnis.”

Damar menghela napas panjang, menahan emosi. “Kamu boleh menolak sekarang, tapi ingat, Arga. Tidak semua keputusan dalam hidup bisa kamu buat dengan ego. Kadang, tanggung jawab lebih besar dari perasaan.”

Arga terdiam, menatap ayahnya dalam-dalam. Ada banyak hal yang ingin ia katakan tentang kebebasan, tentang hak untuk memilih hidupnya sendiri. Tapi di balik mata ayahnya yang tegas, ia melihat sesuatu yang tidak bisa ia lawan: tekad.

Malam itu, setelah ayahnya pergi, Arga berdiri di depan jendela besar kamarnya. Dari sana ia bisa melihat lampu-lampu kota Jakarta yang berkilau seperti bintang-bintang terkurung. Ia meneguk udara malam perlahan, lalu berbisik pada dirinya sendiri,

“Alya Nur Zahra… siapa pun itu, gue harap lo tahu, gue gak pernah menginginkan ini.”

 

Keesokan harinya, dua dunia yang berbeda sama-sama bergetar dalam diam.

Alya mulai menulis di jurnalnya, hal yang selalu ia lakukan ketika pikirannya kusut.

“Kadang, takdir datang dalam bentuk yang tidak kita minta. Tapi mungkin, setiap keputusan orang tua selalu punya alasan yang belum kita pahami.”

Sementara Arga, di ruang kantornya, menatap foto lama dirinya bersama ayahnya. Ia mengingat masa-masa ketika ia hanya ingin membuat sang ayah bangga. Dan kini, kebanggaan itu menuntut harga yang mahal, sebuah pernikahan tanpa cinta.

Dua hati yang belum pernah bertemu, kini diikat oleh keputusan yang tidak mereka buat.

Yang satu menerima dengan diam, yang satu menolak dengan marah.

Tapi keduanya sama-sama tidak bisa lari dari kenyataan.

 

💍 To be continued...

Dua Dunia yang Tak Sama

Langit sore menua di atas rumah keluarga Zahra. Udara hangat bercampur aroma kayu cendana dari ruang tamu yang dipenuhi tamu penting. Di sana, meja panjang telah disiapkan. Gelas kaca berembun, piring kecil berisi kudapan tradisional, dan bunga melati segar dalam vas putih membuat suasananya tampak tenang meski hati Alya Nur Zahra berdebar begitu keras.

Ia duduk di sisi ibunya, mengenakan gamis biru muda dan kerudung satin lembut yang membingkai wajahnya. Tatapannya tertunduk, jemarinya saling meremas pelan di pangkuan.

Hari ini… hari di mana ia akhirnya akan bertemu dengan calon suaminya, Arga Maheswara.

Dari kejauhan, suara mesin mobil terdengar berhenti di depan rumah. Alya bisa mendengar suara langkah berat mendekat. Tak lama, pintu ruang tamu dibuka, menampakkan sosok pria tinggi dengan kemeja hitam yang dilipat di siku, mata tajam, dan rahang tegas. Di belakangnya, Damar Maheswara , ayahnya melangkah penuh wibawa.

“Assalamu’alaikum,” ucap Pak Damar sopan.

“Wa’alaikumussalam,” jawab keluarga Zahra serentak.

Pak Zahra berdiri, menyalami sahabat lamanya dengan senyum yang agak canggung namun tulus.

Sementara itu, Arga hanya menundukkan kepala sekilas, formal, tanpa kehangatan. Tatapannya cepat beralih ke arah Alya, yang duduk diam seperti bunga yang baru mekar di pagi buta.

Ia memperhatikannya tanpa berkata apa-apa, tapi tatapan itu… dingin.

Setelah basa-basi panjang di antara orang tua, suasana perlahan berubah.

Pak Zahra mulai membuka pembicaraan utama.

“Kami bersyukur akhirnya bisa mempertemukan mereka. Mungkin, sebelum pembicaraan tanggal, biarkan Alya dan Arga berbicara sebentar, agar saling mengenal.”

Bu Retno tersenyum lembut. “Benar, Nak Alya… temani Arga sebentar di taman belakang, ya?”

Alya menunduk, lalu berdiri. “Baik, Bu.”

Suara lembutnya seperti angin yang menenangkan.

"Panggil mama, ya." Ucap bu Retno pada Alya.

Arga mendengus pelan, tapi menuruti ayahnya yang memberi isyarat halus. Ia melangkah ke taman belakang, tangan diselipkan di saku, ekspresi datar tapi jelas tidak senang.

 

Taman keluarga Zahra sederhana, ada ayunan rotan, kolam ikan kecil, dan aroma daun pandan dari dapur belakang.

Alya duduk di kursi taman, menjaga jarak sopan. Sementara Arga berdiri di depannya, menyandarkan punggung ke tiang gazebo, seperti orang yang sedang menghitung waktu kapan ia bisa pergi.

“Alya...?” suaranya berat, tapi ada nada meremehkan di sana.

“Iya,” jawab Alya pelan. “Saya Alya Nur Zahra.”

“Nur Zahra, apa kata papa kemarin? Cahaya bunga suci gitu, ya?” ia terkekeh singkat. “Cocok banget sama tampangnya yang kayak anak pesantren banget.”

Alya tidak menatapnya langsung. “Alhamdulillah, memang saya dibesarkan di lingkungan pesantren sejak kecil, Mas.”

Nada bicaranya lembut, penuh adab, sama sekali tidak tersinggung, tidak juga menunduk karena takut.

Arga menatapnya dengan heran. “Lo selalu ngomong sehalus itu ke semua orang?”

“Adab berbicara adalah bagian dari iman,” jawabnya datar tapi tenang. “Saya hanya berusaha menjaga itu.”

Arga menyeringai, tapi dingin. “Adab? Dunia ini gak semuanya soal adab, Alya. Kadang orang cuma ngerti kalau kita keras.”

Alya tersenyum tipis. “Saya percaya kelembutan juga bisa menundukkan yang keras, kalau niatnya baik.”

Kalimat itu membuat Arga diam beberapa detik. Ia tidak tahu apakah gadis di depannya terlalu polos atau justru terlalu dalam. Tapi yang jelas, ia tidak terbiasa berbicara dengan orang yang menjawab seperti itu, tanpa emosi, tapi mengena.

“Tahu kan kenapa kita disuruh nikah?” tanya Arga dengan nada kasar.

“Karena keluarga kita ingin menyelamatkan perusahaan,” jawab Alya jujur.

“Dan lo… lo gak keberatan dijadikan alat?”

Pertanyaan itu diucapkan dengan nada sinis.

Namun Alya hanya menatapnya, matanya tenang seperti air yang tidak bergelombang.

“Saya tidak merasa dijadikan alat, Mas. Saya menganggap ini bagian dari takdir Allah. Mungkin inilah jalan yang harus saya tempuh.”

Arga terkekeh keras. “Takdir? Lo percaya banget dengan hal-hal begitu, ya?”

Alya tersenyum lagi. “Kalau tidak percaya pada takdir, kita akan terus marah pada hidup, Mas. Padahal semua yang terjadi pasti ada maksudnya.”

Ada jeda panjang.

Arga memalingkan wajah, seolah kesal tapi sebenarnya… tidak tahu harus berkata apa lagi.

Ia mencoba mengganti topik dengan nada sinis lagi.

“Lo pasti gak suka gue, kan? Gue bukan tipe laki-laki alim, apalagi yang rajin ngaji kayak lo.”

“Saya tidak menilai orang dari tampak luarnya,” jawab Alya lembut.

“Tapi lo pasti tahu gue bukan orang baik.”

“Tidak ada manusia yang sepenuhnya buruk, Mas. Hanya saja, ada yang belum sempat menemukan hidayahnya.”

Kali ini, Arga benar-benar terdiam.

Entah kenapa, kata-kata itu terasa menohok.

Angin sore berhembus pelan, membuat ujung kerudung Alya bergerak ringan. Dalam diam, Arga memperhatikan wajahnya lebih lama dari yang ia sadari, bukan karena tertarik, tapi karena rasa asing yang tumbuh di dada.

Gadis ini… tidak seperti siapa pun yang pernah ia temui.

“Mas Arga,” suara lembut Alya memecah keheningan, “saya tahu Mas mungkin tidak menginginkan perjodohan ini. Saya juga tidak tahu apakah saya bisa menjadi istri yang baik untuk Mas. Tapi saya hanya ingin satu hal, jika memang pernikahan ini jadi, izinkan saya menjalani rumah tangga dengan cara yang Allah ridhoi.”

Arga menatapnya lama.

“Dan kalau gue bilang gue gak bisa jadi suami kayak yang lo mau? Yang shalat lima waktu, yang sopan, yang patuh aturan?”

Alya menunduk sebentar, lalu berkata pelan,

“Kalau itu terjadi, saya akan terus mendoakan Mas. Hidayah bukan datang karena siapa-siapa, tapi karena Allah yang membuka hati.”

Ucapan itu membuat dada Arga terasa sesak, meski ia tidak tahu kenapa.

Ia berdehem, lalu berucap dingin, “Ya sudah. Kalau lo sudah siap hidup dengan orang yang lo gak kenal, silakan. gue gak akan pura-pura jadi laki-laki baik.”

Alya menjawab lembut, “Saya tidak butuh pura-pura, Mas. Saya hanya ingin kejujuran.”

Dan di titik itu, Arga akhirnya benar-benar kehabisan kata.

Semua kalimat sinis yang ingin ia lontarkan seperti kehilangan makna di hadapan ketenangan Alya.

Ia membalikkan badan, meninggalkan taman tanpa pamit.

Alya menatap punggungnya yang menjauh , tinggi, gagah, tapi dingin.

Lalu ia menunduk, menarik napas panjang, dan berbisik dalam hati,

“Ya Allah, kalau memang dia yang Kau pilihkan untukku, maka lembutkan hatinya. Dan kuatkan aku untuk tetap berpegang pada-Mu.”

 

Malam itu, di rumah Alya, orang tua kedua belah pihak akhirnya sepakat: pernikahan akan dilangsungkan 1 bulan lagi.

Alya menunduk hormat, menerima keputusan itu dengan hati yang ikhlas.

Sementara Arga, di dalam mobilnya, menatap kosong ke jalanan Jakarta yang ramai.

Ia memukul setir pelan dan bergumam kasar,

“Gila. Gadis itu terlalu tenang. Kayak gak hidup di dunia yang sama.”

Tapi di ujung pikirannya, ada suara kecil yang tak mau diam, suara yang membuatnya resah.

Bukan karena marah… tapi karena ia mulai bertanya-tanya,

“Kenapa ketenangan itu terasa begitu mengganggu?”

 

💍 To be continued...

Penolakan yang Diam

Malam menelan kota dengan lampu-lampu oranye yang buram. Di dalam lounge hotel mewah di Jakarta Selatan, dentuman musik elektronik memecah kesunyian. Asap rokok menari di udara, bercampur bau alkohol dan tawa lelaki muda.

Di tengah keramaian itu, Arga Maheswara duduk di sofa kulit hitam, gelas whisky di tangannya hampir kosong.

“Bro, serius lo mau nikah?!” seru Bima, sahabat lamanya, dengan nada tak percaya.

“Gue gak mau, tapi disuruh,” jawab Arga datar, lalu meneguk isi gelasnya.

“Dijodohin? Hah, lo? Arga Maheswara dijodohin?!” Bima tertawa keras. “Gue kira cuma sinetron yang punya cerita kayak gitu!”

Arga menyandarkan kepala ke kursi, matanya menatap langit-langit. “Yah, beginilah kalau lo anak tunggal keluarga besar. Semua diatur, bahkan siapa yang bakal lo nikahin.”

“Terus ceweknya siapa?”

“Anak pesantren,” jawab Arga singkat.

“Wah, jauh banget dari dunia lo, Ga. Lo mabuk tiap minggu, dia mungkin ngaji tiap subuh.”

Arga hanya tersenyum miring, tapi ada getir di sana.

“Justru itu. Dunia kami beda. Dia suci, gue kotor. Gue bukan laki-laki buat dia.”

Bima menepuk bahunya, mencoba bercanda, “Yaudah, tolak aja, bro.”

“Gak bisa. Ini bukan soal gue sama dia. Ini soal bisnis, gengsi, keluarga. Jadi ya…”

Arga menatap gelasnya lagi. “…gue jalanin aja, tapi jangan harap gue ikut drama romantis kayak di film.”

Ia tertawa hambar, lalu menenggak sisa minumannya sampai habis.

Suara musik semakin keras, tapi di hati Arga hanya ada kekosongan.

Dan malam itu, ia mabuk lebih berat dari biasanya.

 

Beberapa hari berlalu.

Persiapan pernikahan mulai dilakukan. Rumah keluarga Zahra dan keluarga Maheswara silih berganti sibuk dengan urusan adat dan undangan. Tapi di tengah semua kesibukan itu, satu hal tak berubah: Arga tak pernah hadir.

Fitting baju pengantin, sesi foto pra-nikah, bahkan rapat keluarga—semuanya diwakilkan oleh Bu Retno, ibunya.

Di butik mewah di kawasan Menteng, Alya berdiri di depan cermin besar. Ia mengenakan kebaya putih lembut, hiasan renda yang sederhana tapi anggun.

Bu Retno tersenyum puas melihatnya. “MasyaAllah, cantik sekali, Nak Alya. Arga pasti menyesal kalau gak datang hari ini.”

Alya tersenyum kecil, matanya tenang walau sedikit redup.

“Mungkin Mas Arga sedang sibuk, Ma. Tidak apa-apa, yang penting niatnya tetap baik.”

Bu Retno menghela napas. “Entah sibuk atau sengaja menghindar. Mama tahu anak mama keras kepala. Tapi kamu tetap sabar, ya.”

Alya menunduk hormat.

“Alya hanya berpegang pada janji Allah, Ma. ‘Sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan’ (QS. Al-Insyirah: 6). Kalau Alya sabar, insyaAllah semuanya akan dimudahkan.”

Bu Retno menatap gadis itu dengan kagum. Dalam hatinya, ia mulai menyadari mengapa ayah Arga bersikeras memilih Alya. Gadis ini bukan sekadar baik, ia memiliki kedamaian yang bahkan uang tidak bisa beli.

 

Sementara itu, Arga duduk di kantor dengan wajah dingin.

Telepon dari ibunya berdering berkali-kali, tapi tidak ia angkat.

Ia hanya menatap foto undangan pernikahan di mejanya, hitam-putih, bergaya elegan, dengan tulisan:

Arga Maheswara & Alya Nur Zahra

Tangannya mengepal. Ada rasa aneh di dadanya, semacam penolakan yang ia sendiri tak bisa jelaskan.

“Nikah. Padahal gue bahkan gak kenal dia,” gumamnya.

Ia menekan nomor telepon di ponselnya.

“Halo, Bim. Lo malam ini free gak?”

“Selalu. Mau ke mana?”

“Clubb. Gue butuh minum.”

 

Beberapa hari kemudian, fitting terakhir dilakukan tanpa kehadiran Arga lagi.

Alya hanya ditemani Bu Retno dan tim perancang busana.

Ketika semua orang sibuk, Alya duduk di pojok ruangan, membuka mushaf kecil di tangannya.

Ia membaca pelan ayat yang menjadi penguat hatinya:

“Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia baik bagimu, dan boleh jadi kamu menyukai sesuatu, padahal ia buruk bagimu. Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.”

(QS. Al-Baqarah: 216)

Senyumnya lembut. “Mungkin pernikahan ini bukan karena cinta, tapi aku percaya Allah tidak pernah salah menulis takdir,” bisiknya dalam hati.

Bu Retno mendekat dan duduk di sampingnya.

“Nak, kamu gak marah sama Arga?”

Alya menggeleng pelan. “Marah hanya membuat hati sempit, Ma. Alya belajar, kalau ingin menuntun seseorang, jangan dimulai dengan kemarahan, tapi dengan doa.”

Bu Retno menggenggam tangannya. “Andai Arga bisa sebijak kamu.”

Alya menatap cermin di depannya, wajahnya tampak tenang, tapi di dalam dadanya ada gelombang kecil yang ia tekan rapat-rapat. Ia tahu, menjalani rumah tangga dengan orang yang tidak mencintainya bukan perkara mudah. Tapi ia percaya, setiap sabar pasti berbuah indah.

 

Di sisi lain kota, Arga masih menjalani hari-harinya seperti biasa , keras, dingin, dan bebas.

Ia menolak semua ajakan keluarga untuk makan bersama, mengabaikan pesan dari ibunya, dan tidak sekali pun menanyakan kabar Alya.

Namun entah mengapa, bayangan wajah gadis itu dengan sorot mata yang damai dan kata-kata lembutnya kadang muncul begitu saja dalam pikirannya.

Apalagi saat ia sedang sendiri, duduk di balkon apartemen, ditemani rokok dan angin malam.

“Dia pasti benci gue,” gumamnya, menghembuskan asap perlahan.

Tapi suara itu beradu dengan ingatan tentang Alya yang berkata lembut di taman dulu:

“Tidak ada manusia yang sepenuhnya buruk, Mas. Hanya saja, ada yang belum sempat menemukan hidayahnya.”

Dan tanpa sadar, Arga mengusap wajahnya pelan, mengambil jaketnya lalu pergi ke club.

 

Hari demi hari berlalu.

Semakin dekat hari pernikahan, semakin sering Arga menunjukkan penolakan pasifnya. Ia tidak datang latihan resepsi, tidak menjawab pesan keluarga Alya, bahkan saat ditanya oleh ayahnya hanya menjawab pendek:

“Gue gak suka drama keluarga. Nikah ya nikah aja. Gak usah ribet.”

Pak Damar hanya bisa menghela napas berat. “Kamu keras kepala seperti dulu, Ga. Tapi ingat, pernikahan bukan kontrak dagang. Ini janji di hadapan Tuhan.”

Namun Arga tetap bungkam. Ia keluar dari ruangan tanpa menoleh.

 

Sementara itu, di rumah Zahra, Alya mulai mempersiapkan diri dengan hati yang pasrah.

Di sela-sela kegiatannya, ia menulis di buku catatannya:

“Ya Allah, jika hati ini Kau pilihkan untuk seseorang yang belum mencintai-Mu, ajarilah aku untuk tidak menyerah membimbingnya. Sebab aku tahu, Engkau bisa membalikkan hati siapa pun dalam sekejap.”

 

Malam menjelang akad, Bu Retno menghubungi Arga.

“Arga, besok akad. Tolong datang lebih pagi, ya. Alya sudah siap dari subuh.”

Arga terdiam lama sebelum menjawab. “Ya.”

Namun setelah sambungan terputus, ia hanya menatap jam dinding.

Wajahnya tanpa ekspresi tapi matanya… sedikit redup.

Entah karena lelah, atau karena apa.

Dan di ujung malam yang panjang itu, Arga menatap ke langit Jakarta yang kelam.

 

🕊️ To be continued...

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!